Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Ketinggian Nilai Persaudaraan Karena Allah

Senin, 03 Desember 18

Persaudaraan karena Allah merupakan suatu ikatan aqidah yang bisa menyatukan hati semua ummat Islam walaupun tanah tumpah darah mereka berjauhan, bahasa dan bangsa mereka berbeda. Sehingga setiap individu dari ummat Islam senantiasa terkait antara satu sama lainnya. Sejauh manakah ketinggian nilai persaudaraan model ini? Inilah bahasan edisi kali ini. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Pembaca yang budiman,

Jika kita kaji pertalian dan hubungan yang mengikat ummat manusia, maka kita dapatkan bahwa persaudaraan karena Allah merupakan ikatan yang paling kokoh lagi paling teguh, karena ikatan itu merupakan ikatan ilahi yang tidak ada tandingannya.


æóÃóáøóÝó Èóíúäó ÞõáõæÈöåöãú áóæú ÃóäúÝóÞúÊó ãóÇ Ýöí ÇáúÃóÑúÖö ÌóãöíÚðÇ ãóÇ ÃóáøóÝúÊó Èóíúäó ÞõáõæÈöåöãú æóáóßöäøó Çááøóåó ÃóáøóÝó Èóíúäóåõãú Åöäøóåõ ÚóÒöíÒñ Íóßöíãñ



Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. al-Anfal : 63.)

Sementara ikatan-ikatan lainnya amat lemah dan rapuh walaupun intensitasnya amat tinggi, karena landasan orientasinya hanya karena unsur duniawi belaka. Sehingga hubungan antar individunya hanya terbatas pada keuntungan duniawi yang cepat lenyap begitu saja. Dengan demikian ikatan-ikatan yang adapun akan punah juga, pertikaian di antara mereka pun tak dapat dihindari lagi, bahkan ikatan karena latar belakang duniawi itu bisa menimbulkan permusuhan sengit di antara mereka.

Al-Qur’an telah membeberkan kepada kita sebagian dari kasus-kasus hubungan itu beserta dampak negatif yang timbul darinya, berupa kerugian dan kenistaan, sebagai akibat dari kebencian dan kedengkian di antara individu yang terlibat di dalamnya.

Cerita tentang dua putra Nabi Adam, Qabil dan Habil yang berakhir dengan penyerangan dan pembunuhan terhadap salah seorang di antara mereka. Ini merupakan contoh ikatan keturunan yang terlepas dari ikatan aqidah dan iman. Jadi, faktor terjadinya tragedi yang mengerikan itu tidak lain karena kekosongan hati pelakunya dari nilai-nilai persaudaraan yang bernafas iman, diliputi rasa iri dan dengki terhadap saudaranya. Allah mengisahkan hal itu kepada kita dalam firmanNya di surat al-Maidah : 27-30. Dia berfirman, yang artinya,

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata: “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil : “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”.

“Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.”

“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni Neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.”

Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.


Pembaca yang budiman,

Kasus lain yang diceritakan al-Qur’an dalam kontek itu, bahkan lebih menjelaskan kepada kita tingkat kerapuhan ikatan-ikatan duniawi, yang pada gilirannya nanti akan berubah menjadi hubungan kebejadan dan permusuhan adalah kasus Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya, sebagaimana yang telah diceritakan Allah, Dia berfirman, artinya,

Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya. (yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.

Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.”
(Qs. Yusuf : 7-9).

Pembaca yang budiman,

Karena Yusuf dan (Bunyamin) lebih dicintai ayah mereka, maka saudara-saudaranya yang lain berupaya dan berfikir untuk mencari jalan terselubung untuk menjauhkan Yusuf dari ayah mereka. Bahkan kalau keadaannya memaksa, bisa jadi mereka harus membunuhnya, dengan tujuan agar kecintaan ayah mereka hanya tertumpu untuk diri mereka sendiri, tanpa terbagi kepada siapapun, termasuk saudara mereka sendiri (Yusuf dan Bunyamin) yang mempunyai hak sama dengan mereka dalam menerima kasih sayang dari sang ayah.

Akhirnya tiap individu menguras pikirannya mencari jalan untuk menyibak tabir penghalang antara mereka dengan sang ayah, dan sampailah mereka kepada suatu keputusan yang lebih keji dari sekedar pembunuhan, yaitu melalui penyiksaan terlebih dahulu. Dalam al-Qur’an diceritakan, Allah berfirman, artinya,

Seorang di antara mereka berkata: “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat. (Qs. Yusuf : 10).

Karena kebencian saudara-saudara Yusuf atas diri Yusuf, telah mendorong mereka untuk melakukan suatu kejahatan, menjauhkan Yusuf dari ayahnya, kemudian melemparkannya ke dalam sumur, dengan tujuan agar ia menjadi barang temuan yang dapat diperjual belikan di pasaran budak.

Pembaca yang budiman,

Apabila kita perhatikan hubungan antara kedua belah pihak yang bermusuhan itu, maka kita dapatkan hubungan itu merupakan yang terkuat dan paling erat di antara hubungan duniawi lainnya. Karena ia adalah hubungan darah dan saudara. Di sisi lain, jika kita perhatikan, ternyata penyebabnya adalah sangat sepele sekali. Namun demikian dalam hal ini Yusuf tidak berperan sama sekali. Akan tetapi saudaranyalah yang nekad untuk melaksanakan rencana busuk mereka dengan resiko dosa, baik dosa karena perbuatan mereka itu ataupun dosa karena berbohong kepada orang tua mereka, yang justru ini lebih besar lagi, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, Allah berfirman, artinya,

Mereka berkata: “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.”

Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya diri kalian sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.”
(Qs. Yusuf : 17-18).

Pembaca yang budiman,

Dari contoh-contoh kasus yang diungkapkan al-Qur’an, jelas bagi kita betapa rapuhnya ikatan yang didasarkan keturunan atau darah. Tak jauh berbeda dengan ikatan-ikatan duniawi lainnya. Kalau semua itu tidak didasarkan kepada agama, maka ia tidak berharga sama sekali.

Sesungguhnya hubungan dan ikatan yang paling kokoh adalah hubungan dan ikatan persaudaraan yang dilandasi keimanan yang tulus dan benar. Inilah satu-satunya ikatan yang dapat mempersatukan hati manusia tanpa adanya unsur keterpaksaan dan kepalsuan. Karena hubungan itu mendorong manusia untuk tunduk kepada ketentuan Allah semata, terlepas dari apa pun yang bertentangan dengannya, walaupun terkadang hal itu amat bermanfaat bagi dirinya ataupun berhubungan dekat dengannya, Allah berfirman, artinya,

Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Qs. at-Taubah : 24).

Dari ayat di atas jelaslah bagi kita, bahwa dasar tegaknya hubungan atau ikatan yang kokoh bagi pencinta kebenaran adalah keimanan yang tulus dan ketundukan yang sempurna terhadap ketentuan Allah. Oleh karena itu tidak dibenarkan adanya suatu loyalitas terhadap hubungan atau kepentingan yang mengalahkan kepentingan aqidah yang benar. Kalau tidak, maka hubungan-hubugan itu akan kehilangan nilai-nilainya yang tinggi. Padahal seseorang yang beriman dituntut agar terlepas dari itu semua, karena bertentangan dengan keimanan mereka, sesuai dengan firman Allah,


íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÂãóäõæÇ áóÇ ÊóÊøóÎöÐõæÇ ÂÈóÇÁóßõãú æóÅöÎúæóÇäóßõãú ÃóæúáöíóÇÁó Åöäö ÇÓúÊóÍóÈøõæÇ ÇáúßõÝúÑó Úóáóì ÇáúÅöíãóÇäö æóãóäú íóÊóæóáøóåõãú ãöäúßõãú ÝóÃõæáóÆößó åõãõ ÇáÙøóÇáöãõæäó



Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Qs. at Taubah : 23).

Wallahu a’lam (Redaksi)

Sumber :

Disarikan dari, “Mabda’ul-Ukhuwwah Fii al-Islam”, Musthafa al-Qudhat, Darul Anwar, cet.1, 1989
Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=791