Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Iddah Wanita Hamil Bag 2

Selasa, 27 Januari 15

Pada edisi pekan sebelumnya telah kita bahas dua pendapat tentang iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Berikut kami bahas pendapat selanjutnya

Pendapat ketiga:Waktu yang paling lama berakhir di antara dua masa iddah

Wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, memiliki dua masa iddah bersamaan berdasarkan nash al-Qur’an, yaitu masa iddah sampai ia melahirkan kandungannya di satu sisi, karena ia dalam kondisi hamil. Dan di sisi lain ia harus beriddah selama empat bulan sepuluh hari, dikarenakan suaminya yang meninggal.

Maka bagaimana seorang wanita tersebut harus beriddah (menunggu)?

Ali bin Abi Thalib , Ibnu Abbas , dan Ibnu Abi Laila berpendapat bahwa wanita dalam kondisi hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, ia beriddah dengan waktu iddah yang paling lama berakhir di antara dua masa iddah, baik melahirkan kandungan atau waktu empat bulan sepuluh hari. Mana waktu yang paling lama berakhir di antara keduanya, maka ia beriddah dengan waktu tersebut.(Lihat al- Masuu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah)


Dalil pendapat kelompok ketiga;

Allah berfirman, yang artinya,

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri, (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. al-Baqarah: 234 )

Di dalam ayat ini ada makna umum di satu sisi, dan makna khusus di sisi lain. Makna umumnya karena ayat itu mencakup wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya, baik ia dalam kondisi hamil atau haail (tidak hamil). Sementara makna khususnya adalah penyebutan batas waktu empat bulan sepuluh hari.
Juga firman Allah, yang artinya, “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. ath-Thalaq: 4)

Di dalam ayat ini pula ada makna umum dan makna khusus, makna umumnya karena ia mencakup wanita
yang ditinggal wafat oleh suaminya dan selainnya (yang ditinggal karena diceraikan). Sedangkan makna khususnya adalah penyebutan masa iddah sampai ia melahirkan kandungan.

Sisi pendalilan dari dua ayat di atas,

Hukum masing-masing kedua ayat di atas sangatlah sharih (jelas), sehingga menggabungkan hukum kedua ayat tersebut dan mengamalkannya adalah lebih utama daripada mentarjih (menguatkan hukum salah satunya), ini berdasarkan kesepakatan para pakar ushul.

Oleh karena itu, beriddah dengan waktu yang paling lama berakhir (di antara dua masa iddah) telah mengamalkan hukum kedua ayat di atas. Berbeda kalau hanya beriddah dengan melahirkan kandungannya, maka ia telah meninggalkan pengamalan ayat lain tentang iddah karena ditinggal wafat. Sehingga mengamalkan dua dalil di atas secara bersamaan lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.(Lihat al-Masuu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah)

Contoh,

a.Fulanah sedang hamil besar, dan umur kandungannya telah mencapai delapan bulan. Dan dengan izin Allah , beberapa saat kemudian suaminya meninggal dunia.

Melihat kasus di atas, masa iddah wanita tersebut ada dua macam;

- Karena ia hamil, maka masa iddahnya sampai ia melahirkan. Dan masa iddahnya tersebut akan berakhir kurang lebih satu bulan setelahnya. Karena umur kandungannya telah mencapai delapan bulan, dan rata-rata umur kandungan adalah sembilan bulan.

- Karena suaminya meninggal dunia, maka masa iddah baginya empat bulan sepuluh hari. Dan masa iddahnya itu akan berakhir dengan habisnya masa tersebut.
Dengan kata lain, ia telah melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari. Sehingga wanita tersebut harus beriddah (menunggu) selama empat bulan sepuluh hari lagi, karena masa iddah dengannya lebih lama berakhir daripada masa iddahnya dengan melahirkan kandungan yang hanya sebulan saja.

b. Fulanah sedang hamil dan umur kandungannya baru menginjak satu bulan. Dan dengan izin Allah di bulan yang sama suaminya meninggal dunia.

Melihat kasus di atas, wanita itu juga memiliki dua masa iddah ;

- Sampai ia melahirkan, karena ia dalam kondisi hamil. Dan akan berakhir masa iddahnya setelah berlalu delapan bulan lagi, karena umur kandungannya saat ini baru menginjak satu bulan.

- Karena suaminya meninggal dunia, maka ia harus beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Dan beriddah dengannya akan berakhir dengan habisnya waktu tersebut.

Dengan kata lain, masa iddah empat bulan sepuluh hari telah berakhir sebelum ia melahirkan kandungannya. Sehingga, wanita tersebut harus beriddah (menunggu) selama delapan bulan lagi sampai ia melahirkan kandungannya, karena masa iddah dengannya lebih lama berakhir daripada masa iddah karena ditinggal wafat suaminya yang hanya empat bulan sepuluh hari.

Dari dua kasus di atas, terkadang seorang wanita beriddah sampai ia melahirkan kandungannya, dan terkadang beriddah dengan iddah wafat, yaitu empat bulan sepuluh hari. Sehingga, waktu yang mana paling lama berakhir masa iddahnya di antara dua masa iddah itu, maka ia beriddah dengannya. Dengan demikian ia telah mengamalkan makna kedua ayat di atas.

Pendapat yang rajih (kuat)

Setelah melihat beberapa dalil dari masing-masing pendapat di atas, maka pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua, yaitu pendapat jumhur ulama.

a.Kuatnya dalil-dalil yang disertakan oleh Jumhur

b.Karena tujuan adanya iddah bagi para wanita yang berhaidh adalah untuk mengetahui baraatu ar-rahm (kosongnya rahim dari janin).

Dan melahirkan kandungan adalah dalil (petunjuk) yang lebih kuat akan kosongnya rahim dari janin daripada berakhirnya iddah karena waktu. Sehingga berakhirnya iddah dengan (melahirkan) lebih utama daripada berakhirnya iddah karena telah melewati batas waktu.

Bantahan terhadap pendapat pertama:

a.Pendapat pertama hanya menguatkan dalil yang mengatakan ia harus beriddah dengan iddah wafat, yaitu empat bulan sepuluh hari, meski wanita itu sedang hamil.

b.Mereka telah mangabaikan dalil (ayat lain) yang mengatakan bahwa wanita hamil masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan kandungannya. Padahal masing-masing dari kedua dalil tersebut sama-sama kuat hukumnya.

c.Mereka telah mengabaikan kaidah ushul saat adanya dua dalil yang sama-sama kuat hukumnya. Yaitu al-jam’u (mengkompromikan dan menggabungkan dua dalil), jika tidak mungkin melakukan al-jam’u baru beralih ke tarjih (menguatkan salah satu dari keduanya). Sementara mereka langsung merujuk ke metode tarjih, padahal kedua dalil tersebut masih bisa digabungkan dan dikompromikan.

d.Mereka tidak melihat kepada tujuan adanya iddah bagi para wanita yang berhaidh, di mana tujuannya adalah untuk mengetahui baraaturrahm (kosongnya rahim dari janin).

Dan melahirkan kandungan adalah dalil (petunjuk) yang lebih kuat akan kosongnya rahim dari janin daripada lewatnya waktu iddah wafat, yaitu empat bulan sepuluh hari.

Sehingga berakhirnya iddah dengan (melahirkan) lebih utama daripada berakhirnya iddah karena telah melewati batas waktu tersebut.

Pula, tujuan adanya iddah adalah agar tidak terjadinya percampuran air mani yang mengakibatkan sulitnya penetapan nasab terhadap anak yang lahir. Dan dengan melahirkan kandungan, menunjukkan rahim tersebut telah kosong dari janin, sehingga percampuran nasab tidak mungkin terjadi karenanya.

Bantahan terhadap pendapat ketiga;

a.Metode al-Jam’u (pengkompromian antara dua dalil) yang mereka lakukan kuranglah tepat. Karena makna umum dan khusus dari dua dalil di atas tidaklah mereka tinjau sama sekali. Mereka hanya berusaha mengkompromikan secara zahirnya saja.

Padahal kalau kita lihat, dalil yang mengatakan harus beriddah sampai ia melahirkan kandungan adalah bersifat khusus. Sementara dalil yang mengatakan ia harus beriddah dengan empat bulan sepuluh hari adalah bersifat umum.

Dan untuk menggabungkan dua dalil tersebut yaitu dengan membawa makna umum ke dalam makna khusus, yang berarti bahwa makna khusus itulah yang berlaku.Inilah kaidah ushul yang telah disepakati oleh para pakar ushul.

b.Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dirinya menarik kembali pendapatnya tersebut setelah mendengar hadits Subai’ah. Dan hadits Subai’ah datang belakangan setelah turunnya ayat iddah wafat, karena kisah Subai’ah terjadi setelah haji wada’.(Tafsir al-Qurthubi)
Sehingga hadits tersebut menjadi pengkhusus bagi keumuman makna ayat tentang iddah wafat.

c. Ibnu Abdilbar berkata, “Kalau bukan karena hadits Subai’ah, tentu pendapat yang benar adalah pendapat Ali dan Ibnu Abbas, karena ia adalah iddah yang menggabungkan dua sifat, yaitu keduanya tergabung pada wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, sementara ia tidak dapat keluar dari iddahnya kecuali dengan yakin, dan masa iddah yang paling yakin adalah waktu yang paling lama berakhir.”(Shahih Fiqhi as-Sunnah)

Wallahu a’lam bishawab

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=770