Artikel : Analisa Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - NULL,

Jajak Pendapat Tentang Poligami
oleh : Abu Muthiah

Studi Kritis Terhadap Makalah JADWAL SHALAT SUBUH DIPERMASALAHKAN [Tanggapan & Jawaban] [I]

Karena ada beberapa permintaan dari para pembaca Qiblati untuk menanggapi makalah yang disebar melalui internet yang berjudul JADWAL SHALAT SUBUH DIPERMASALAHKAN Tulisan Abu Ibrohim M. Ali AM, maka kami tulis tanggapan berikut ini guna memberikan pencerahan terhadap saudara-saudara yang dibuat bingung. Semoga bermanfaat.

Pemakalah (Abu Ibrahim) menulis:

”Di Saudi Arabia misalnya, pemerintahnya berpegang kepada jadwal ini untuk menentukan waktu shalat bagi penduduknya, dan manusia pun berpegang kepada jadwal ini sejak kepemimpinan raja Abdul Aziz alu Su’ud hingga hari ini.”

Jawaban:

a. Muassiss (pendiri) KSA modern sekarang ini adalah Abdul Aziz ibn Abd Rahman ibn Faishal Turki ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Amir ad-Dir’iyyah Su’ud (1873-1953)

b. Taqwim ummul Qura lahir tahun 1346 H/ 1928- terus diambil alih pemerintah tahun 1936 M. jadi baru berumur 74 tahun.

Taqwim UQ adalah pewaris dari Taqwim al-Awqat untuk daerah Najed dan taqwim al-Awqat untuk wilayah KSA, setelah keduanya dimerjer maka disebut Taqwim UQ.

- Dalam soal Hilal, taqwim UQ mengalami perubahan hingga 6 marhalah.

- Sedangkan dalam soal fajar maka mengalami perubahan hingga 4 fase. Jadi selama 74 tahun ini ukuran waktu shalat subuh mengalami 4 kali perubahan, maka ucapan pemakalah “manusia pun berpegang kepada jadwal ini sejak kepemimpinan raja Abdul Aziz alu Su’ud hingga hari ini.” Kurang tepat.

Dalam rangkaian acara kebudayaan yang diadakan oleh Al Qassim Literary Club (QLC) pada hari Senin 22/4/1429 H di kantor pusat QLC, digelarlah ceramah ilmiah dengan tema “Problematika Waktu Shalat Fajar Dalam Taqwim UQ” yang disampaikan oleh Dr. Abdullah Ibn Abdurrahman al-Musnid (staf pengajar fak. Geografi Univ. al-Qassim.

Dalam ceramahnya Doktor Abdullah al-Musnid membeber rahasia taqwim UQ dan pembuatnya, yang ternyata pembuatnya hanya satu orang itupun sudah mengakui kalau tidak pernah melihat fajar shadiq dan tidak bisa membedakan antara fajar shadiq dan kadzib. Beliau berkata:


«تقويم أم القرى لم يُعَدُّ منلجنة أو نخبة من الفلكيين، بل أعد في عام 1395 هـ من فلكي واحد فقط، وهوفضل أحمد نور، إذ اعتمد التقويم في بداياته على دخول الفجر قبل شروق الشمسبدرجة 01:25، ثم عدل الاعتماد على 18 درجة «قوسية»، لتكون01:21، وبعد عشرةأعوام أضاف معد التقويم درجة احتياطية، لتكون 19 تحت الأفق، بحوالى 01:25

Dalam laporannya di Koran al-Hayat beliau menambahkan:


«معد التقويم فضل أحمد، سبق أن اعترففي مقابلة معه بأنه اعتمد على ما ظهر له شخصياً، وليس لديه أي أساس مكتوب،وتبين من خلال الحديث معه أنه لا يميز بين الفجر الكاذب والصادق على وجهدقيق، إذ إنه أعد التقويم بناءً على أول إضاءة تجاه الشرق في الغالب، (أيعلى درجة 18)، ولم يغير هذه الدرجة إلى بعد 10 أعوام بمقدار درجة قوسيةواحدة لتصبح 19».

Pemakalah menulis:

Kesepakatan ulama ini (maksudnya dalam penggunaan jadwal waktu shalat) diperkuat dengan beberapa perkara, di antaranya.

1). Penggunaan jadwal waktu shalat mempermudah kaum muslimin terutama menentukan waktu Subuh yang telah dikatakan oleh para ulama bahwa munculnya awal fajar shodiq sulit dilihat, sebab ada sesuatu yang menghalangi terlihatnya awal munculnya fajar, seperti tinggi dan banyaknya bangunan. Adanya cahaya buatan, seperti lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung serta pabrik-pabrik juga mempengaruhi keadaan ufuk. Hal ini sesuai dengan kaidah Islam adalah agama yang mudah.

Jawaban:

Ucapan Ini membuktikan kalau pemakalah belum pernah melihat fajar shadiq yang sedang dia bahas ini. Terbit fajar shadiq sudah sering kami saksikan dan kami abadikan dengan foto. Coba baca laporan foto Jayapura.

Siapa yang mengatakan sulit sama dengan mengatakan Allah memerintah sesuatu yang sulit. Oleh karena itu beda antara orang yang sudah melihat fajar shadiq dengan yang belum. Orang yang mensyukuri nikmat akal pasti mengikuti orang yang faham dan sudah melihat seperti syaikh Al-Albani, Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi, Taqiyyudin al-Hilali dll.

Agama yang mudah itu melihat fajar syar’i yang mudah dilihat.

Sedangkan yang mempersulit diri adalah berdasar fajar astronomi yang tidak bisa dilihat, bahkan oleh pembuat kalender itu sendiri.

Syaikh Ibn Baz dan yang tergabung dalam Lajnah Daimah berkata:

“Atas dasar ini, maka cara yang sesuai fitrah dan mudah, adalah kembali dalam hal mengenali waktu-waktu shalat kepada apa yang telah diperingatkan oleh syariat, berupa tanda-tanda alam yang telah dijelaskan, mengingat tanda-tanda tersebut umum yang bisa dikenali baik oleh orang kota maupun pedalaman, orang terpelajar maupun tidak. Adapun mengetahui waktu dengan cara hisab atau menghitung perjalanan bintang, disamping hal itu sifatnya perkiraan, ia juga tidak bisa dilakukan oleh setiap orang.”

Ucapan pemakalah kurang bagus sebab para ulama dan orang-orang yang menuntut koreksi waktu subuh tidak menyuruh orang melihat fajar dari depan bangunan pabrik atau gedung lainnya juga bukan dari tengah kota yang banyak lampu, tetapi keluar ke tempat yang memungkinkan melihat fajar. Alhamdulillah kami mengikuti para ulama, telah melihat fajar shadiq berkali-kali untuk membuktikan salahnya jadwal shalat dan benarnya ulama yang mengkritisi jadwal falaki ini.

Pemakalah menulis:

2). Dengan penggunaan jadwal tersebut maslahat yang timbul lebih besar dan mafsadat (kerusakan) yang ada lebih ditekan, yaitu berupa perselisihan, pertikaian dan perpecahan di antara kaum muslimin.

3). Jadwal waktu shalat yang ada telah dikeluarkan oleh pemerintah kaum muslimin dan keberadaannya disetujui oleh para ulama. Sehingga kita harus mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemimpin dalam urusan yang diberikan kepada mereka. Jika tidak, maka akan timbul perselisihan dan perpecahan yang sangat dibenci dalam Islam. [5]

Jawaban:

a. Klaim kerusakan hanyalah ilusi, jauh beda dengan kenyataan yang ternyata aman-aman saja. Kami dan semua orang yang telah faham tentang waktu subuh bisa mengamalkan dan mendakwahkan dengan aman dan tentram. Alhamdulillah.

b. semua taqwim yang berbeda-beda itu (ada yang 20°, 19,5°, 19°, 18,5°, 18°, 17°, 16°, dan 15°) semuanya disetujui oleh ulama-menurut klaim masing-masing-. Sementara barang yang dihitung adalah satu, maka bisakah akal sehat menerima dan membenarkan semuanya? Fajar shadiq adalah visual dan empiris, tidakkah akal sehat megajarkan bahwa yang sesuai dengan kemunculan fajar shadiq itulah hitungan yang benar dan yang menyalahi itulah yang salah?!

c. di Saudi usaha koreksi membawa banyak manfaat, sampai batas tertentu berhasil: iqamat mundur sampai fajar shadik tampak terang, adzan baru dimundurkan sedikit (awal 1431 H), dan perpecahan tidak ada

d. di indonesia: usaha kita pada tahap ini berhasil: banyak masjid adzan dan iqamat mundur, atau iqamat saja yang mundur, banyak ahli falak tersadar kalau memang jadwal kita ini hanya teori bukan hasil observasi. Muker BHR 2010 merekomendasikan kepada Menteri Agama agar membentuk tim-tim observasi di seluruh Indonesia. Proses terus berjalan dan tidak ada perpecahan.

e. taat ulil amri dalam jadwal yang salah begitu saja menyalahi manhaj nabawi dan salafi. Ada banyak hadits dalam masalah ini. Baca buku Koreksi Awal Waktu subuh.

Pemakalah menulis:

Fatwa Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah

Berikut fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku mufti umum Saudi Arabia, ketua lembaga ulama besar Saudi Arabia dan ketua Idarotil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ berkaitan dengan masalah jadwal waktu shalat dari kalender Ummul Quro tertanggal 22 Rajab 1417 H. Beliau mengatakan :

“Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga, dan para sahabatnya, adapun setelah itu.

Maka sesungguhnya tatkala banyak pembicaraan dari sebagian orang akhir-akhir ini tentang jadwal (waktu shalat) dalam kalender Ummu Quro, dan dikatakan bahwa terdapat kesalahan padanya, khususnya waktu shalat Subuh yang mendahului sekitar 5 (lima) menit atau lebih dibandingkan waktu yang sesungguhnya. Maka saya tugaskan panitia khusus dari kalangan para ulama untuk pergi keluar dari batas kota Riyadh, (tempat yang jauh) dari lampu-lampu/cahaya-cahaya (buatan), supaya mereka memantau terbitnya fajar, dan supaya diketahui sejauh mana tepatnya penentuan jadwal yang dimaksud dengan kenyataan.

Dan sungguh panitia khusus tersebut dengan kesepakatan mereka menetapkan bahwa jadwal waktu-waktu tersebut tepat/bersesuaian dengan terbitnya fajar, dan tidak benar apa yang disangka sebagian orang bahwa jadwal tersebut mendahului sebelum terbitnya fajar.

Dan untuk menghilangkan kerancuan/keraguan yang membuat sebagian orang ragu akan sahnya shalat mereka, maka inilah penjelasannya.

Allah maha memberi taufiq dan maha menunjuki kepada jalan yang lurus” [6]

Jawaban:

a. Syaikh –rahimahullah- tuna netra sehingga tidak bisa mengamati sendiri, karena itu beliau murni percaya kepada tim tersebut, sebagaimana sahabat Ibnu Ummi Maktum Rodiallohu `anhu yang tidak adzan kecuali menunggu diberitahu oleh para sahabat yang melihatnya. Pada saat ada khilaf antara syaikh Ibn Baz yang tidak melihat fajar dengan syaikh Al-Albani yang melihat fajar, tentu sebuah sikap yang kurang inshaf manakala kita mengunggulkan orang yang tidak melihat fajar atas orang yang melihat fajar, apalagi tim yang dibentuk waktu itu yang melihat sekali tersebut telah dikritisi oleh Syaikh Dr. Sa'ad ibn Turki al-Khustlan yang mewakili Departemen Urusan Keagaamaan Saudi dalam Proyek Studi Mega.

Dalam penjelasannya tahun 1426 H/ 2005 M, syaikh al-Khutslan berkata:


ينبغي تنبيه النساء في البيوت أيضا أن لا يصلين إلا بعد نصف ساعة من الأذان ينبغي التواصي في هذه المسألة العظيمة المهمة المتعلقة بالعبادة ولا يقال في هذا تشويش بل هذا فيه تصحيح الخطأ الواقع يترك الناس على الخطأ ليس بالصحيح وأما اللجان التي خرجت قبل فكانوا يفتقدون الخبير معهم وكذلك المكان لم يكن مناسبا وكذلك لم يخرجوا إلا مرة تقريبا و هذه لا تكفي.

"Seyogyanya kaum wanita di rumah-rumah juga diingatkan agar mereka tidak menunaikan shalat subuh kecuali setelah 25 menit dari adzan. Seharusnya saling berwasiat dalam masalah agung yang penting ini, yang berkaitan langsung dengan ibadah. Tidak bisa dikatakan ini adalah tasywisy (mengacaukan) tetapi justru ini mengandung tashhih (koreksi) atas sebuah kesalahan yang terjadi. Membiarkan manusia berada di atas kesalahan bukanlah sikap yang benar. Adapun panitia yang keluar sebelumnya, maka mereka tidak ditemani oleh orang yang ahli (berpengalaman), begitu pula tempatnya kurang cocok, dan juga mereka tidak keluar kecuali hanya sekali, kira-kira, dan ini tidak cukup." (ini ditransip dari kaset beliau, aw kama qola)

b. Syaikh Ibn Baz rahimahullah sangat berhusnuzhan kepada pembuat kalender dengan mengatakan:


إن الذين وضعوا التقويم هم أعلم منا بالتوقيت

"Sesungguhnya yang membuat kalender (ummul Qura) ini lebih alim dari kita." sebagaimana yang diceritakan oleh Syaikh Ahmad an-Najmi (1429 H) –rahimahullah). Namun, ketika husnuzhan itu berhadapan dengan fakta, yaitu bahwa yang membuat kalender Ummul Qura ternyata tidak bisa membedakan antara dua fajar dengan baik, serta menambah satu derajat begitu saja dari keinginannya untuk hati-hati maka ia batal, dan yang benar adalah fakta.

c. Syaikh telah melaksanakan tugasnya, dengan memerintahkan untuk dibentuk tim guna mengoreksi waktu fajar, namun usaha itu kiranya belum tuntas dan belum memuaskan.

d. Syaikh Abdul Muhsin Ubaikan (penasehat hukum di Kementrian Kehakiman Saudi, kemudian penasehat Kantor Kerajaan setingkat mentri, 1372-1430 H)[1] rahimahullah berkata:


ان سماحة الشيخ عبدالعزيز بن باز – رحمه الله – لما وردت اليهكتابات من بعض مراكز الدعوة، وبعض أئمة المساجد حول وقت الفجر، لم يرفض إعادة النظر في التقويم، بل أمر بذلك، ومن ذلك الخطاب الذي وجهه سماحته إلى وزير الحج والأوقاف برقم 182/1، وتاريخ 20/1/1412ه. المبني على خطابمدير مركز الدعوة والإرشاد في عرعر الذي لاحظ وجود فرق كبير في التوقيتبين أذان الفجر وطلوع الشمس في تقويم أم القرى بمنطقة عرعر، طالبا سماحتهاحالة ملاحظة فضيلة مدير مركز الدعوة إلى لجنة التقويم والإفادةبالنتيجة".

“Sesungguhnya yang mulia Syaikh Abdul aziz ibn Baz –rahimahullah- ketika sampai kepada beliau surat-surat dari sebagian markaz-markaz dakwah, dan sebagian imam masjid seputar masalah waktu fajar, beliau tidak menolak untuk mengkaji ulang soal taqwim, bahkan beliau memerintahkan untuk itu. diantaranya adalah surat yang beliau layangkan kepada yang mulia mentri urusan Haji dan Waqaf dengan nomor 182/1, tertanggal 20/1/1412 H, yang didasarkan pada surat mudir markaz dakwah dan al-Irsyad di Ar'ur yang melihat adanya perbedaan besar dalam tawqit antara adzan subuh dan terbitnya matahari di taqwim Ummul Qura di kota Aqr-ur, seraya memohon kepada yang mulia agar mengalihkan catatan yang mulia mudir markaz dakwah kepada panitia taqwim dan melaporkan hasilnya."


وإنمايعول هذا الشيخ، ومن ينتهج نهجه على لجنة ليس فيها فلكي، بعثها سماحةالشيخ عبدالعزيز بن باز، كان القرار فيها لكبيرهم الذي خرج مرة، وقد وضعفي باله القناعة بالتقويم فلم يتحقق. ولما نوقش الذين كانوا معه، قالأحدهم إنه لا يعرف الفجر الصادق من الكاذب – على الطبيعة -، وأحدهم رجععن رأي اللجنة بعد أن وقف مع أهل خبرة لمراقبة الفجر، فاتضح له الخطأ. وقدوضحت بعد ذلك لسماحة الشيخ عبدالعزيز بن باز الأمر، وطلبت منه ان يكلفاللجنة المذكورة بالخروج معنا للتحقق من توقيت التقويم، فوافق – رحمه الله -، ولكن رفض كبير اللجنة، حتى إنني طلبت منه ذلك شخصيا فرفض، مما يدل على عدم الحرص على تصحيح الخطأ.

Syaikh Ubaikan melanjutkan:

"Sesungguhnya syaikh ini dan orang yang mengikuti manhajnya mengacu pada lajnah yang tidak memiliki seorang ahli falak pun di dalamnya, yang diutus oleh yang mulia Syaikh Abdul Aziz ibn Baz, yang mana keputusannya ada di tangan "pembesarnya" yang keluar hanya sekali, sedangkan ia telah meletakkan dalam benaknya rasa kepuasaannya tentang taqwim, jadi ia tidak meneliti. Ketika orang yang bersamanya diajak diskusi, maka salah seorang mereka berkata: Sesungguhnya ia tidak mengetahui fajar shadiq dari fajar kadzib- diatas alam- Salah seorang mereka kembali meninggalkan pendapat panitia (tersebut) setelah berdiri bersama orang-orang yang berpengalaman dalam mengobservasi fajar, maka jelaslah kesalahan itu baginya. Saya sudah menjelaskan perkara ini setelah itu kepada Yang mulia syaikh Abdul Aziz ibn Baz. Saya meminta kepada beliau agar memerintahkan panitia tersebut keluar bersama kita untuk membuktikan kebenaran jadual shalat menurut taqwim. Maka beliau setuju- rahimahullah- akan tetapi "pembesar" panitia itu menolak, hingga aku secara pribadi meminta kepadanya, namun ia tetap menolak. Ini suatu hal yang menunjukkan kurangnya tekad untuk meluruskan kesalahan." (disiarkan dalam harian al-Riyadh, Rabo, 23 Ramadhan 1426 H/ 26 Oktober 2005 H, edisi 13638 (http://bayenahsalaf.com/vb/showthread.php?p=11175)

e. Syaikh Ibn Baz –rahimahullah- dalam masalah ini mewakili studi lama yang tidak akurat. Beliau mengikuti pandangan lama bahwa jarak antara fajar shadiq dan terbit matahari adalah 90 menit (s=22 derajat). Beliau berkata:


أما الفجرالصادق فهو الذي يمتسح جنوباً وشمالاً في جهة الشرق ويزداد نوره، هذا هوالصبح متى طلع هذا الفجر فهذا هو الذي يفصل بين الخيط الأبيض والخيطالأسود، هذا هو الخيط الأبيض، الصبح، وهو ينتشر، ويتسع ويزداد نوره حتى يتم ضوؤه، ويزول آثاره وتزول آثار الليل، ويستمر إلى طلوع الشمس، والغال بمثل ما ذكرت أن ما بينهما ساعة ونصف تقريباً هذا ما ذكره أهل الخبرة

"Adapun fajar shadiq maka ia menyebar ke selatan dan utara di arah timur, dan bertambah cahayanya. Inilah subuh. Kapan fajar ini muncul maka ia yang memisahkan antara benang putih dan benang hitam. Inilah benang putih, subuh. Ia menyebar, meluas dan bertambah cahanya hingga sempurna cahayanya, dan hilanglah pengaruhnya, hilanglah pengaruh malam. Ia berlangsung terus hingga terbit matahari. Biasanya seperti yang engkau sebut (yaitu penanya dari Mesir) bahwa antara keduanya adalah satu jam setengah kira-kira. Ini yang dikatakan oleh orang yang ahli." [2]

f. Meskipun Syaikh condong kepada studi lama namun beliau memliki sikap yang menghormati orang-orang yang mengoreksi, bahkan menasehatkan agar iqamahnya diundur dari adzan. Iqamat menurut syaikh yang terbaik adalah 25 menit setelah terbitnya fajar (artinya setelah 30 menit dari adzan depag RI). Beliau berkata:


لكن الأفضل والأحسن أن يؤديها في حال الغلس بعد طلوع الفجر بنصف ساعة، نصف إلا خمس حواليها يكون هناك غلس وهناك ضياءالصبح واضح.

"Akan tetapi yang utama dan yang terbaik adalah melaksanakan shalat subuh pada waktu ghalas (akhir gelap malam yang bercampur cahaya fajar shadiq), setengah jam setelah terbitnya fajar, setengah kurang 5 menit, sekitar itu di sana ada ghalas dan ada cahaya pagi yang nyata."[3]

Jadi menurut beliau 25 menit setelah adzan kalender adalah waktu ghalas, waktu gelap remang-remang karena bercampur dengan cahaya putih dan merah fajar shadiq, waktu fajar shadiq menyebar di ufuk, itulah waktu yang tepat untuk melaksanakan shalat subuh, sebagaimana Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam dulu melaksanakannya.

Mengapa Syaikh Bin Baz menyarankan agar iqamat diundur 25 menit? Salah satu alasannya adalah supaya benar-benar yakin bahwa shalat subuh kita tepat pada waktunya. Syaikh Said ibn Ali al-Qhahthani berkata: Saya mendengar yang mulia mengatakan:


((المراد لا تعجلوا حتى يتضح الصبح حتى لا يخاطر بالصلاة))

"Yang dimaksud (dengan hadits asfiru bilfajri) adalah janganlah kamu cepat-cepat (melaksanakan shalat subuh) hingga tampak jelas subuh itu, supaya tidak berspekulasi dengan shalat (subuh)."[4]

g. Kiranya beberapa fatwa syaikh bersama anggota Lajnah Daimah (yang dipimpin Syaikh Bin Baz) berikut bermanfaat untuk ditelaah dan dijadikan sebagai pegangan:

- Lajnah Da’imah dalam fatwanya no. 4991 (6/136-141) mengatakan sebagai jawaban atas pertanyaan seputar jadual shalat, serta berbuka di bulan Ramadhon:

“Agama Islam adalah agama yang penuh toleransi dan mudah, Allah Ta’ala berfirman

(QS. Al-Baqarah: 185)

(QS. Al-Hajj: 78)

Telah diterangkan dari Nabi bahwa beliau tidak diminta memilih di antara dua perkara, kecuali memilih yang paling mudah selama bukan dosa.

Untuk itulah, Allah menjadikan waktu-waktu ibadah itu memiliki (terkait) dengna tanda-tanda alam, yang bisa diketahui oleh baik orang umum maupun orang khusus, orang awam maupun orang alim, sebagai bentuk rahmat dan kemudahan bagi manusia serta untuk menolak adanya kesulitan yang akan mereka alami.

Termasuk tanda-tanda alam ini adalah, firman Allah Ta’ala tentang batasan puasa harian, kapan dimulai dan kapan berakhir?

(QS. Al-Baqarah: 187)

Nabi juga menjelaskan hal itu dengan perbuatan serta sabda beliau. Telah diriwayatkan dari Abdulah bin Abi Aufa Rodiallohu `anhu , ia berkata, “Kami tengah dalam perjalanan bersama Nabi pada bulan Ramadhan, ketika matahari terbenam, beliau bersabda, “Wahai Bilal, turunlah dan siapkanlah makanan untuk kami! Bilal berkata, “Wahai Rasulullah, ini masih siang? Beliau bersabda, “Siapkanlah makanan untuk kami!” maka Bilal pun turun dan membuat adonan, kemudian datang membawa minuman, beliau minum kemudian bersabda – seraya mengisayaratkan dengan tangan – “Jika matahari telah hilang (terbenam) di sebelah sini (barat) dan malam datang dari sebelah sini (timur) berarti orang yang puasa boleh berbuka.”

Dari Umar Rodiallohu `anhu , Rasulullah bersabda, “Jika malam telah datang, dan siang beranjak menghilang, serta matahari telah terbenam, maka orang yang berpuasa boleh berbuka.”

Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi bersabda, “Janganlah adzan Bilal menghalangi kalian, atau salah seorang dari kalian untuk makan sahur, karena ia adzan di malam hari, agar orang yang shalat malam kembali pulang (untuk sahur) serta membangunkan orang yang masih tidur. Fajar atau Shubuh itu – beliau menjelaskan dengan jari jemari, beliau mengangkatnya ke atas kemudian mengetuk-ngetukannya ke bawah, hingga seperti ini.”

Zuhair mengatakan, “Beliau mengisyaratkan dengan dua jari telunjuk (kanan dan kiri) kemudian menjadikan salah satu di atas yang lain kemudian menariknya (membentangkannya) ke kanan dan kiri.”

Beliau menerangkan, yang pertama adalah isyarat kepada fajar kadzib, dan isyarat kedua adalah fajar shadiq, yaitu cahaya yang membentang di ufuk di arah timur dari utara ke selatan.

Juga sabda Nabi tentang permulaan dan akhir puasa Ramadhan, “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal. Jika hilal terhalangi dari kalian maka genapkanlah bilangan!”

Dalam riwayat lain, ”…maka puasalah tiga puluh hari!”

Beliau mewajibkan puasa dengan melihat hilal Ramadhan, serta mewajibkan berbuka (mengakhiri puasa) dengan melihat hilal Syawal, karena perkara tersebut mudah bagi umat, baik itu orang alim, orang ummi, orang kota maupun orang kampung. Bahkan bisa jadi, orang ummi atau orang kampung pedalaman lebih mengetahui hal itu dibandingkan selain mereka. Itu semua adalah rahmat dari Allah serta karunia Nya, dan semua itu tidak memerlukan ilmu astronomi atau pengetahuan tentang perjalanan bintang.

Termasuk dalam hal ini adalah firman Allah, tentang waktu-waktu shalat yang lima waktu:

(QS. Al-Isra` 78)

(QS. Al-Insan: 25-26)

Nabi menjelaskan dengan perbuatan dan sabda beliau. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Rodiallohu `anhu , Rasulullah bersabda, “Waktu Dzuhur itu ketika matahari bergeser sehingga bayangan seseorang seperti panjangnya, selama belum masuk waktu Ashar. Dan waktu Ashar itu adalah selama matahari belum menguning. Dan waktu Maghrib itu selama mega belum hilang, dan waktu Isya` itu terbentang hingga tengah malam, sedangkan waktu Shubuh adalah dari terbitnya fajar selama matahari belum terbit. Jika matahari telah terbit maka jangan shalat sebab matahari itu terbit di antara dua tanduk setan.”

Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya Rodiallohu `anhu , bahwasanya seseorang bertanya kepada Nabi tentang waktu-waktu shalat? Maka beliau bersabda kepadanya, “Shalatlah kamu bersama kami dua hari ini!” Tatkala matahari bergeser (dari puncaknya) beliau memerintahkan Bilal untuk adzan, maka ia pun adzan, lalu iqamat. Kemudian memerintahkan adzan, lalu iqamat untuk Ashar sementara matahari masih tinggi bersinar bersih. Kemudian beliau perintahkan untuk adzan, lalu iqamat Maghrib ketika matahari terbenam, kemudian beliau perintahkan adzan shalat Isya`, ia pun adzan ketika mega telah hilang, kemudian beliau perintahkan untuk adzan Shubuh, maka ia melakukannya ketika fajar menyingsing. Pada hari kedua, beliau memerintahkan agar menunda waktu Zuhur hingga matahari tidak begitu terik, maka Bilal pun menundanya dan sungguh merupakan kebaikan hingga matahari menjadi lebih dingin. Lalu shalat Ashar, sementara matahari masih tinggi, beliau menundanya dari yang sebelumnya. Beliau shalat Maghrib sebelum mega hilang, dan shalat Isya` setelah 1/3 malam berlalu, dan shalat Shubuh dengan melaksanakannya pada waktu isfar. Setelah itu beliau bertanya, mana kemarin orang yang bertanya tentang waktu-waktu shalat? Orang itu menjawab, “Ini saya wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda, “Waktu shalat-shalat kalian adalah antara apa yang telah kalian lihat (dalam dua hari tersebut).”

Juga masih banyak hadits-hadits yang menjelaskan rincian waktu shalat baik ucapan maupun perbuatan. Semua itu tidak dikaitkan dengan perjalanan bintang, tidak pula dengan pendapat ahli astronomi, sebagai bentuk karunia dari Allah, kebaikan serta menolak kesulitan dari mukallaf dari hamba Nya.

Atas dasar ini, maka cara yang sesuai fitrah dan mudah, adalah kembali dalam hal mengenali waktu-waktu shalat kepada apa yang telah diperingatkan oleh syariat, berupa tanda-tanda alam yang telah dijelaskan, mengingat tanda-tanda tersebut umum yang bisa dikenali baik oleh orang kota maupun pedalaman, orang terpelajar maupun tidak. Adapun mengetahui waktu dengan cara hisab atau menghitung perjalanan bintang, disamping hal itu sifatnya perkiraan, ia juga tidak bisa dilakukan oleh setiap orang.

Lajnah da’imah

Ketua : Abdulaziz bin Baz
Wakil ketua : Abdurrazaq Afifi
Anggota : Abdullah bin Qu’ud

- Lajnah Da`imah mengatakan dalam fatwa no. 4100 (6/141-142) sebagai jawaban atas pertanyaan “apakah penanggalan sekarang ini sifatnya masyru’ (disyariatkan) atau tidak?

Jawab, “Penanggalan termasuk perkara ijtihad, orang-orang yang membuatnya adalah manusia yang bisa salah bisa benar, karena itu tidak sepatutnya disandarkan waktu-waktu shalat kepadanya begitu pula puasa dari sisi awal maupun akhirnya, karena awal dan akhir waktu ini telah diterangkan dalam Al-Qur`an maupun Sunnah, oleh karena itu yang wajib adalah menyandarkan kepada apa yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syariat. Akan tetapi penanggalan ini bisa dimanfaatkan oleh muadzin atau imam masjid untuk mengetahui waktu-waktu shalat sebagai perkiraan. Adapun dalam hal puasa dan berbuka, maka tidak boleh mengandalkannya dari sisi manapun, karena Allah Ta’ala mengaitkan hukumnya dengan terbitnya fajar hingga malam. Juga karena Rasulullah bersabda, “Puasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat hilal!, tetapi jika hilal terhalangi darimu, maka genapkanlah bilangan!”

Ketua : Abdulaziz bin Baz
Wakil : Abdurrazaq Afifi
Anggota : Abdullah bin Ghudaiyyan

- Lajnah dalam fatwa yang lain menegaskan tidak adanya kaitan antara fajar astronomi dengan shalat subuh:


وقالت اللجنة الدائمة (فتوى رقم 7373) (ج6/ص143)
"لا عبرة في تحديد أوقات الصلوات بالتقسيم الفلكي وإنما العبرة في دخول وقت الفجر بظهور ضوء مستعرض الأفق شرقا إذا اتضح وتميز"

- Syaikh ibn Baz berkata dalam kitab Tuhfatul Ikhwan:


(3) وقال سماحة الوالد عبد العزيز بن باز رحمه الله في كتابه (تحفة الإخوان بأجوبة مهمة تتعلق بأركان الإسلام) (ص170) جوابا على السؤال التالي
هل يجب علينا الكف عن السحور عند بدء أذان الفجر أم يجوز لنا الأكل والشرب حتى ينتهي المؤذن
الجواب إذا كان المؤذن معروفاً بأنه لا ينادي إلا على الصبح فإنه يجب الكف عن الأكل والشرب وسائر المفطرات من حين يؤذن أما إذا كان الأذان بالظن والتحري حسب التقاويم فإنه لا حرج في الشرب أو الأكل وقت الأذان لما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال "إن بلالاً يؤذن بليل فكلوا واشربوا حتى ينادي ابن أم مكتوم" قال الراوي في آخر هذا الحديث "وكان ابن أم مكتوم رجلا أعمى لا ينادي حتى يقال له أصبحت أصبحت" متفق على صحته
والأحوط للمؤمن والمؤمنة الحرص على إنهاء السحور قبل الفجر عملاً بقول النبي صلى الله عليه وسلم "دع ما يريبك إلى ما لا يريبك" وقوله صلى الله عليه وسلم "من اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه" أما إذا علم أن المؤذن ينادي بليل لتنبيه الناس على قرب الفجر كفعل بلال فإنه لا حرج في الأكل والشرب حتى ينادي المؤذنون الذين يؤذنون على الصبح عملا بالحديث المذكور اهـ

- Lajnah Daimah dalam fatwanya (no. 4100, jilid 6, hal. 141-142) ketika ditanya, apakah kalender shalat sekarang ini masyru' apa tidak?

Para ulama Lajnah Daimah menjawab:

Kalender itu perkara ijtihadiyyah, yang membuatnya adalah manusia yang bisa benar dan salah, maka tidak seyogyanya dijadikan sebagai gantungan bagi waktu-waktu shalat dan puasa dari segi awal waktu dan akhirnya, karena awal waktu-waktu ini dan akhirnya telah ada dalam al-Qur`an dan sunnah. Maka seharusnya mengacu pada apa yang ditunjukkan oleh dalil-dali syar'i, akan tetapi kalender falakiyyah ini bisa diambil manfaatnya oleh para muadzin dan imam dalam waktu-waktu shalat sebagai suatu perkiraan. Adapun dalam puasa dan hari raya maka tidak bisa dijadikan sandaran sama sekali dari segala sisinya, karena Allah subhanahu wata'ala telah menggantungkan hukum dengan kemunculan fajar hingga malam, dan karena Rasul shallallohu 'alaihi wasallam bersabda: puasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, jika terhalang mendung maka sempurnakan bilangan."

Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
Wakil ketua: Abdurrazzaq Afifi
Ketua: Abdulaziz bin Baz

- Jadi kalender bukan wahyu suci yang tak tersentuh oleh kebatilan, bahkan ia hanyalah perkiraan. (Kecuali kalender yang benar-benar disesuaikan dengan terbitnya fajar shadiq secara riil, yaitu yang menggunakan 15 derajat).
_________________
[1] http://al-obeikan.com/page/13-
[2] (http://www.binbaz.org.sa/mat/14640)
[3] (http://www.binbaz.org.sa/mat/14769)
[4] Syaikh al-Qahthani mendengar syaikh Bin Baz mengatakan itu saat mensyarah hadits no. 172 dari Bulughul Maram. Lihat bukunya Syurut as-Shalah fi Dhau'il Kitab was-sunnah yang selesai ditulis tahun 1420 H.

[Bersambung]

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexanalisa&id=1§ion=an001