Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Hukum Nikah Antara Orang Dari Kalangan Rakyat Biasa Dengan Orang Keturunan Bangsawan
Rabu, 07 April 04

Tanya :

Sudah membudaya di kalangan penduduk negeri Najd pernikahan dibatasi pada orang-orang tertentu saja dan diharamkan atas orang-orang lain, dimana dibedakan si A pengrajin (bos perusahaan), si B tukang atau rakyat jelata C. Apakah pembatasan perkawinan pada kelompok tertentu saja dibenarkan oleh ajaran Islam? Apakah yang dilakukan oleh kebanyakan orang, seperti fanatisme golongan tersebut, dibenarkan oleh ajaran Islam? Ataukah termasuk perbuatan jahiliyah? Apa standar perbedaan di antara sesama manusia? Kemudian, apakah para nabi tidak pernah menekuni bidang kerajinan, seperti kerajinan kayu yang diingkari dan direndahkan oleh penduduk negeri Najd? Apa sebab-sebab pembedaan tersebut? Saya memohon penjelasannya dengan disertai dalil dari Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dan saya berharap kepada Syaikh supaya menekankan aspek pembedaan tersebut, karena telah meresahkan sebagian masyarakat, terutama mereka yang tinggal di perkampungan. Saya mengharapkan jawaban yang tuntas, karena saya seorang khatib Jum’at dan ingin menjelaskan kesimpangsiuran ini sesuai dengan jawaban Syaikh. Semoga Allah memberi taufiq-Nya, dan saya juga berharap kalau kiranya Syaikh berkenan menulis suatu buku kecil untuk menjelaskan topik tersebut.

Jawab :

Para ulama berbeda pendapat tentang kafa’ah (kesepadanan) yang dibenarkan di dalam perkawinan. Pendapat yang benar adalah bahwa kesepadanan itu terletak pada kwalitas agama saja, sebab Allah telah berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa.” (Al-Hujurat: 13).
Demikianlah yang dianut oleh Imam Malik bin Anas, juga dinukil dari pendapat Umar bin Khattab dan Ibnu Mas’ud dari kalangan Shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Dan juga dinukil dari Muhammad bin Sirin dan Umar bin Abdul Azis Rahimahullaah.
Dalil lainnya adalah hadits yang menjelaskan bahwasanya beliau telah menikahkan Zaid bin Haritsah, seorang pembantunya dengan Zainab binti Jahsy, seorang wanita keturunan Quraisy (bangsawan) yang ibunya dari marga Bani Hasyim. Beliau juga menikahkan Fatimah binti Qais, seorang wanita berketurunan Quraisy (bangsawan) dengan Usamah bin Zaid bin Haritsah, dia dan bapaknya adalah pembantu Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam.
Ada hadits shahih pula yang bersumber dari Aisyah Radhiallaahu anha bahwasa-nya Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah bin Abd Syamsi, seorang laki-laki keturunan Quraisy yang termasuk salah seorang yang turut serta dalam perang Badar bersama Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah menjadikan Salim sebagai anak angkatnya dan kemudian menikahkannya dengan putri saudaranya yang bernama Al-Walid bin ‘Utbah bin Rabi’ah. Padahal Salim adalah pembantu (mantan budak) seorang wanita kaum Anshar.
Dari Hanzhalah bin Abi Sufwan Al-Jumahiy meriwayatkan dari ibunya: Ibunya telah berkata, “Aku melihat saudara perempuan Abdurrahman bin Auf dinikahi Bilal, padahal sudah menjadi maklum bahwa Abbdurrahman bin Auf adalah seorang keturunan Quraisy, sedangkan Bilal seorang budak laki-laki berkebangsaan Etiopia (Habasyah) yang dimerdekakan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiallaahu anhu .” Dengan demikian jelas-lah bahwa tidaklah mengapa di dalam ajaran Islam kalau seorang laki-laki bangsawan menikah dengan wanita dari orang non Arab dan para mantan budak (pembantu) atau yang biasa disebut dengan istilah rakyat jelata, begitu pula sebaliknya.
( Majalah Da’wah, edisi 851, bagian dari Fatwa Lajnah Da’imah. )

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatfatwa&id=780