Artikel : Hadits - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Menghina Dan Mencela Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan Hukuman Bagi Pelakunya

Jumat, 15 Februari 13

Imam ath-Thabari rahimahullah di dalam kitab Tafsirnya membawakan riwayat dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwasanya beliau (Ibnu 'Umar) berkata:


ÞÇá ÑÌá Ýí ÛÒæÉ ÊÈæß Ýí ãÌáÓ : ãÇ ÑÃíäÇ ãËá ÞÑÇÆäÇ åÄáÇÁ ¡ ÃÑÛÈó ÈØæäðÇ ¡ æáÇ ÃßÐÈó ÃáÓäðÇ ¡ æáÇ ÃÌÈä ÚäÏ ÇááÞÇÁ! ÝÞÇá ÑÌá Ýí ÇáãÌáÓ : ßÐÈÊó ¡ æáßäß ãäÇÝÞ ! áÃÎÈÑä ÑÓæá Çááå Õáì Çááå Úáíå æÓáã ¡ ÝÈáÛ Ðáß ÇáäÈí Õáì Çááå Úáíå æÓáã æäÒá ÇáÞÑÂä. ÞÇá ÚÈÏ Çááå Èä ÚãÑ : ÝÃäÇ ÑÃíÊå ãÊÚáÞðÇ ÈÍóÞóÈ äÇÞÉ ÑÓæá Çááå Õáì Çááå Úáíå æÓáã ÊóäúßõÈå ÇáÍÌÇÑÉ ¡ æåæ íÞæá : ” íÇ ÑÓæá Çááå ¡ ÅäãÇ ßäÇ äÎæÖ æäáÚÈ! ” ¡ æÑÓæá Çááå Õáì Çááå Úáíå æÓáã íÞæá : (ÃÈÇááå æÂíÇÊå æÑÓæáå ßäÊã ÊÓÊåÒÄä áÇ ÊÚÊÐÑæÇ ÞÏ ßÝÑÊã ÈÚÏ ÅíãÇäßã)

" Ada seorang laki-laki yang berkata dalam suatu majelis saat perang Tabuk:' Aku belum pernah melihat orang yang seperti para qari [pembaca Al Qur’an] kami, mereka paling suka makan, suka berdusta dan pengecut ketika berhadapan dengan musuh.' Salah seorang dalam majelis tersebut berkata:' Engkau berdusta, akan tetapi engkau seorang munafik! Sungguh aku akan beritahukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.' Maka hal itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan turunlah Al Qur’an. ‘Abdullah bin Umar berkata:' Maka aku melihat orang itu bergantung pada sabuk unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga tersandung batu dan berdarah, sedangkan ia berkata:' Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.' Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:' Apakah dengan Allah, ayat-aya-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Tidak usah meminta maaf, sungguh kalian telah kafir sesudah kalian beriman.' [Tafsir Ath Thabari 14/333-334 no 16912 tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan ia menshahihkannya]

Kedudukan Nabi Di Hati Kaum Muslimin

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan memiliki tempat yang istimewa di hati kaum Muslimin. Dan bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada beliau hak-hak istimewa yang tidak Dia berikan kepada selain beliau. Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan hukuman yang “spesial” bagi orang-orang yang mencela dan merendahkan beliau shallallahu 'alaihi wasallam.

Hukum Menghina dan Mencela Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

Mencela Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hukumnya haram, dan termasuk salah satu pembatal keislaman seseorang. Pelakunya –jika ia seorang muslim- dihukumi murtad atau keluar dari Islam, zindiq dan munafik. Syaikh Syinqithi rahimahullah berkata:”Ketahuilah bahwasanya tidak menghormati Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam, yang memberikan kesan merendahkan, atau meremehkan beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan melecehkan atau menghina beliau- adalah perbuatan riddah (keluar) dari Islam dan kufur terhadap Allah. Dan Allah Ta’ala telah berfirman tentang orang-orang yang menghina Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan melecehkan beliau pada perang Tabuk ketika binatang tunggangan mereka hilang:


æóáóÆöäú ÓóÃóáúÊóåõãú áóíóÞõæáõäóø ÅöäóøãóÇ ßõäóøÇ äóÎõæÖõ æóäóáúÚóÈõ Þõáú ÃóÈöÇááóøåö æóÂíóÇÊöåö æóÑóÓõæáöåö ßõäúÊõãú ÊóÓúÊóåúÒöÆõæäó áóÇ ÊóÚúÊóÐöÑõæÇ ÞóÏú ßóÝóÑúÊõãú ÈóÚúÏó ÅöíãóÇäößõãú 65 - 66]

”Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab:"Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah:"Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. ..” (QS. at-Taubah: 65-66).” (Adwa’ul Bayan 7/403-404)

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:”Barangsiapa yang mencela Allah Subhanahu wa Ta'ala maka ia kufur, sama saja apakah ia bercanda atau sungguhan (serius). Demikian juga yang mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya, para Rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya.” (al-Mughni, kitab al-Murtad 12/298)

Bentuk-bentuk Menghina dan Mencela Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

-Menghina dan Mencela Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Secara Langsung

Qadhi al-‘Iyadh rahimahullah (wafat th. 544 H) berkata:”Ketahuilah semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan taufiq kepada kami dan anda, bahwasanya semua orang yang mencela Nabi shallallahu 'alaihi wasallam atau menghinanya, atau menyandarkan sifat kekurangan kepada diri, atau nasab, atau agama, atau salah satu sifat di antara sifat-sifat beliau shallallahu 'alaihi wasallam, atau menyindir beliau, atau menyerupakan beliau dengan sesuatu dalam konteks penghinaan kepada beliau, atau meremehkan, atau menyepelekan keadaan beliau, atau merendahkan, atau mencaci beliau, maka ia adalah pencela beliau. Dan hukumnya dalam hal ini adalah hukum orang yang mencela, dibunuh sebagaimana akan kami jelaskan.”(Asy-Syifaa Bita’riifi Huquuqul Mushthafa 2/473)

Maka barangsiapa yang mencela Nabi secara langsung, atau menjuluki Nabi dengan julukan-julukan yang mengandung makna celaan maka hukumnya sama, seperti orang yang mengatakan bahwa beliau “haus wanita”, pedofili, “hobi perang” dan lain-lain. Demikian juga orang-orang yang membuat karikatur Nabi atau kartun beliau.

-Mencela Sunnah beliau shallallahu 'alaihi wasallam

Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhahullah di dalam syarah kitab Tauhidnya berkata:”Adapun jika penghinaannya (celaannya) terhadap sesuatu diluar hal itu (Allah, Nabi dan al-Qur’an, ed) maka ada perincian; jika memperolok-olok (menghina) agama, maka dilihat apakah yang ia inginkan adalah mencela agama Allah atau yang ia inginkan mencela cara beragama seseorang? Contohnya ada seseorang mencela penampilan seseorang, dan penampilan tersebut adalah salah satu bentuk iltizam (berpegang teguh) dengan sunnah Nabi. Maka apakah orang ini dihukumi sebagai orang yang menghina dengan sebuah penghinaan yang mengeluarkannya dari agama? Maka jawabnya:”Tidak, karena penghinaan ini ditujukan kepada tatacara beragama orang tersebut, bukan tertuju kepada agama sama sekali. Maka orang tersebut dijelaskan bahwa perilaku tersebut adalah sunnah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu jika ia tahu bahwa hal itu sunnah, dan ia mengakuinya dan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukannya kemudian ia menghinanya –dalam artian meremehkan atau menghina orang yang mengikuti sunnah Nabi padahal dia tahu kalau hal itu sunnah, dan ia mengakui kebenarannya sebagai sunnah Nabi maka hal ini termasuk celaan terhadap Rasul shallallahu 'alaihi wasallam.” ” (at-Tamhid Syarh Kitab at-Tauhid 482)

-Mencela dan Menghina Isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

Di antara bentuk mencela Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah mencela isteri-isteri beliau shallallahu 'alaihi wasallam, terutama ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu. Para ahli fiqih sepakat bahwa barangsiapa yang melakukan qadaf (menuduh zina) terhadap ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, maka ia telah mendustakan nash yang tegas dalam al-Qur’an yang turun berkaitan dengan haknya radhiyallahu ‘anha. Dan orang tersebut dihukumi kafir jika melakukan hal itu tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Haditsul Ifki setelah Dia membersihkannya dari tuduhan zina tersebut:


{íóÚöÙõßõãõ Çááóøåõ Ãóäú ÊóÚõæÏõæÇ áöãöËúáöåö ÃóÈóÏðÇ Åöäú ßõäúÊõãú ãõÄúãöäöíäó }

“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nuur:17)

Maka barangsiapa yang kembali melakukan hal itu, bukanlah orang yang beriman. (al-Maushu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah 22/185 disarikan dari ash-Sharimu al-Maslul)

Abu Sa’ib al-Qadhi rahimahullah berkata:”Pada suatu hari aku pernah berada di majelis al-Hasan bin Zaid seorang Da’i di Thibristan, dan di hadapan beliau ada seorang laki-laki yang menyebut-nyebut ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan sebutan yang buruk (jelek) berupa perbuatan keji (zina), maka beliau berkata:’Wahai pembantuku, penggallah lehernya. ” Maka orang-orang ‘Alawiyyun berkata:’Laki-laki ini adalah dari syi’ah (penolong atau pembela atau golongan) kita.’ Maka beliau rahimahullah berkata:’Aku berlindung kepada Allah, lelaki ini telah mencela (menghina) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, karena Allah Ta’ala berfirman:


{ÇáúÎóÈöíËóÇÊõ áöáúÎóÈöíËöíäó æóÇáúÎóÈöíËõæäó áöáúÎóÈöíËóÇÊö æóÇáØóøíöøÈóÇÊõ áöáØóøíöøÈöíäó æóÇáØóøíöøÈõæäó áöáØóøíöøÈóÇÊö ÃõæáóÆößó ãõÈóÑóøÃõæäó ãöãóøÇ íóÞõæáõæäó áóåõãú ãóÛúÝöÑóÉñ æóÑöÒúÞñ ßóÑöíãñ}

“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).Mereka(yang di tuduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (yaitu surga)." (QS. an-Nuur: 26)
Maka jika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha khabits (buruk dan tidak baik), berarti Nabi shallallahu 'alaihi wasallam buruk. Maka dia (lelaki tersebut) kafir, penggallah lehernya! Lalu mereka membunuh lelaki itu dan aku menyaksikannya. Diriwayatkan oleh al-Lalika’i.” (ash-Sharim al-Maslul: 566)
Adapun mencela isteri-isteri Nabi yang lain selain ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, maka ada dua pendapat;

Pendapat pertama, hukumnya sama seperti mencela shahabat, sebagaimana yang akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya

Pendapat kedua, -dan ini yang lebih shahih- bahwasanya barangsiapa yang melakukan qadaf terhadap salah seorang dari Ummahatul Mukminin (ibunda kaum Mukminin/isteri-isteri Nabi), maka hukumnya sama seperti qadaf terhadap ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Karena dalam perbuatan tersebut ada celaan dan aib terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan bahkan hal itu lebih menyakiti Nabi dibandingkan dengan menikahi mereka sepeninggal wafat beliau shallallahu 'alaihi wasallam.” (ash-Sharim al-Maslul: 567)

Dan konsekwensi mencela mereka (isteri-isteri Nabi) adalah celaan dan hinaan terhadap Rasul shallallahu 'alaihi wasallam, dan hal itu dilarang. (al-Maushu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah 22/185)

-Mencela dan Menghina Ahli Bait Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah membawakan riwayat dari Abu Mush’ab rahimahullah dari imam Malik rahimahullah:”Barangsiapa yang mencela Alu bait (keluarga) Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dipukul dengan pukulan yang menyakitkan, dipermalukan dan ditahan (dipenjara) dalam waktu yang lama hingga memperlihatkan taubatnya, karena hal itu adalah sikap menyepelekan (meremehkan) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” (ash-Shawa’iq al-Muhriqah: 144)

-Mencela Shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

Di antara bentuk mencela Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah mencela shahabat beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Karena, di antara konsekwensi dari mencela shahabat radhiyallahu ‘anhum, adalah celaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, terhadap Islam, dan terhadap Rabb Subhanahu wa Ta'ala.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:”Sesungguhnya mencela Shahabat radhiyallahu ‘anhum bukan hanya celaan kepada mereka saja, akan tetapi hal itu adalah celaan terhadap para Shahabat, Nabi, syari’at dan terhadap Dzat Allah ‘Azza wa Jalla.”

Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan sisi kenapa hal tersebut adalah celaan terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu dari sisi bahwa mereka adalah shahabat beliau, orang kepercayaan beliau dan penerus beliau untuk menjaga umatnya dari kejahatan makhluk. Dan ada sisi yang lain, yaitu bahwa hal itu adalah sikap mendustakan beliau shallallahu 'alaihi wasallam pada apa-apa yang beliau kabarkan tentang keutamaan dan kelebihan mereka radhiyallahu ‘anhum. (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 8/616)

Dan mungkin bisa kita tambahkan bahwa para shahabat adalah para murid beliau shallallahu 'alaihi wasallam, apabila para shahabat sebagai murid dikatakan buruk, atau bahkan kafir, maka secara tidak langsung hal itu adalah ungkapan bahwa guru dari para murid tersebut adalah buruk dan gagal. Padahal guru mereka adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Berarti celaan mereka terhadap para shahabat adalah celaan terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

Maka lihatlah bencana besar yang ditimbulkan dari mencela shahabat radhiyallahu ‘anhum!!

Hanya saja para Ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, sebagian mereka ada yang mengkafirkannya secara mutlak dan mengatakan bahwa pelakunya dihukum bunuh, sebagian lagi mengatakan bahwa pencela shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak kafir secara mutlak dan hukuman bagi pelakunya adalah dipenjara sampai ia bertaubat atau mati, dan sebagian lagi mengatakan bahwa pencela Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma saja yang dihukumi kafir, sedangkan pencela shahabat selain keduanya tidak kafir. Maksud kafir atau tidak kafir secara mutlak adalah bahwa hukum tersebut berlaku, tanpa melihat siapa shahabat yang dicela.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah membagi celaan terhadap shahabat ke dalam tiga bagian:

Pertama: Mencela mereka dengan sesuatu yang menunjukkan kafirnya sebagian besar shahabat, atau kebanyakan dari mereka adalah fasiq. Maka ini adalah sebuah kekufuran, karena ini merupakan sikap mendustakan Allah dan Rasul-Nya yang telah memberikan pujian dan keridhaan kepada mereka. Dan bahkan barangsiapa yang ragu dengan kufurnya hal yang seperti ini, maka kafirnya orang tersebut sudah pasti, karena kandungan dari ungkapan ini adalah bahwa para pembawa (penukil) al-Qur’an dan as-Sunnah adalah kafir atau fasiq.

Kedua: Mencela mereka dengan laknat dan memburuk-burukan mereka. Maka dalam menghukumi kufurnya celaan jenis ini ada dua pendapat di kalangan ulama, dan menurut pendapat yang mengatakan tidak kafir, maka pelakunya wajib dicambuk, dan ditahan sampai ia mati atau rujuk dari ucapannya (menarik kembali ucapannya)

Ketiga: Mencela mereka dengan sesuatu yang tidak mencacati agama mereka, seperti mengatakan bahwa mereka pengecut, dan bakhil (pelit), maka pelakunya tidak kafir. Akan tetapi ia dita’zir (dihukum berdasarkan ijtihad hakim) dengan sesuatu yang membuatnya jera dari perbuatan tersebut.
Makna ucapan tersebut dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah dalam kitabnya “ash-Sharimu al-Maslul” (Fatawa asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 5/83-84)

Hukuman Para Pencela Nabi

Celaan terhadap Nabi bisa jadi datang dari orang yang mengaku Islam dan orang kafir dzimmi. Maka jika celaan tersebut datangnya dari seorang yang mengaku Islam, maka hukumnya adalah dibunuh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata:” Sesungguhnya si pencela, jika ia seorang Muslim, maka ia menjadi kafir dan (hukumannya) dibunuh, tanpa ada perbedaan pendapat. Dan ini adalah pendapat imam empat dan selain mereka.”(ash-Sharim al-Maslul hal 4)

Sedangkan jika celaan itu datang dari seorang kafir dzimmi maka jumhur ulama mengatakan bahwa hukuman bagi pelakunya adalah hukum bunuh menurut pendapat yang lebih kuat. Dan itu adalah pendapat tiga imam; Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad rahimahumullah (Subulus Salam dan ash-Sharimul Maslul)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata:” Dan jika ia (si pencela), jika seorang dzimmi, maka ia dibunuh juga menurut pendapat Malik dan ahli Madinah, dan akan datang penyebutan lafazh-lafazh ucapan mereka. Dan ini adalah pendapat Ahmad dan ahli fikih dari kalangan ahlli hadits.”(ash-Sharim al-Maslul hal 4)

Namun yang perlu menjadi catatan bahwa yang menerapkan dan menegakkan hukuman tersebut adalah pemerintah kaum Muslimin, bukan pribadi-pribadi,atau kelompok, atau golongan tertentu. Dan kewajiban masing-masing kaum Muslimin ketika mendengar atau melihat orang yang mencela, menghina dan meremehkan Nabi hanyalah melaporkannya kepada pihak yang berwenang (pemerintah) agar memberikan hukuman kepada orang tersebut. Dan kewajiban pemerintah adalah bersikap tegas terhadap orang-orang yang mencela dan menghina Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, supaya tidak ada pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu yang “bertindak sendiri” di luar tanggung jawab mereka.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihathadits&id=334