Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Adab-adab Membaca al-Qur’an

Jumat, 13 Nopember 20

Adab-adab Membaca al-Qur’an:

(1) Bertujuan ikhlas ketika mempelajari maupun ketika membaca al-Qur’an; berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau berkata, Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


Åöäøó Ãóæøóáó ÇáäøóÇÓö íõÞúÖóì íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö Úóáóíúåö ÑóÌõáñ ÇÓúÊõÔúåöÏó¡ ÝóÃõÊöíó Èöåö ÝóÚóÑøóÝóåõ äöÚóãóåõ¡ ÝóÚóÑóÝóåóÇ. ÞóÇáó: ÝóãóÇ ÚóãöáúÊó ÝöíúåóÇ¿ ÞóÇáó: ÞóÇÊóáúÊõ Ýöíúßó ÍóÊøóì ÇÓúÊõÔúåöÏúÊõ. ÞóÇáó: ßóÐóÈúÊó æóáóßöäøóßó ÞóÇÊóáúÊó áöÃóäú íõÞóÇáó ÌóÑöíúÁñ¡ ÝóÞóÏú Þöíúáó¡ Ëõãøó ÃõãöÑó Èöåö ÝóÓõÍöÈó Úóáóì æóÌúåöåö ÍóÊøóì ÃõáúÞöíó Ýöí ÇáäøóÇÑö. æóÑóÌõáñ ÊóÚóáøóãó ÇáúÚöáúãó æóÚóáøóãóåõ æóÞóÑóÃó ÇáúÞõÑúÂäó¡ ÝóÃõÊöíó Èöåö ÝóÚóÑøóÝóåõ äöÚóãóåõ ÝóÚóÑóÝóåóÇ. ÞóÇáó: ÝóãóÇ ÚóãöáúÊó ÝöíúåóÇ¿ ÞóÇáó: ÊóÚóáøóãúÊõ ÇáúÚöáúãó æóÚóáøóãúÊõåõ æóÞóÑóÃúÊõ Ýöíúßó ÇáúÞõÑúÂäó. ÞóÇáó: ßóÐóÈúÊó æóáóßöäøóßó ÊóÚóáøóãúÊó ÇáúÚöáúãó áöíõÞóÇáó ÚóÇáöãñ æóÞóÑóÃúÊó ÇáúÞõÑúÂäó áöíõÞóÇáó åõæó ÞóÇÑöÆñ¡ ÝóÞóÏú Þöíúáó¡ Ëõãøó ÃõãöÑó Èöåö ÝóÓõÍöÈó Úóáóì æóÌúåöåö ÍóÊøóì ÃõáúÞöíó Ýöí ÇáäøóÇÑö


“Sesungguhnya orang-orang pertama yang diputuskan perkaranya pada Hari Kiamat adalah: (pertama), seorang laki-laki yang mati syahid. Lalu dia dihadapkan, kemudian Allah menunjukkan kepadanya nikmat-nikmatNya, maka dia pun mengenalinya. Allah berfirman, ‘Maka apa yang telah engkau lakukan pada nikmat-nikmat itu?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Aku telah berperang karenaMu hingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau berperang agar dikatakan seorang pemberani. Maka sungguh itu telah dikatakan.’ Kemudian diperintahkanlah (malaikat untuk mengazabnya), maka dia diseret di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. (Kedua), seorang laki-laki yang belajar ilmu dan mengajarkannya, serta (gemar) membaca al-Qur’an. Lalu dia dihadapkan, kemudian Allah menunjukkan kepadanya nikmat-nikmatNya, maka dia pun mengenalinya. Allah berfirman, ‘Maka apa yang telah engkau lakukan pada nikmat-nikmat itu?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Aku telah belajar ilmu dan mengajarkannya, dan aku (gemar) membaca al-Qur’an karenaMu.’ Allah berfirman, ‘Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau belajar ilmu agar dikatakan sebagai seorang yang alim (berilmu) dan engkau membaca al-Qur’an agar dikatakan dia seorang yang ahli baca al-Qur’an. Maka sungguh itu telah dikatakan.’ Kemudian diperintahkanlah (malaikat untuk mengazabnya), maka dia diseret di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka….”[1]

(2) Mengamalkan al-Qur’an. Terdapat riwayat dalam hadits tentang mimpi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang panjang (dengan kawalan dua orang malaikat), yang di dalamnya disebutkan sabda beliau,


… ÞóÇáóÇ: ÇöäúØóáöÞú¡ ÝóÇäúØóáóÞúäóÇ ÍóÊøóì ÃóÊóíúäóÇ Úóáóì ÑóÌõáò ãõÖúØóÌöÚò Úóáóì ÞóÝóÇåõ¡ æóÑóÌõáñ ÞóÇÆöãñ Úóáóì ÑóÃúÓöåö ÈöÝöåúÑò Ãóæú ÕóÎúÑóÉò¡ ÝóíóÔúÏóÎõ Èöåö ÑóÃúÓóåõ¡ ÝóÅöÐóÇ ÖóÑóÈóåõ ÊóÏóåúÏóåó ÇáúÍóÌóÑõ¡ ÝóÇäúØóáóÞó Åöáóíúåö áöíóÃúÎõÐóåõ¡ ÝóáóÇ íóÑúÌöÚõ Åöáóì åóÐóÇ ÍóÊøóì íóáúÊóÆöãó ÑóÃúÓõåõ¡ æóÚóÇÏó ÑóÃúÓõåõ ßóãóÇ åõæó¡ ÝóÚóÇÏó Åöáóíúåö ÝóÖóÑóÈóåõ¡ ÞõáúÊõ: ãóäú åóÐóÇ¿ ÞóÇáóÇ: ÇöäúØóáöÞú…(Ëõãøó ÝõÓøöÑó áóåõ Ðóáößó) ÝóÞóÇáó: æóÇáøóÐöíú ÑóÃóíúÊóåõ íõÔúÏóÎõ ÑóÃúÓõåõ ÝóÑóÌõáñ Úóáøóãóåõ Çááøٰåõ ÇáúÞõÑúÂäó¡ ÝóäóÇãó Úóäúåõ ÈöÇááøóíúáö¡ æóáóãú íóÚúãóáú Ýöíúåö ÈöÇáäøóåóÇÑö¡ íõÝúÚóáõ Èöåö Åöáóì íóæúãö ÇáúÞöíóÇãóÉö


“… keduanya berkata, ‘Bertolaklah pergi.’ Lalu kami pun pergi berlalu hingga kami mendatangi seorang laki-laki yang berbaring di atas tengkuknya, dan seorang laki-laki lainnya berdiri di samping kepalanya dengan (memegang) palu godam atau sebongkah batu, lalu dia memecahkan kepalanya dengannya. Apabila telah menghantamnya, maka batu itu pun menggelinding, lalu lelaki (yang berdiri) itu bergerak kepada batu itu untuk mengambilnya, dan belumlah dia kembali kepada laki-laki (yang terbaring) ini hingga kepalanya telah pulih kembali dan kepalanya telah kembali seperti semula, maka dia pun kembali kepadanya lalu menghantamnya lagi. Maka aku bertanya, ‘Siapa orang ini?’ Kedua malaikat itu berkata, ‘Bertolaklah pergi’…

(Kemudian ditafsirkanlah hal itu untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), di mana beliau menceritakan, “(Malaikat itu berkata), ‘Adapun orang yang engkau lihat dipecahkan kepalanya maka dia itu adalah seorang laki-laki yang Allah mengajarkan al-Qur’an kepadanya, tetapi dia tidur di malam hari (tidak menggunakannya untuk shalat malam) dan tidak mengamalkannya di siang hari. Siksa seperti itu akan diterapkan padanya hingga Hari Kiamat’.” [2]

(3) Anjuran terus mengingat-ingat al-Qur’an dan memeliharanya (yaitu menjadikan mengulang-ulang hafalan sebagai kebiasaan); berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,


ÊóÚóÇåóÏõæÇ ÇáúÞõÑúÂäó¡ ÝóæóÇáøóÐöíú äóÝúÓöíú ÈöíóÏöåö¡ áóåõæó ÃóÔóÏøõ ÊóÝóÕøöíðÇ ãöäó ÇáúÅöÈöáö Ýöíú ÚõÞõáöåóÇ


“Peliharalah al-Qur’an (dengan mengulang-ulang hafalannya), demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sungguh (hafalan) al-Qur’an itu lebih (gampang) lepas daripada unta di ikatan tambatnya.” [3]

(4) Jangan biasakan mengatakan, “Aku lupa”, tetapi katakanlah, “Aku dibuat lupa ayat itu”, atau “Hafalan ayat-ayatku dibuat gugur”, atau “Aku dibuat lupa”. Ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


ÈöÆúÓó ãóÇ áöÃóÍóÏöåöãú íóÞõæúáõ: äóÓöíúÊõ ÂíóÉó ßóíúÊó æóßóíúÊó¡ Èóáú åõæó äõÓøöíó


“Alangkah buruk perbuatan salah seorang di antara mereka, dia mengatakan, ‘Aku lupa ayat ini dan itu’, akan tetapi (yang benar) adalah dia dibuat lupa.” [4]

(5) Wajib merenungi (makna-makna) ayat al-Qur’an; berdasarkan Firman Allah Ta’ala,


ÃóÝóáóÇ íóÊóÏóÈøóÑõæäó ÇáúÞõÑúÂäó æóáóæú ßóÇäó ãöäú ÚöäúÏö ÛóíúÑö Çááøóåö áóæóÌóÏõæÇ Ýöíåö ÇÎúÊöáóÇÝðÇ ßóËöíÑðÇ


“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau sekiranya al-Qur’an itu berasal dari selain Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa’: 82).

(6) Boleh membaca al-Qur’an dengan berdiri, berjalan, berbaring, atau berkendara; berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya beliau berkata,


Åöäøó ÇáäøóÈöíøó – Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó – ßóÇäó íóÊøóßöÆõ Ýöíú ÍóÌúÑöíú æóÃóäóÇ ÍóÇÆöÖñ¡ Ëõãøó íóÞúÑóÃõ ÇáúÞõÑúÂäó


“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbaring di pangkuanku ketika aku sedang haidh, kemudian beliau membaca al-Qur’an.” [5]

(7) Boleh membawa mushaf al-Qur’an di saku. [6]

(8) Disunnahkan membersihkan mulut dengan bersiwak sebelum (memulai) membaca al-Qur’an; berdasarkan apa yang diriwayatkan sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,


ßóÇäó ÇáäøóÈöíøõ – Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó – ÅöÐóÇ ÞóÇãó ãöäó Çááøóíúáö íóÔõæúÕõ ÝóÇåõ ÈöÇáÓøöæóÇßö


“Dahulu apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di malam hari, maka beliau menggosok mulut beliau dengan siwak.” [7]

(9) Di antara sunnah ketika membaca al-Qur’an adalah membaca isti’adzah (ta’awwudz) dan basmalah, kecuali Surat at-Taubah, maka cukup beristi’adzah kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. [8]

(10) Ucapan “ÕóÏóÞó Çááøٰåõ ÇáúÚóÙöíúãõ” setelah selesai dari membaca al-Qur’an dan membacanya secara terus menerus adalah tidak ma’tsur (baca: tidak sunnah). [9]

(11) Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan bagi orang yang membaca al-Qur’an, apabila dia mulai dari tengah surat, hendaklah dia memulai dari awal kalam, di mana antara satu dengan lainnya saling berkaitan.” [10]

(12) Sunnah membaca al-Qur’an secara tartil (perlahan-lahan), dan makruh membacanya terlalu cepat; berdasarkan Firman Allah Ta’ala,


Ãóæú ÒöÏú Úóáóíúåö æóÑóÊøöáö ÇáúÞõÑúÂäó ÊóÑúÊöíáðÇ


“Dan bacalah al-Qur’an itu dengan tartil (perlahan-lahan).” (Al-Muzzammil: 4).

(13) Disunnahkan memanjangkan bacaan-bacaan mad. Anas radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya,


ßóíúÝó ßóÇäóÊú ÞöÑóÇÁóÉõ ÇáäøóÈöíøö – Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó -¿ ÝóÞóÇáó: ßóÇäóÊú ãóÏøðÇ¡ Ëõãøó ÞóÑóÃó: ÈöÓúãö Çááøٰåö ÇáÑøóÍúãٰäö ÇáÑøóÍöíúãö¡ íóãõÏøõ ÈöÈöÓúãö Çááøٰåö æóíóãõÏøõ ÈöÇáÑøóÍúãٰäö æóíóãõÏøõ ÈöÇáÑøóÍöíúãö


“Bagaimana cara baca Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?” Maka dia menjawab, ‘Beliau membaca dengan memanjangkan, kemudian beliau membaca, ‘Bismillahirrahmanirrahim’. Beliau memanjangkan ‘Bismillaah’, memanjangkan ‘ar-Rahmaan’, dan memanjangkan ‘ar-Rahiim’.” [11]

(14) Disunnahkan membaguskan suara dalam membaca al-Qur’an, dan dilarang membaca dengan dialek yang mendayu-dayu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


ÒóíøöäõæúÇ ÃóÕúæóÇÊóßõãú ÈöÇáúÞõÑúÂäö


“Hiasilah (perindahlah) suara kalian dalam membaca al-Qur’an.” [12]

(15) Menangis saat membaca dan menyimak bacaan al-Qur’an, dan terdapat Sunnah yang tsabit mengenai ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin asy-Syikhkhir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau berkata,


ÃóÊóíúÊõ ÇáäøóÈöíøó – Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó – æóåõæó íõÕóáøöí æóáöÌóæúÝöåö ÃóÒöíúÒñ ßóÃóÒöíúÒö ÇáúãöÑúÌóáö – íóÚúäöí: íóÈúßöí


“Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sedang shalat, dan di dada beliau (terdengar) gejolak seperti (suara) gejolak air (yang mendidih) di panci –yakni: karena menangis–.” [13]

(16) Disunnahkan men-jahr-kan (mengeraskan) suara dalam membaca al-Qur’an apabila tidak menimbulkan kerusakan (hal-hal negatif). Ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,


ÇöÚúÊóßóÝó ÑóÓõæúáõ Çááøٰåö – Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó – Ýöí ÇáúãóÓúÌöÏö ÝóÓóãöÚóåõãú íóÌúåóÑõæúäó ÈöÇáúÞöÑóÇÁóÉö¡ ÝóßóÔóÝó ÇáÓøöÊúÑó æóÞóÇáó: ÃóáóÇ [Åöäøó] ßõáøóßõãú ãõäóÇÌò ÑóÈøóåõ¡ ÝóáóÇ íõÄúÐöíóäøó ÈóÚúÖõßõãú ÈóÚúÖðÇ¡ æóáóÇ íóÑúÝóÚú ÈóÚúÖõßõãú Úóáóì ÈóÚúÖò Ýöí ÇáúÞöÑóÇÁóÉö -Ãóæú ÞóÇáó: Ýöí ÇáÕøóáóÇÉö –


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar mereka (sejumlah sahabat) men-jahr-kan (mengeraskan) bacaan, maka beliau menyingkap tirai (rumah beliau), dan beliau bersabda, ‘Ketahuilah [sesungguhnya] setiap kalian bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah sebagian kalian menyakiti sebagian yang lain, dan janganlah sebagian kalian mengeraskan suaranya atas sebagian yang lain dalam membaca al-Qur’an –atau: dalam shalat–‘.” [14]

(17) Tidak ada doa tertentu untuk mengkhatamkan al-Qur’an, dan mengadakan perayaan dalam rangka menghafal al-Qur’an itu bukanlah suatu yang sunnah. Adapun apa yang dilakukan oleh banyak orang dengan asumsi bahwa itu adat kebiasaan (bukan menyatakannya sebagai syariat, ed.) sebagai ungkapan rasa gembira dengan adanya nikmat berhasil menghafal al-Qur’an, maka tidaklah apa-apa. [15]

(18) Berhenti membaca al-Qur’an apabila telah didera oleh kantuk berat; berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,


ÅöÐóÇ ÞóÇãó ÃóÍóÏõßõãú ãöäó Çááøóíúáö ÝóÇÓúÊóÚúÌóãó ÇáúÞõÑúÂäõ Úóáóì áöÓóÇäöåö Ýóáóãú íóÏúÑö ãóÇ íóÞõæúáõ ÝóáúíóÖúØóÌöÚú


“Apabila salah seorang dari kalian shalat di malam hari, lalu bacaan al-Qur’an(nya) menjadi tidak jelas di lidahnya, lalu dia tidak mengetahui (lagi) apa yang dibacanya, maka hendaklah dia berbaring (istirahat).” [16]

(19) Memilih tempat yang tenang dan waktu yang sesuai; karena itu lebih mengundang bersatunya keinginan kuatnya dan kejernihan hatinya.

(20) Menyimak dengan baik dan diam khusyu’ ketika mendengar bacaan al-Qur’an, berdasarkan Firman Allah Ta’ala,


æóÅöÐóÇ ÞõÑöÆó ÇáúÞõÑúÂäõ ÝóÇÓúÊóãöÚõæÇ áóåõ æóÃóäúÕöÊõæÇ áóÚóáøóßõãú ÊõÑúÍóãõæäó


“Dan apabila al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah (baik-baik) kepadanya, dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (Al-A’raf: 204).

(21) Berinteraksi bersama ayat-ayat al-Qur’an, dengan memohon surga kepada Allah ketika membaca ayat tentangnya, dan memohon perlindungan dari neraka ketika membaca ayat yang menyebutkannya. Allah Ta’ala berfirman,


ßöÊóÇÈñ ÃóäúÒóáúäóÇåõ Åöáóíúßó ãõÈóÇÑóßñ áöíóÏøóÈøóÑõæÇ ÂíóÇÊöåö æóáöíóÊóÐóßøóÑó Ãõæáõæ ÇáúÃóáúÈóÇÈö


“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran.” (Shad: 29).

(22) Perempuan yang sedang haid dan nifas boleh membaca al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf al-Qur’an, atau menyentuhnya dengan tabir pelapis berdasarkan pendapat yang lebih shahih dari dua pendapat ulama; karena tidak ada riwayat yang tsabit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mencegah hal tersebut. [17]

(23) Termasuk Sunnah adalah membaca tasbih (subhanallah) ketika melewati ayat yang mengandung tasbih (penyucian Nama Allah), dan memohon perlindungan (ta’awwudz) dari azab ketika melewati ayat tentang azab, serta memohon karunia kepada Allah ketika melewati ayat rahmat. Dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,


ÅöÐóÇ ãóÑøó ÈöÂíóÉò ÝöíúåóÇ ÊóÓúÈöíúÍñ ÓóÈøóÍó æóÅöÐóÇ ãóÑøó ÈöÓõÄóÇáò ÓóÃóáó æóÅöÐóÇ ãóÑøó ÈöÊóÚóæøõÐò ÊóÚóæøóÐó


“Apabila beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) melewati ayat yang di dalamnya ada tasbih, maka beliau bertasbih, dan apabila melewati ayat permohonan maka beliau memohon, dan apabila beliau melewati ayat permohonan perlindungan (ta’awwudz), maka beliau memohon perlindungan (kepada Allah).” [18]

(24) Hendaklah orang yang membaca al-Qur’an dalam keadaan memiliki wudhu (suci dari hadats kecil), bersih pakaian, badan, dan tempatnya. Dan terjadi perbedaan pendapat (di antara para ulama) tentang anak kecil, apakah harus berwudhu atau tidak untuk (boleh) memegang mushaf al-Qur’an. Dan pendapat yang lebih berhati-hati bahwa dia harus berwudhu. [19]

(25) Disunnahkan menyambung bacaan al-Qur’an dan tidak memotong-motongnya (secara acak). Seorang tabi’in yang agung, Nafi’ meriwayatkan, “Bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, apabila membaca al-Qur’an, maka beliau tidak akan berbicara hingga beliau selesai darinya….” [20]

(26) Termasuk Sunnah adalah bersujud ketika melewati bacaan ayat sajdah. [21]

(27) Dimakruhkan mencium mushaf al-Qur’an dan menempelkannya di antara kedua mata (kening), yang umumnya biasa dilakukan setelah usai membaca al-Qur’an, atau ketika mendapatkan mushaf al-Qur’an pada tempat yang sudah usang (kurang terhormat). [22]

(28) Dimakruhkan pula menggantungkan ayat-ayat al-Qur’an di dinding dan semacamnya[23], dan tidaklah sepatutnya menjadikan al-Qur’an sebagai pengganti perkataan[24], paling minimal keadaannya adalah makruh. [25]

Keterangan:

[1] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1905.
[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1386.
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 5033.
[4] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 5039; dan Muslim, no. 790.
[5] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 297; dan Muslim, no. 301.
[6] Ini berdasarkan fatwa al-Lajnah ad-Da’imah, no. 2245, 4/40.
[7] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1136; dan Muslim, no. 255.
[8] Isti’adzah itu memiliki beberapa susunan redaksi yang shahih, yaitu:

Pertama:


ÃóÚõæúÐõ ÈöÇááøٰåö ãöäó ÇáÔøóíúØóÇäö ÇáÑøóÌöíúãö


“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

Kedua:


ÃóÚõæúÐõ ÈöÇááøٰåö ÇáÓøóãöíúÚö ÇáúÚóáöíúãö ãöäó ÇáÔøóíúØóÇäö ÇáÑøóÌöíúãö ãöäú åóãúÒöåö æóäóÝúÎöåö æóäóÝúËöåö


“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk; dari bisikan, keangkuhan, dan sihirnya.”

Ketiga:


ÃóÚõæúÐõ ÈöÇáÓøóãöíúÚö ÇáúÚóáöíúãö ãöäó ÇáÔøóíúØóÇäö ÇáÑøóÌöíúãö


“Aku berlindung kepada Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk.”

Susunan redaksi ini disebutkan oleh Abu Dawud, no. 785.

Dan disunnahkan bagi orang yang membaca al-Qur’an agar sesekali mengamalkan yang ini dan sesekali yang itu. [Asy-Syarh al-Mumti’ Ala Zad al-Mustaqni’, 3/71].

Sedangkan basmalah, maka sungguh Anas telah meriwayatkan bahwasanya dia berkata,


ÈóíúäóÇ ÑóÓõæúáõ Çááøٰåö – Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó – ÐóÇÊó íóæúãò Èóíúäó ÃóÙúåõÑöäóÇ¡ ÅöÐú ÃóÛúÝóì ÅöÛúÝóÇÁóÉð¡ Ëõãøó ÑóÝóÚó ÑóÃúÓóåõ ãõÊóÈóÓøöãðÇ¡ ÝóÞõáúäóÇ: ãóÇ ÃóÖúÍóßóßó íóÇ ÑóÓõæúáó Çááøٰåö¿ ÞóÇáó: ÃõäúÒöáóÊú Úóáóíøó ÂäöÝðÇ ÓõæúÑóÉñ¡ ÝóÞóÑóÃó: ÈöÓúãö Çááøٰåö ÇáÑøóÍúãٰäö ÇáÑøóÍöíúãö . ÅöäøóÇ ÃóÚúØóíúäóÇßó ÇáúßóæúËóÑó


“Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari berada di tengah-tengah kami, tiba-tiba beliau mengantuk sebentar, kemudian beliau mengangkat kepala beliau sambil tersenyum, maka kami bertanya, ‘Apa yang membuat Anda tertawa wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Tadi satu surat diturunkan kepadaku,’ lalu beliau membaca, ‘Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-Kautsar…’.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 400).

[9] Al-Lajnah ad-Da’imah telah mengeluarkan fatwa no. 4310, yang menjelaskan bahwa ucapan seseorang, “Shadaqallahul Azhim” adalah kalimat yang benar pada segi maknanya, akan tetapi mengucapkannya secara terus-menerus setiap kali usai membaca al-Qur`an adalah bid’ah; karena ia tidak didapatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dari para Khulafa’ Rasyidin radhiyallahu ‘anhum, sejauh yang kami ketahui, padahal mereka adalah orang-orang yang banyak membaca al-Qur’an, dan yang tsabit dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bahwa beliau bersabda,


ãóäú Úóãöáó ÚóãóáðÇ áóíúÓó Úóáóíúåö ÃóãúÑõäóÇ Ýóåõæó ÑóÏøñ


“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak didasari oleh agama kami, maka amalnya itu tertolak.”

Dan dalam satu riwayat berbunyi,


ãóäú ÃóÍúÏóËó Ýöíú ÃóãúÑöäóÇ åٰÐóÇ ãóÇ áóíúÓó ãöäúåõ Ýóåõæó ÑóÏøñ.


“Barangsiapa yang membuat-buat dalam agama kami ini ajaran yang bukan bagian darinya, maka ajaran tersebut tertolak.”

[10] Al-Adzkar an-Nawawi, Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H. hal. 163.

[11] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 5045.

[12] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1468 dari hadits al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, dan al-Albani berkata, “Shahih.”

[13] Syarh as-Sunnah, karya al-Baghawi, Beirut: al-Maktab al-Islami, t.th. no. 729. (Penerjemah menambahkan: Hadits ini diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i no. 1214; Abu Dawud, no. 904; dan Ahmad, no. 15877 (Ihya’ at-Turats), dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud dan Shahih at-Targhib, no. 544 dan 3329, dan dalam takhrij al-Musnad, Syaikh Syuaib al-Arnauth berkata, “Isnadnya shahih berdasarkan syarat Muslim.”).

[14] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1332, dan al-Albani berkata, “Shahih.”

[15] Ini disebutkan oleh Syaikh Abdurrahman al-Barrak.

[16] (Karena penulis tidak mentakhrijnya, penerjemah menambahkan: Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, no. 787: dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

[17] Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah, no. 3713.

[18] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 727.

[19] Ini dikatakan oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah (al-Fatawa al-Islamiyah).

[20] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4526.

[21] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1077.

[22] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang berdiri untuk (meng-hormati) mushaf al-Qur’an dan menciumnya, dan apakah dimakruhkan dibangkitkan rasa optimisme pada al-Quran? Maka beliau menjawab, “Alhamdulillah. Berdiri untuk (menghormati) mushaf al-Quran dan menciumnya, kami tidak mengetahui di dalamnya ada atsar dari as-Salaf. Imam Ahmad pernah ditanya tentang mencium mushaf, maka beliau menjawab, ‘Saya tidak pernah mendengar mengenai itu, akan tetapi diriwayatkan dari Ikrimah bin Abu Jahl bahwasanya beliau membuka mushaf dan meletakkan wajah beliau padanya dan berkata, ‘(Ini adalah) Firman Rabbku, (ini adalah) Firman Rabb-ku’. Akan tetapi tidaklah menjadi kebiasaan as-Salaf bahwa mereka berdiri untuk menghormati al-Qur’an’.” (Majmu’ al-Fatawa).

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Jika seseorang mencium al-Quran sebagai pengagungan ketika terjatuh dari tangannya misalnya, atau dari tempat yang tinggi, maka itu tidak apa-apa.”

[23] Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, no. 2078.

[24] Alasannya karena hal tersebut berarti menggunakan ayat al-Qur’an pada sesuatu yang bukan tempatnya. Lihat Fatawa asy-Syabakah al-Islamiyyah, 2/368.

[25] Ini dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. (Al-Fatawa al-Islamiyah).


Referensi:

Panduan Lengkap dan Praktis Adab & Akhlak Islami Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Majid Sa’ud al-Ausyan, Darul Haq, Cetakan VI, Dzulhijjah 1440 H. (08. 2019 M.)

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=887