Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Menyikapi Ikhtilaf

Senin, 05 Nopember 12


Edisi Th. XVIII No. 886/ Jum`at I/Dzulhijjah 1433 H/ 02 November 2012 M.

Arti Khilaf
Khilaf dan ikhtilaf memiliki arti yang sama yaitu menunjukkan ketidaksepakatan dalam suatu masalah tertentu. Al-Fairuz Abadi berkata, “(khilaf) adalah jika masing-masing pihak mengambil jalan lain baik keadaan atau perbuatan.”

Kaidah-kaidah Berikhtilaf
1. Tidak boleh terjadi khilaf dalam masalah ushuluddin (pokok agama), baik masalah aqidah maupun fikih, seperti masalah keesaan Allah, pokok-pokok Iman, kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum, wajibnya shalat dan lain-lain. Masalah-masalah seperti ini tidak diperbolehkan ada khilaf di dalamnya, karena banyaknya dalil yang menetapkannya.

2. Tidak boleh terjadi khilaf dalam masalah-masalah yang sudah ada ijma’(konsensus) tentang hukumnya.
Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab (al-Qur’an) yang terang, dan Sunnah yang masyhur, atau apa yang telah disepakati para pendahulu umat ini, maka ia diperlakukan dengan perlakuan sebagai ahli bid’ah.”(al-Fatawa, 4/172-173)

3.Perkataan atau pendapat tersebut hendaknya muncul dari ijtihad (usaha maksimal) dalam memahami dalil-dalil syar’i yang bertujuan sampai kepada kebenaran yang diinginkan oleh Allah.

Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Perbedaan terjadi karena beberapa sebab yaitu,
1.Boleh tidaknya berhujjah dengan beberapa sumber hukum fikih, seperti syari’at umat terdahulu, ucapan shahabat, istihsaan, mashalih mursalah, ijma’ ahlil Madinah, hadits mursal dan lain-lain.

2.Dalam memahami dalil, seperti dalam firman-Nya,


Ãóæú áóÜãóÓúÊõãõ ÇáäøÓóÇÁ Ýóáóãú ÊóÌöÏõæÇú ãóÇÁ ÝóÊóíóãóøãõæÇú ÕóÚöíÏÇð ØóíøÈÇð

“Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)” (QS. an-Nisa; 43)

Jumhur menafsirkan menyentuh perempuan dengan jima’ (berhubungan badan), dan mereka tidak menganggap bahwa menyentuh kulit wanita sebagai pembatal wudhu, sedangkan Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa menyentuh kulit wanita membatalkan wudhu.

3.Dalam ‘illah (sifat yang dijadikan alasan hukum), seperti perbedaan mereka tentang ‘illah riba dalam enam jenis barang ribawi.

4.Tidak sampai dalil kepada salah seorang di antara mereka.

5.Dalam menilai dan menghukumi sebuah hadits, disebabkan perbedaan mereka dalam menilai para perawi hadits.

6.Dalam memahami makna yang ditunjukkan oleh dalil, dikarenakan lafazh tersebut adalah lafazh yang memiliki banyak makna, atau terkadang dipakai untuk makna hakiki atau majaz (kiasan) dan lain-lain. Seperti kata quru’ yang berarti haidh atau suci, kata nikah yang berarti akad atau jima’ dan masih banyak lagi sebab-sebab ikhtilaf yang lain.

Adab Dalam Ikhtilaf
Berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda pendapat dibutuhkan kaidah dan adab yang ditetapkan oleh para Ulama. Di antara kaidah dan adab tersebut yaitu,

1. Membekali diri dengan ilmu, iman, amal dan akhlak, karena tanpa perpaduan itu, sangat sulit bagi seseorang untuk menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.

2. Memahami jenis ikhtilaf, apakah ikhtilaf tersebut masuk ke dalam kategori ikhtilaf yang boleh sehingga boleh bertoleransi ataukah yang tidak boleh, sehingga tidak bertoleransi di dalamnya?

3. Bersikap adil terhadap orang yang menyelisihi. Sesungguhnya perbedaan pendapat tidak menjadi sebab timbulnya fitnah dan lahirnya perpecahan kecuali jika para pelaku berbuat melampui batas atau menuruti hawa nafsu. Dan Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berlaku adil, dalam firman-Nya, artinya, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. al-Ma’idah: 8)

Ibnu Taimiyah berkata, “Ayat ini turun disebabkan kebencian mereka (kaum muslimin) terhadap orang-orang kafir, dan itu adalah kebencian yang diperintahkan. Jika kebencian yang diperintahkan Allah saja pelakunya tidak boleh berbuat zhalim terhadap orang yang dibencinya, lalu bagaimana dalam kebencian terhadap seorang Muslim yang disebabkan ta’wil, syubhat atau hawa nafsu? Maka tentu ia lebih berhak untuk tidak dizhalimi.”(Minhajussunnah an-Nabawiyyah, 5/127)

4. Tidak menerapkan prinsip atau kaidah wala’ (mencintai) dan bara’ (berlepas diri) ketika menyikapi fenomena ikhtilaf untuk masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Adapun wala’ dan bara’ diterapkan dalam masalah-masalah akidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.

5. Mempertimbangkan maslahat dan mudharat.
Sesungguhnya di antara kaidah syari’at adalah memilih mafsadat (kerusakan) yang paling rendah di antara dua mafsadat dan menolak mafsadat yang paling besar. Dahulu Nabi melihat di Mekkah kemungkaran terbesar, dan berhala terbesar namun beliau tidak merubahnya. Beliau juga membiarkan orang-orang munafik dan tidak membunuh mereka padahal mereka kafir, supaya manusia tidak berkata bahwa Muhammad membunuh shahabat-shahabatnya.

Dan berinteraksi dengan orang yang menyelisihi tidak diperbolehkan membantahnya jika berdampak pada kerusakan dan bahaya yang lebih besar.

6. Mengetahui bahasa (istilah) dan maksud yang diucapkan oleh orang yang menyelisihi dan mengetahui hakekat pendapatnya. Betapa banyak terjadi perselisihan disebabkan kesalahpahaman dalam memahami ucapan orang lain.

7. Tatsabbut (klarifikasi berita).
Tergesa-gesa dalam mengeluarkan hukum adalah perilaku yang menjerumuskan pelakunya ke dalam ketergelinciran dan kesalahan. Oleh sebab itu syari’at memerintahkan untuk tatsabbut (mencari kebenaran berita) dan tabayyun (konfirmasi), sebagaimana firman-Nya, artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. al-Hujurat: 6).

Dan firman-Nya, artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu, ‘Kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya).” (QS. an-Nisa’:94).

8. Menerapkan adab-adab syari’at
Sesungguhnya di dalam adab-adab ini ada keselamatan dari dampak buruk khilaf, dan mencegah semakin besarnya khilaf tersebut. Adab-adab itu sangat banyak, di antaranya, berprasangka baik kepada orang yang menyelisihi, karena Allah telah memerintahkan hal itu.

9. Tunduk kepada kebenaran sekalipun diucapkan oleh “musuh”, sebagaimana kisah Abu Hurairah dengan jin yang memberitahukan keutamaan ayat Kursi, demikian juga yang terjadi pada shahabat Ubay bin Ka’ab. Dan juga perkataan Imam asy-Syafi’i, “Tidaklah aku mendebat satu orang pun, melainkan aku berkata, ‘Ya Allah alirkanlah kebenaran pada hatinya dan mulutnya, sehingga jika kebenaran ada padaku ia akan mengikutiku, dan jika kebenaran ada padanya aku akan mengikutinya.’”

10. Menutupi aib/kesalahan orang yang keliru, dan Nabi menganjurkan untuk menutup aib dalam sabda beliau,


æóãóäú ÓóÊóÑó ãõÓúáöãðÇ ÓóÊóÑóåõ Çááåõ íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö

“Dan barangsiapa yang menutup aib seorang Muslim, Allah akan menutupinya pada hari Kiamat.” (Muttafaq ‘alaihi).

Contoh Ucapan Dan Sikap Para Ulama Dalam Menyikapi perbedaan Pendapat.
Abu Hanifah dan shahabatnya berpendapat tentang wajibnya wudhu disebabkan keluarnya darah. Dan Abu Yusuf (shahabat Abu Hanifah) melihat Harun ar-Rasyid berbekam dan tidak berwudhu lagi karena Imam Malik berfatwa demikian, maka Abu Yusuf shalat di belakangnya (Harun) dan tidak mengulang shalatnya.

Al-Imam asy-Syafi’i berkata, ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.

Imam asy-Syafi’i tidak qunut pada shalat shubuh ketika shalat berjama’ah di masjid Hanafiyah di Baghdad.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Seandainya setiap dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa, 24/173). Wallahu A’lam. (Ustadz Sujono)

[Sumber: Dinukil dari berbagai sumber]

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=700