Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah Dalam Beramar Ma'ruf Dan Nahi Munkar
Jumat, 22 Februari 13

Pertanyaan:

Apa Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam beramar ma'ruf dan nahi munkar?

Jawaban:

Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa masyarakat Islam tidak akan sempurna kesejahteraannya kecuali kalau berjalan dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah kepadanya. Oleh karena itu, mereka berpegang kepada kewajiban amar ma'ruf dan nahi munkar.

Ma'ruf adalah segala sesuatu yang dihukum baik oleh syariat dan dibenarkannya.

Munkar adalah segala sesuatu yang dingkari oleh syariat dan diharamkannya.

Mereka berpandangan bahwa masyarakat Islam tidak akan menjadi baik kecuali dengan amar ma'ruf dan nahi munkar, sebab jika kita menghilangkan prinsip ini maka akan terjadi perpecahan, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta'ala:



æóáúÊóßõä ãöøäßõãú ÃõãóøÉõõ íóÏúÚõæäó Åöáóì ÇáúÎóíúÑö æóíóÃúãõÑõæäó ÈöÇáúãóÚúÑõæÝö æóíóäúåóæúäó Úóäö ÇáúãõäßóÑö æóÃõæúáÇóÆößó åõãõ ÇáúãõÝúáöÍõæäó {104} æóáÇó ÊóßõæäõæÇ ßóÇáóøÐöíäó ÊóÝóÑóøÞõæÇ æóÇÎúÊóáóÝõæÇ ãöä ÈóÚúÏö ãóÇÌóÂÁóåõãõ ÇáúÈóíöøäóÇÊõ æóÃõæúáÇóÆößó áóåõãú ÚóÐóÇÈñ ÚóÙöíãõõ {105}

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." (Ali Imran: 104-105).

Prinsip ini, sungguh sangat disayangkan, pada waktu ini terabaikan atau hampir terabaikan, karena anda tidak akan menjumpai seseorang yang beramar ma'ruf dan bernahi munkar hingga dalam lingkup yang kecil lagi terbatas kecuali sangat jarang sekali.

Jika manusia telah mengabaikan hal ini, maka setiap orang akan melakukan sesuatu yang dapat memecah belah masyarakat. Akan tetapi jika mereka saling beramar ma'ruf dan bernahi munkar maka pasti mereka akan menjadi umat yang satu. Akan tetapi apabila anda melihat suatu perkara yang ma'ruf itu tidak mesti menjadi ma'ruf bagi orang lain, kecuali dalam beberapa hal yang tidak boleh dilakukan ijtihad padanya. Ia hanya dalam hal yang mungkin dilakukan ijtihad padanya. Bisa jadi seseorang melihat bahwa sesuatu termasuk dalam kategori ma'ruf, namun orang lain tidak melihatnya demikian, maka dalam keadaan seperti ini tempat penyelesaiannya adalah al-Qur'an dan as-Sunnah.



íóÇÃóíõøåóÇ ÇáóøÐöíäó ÁóÇãóäõæÇ ÃóØöíÚõæÇ Çááåó æóÃóØöíÚõæÇ ÇáÑóøÓõæáó æóÃõæúáöì ÇúáÃóãúÑö ãöäßõãú ÝóÅöä ÊóäóÇÒóÚúÊõãú Ýöí ÔóìúÁò ÝóÑõÏõøæåõ Åöáóì Çááåö æóÇáÑóøÓõæáö Åöä ßõäÊõãú ÊõÄúãöäõæäó ÈöÇááåö æóÇáúíóæúãö ÇúáÃóÎöÑö Ðóáößó ÎóíúÑõõ æóÃóÍúÓóäõ ÊóÃúæöíáÇð {59}

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian." (An-Nisa': 59).

Akan tetapi metode Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah yang besar ini, yang dengannya umat ini dijadikan umat yang utama atas yang lainnya adalah bahwa mereka berpandangan bahwa amar ma'ruf dan nahi munkar termasuk salah satu pondamen masyarakat Islam. Namun ia memerlukan kepada beberapa hal, yaitu:

Pertama, Orang yang beramar ma'ruf adalah harus orang yang alim (berpengetahuan), ia mengetahui bahwa yang inima'ruf dan yang itu munkar. Kalau ia melakukannya dengan kebodohannya, lalu menyuruh orang melakukan sesuatu yang ia pandang ma'ruf menurut dugaannya, padahal ia bukan termasuk yang ma'ruf, maka hal seperti ini bisa jadi bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Oleh karena itu, kalau kita berandai-andai bahwa orang itu tumbuh di suatu masyarakat yang berkeyakinan bahwa suatu bid'ah tertentu itu ma'ruf, lalu ia datang ke suatu masyarakat baru yang lain dan ia jumpai masyarakatnya tidak melakukannya, kemudian ia berbuat dan mengingkari mereka karena tidak melakukan amalan tersebut dan ia pun mengajak mereka melakukannya, maka ini adalah kesalahan. Maka anda tidak boleh mengajak kepada sesuatu kecuali kalau anda sudah tahu betul bahwa sesuatu itu ma'ruf menurut Syariat Allah, bukan berdasarkan keyakinan pribadi anda dan tradisi anda (yang bid'ah itu). Jadi, harus mengetahui hukum, mengetahui bahwa hal ini dan hal itu ma'ruf sebelum anda menganjurkannya, dan demikian pula yang munkar.

Kedua, Anda harus tahu bahwa yang ma'ruf ini belum dilakukan, dan bahwa kemungkaran itu sudah dilakukan. Berapa banyak orang yang menyuruh orang melakukan yang ma'ruf yang ternyata ia sudah melakukannya, sehingga perbuatan menjadi beban bagi orang lain, dan bisa jadi hal tersebut merendahkan martabatnya di hadapan masyarakat.

Apabila kita melihat petunjuk Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam, maka kita akan mendapatkan bahwa ini adalah jalan yang ditempuhnya.

Pernah ada seorang lelaki masuk ke dalam masjid pada hari Jum'at pada saat Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Orang itu langsung duduk, maka Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam berkata, Apakah kamu sudah shalat? Ia menjawab, "Belum." Beliau berkata, "Berdirilah lalu shalatlah dua rakaat." (Muttafaq 'alaih).

Shalat dua rakaat bagi orang yang masuk masjid termasuk dalam kategori al-ma'ruf, dan tidak bisa diragukan lagi! Akan tetapi Rasulullah shallallohu 'alaihi wa sallam tidak menyuruhnya secara langsung kecuali setelah ia mengetahui bahwasanya dia belum melakukannya. Jadi, kadang-kadang anda menyuruh seseorang untuk melakukan sesuatu, dan ternyata ia telah melakukannya. Ini berarti anda telah tergesa-gesa dan tidak berhati-hati dan hal ini bisa merendahkan martabat anda. Yang anda harus lakukan adalah menanyakannya terlebih dahulu dan pastikan bahwa ia belum melakukannya, baru setelah itu anda menyuruhnya.

Dan demikian pula terhadap segala bentuk kemaksiatan. Sebagian orang ada yang mencegah orang lain dari perbuatan yang ia pandang sebagai kemungkaran, padahal bukan kemungkaran.

Sebagai contoh:

Anda melihat seseorang sedang melakukan shalat wajib sambil duduk, lalu anda melarangnya, karena tidak benar ia melakukan shalat sambil duduk. Ini tentu tidak benar. Anda harus menanyakannya terlebih dahulu kenapa ia shalat sambil duduk, karena bisa jadi ia mempunyai udzur hingga harus duduk, sedangkan kamu tidak mengetahuinya. Jika tidak demikian, maka berarti anda telah tergesa-gesa dan hal itu bisa mengurangi martabatmu. Ini adalah merupakan perkara yang harus, anda harus mengetahui hukum syar'inya dan mengetahui kondisi yang sedang dihadapi orang yang diperintah atau dilarang, sehingga benar-benar anda tahu yang sebenarnya.

Ketiga, Dalam melakukan hal yang diperintahkan hendaknya tidak mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar lagi merusak daripada manfaat yang dicapai melalui yang ma'ruf itu. Sebab, mencegah kerusakan itu harus lebih diutamakan daripada mengambil maslahat. Ungkapan yang populer ini merupakan kaedah yang diajarkan al-Qur'an, namun tidak sepenuhnya demikian. Maksudnya, tidak semua mafsadat (kerusakan) pencegahannya harus lebih diutamakan daripada mengambil maslahat. Jika mafsadat sebanding dengan maslahat maka menolak mafsadat diutamakan. Jika mafsadat lebih besar daripada maslahat maka menolak mafsadat lebih diutamakan.

Allah ta'ala telah berfirman,


æóáÇóÊóÓõÈõøæÇ ÇáóøÐöíäó íóÏúÚõæäó ãöä Ïõæäö Çááåö ÝóíóÓõÈõøæÇ Çááåó ÚóÏúæðÇ ÈöÛóíúÑö Úöáúãò ßóÐóáößó ÒóíóøäóøÇ áößõáòø ÃõãóøÉò Úóãóáóåõãú Ëõãóø Åöáóì ÑóÈöøåöã ãóøÑúÌöÚõåõãú ÝóíõäóÈöøÆõåõãú ÈöãóÇ ßóÇäõæÇ íóÚúãóáõæäó {108}

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (Al-An'am: 108).

Mencaci sesembahan-sesembahan kaum musyrikin itu diketahui oleh semua orang bahwasanya hal tersebut adalah maslahat dan mengandung kebaikan. Akan tetapi kalau maslahat ini mengandung hal yang lebih mungkar, sedangkan sesuatu yang lebih mungkar itu termasuk dalam kategori yang lebih diutamakan di mana pada sisi yang lain tidak sedikit pun sebanding dengannya apabila pada bagian yang lain tidak ada bagian darinya sedikit pun yang mengandung kerusakan yang lebih besar, maka hal yang demikian itu diabaikan (tidak boleh dilakukan). Sebab, kalau kita mencaci maki sesembahan mereka dan kita benar-benar mencelanya maka mereka akan mencaci maki Allah ta'ala dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.

Itu adalah satu poin yang harus kita fahami dengan baik di saat akan melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar. Adapun kalau mafsadatnya tenggelam di dalam maslahat maka kita lebih mengutamakan maslahat dan tidak perlu peduli apa-apa. Inilah tempat pijakan kebanyakan hukum-hukum Allah asy-Syar'i dan al-Kauni.

Sebagai contoh, hujan yang turun dan mengandung kemaslahatan umum, akan tetapi ia mengandung keburukan bagi orang yang sedang membuat atap rumah. Hujan datang dan merusak atap tersebut. Akan tetapi kerusakan kecil ini tenggelam di dalam kemaslahatan umum. Dan demikian pula hukum-hukum syar'i seperti halnya hukum-hukum kauniyah. Jadi, ia adalah satu hal yang harus diperhatikan, yaitu bahwasanya kita, kadang-kadang tidak ada maslahatnya kalau kita mencegah suatu kemungkaran, karena akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Jadi kita harus berhati-hati hingga semua permasalahan berjalan sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu, syariat Islam tampil secara bertahap di dalam menetapkan hukum agar dapat diterima oleh masyarakat secara perlahan-lahan. Dan demikian pula halnya kemungkaran, kita harus memperlakukan manusia dengan cara yang mengandung terapi agar semua masalah menjadi rampung sempurna. Berikut ini tiga perkara di atas:

1). Mengetahui hukum.
2). Mengetahui kondisi.
3). Dalam beramar ma'ruf hendaknya tidak mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar kerusakannya. (Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin: 5/207)

[Sumber: Fatwa-Fatwa Terlengkap Seputar Terorisme, Jihad dan Mengkafirkan Muslim, disusun oleh : Abul Asybal Ahmad bin Salim al-Mishri, cet: Darul Haq - Jakarta.]


Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatfatwa&id=1569