Artikel : Ekonomi Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - Senin, 07 Juli 03

Akhlak Usahawan Muslim
oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi

Kredit Bank

Kredit bank adalah sebuah proses ketika pihak bank meletakkan sejumlah dana pada nasabahnya untuk digunakan dengan perjanjian bahwa dana itu harus dikembalikan beserta bunganya pada waktu yang ditentukan.

Bentuk-bentuk Kredit Bank

Kredit bank ini bisa dibagi menjadi dua, masing-masing bagian memiliki beberapa bentuk aplikasi pula:
1. Kredit Bank dengan Sistem Pelunasan
Yakni ketika pihak bank menyerahkan sejumlah uang kepada nasabahnya atau kepada pihak lain dengan konsekuensi harus dikembalikan beserta bunganya. Di antara bentuk aplikasinya adalah: Peminjaman/hutang, pemotongan nilai uang dan divestasi.
2. Kredit Bank dengan Jaminan
Dalam cara ini, pihak nasabah harus puas dengan campur tangan pihak bank terhadap jaminan yang dia berikan untuk digunakan sesuai dengan tujuan yang disepakati dalam perjanjian, sehingga bisa memberikan kemudahan-kemudahan yang dibutuhkan. Di antara bentuk aplikasinya adalah penjamin dan adanya penjaminan.

Berikut ini sedikit upaya untuk mengenalkan hukum-hukum syariat berkaitan dengan proses berlakunya kredit bank.

Pertama: Peminjaman.
Peminjaman di dunia perbankan dilakukan melalui metode peminjaman biasa yang bersifat manual, namun terkadang dengan cara membuka giro.

Peminjaman biasa merupakan perjanjian di mana pihak bank memiliki komitmen untuk menyerahkan kepada nasabahnya kepemilikan sejumlah dana untuk dikembalikan gantinya pada waktu yang ditentukan. Persoalan ini sudah pernah dijelaskan secara rinci sebelumnya.

Adapun peminjaman dengan membuka giro. Yakni akad di mana pihak bank berjanji memberikan sejumlah dana untuk digunakan oleh pihak nasabah selama waktu yang ditentukan. Jadi merupakan janji peminjaman. Kalau pihak bank mewajibkan nasabahnya untuk membayar lebih banyak dari jumlah yang dihutangkan, itu termasuk riba yang diharamkan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Melunasi hutang hukumnya wajib menurut ajaran agama. Hutang itu tidak bisa dihanguskan, kecuali apabila pihak yang berhutang terjebak dalam kesulitan untuk melunasinya, sebagaimana madzhab Malikiyah. Ibnul Arabi bahkan menukil adanya ijma' dalam hal itu.

Kedua: Pemotongan Nilai Uang
Pemotongan nilai uang komersial adalah sebuah kesepakatan di mana pihak bank memberikan terlebih dahulu dana berkwitansi sebelum waktunya si nasabah memilikinya, tentunya dengan terlebih dahulu dipotong nilainya sesuai dengan bunga dan biaya administrasi sebagai kompensasi karena pihak nasabah sendiri ingin mendapatkan dana cepat dan merelakan sebagian dananya berupa cek di bank bersangkutan.

Sistem ini dianggap sebagai bentuk penjualan piutang kepada selain orang yang berhutang, dan perjanjian itu rusak, termasuk menurut para ulama yang membolehkannya. Karena dua objek perjanjian di sini adalah uang. Padahal syarat jual beli uang sebagai komoditi sejenis harus adanya kesamaan dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau dengan jenis lain, harus diserahterimakan secara langsung saja.

Perbedaan pendapat ulama seputar persoalan ' Kurangi saja hutangnya dan bayar segera', semata-semata hanya berlaku ketika hubungan perjanjian antara dua pihak saja. Satu pihak mengalah dengan merelakan sebagian haknya dan pihak lain menyegerakan pembayaran hutangnya sehingga kedua belah pihak saling mengambil keuntungan. Namun kalau ada pihak ketiga yang turut campur dalam persoalan tersebut, maka tidak ada alasan sama sekali untuk membolehkannya.

Kalau itu dianggap sebagai peminjaman dari pihak bank dan pemberikan kuasa dari pihak yang memberikan cek (kepada pihak tertentu) untuk menagih hutang kepada pihak nasabah yang berhutang, maka itu adalah peminjaman berbunga. Karena pihak bank mengambil keuntungan bunga sebagai imbalan menunggu masa pembayaran hutang. Kalau harga cek itu seribu dolar misalnya, dan waktu penyerahannya kepada pihak nasabah satu bulan kemudian, pihak bank memberikan kepadanya sembilan ratus lima puluh dolar. Jadi seolah-olah pihak bank meminjamkan kepadanya sembilan ratus lima puluh untuk dikembalikan oleh nasabah seribu dolar sebulan kemudian.

Kalau dianggap sebagai hiwalah atau transfer dari pihak nasabah bank kurangi saja hutangnya dan bayar ke rekening yang akan diambilnya, maka hal itu juga perjanjian rusak. Karena tidak adanya kesamaan nilai antara dua piutang tersebut, yang ditransfer dengan rekening yang ditarik nantinya.

Divestasi

Divestasi ini adalah sebuah perjanjian tertulis yang berasal dari pihak bank berdasarkan permintaan eksportir untuk kepentingan importir di mana pihak bank berjanji membayar atau menerima sistem pengiriman yang dilampiri dengan kwitansi penurunan barang, bila barang tersebut datang sesuai dengan yang tertulis dalam kertas perjanjian.

Kredit jenis ini adalah perjanjian di mana pihak bank berkewajiban melunasi atau menerima pemenuhan dana yang ditarik oleh pihak nasabah bersangkutan dalam perjanjian divestasi ini sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan.

Hukum Divestasi

Kalau orang yang membuka giro telah menyerahkan kepada pihak bank dana deposito secara penuh, maka persoalannya tidak lebih daripada pemberian surat kuasa kepada pihak bank untuk membayarkan sejumlah dana itu kepada pihak yang bersang-kutan. Boleh-boleh saja pihak bank mengambil uang administrasi sebagai upah dari jasa yang diberikan.

Namun kalau nasabah belum memberikan dana penuh, lalu pihak bank yang menyerahkan pembayaran sejumlah dana kepada pihak bersangkutan dengan imbalan, maka imbalan itu adalah riba yang jelas diharamkan secara tegas berdasarkan nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wasallam.

Kesimpulannya, bahwa uang administrasi yang merupakan imbalan satu usaha atau jasa adalah upah yang dibenarkan syariat. Namun keuntungan yang menjadi imbalan dari peminjaman uang, hukumnya adalah riba yang dilarang.

Penjamin dan Surat Jaminan (L/C)

Penjamin dan surat jaminan menggambarkan satu bentuk peminjaman 'nama yang dipercaya' untuk menguatkan kepercayaan pada pihak yang memanfaatkannya ketika berhadapan dengan berbagai pihak yang bekerjasama dengannya, sehingga ia bisa mengokohkan perjanjian-perjanjiannya bersama mereka dalam suasana yang tenang dan penuh saling kepercayaan.

Penjamin adalah perjanjian yang konsekuensinya sesorang memberikan penjaminan atau jaminan untuk bisa bertransaksi. Caranya misalnya dengan menjanjikan orang yang memberi hutang kepada pihak yang akan diberi penjamin, bahwa ia akan melunasi pembayaran hutangnya bila orang tersebut tidak mampu membayarnya.

Adapun surat jaminan (L/C) adalah perjanjian final yang berasal dari pihak bank berdasarkan permohonan dari nasabahnya untuk membayarkan sejumlah dana atau jaminan ketika pihak bersangkutan memintanya kepada pihak bank selama waktu yang ditentukan.

Hukum Surat Jaminan (L/C)

Kalau surat jaminan (L/C) itu dibekali dengan dana penuh yang dititipkan pada bank oleh pihak nasabah, maka dalam hal ini asas persoalan ini adalah penjamin juga.

Proses pengeluaran surat jaminan (L/C) itu dalam persoalan ini termasuk jasa bank, tidak lebih. Keuntungan yang diambil pihak bank dari nasabahnya termasuk jenis upah yang dihalalkan berdasarkan jasa dan usaha yang dilakukan oleh pihak bank tersebut.

Namun surat jaminan (L/C) yang tidak berbekal dana atau kalaupun ada tidak sepenuhnya, dimasukkan dalam kategori penjamin atau jaminan. Ketika pihak bank mengeluarkan surat jaminan (L/C), berarti pihak bank telah menjamin pihak nasabah di hadapan pihak yang bersangkutan dengannya. Ketika pihak bersangkutan menerima sejumlah dana dengan surat jaminan (L/C) itu, berarti ia telah berperan sebagai orang yang meminjam uang melalui perantaraan nasabah. Maka tidak diragukan lagi, imbalan yang diambil oleh pihak bank dari proses pinjam meminjam itu adalah riba yang jelas haramnya.

Pihak bank tidak berhak mengambil keuntungan hanya dengan semata-mata memberikan jaminan dan menjadi pihak penjamin. Tetapi bila ia memberikan jasa berupa pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh pihak nasabahnya terhadap pihak bersangkutan, maka ia boleh mengambil upah dari nasabah tersebut.

Yang pantas diingatkan di sini adalah bahwa Lembaga Pengkajian Fiqih Islam uang berasal dari Organisasi Muktamar Islam telah mengeluarkan keputusan berkenaan dengan surat jaminan (L/C) tersebut, yang bunyinya sebagai berikut:

"Sesungguhnya Lembaga Pengkajian Fiqih Islam uang berasal dari Organisasi Muktamar Islam dalam seminar kedua di Jeddah pada tanggal 10-16 bulan Rabie' Tsani 1406 H. Bertepatan dengan 22-28 September 1985 M. Telah mengkaji persoalan ' surat jaminan (L/C)'. Dan setelah meneliti seluruh studi dan pengkajian yang disiapkan untuk persoalan itu dan setelah terjadi tukar menukar pendapat dan diskusi panjang, terbuktilah beberapa hal berikut:
1. Surat jaminan (L/C) dengan dua jenisnya; spontanitas atau yang bersifat final tidak lepas dari keberadaannya yang dibekali dana penuh (dari pihak nasabah) atau tidak. Kalau surat jaminan (L/C) itu dibekali oleh dana penuh, maka relasi antara peminta surat jaminan (L/C) (nasabah) dan pihak yang mengeluarkannya (bank) adalah hubungan antara orang yang memberi dan menda-patkan penjamin. Sementara penjamin itu bisa dilakukan dengan atau tanpa upah, dan kepentingan relasi penjamin itu adalah untuk kepentingan pihak yang bersangkutan dengan nasabah.
2. Sementara jaminan adalah perjanjian sukarela yang tujuannya adalah menolong dan berbuat baik. Para ulama ahli fiqih telah menetapkan bahwa tidak boleh mengambil upah dari sekedar jaminan semata. Karena ketika pihak yang menjamin membayarkan sejumlah dana, lebih mirip hutang yang mengambil keuntungan dari yang berhutang (nasabah), dan itu tentu saja dilarang.

Oleh sebab itu, Lembaga memutuskan sebagai berikut:
Dalam kasus surat jaminan (L/C) ini, tidak dibolehkan mengambil upah dari proses pemberian jaminan, di mana yang menjadi standar adalah jumlah dan lamanya masa jaminan, baik itu surat jaminan (L/C) yang dibekali dana penuh maupun tidak.

Berbagai biaya administrasi untuk mengeluarkan surat jaminan (L/C) dengan dua jenisnya diperbolehkan menurut syariat, dengan catatan tanpa mengambil keuntungan. Ketika surat jaminan (L/C) sudah dibekali dengan dana penuh atau sebagian dana, boleh juga diperhatikan berbagai biaya administrasi yang menjadi tuntutan usaha mencairkan dana tersebut.

Dalam muktamar pertama Perbankan Islam di Dubai keputusan seperti itu juga dikeluarkan sehubungan dengan surat jaminan (L/C), yang bunyinya sebagai berikut:

"Surat jaminan (L/C) itu meliputi dua hal: Penjamin (pemberian kuasa) dan jaminan. Mengambil upah dari jaminan tidak boleh, namun boleh mengambil upah dari penjamin. Pengambilan upah dari penjamin itu harus memperhatikan total biaya yang ditanggung oleh pihak bank dalam menjalankan tugasnya, karena usaha mengeluarkan surat jaminan (L/C) itu membutuhkan banyak pekerjaan yang harus dilakukan pihak bank menurut kebiasaan dunia perbankan. Usaha-usaha itu dalam skala khusus memerlukan proses pengumpulan data dan studi kelayakan terhadap proyek yang akan mendapatkan surat jaminan (L/C). Surat jaminan (L/C) juga meliputi perjanjian untuk pihak nasabah dari pihak bank untuk memberikan pelayanan ala perbankan yang berkaitan dengan proyek tersebut, seperti pengadaan fasilitas dari para pemilik proyek. Sementara standar upahnya diserahkan kepada pihak bank dengan ukuran yang tidak menyulitkan masyarakat dalam menyelesaikan urusan mereka, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam dunia usaha."

Mirip dengan pernyataan di atas juga ditegaskan oleh Lembaga Pemantauan Syariat di bank Faishal al-Islami, Sudan yang justru membolehkan mengambil keuntungan dari proses mengeluarkan surat jaminan (L/C), dengan syarat bahwa upah itu adalah imbalan dari jasa yang diberikan oleh pihak bank terhadap para nasabahnya dengan mengeluarkan surat-surat tersebut. Pihak bank tidak boleh mengambil upah hanya karena semata-mata ia memberi jaminan kepada nasabahnya."

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexekonomi&id=1§ion=e001