Artikel : Fiqih - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Kama Kutiba

Senin, 06 Agustus 12


Allah berfirman,artinya, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan berpuasa atas kalian sebagaimana ia diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” Al-Baqarah: 183.

Tiga perkara yang dikandung oleh ayat.

Pertama: Kewajiban berpuasa atas kita orang-orang beriman.

Kedua: Sebagaimana puasa diwajibkan atas kita, ia juga diwajibkan atas orang-orang sebelum kita.

Ketiga: Tujuan puasa, yaitu agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa.

Perkara pertama merupakan perkara pokok dalam Islam, diketahui secara mendasar oleh semua kalangan orang-orang Islam, bagaimana tidak demikian sementara puasa adalah satu dari lima pilar utama di mana Islam dibangun di atasnya.

Perkara kedua: Kama kutiba, menunjukkan secara jelas kesamaan umat Nabi Muhammad shallallohu 'alaihi wasallam dengan orang-orang sebelumnya dalam hal diwajibkannya berpuasa atas mereka semuanya. Muncul pertanyaan atas dorongan ingin tahu, bagaimana cara berpuasa orang-orang sebelum umat ini, apakah sama dengan puasanya umat ini atau berbeda? Lalu apakah mereka berpuasa wajib di bulan yang sama dengan umat ini, yakni bulan Ramadhan? Dan satu lagi, siapa ‘Orang-orang sebelum kalian.’ yang termaktub dalam ayat.

Jawaban dari dua pertanyaan pertama di atas tidak terkandung dalam ayat, karena ayat hanya sebatas berkata, ‘Kama kutiba.’ sebagaimana diwajibkan, tidak lebih. Untuk pertanyaan yang ketiga, ayat tidak menyebutkan mereka secara langsung.

Penulis berusaha mencari jawaban dari ketiga pertanyaan di atas melalui buku-buku tafsir, khususnya tafsir bil ma`tsur, wa bil khusus lagi Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, karena dua buku ini adalah buku induk di bidangnya.

Ibnu Jarir ath-Thabari menyebutkan tiga pendapat dari kalangan ahli tafsir tentang siapa ‘Orang-orang sebelum kalian.’ Asy-Sya'bi berkata, “Mereka adalah orang-orang Nasrani.” Mujahid berkata, “Ahli kitab: Yahudi dan Nasrani.” Qatadah berkata, “Semua manusia sebelum umat ini.” Penulis berkata, bila membaca redaksi ayat, ‘alal ladzina min qablikum.’ maka ia menetapkan keumuman, jadi secara zhahir, tekstual ayat mencakup orang-orang sebelum umat ini semuanya. Wallahu a'lam.

Tentang waktu puasa, apakah sama dengan kita di bulan Ramadhan atau di selainnya? Jawabannya kembali kepada ayat sesudah ayat ini, yaitu Al-Baqarah: 184, “Ayyamam ma’dudat, hari-hari tertentu.” Ibnu Jarir menyebutkan riwayat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Muadz bin Jabal, Qatadah dan Atha` bahwa mereka berkata, “Tiga hari setiap bulan sebelum diwajibkannya puasa bulan Ramadhan.” Ibnu Kasir menambahkan, “Hal ini sudah disyariatkan sejak zaman Nuh sampai akhirnya Allah menasakhnya dengan puasa bulan Ramadhan.” Ini artinya mereka bukan berpuasa di bulan Ramadhan, akan tetapi tiga hari per bulannya.

Sementara asy-Sya'bi, as-Suddi dan Ibnu Abu Laila berpendapat bahwa mereka berpuasa di bulan yang sama dengan kita, di bulan Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir dengan alasan, Allah telah menjelaskan bahwa puasa yang diwajibkan atas kita adalah puasa Ramadhan, di saat yang sama, menurut Ibnu Jarir, tidak ada dalil shahih yang menetapkan puasa selain Ramadhan. Untuk masalah ini penulis berkata, wallahu a'lam.

Satu lagi, bagaimana mereka berpuasa? Untuk caranya, penulis tidak menemukan keterangan tentangnya, karena itu penulis mengembalikan masalah kepada dasar puasa, dan sepertinya mereka berpuasa dengan meninggalkan makan, minum dan hal-hal yang membatalkan lainnya, sama seperti umat ini, karena inilah yang disebut dengan shaum, puasa.

Hanya saja terkait dengan aturan waktu, kapan puasa dimulai dan kapan berakhir, terdapat riwayat dari beberapa ulama tafsir di antara mereka adalah Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin Jubair dan lainnya bahwa puasa mereka adalah dari Isya` sampai Isya`. Puasa dengan aturan waktu seperti ini sempat berlaku di awal Islam sebelum akhirnya menjadi puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari yang ditetapkan oleh firman Allah,(artinya) “Makan dan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dengan benang hitam, yakni fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai datang malam.” Al-Baqarah: 187.

Ibnu Katsir berkata, Said bin Abu Arubah berkata dari Qais bin Saad dari Atha` bin Abu Rabah dari Abu Hurairah berkata, “Bila kaum muslimin, sebelum turun ayat ini –maksudnya Al-Baqarah: 187- telah shalat Isya` maka mereka tidak boleh lagi makan, minum dan berhubungan suami istri, lalu Umar bin al-Khatthab menggauli istrinya sesudah shalat Isya` dan Shirmah bin Qais al-Anshari tertidur sesudah shalat Maghrib padahal dia belum makan apa pun, dia terbangun sesudah Rasulullah shalat Isya`, lalu dia makan dan minum, saat pagi tiba dia datang kepada Rasulullah dan mengabarkan perbuatannya kepada beliau, maka Allah menurunkan ayat ini.”

Ala kulli hal, satu hal yang pasti di balik keterangan di atas, bahwa puasa adalah kewajiban seluruh manusia pemeluk agama samawi dari kalangan umat-umat terdahulu dan juga umat ini, berarti puasa adalah ibadah insani yang manfaat dan kebaikannya tak disangsikan, sehingga Rabbul Alamin menetapkannya sebagai salah satu ibadah atas mereka, dan Islam hadir dalam bab ini dengan syariat terbaik dari sisi waktu, hukum dan tata-cara pelaksanaannya. Wallahu a'lam.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatfiqih&id=293