Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Hukum Berkurban dan Berserikat dalam Berkurban
Senin, 05 Juni 23

**

Soal :

Seorang penanya mengatakan,

Apakah setiap muslim wajib berkurban ?

Dan, apakah boleh berserikat 5 orang untuk berkurban satu ekor ?

Kami berharap mendapatkan faedah dari Anda, semoga Anda diberi pahala.

Jawab :

Syaikh-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-menjawab,

Kurban yaitu binatang sembelihan yang digunakan seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-pada hari raya Idul Adha dan 3 hari setelahnya. Dan, kurban itu termasuk bentuk ibadah yang paling utama, karena Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-menggandengkannya dengan shalat di dalam kitab-Nya, seraya berfirman,


ÅöäøóÇ ÃóÚúØóíúäóÇßó ÇáúßóæúËóÑó (1) ÝóÕóáøö áöÑóÈøößó æóÇäúÍóÑú (2) [ÇáßæËÑ : 1 ¡ 2]


Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).

Dan Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-juga berfirman,


Þõáú Åöäøó ÕóáóÇÊöí æóäõÓõßöí æóãóÍúíóÇíó æóãóãóÇÊöí áöáøóåö ÑóÈøö ÇáúÚóÇáóãöíäó (162) áóÇ ÔóÑöíßó áóåõ æóÈöÐóáößó ÃõãöÑúÊõ æóÃóäóÇ Ãóæøóáõ ÇáúãõÓúáöãöíäó (163) [ÇáÃäÚÇã : 162 ¡ 163]


Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya ; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (Muslim) (al-An’am : 162-163)

Dan, Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- berkurban dengan menyembelih dua ekor hewan ternak, satu ekor untuk beliau dan untuk keluarga beliau dan satu ekor lagi untuk orang-orang yang beriman kepada beliau dari kalangan umat beliau. [1] dan beliau juga menganjurkan dan memotivasi manusia untuk berkurban.

Tentang hukum berkurban, para ulama-semoga Allah merahmati mereka- berbeda pendapat, apakah berkurban hukumnya wajib ataukah tidak. Ada dua pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan, ‘bahwa berkurban itu hukumnya wajib atas setiap orang yang mampu karena adanya perintah untuk melakukannya di dalam kitab Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-, yaitu, di dalam firman-Nya,


ÝóÕóáøö áöÑóÈøößó æóÇäúÍóÑú


Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).

Dan juga karena apa yang diriwayatkan dari Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-,


ãóäú ÐóÈóÍó ÞóÈúáó ÇáÕøóáóÇÉö, ÝóáúíõÚöÏú


Barang siapa menyembelih (hewan kurbannya) sebelum shalat (Iedul Adha), maka hendaklah ia mengulangi (penyembelihannya)

Dan, juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-,


ãóäú æóÌóÏó ÓóÚóÉð Ýóáóãú íõÖóÍøö ÝóáóÇ íóÞúÑóÈóäøó ãõÕóáøóÇäóÇ


Barang siapa mendapatkan kelapangan, namun ia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami [3]

Maka, tidak selayaknya seseorang meninggalkan berkurban selagi ia mampu untuk berkurban. Hendaklah ia berkurban untuk dirinya dan untuk keluarganya. Namun, tidak sah dua orang atau lebih berserikat untuk memiliki satu ekor hewan kurban, berupa kambing. Adapun berserikat dalam berkurban berupa unta atau sapi, maka dibolehkan untuk berserikat 7 orang untuk satu ekor sapi atau unta.

Ini dalam kasus berserikat dalam kepemilikan hewan kurban.

Adapun dalam kasus berserikat dalam hal mendapatkan pahala, maka tidak mengapa seseorang berkurban dengan menyembelih satu ekor kambing untuk dirinya dan untuk keluarganya, sekalipun jumlah mereka banyak. Bahkan, ia pun boleh untuk berkurban dengan menyembelih satu ekor kambing untuk dirinya dan untuk para ulama umat Islam dan lain sebagainya dalam jumlah orang yang cukup banyak yang tidak dapat menghitungnya kecuali Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-.

Di sini saya ingin mengingatkan tentang suatu perkara yang dilakukan oleh sebagai orang awam yang berkeyakinan bahwa berkurban itu dilakukan hanya untuk orang yang telah meninggal dunia, sampai-sampai mereka, dulu, salah seorang di antara mereka bertanya kepada orang lain, apakah kamu telah berkurban untuk dirimu sendiri ? ia pun menjawab, ‘aku berkurban sementara aku masih hidup ?’ , ia mengingkari perkara ini.

Akan tetapi, perlu diketahui bahwa berkurban itu hanya disyariatkan untuk orang yang masih hidup. Jadi, berkurban termasuk sunnah yang khusus bagi orang-orang yang masih hidup. Karena itu, tidak dinukil dari Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó – bahwa beliau berkurban untuk satu orang pun dari kalangan orang-orang yang telah meninggal dunia dari kalangan para kerabat beliau, atau dari kalangan para istri beliau. Tidak untuk istri beliau Zaenab bintu Khuzaemah yang meninggal dunia tidak lama seteh beliau menikahinya. Beliau juga tidak berkurban untuk pamannya Hamzah bin Abdil Muthalib yang mati syahid dalam peristiwa perang Uhud. Tetapi yang beliau lakukan adalah beliau berkurban untuk diri beliau sendiri dan untuk keluarganya, di mana hal ini mencakup mereka yang masih hidup dan mereka yang telah meninggal dunia.

Di sana ada perbedaan antara menyendirikan dalam berkurban dan mengikutkan dalam berkurban. Maka, dilakukannya berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia sebagai ikutan. Seseorang berkurban untuk dirinya dan untuk keluarganya, ia meniatkan hal itu untuk orang-orang yang masih hidup dan untuk orang-orang yang telah meninggal dunia.

Adapun berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia secara khusus, maka hal ini tidak ada dasarnya di dalam sunah, sejauh yang saya ketahui.

Namun, jika orang yang telah meninggal dunia, ia telah berwasiat sebelumya agar disembelihkan kurban untuknya, maka disembelihkan kurban untuknya karena mengikuti wasiatnya.

Saya berharap, sekarang persoalan ini telah dimengerti. Yaitu bahwa berkurban itu, pada asalnya, disyariatkan untuk orang yang masih hidup, bukan untuk orang yang telah meninggal dunia. Sehingga kurban untuk orang yang telah meninggal dunia itu sifatnya mengikut, dan boleh dilakukan karena adanya wasiat sebelumnya dari orang yang telah meninggal dunia. Adapun, donasi dari seseorang, maka sekalipun hal tersebut boleh, namun yang lebih utama selain itu.

Wallahu A’lam

Sumber :
Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Fatawa Nur ‘Ala ad-Darb, 8/337 (Soal No. 4440)

Catatan :

[1] HR. al-Bukhari : kitab al-Adhahi, bab : Fii Udhiyati an-nabiy Bi-Kabsyaini Aqranaini, no. 5554. Muslim : kitab al-Adhahi, bab : Istihbab al-Udhiyah Wa Dzabhuha Mubasyaratan Bila Taukil, no. 1966

[2] HR. al-Bukhari : kitab al-‘Idain, bab : al-Aklu Yaum an-Nahri, no. 954. Muslim : kitab al-Adhahi, bab : Waqtuha, no. 1962

[3] HR. Ibnu Majah : kitab al-Adhahi, bab : al-Adhahi Wajibatun Hiya Am La, no. 3123

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatfatwa&id=1933