Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
YANG BERHAK DISEBUT ULAMA
Selasa, 04 Desember 12

Pertanyaan:

SIAPAKAH YANG BERHAK DISEBUT ULAMA ?

Jawaban:

1. Ulama ialah para ahli fikih Islam, yang ucapan-ucapannya senantiasa menjadi dasar fatwa-fatwa yang beredar di tengah manusia, yang dianugerahi kekhususan dalam menyimpulkan hukum-hukum, dan diberi inayah untuk meletakkan (secara benar dan tepat) kaedah-kaedah halal dan haram. ( I'lamul Muwaqqi'in 1/7).

2. Ulama adalah orang-orang yang memiliki lisan yang jujur dalam umat ini, di mana mereka mendapat pujian dan disanjung dalam semua level masyarakat, mereka itulah imam-imam (pembawa) hidayah, para penerang kegelapan. ( Majmu' al-Fatawa 11/43).

3. Ulama adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat ijtihad dan ketentuannya, dan apabila mereka mengeluarkan fatwa dalam suatu masalah bencana, mereka mengumpulkan segala perangkat-perangkat hukum, secara matang, dan berhati-hati, serta bersungguh-sungguh terhadap maslahat agama dan maslahat kaum muslimin.

Di antara jalan mengetahui seorang yang berilmu adalah kesaksian para gurunya terhadapnya, di mana sesungguhnya telah berjalan kebiasaan ulama Islam dari ulama salaf umat ini dan siapa pun yang mengikuti mereka dengan baik dalam mewariskan ilmu-ilmu mereka untuk murid-murid mereka, demikian juga telah berlaku kebiasaan mereka untuk mencegah secara sehat setiap orang yang belum mencapai kedudukan mujtahid agar tidak berfatwa atau mengeluarkan pertanyaan, maka murid-murid tidak dapat mengeluarkan pernyataan mereka, hingga mereka melihat adanya pengakuan syaikh-syaikh mereka untuk mereka dari segi ilmu, dan mengizinkan mereka untuk mengeluarkan pernyataan memberi fatwa atau bahkan mengajar.

Imam Malik rahimahullah berkata,

"Tidaklah sepatutnya bagi seseorang memandang bahwa dirinya telah ahli dalam suatu ilmu hingga ia bertanya kepada orang yang paling berilmu darinya, dan saya tidaklah memberikan fatwa hingga saya bertanya kepada Rabi'ah dan Yahya bin Said lalu mereka berdua akhirnya menyuruhku untuk melakukan hal itu, dan sekiranya mereka berdua melarang saya untuk melakukan itu pastilah saya tidak akan melakukannya." (Shifat al-Mufti wa al-Mustafti, oleh Ibnu Hamdan, hal:7).

Kemudian Imam Malik berkata, "... tidaklah setiap orang yang suka untuk duduk di masjid untuk meriwayatkan hadits atau menge-luarkan fatwa lalu ia melakukannya, hingga ia meminta pendapat orang-orang yang shalih dan memiliki keutamaan dalam perkara tersebut, para sesepuh masjid, lalu apabila mereka memandangnya telah pantas untuk itu maka ia duduk, dan tidaklah saya duduk hingga tujuh puluh guru dari para ulama telah menyaksikan bahwa aku telah pantas untuk melakukan itu." (ibid)

Dan di antara perkara yang dapat menunjukkan keilmuan seorang ulama dan keutamaannya adalah pelajaran-pelajarannya, fatwa-fatwanya dan karya-karya tulisannya.

Imam Abu Thahir as-Silafi berkata dari Imam al-Khaththabi

"Adapun Abu Sulaiman, seorang yang mensyarah kitab Sunan Abu Daud, apabila ada seseorang yang jujur dan adil pernah membaca karya-karya tulisannya, ia mencermati keindahan gerak geriknya dalam karya tulisnya, maka ia akan mendapatkan kebenaran keimanannya di dalam semua yang dia cantumkan, di mana ia telah berkelana dalam mencari hadits, membaca segala ilmu, berkeliling kemudian ia menulis berbagai disiplin ilmu dan menyusunnya." (Siyaru A'lami an-Nubala' 17/25).

Ini adalah salah satu petunjuk untuk dapat mengetahui keilmuan seorang ulama dan keutamaannya, adapun kedudukan dan semacamnya bukanlah menjadi petunjuk dari keilmuan seseorang.

Sesungguhnya para ulama yang tidak ditentukan dan dipilih lewat pemilihan umum dan tidak pula lewat pengangkatan jabatan, maka perhatikan bagaimana seorang alim dalam sejarah umat ini yang tidak (mendapatkan predikat sebagai) yang mengeluarkan pernyataan dan terkenal, sehingga menjadi imam dari umat ini secara keseluruhan, padahal dia tidak tahu siapa yang mengangkatnya. Imam Ahmad dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hanyalah dua yang merupakan contoh dari sejarah panjang umat ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

"Kedudukan dan kekuasaan tidaklah merubah orang yang tidak berilmu dan mujtahid menjadi orang yang berilmu dan mujtahid, dan sekiranya berbicara tentang suatu ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan kekuasaan maka pastilah seorang khalifah dan penguasa itu lebih berhak untuk berbicara tentang ilmu dan agama, dan lebih berhak diminta fatwanya oleh manusia dan dijadikan rujukan oleh mereka dalam perkara yang sulit bagi mereka dalam urusan llmu dan agama, lalu apabila khalifah dan penguasa tidak mengklaim itu semua untuk dirinya dan tidak pula mengharuskan rakyatnya untuk taat pada suatu perkataan tanpa perkataan lainnya kecuali hanya dengan kitab Allah ta'aladan Sunnah Rasulullah shallallohu 'alaihi wa sallam, maka siapakah gerangan orang selain penguasa dalam suatu negeri yang lebih berhak untuk tidak melewati batas kemampuannya." (Majmu' al-Fatawa, 27/296-297).
Peringatan Penting
Ada jarak yang sangat signifikan antara seorang pembaca ilmu-ilmu syar'i dengan seorang faqih dalam ilmu tersebut dan menguasainya; sesungguhnya seorang pembaca memiliki penggalan dan bagian-bagian yang ia peroleh dari sela-sela bacaannya pada beberapa buku, dan telaahnya atas beberapa perkataan ulama, namun ia tidak diberi inayah ilmu, tidak pula menimba ilmu langsung dari para ulama, tidak ikut berdesak-desakan pada halaqah mereka. Oleh karena itu, sesungguhnya bila pun anda melihatnya mulai menelaah suatu masalah dari masalah-masalah fikih dan syariah hanya saja ia tidak dapat apa-apa darinya ketika ia ditanya tentang suatu perkara dari perkara-perkara ilmu.

Mereka itu adalah seperti apa yang dikatakan oleh al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah, "Sesungguhnya saya telah menyaksikan banyak manusia zaman ini menisbatkan diri mereka ahli hadits, menggolongkan diri mereka termasuk dari ulama-ulama hadits, yang menspesialisasikan diri mereka pada mendapatkan riwayat hadits dan menyebarkannya, padahal mereka itu adalah orang-orang yang paling jauh dari apa yang mereka klaim tersebut dan paling sedikit pengetahuannya tentang apa yang mereka nisbatkan diri mereka kepadanya, salah seorang dari mereka memandang bahwa apabila ia telah menulis sedikit bab dan sibuk mendengarkannya dalam tempo yang sangat singkat lalu ia berkata bahwasanya ia adalah ahli hadits secara mutlak, padahal belumlah ia berjuang dan melelahkan dirinya dalam memperolehnya, dan tidak pula kesulitan dan kesusahan menghafal bab-bab dan bagian-bagian menimpanya ... lalu mereka itu dengan sedikitnya tulisan atas hadits tersebut dan ketidak fahaman mereka dengannya adalah manusia yang paling sombong dan makhluk yang paling membanggakan diri sendiri, mereka tidak memperhatikan sedikit pun bagi seorang syaikh suatu kehormatan dan tidak pula mereka mengharuskan bagi seorang penuntut ilmu suatu tanggungan jawab, mereka tidak mengetahui tentang periwayatan (muhaqqiq al-Jami' berkata; yaitu mereka tidak mengerti tentang hakikat para rawi). Dikatakan dalam al-Qamus; wa kharaqa bi asy-syai' kakaram (خرق بالشيء ككرم أي جهله ) yaitu tidak tahu. Mereka berlaku kejam terhadap orang-orang yang belajar, kebalikan dari apa yang seharusnya diperoleh dari suatu ilmu yang mereka dengarkan dan berlawanan dengan kewajiban yang seharusnya mereka kerjakan. (Al-Jami' fi Akhlak ar-Rawi wa Adab as-Sami' 1/75-77).

Dan benar ditujukan kepada mereka apa yang dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi,

"Suatu kaum menisbatkan diri mereka kepada ilmu secara lahiriyah semata, namun mereka tidak sama sekali menguasainya kecuali hanya sedikit saja, yang membuat mereka itu mengira bahwa mereka adalah termasuk ulama yang utama, tidak terlintas pada pikiran mereka sama sekali bahwasanya mereka mendekatkan diri dengan ilmu mereka itu kepada Allah ta'ala, oleh karena sesungguhnya mereka tidak pernah memandang seorang guru yang dapat menjadi panutan dalam ilmu tersebut, hingga mereka menjadi rakyat jelata, tujuan dari seorang pengajar di antara mereka tidak lain hanyalah memperoleh kitab-kitab yang berharga yang ia simpan dan ia pandang suatu hari nanti, lalu ia hanya mengira-ngira apa yang dicantumkannya, namun tidak menentukannya. Maka kita memohon kepada Allahta'ala keselamatan dan ampunan dariNya." (Siyar A'lam an-Nubala' 7/153).

Adapun seorang yang berilmu lagi faqih adalah tidak seperti mereka orang-orang di atas akan tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki kepahaman yang meyeluruh dan umum terhadap Islam, pengamatan terhadap pokok-pokok global hukum-hukum syariat, mereka itu tidaklah membaca suatu ilmu hanya sepenggal saja, namun mereka belajar ilmu-ilmu syar'i dengan pembelajaran secara menyeluruh dan umum, kemudian ketika mereka mendapatkan masalah-masalah ilmu dan mereka mampu membahasnya sesuai dengan dasar-dasarnya hingga akhirnya ia memiliki kemampuan memahami nash-nash yang ada, dan mereka memahami tujuan-tujuan syariat dan sasaran-sasarannya yang umum.

Sesungguhnya ilmu yang dia dapatkan tidaklah datang dari membaca satu malam saja akan tetapi dengan begadang dalam malam-malam (yang panjang) dan menghabiskan berhari-hari, hingga ciri khas dari para ulama itu adalah mereka tidaklah memiliki batas dalam menuntut ilmu bahkan mereka itu selalu menuntut ilmu dan tekun akan belajar.

[Sumber: Fatwa-Fatwa Terlengkap Seputar Terorisme, Jihad dan Mengkafirkan Muslim, disusun oleh : Abul Asybal Ahmad bin Salim al-Mishri, cet: Darul Haq - Jakarta.]

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatfatwa&id=1542