Artikel : Kajian Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Pendidikan Anak Dalam Islam
oleh :

Para ulama madzhab Imam Syafi’i memperingatkan akan contoh-contoh kemusyrikan agar hal itu dijauhi. Imam Syafi’i dan sejumlah pengikutnya, misalnya melarang segala bentuk kemusyrikan, baik syirik besar maupun syirik kecil, seperti berdo’a dan minta tolong kepada selain Allah [1], bersujud kepada selain Allah [2], ruku’ kepada selain Allah [3], nadzar kepada selain Allah [4], menyembelih binatang untuk selain Allah [5], keyakinan bahwa seseorang itu dapat mengetahui hal-hal yang ghaib [6], bersumpah dengan menyebut selain Allah” [7], menyatakan “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu” [8], dan mempunyai keyakinan bahwa sihir itu sendiri memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang” [9].

Imam Syafi’i mengatakan, “Orang yang bersumpah dengan menyebut sesuatu selain Allah, seperti seseorang bersumpah, “Demi Ka’bah, demi ayahku, demi tempat ini, tempat itu, dan lain-lain”, kemudian ia melanggar sumpahnya itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat (denda sumpah).

Semua sumpah dengan menyebut nama-nama selain nama Allah, dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah melarang kamu bersumpah dengan menyebut (nama-nama) nenek moyangmu. Siapa yang mau bersumpah, hendaknya bersumpah dengan menyebut nama Allah, atau diam saja.” [10]

Kami diberitahu Ibnu ‘Uyainah, katanya, ia diberitahu az-Zuhri, katanya, ia diberitahu Salim dari Ayahnya, kata ayahnya, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar Umar bersumpah dengan menyebut nama ayahnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya Allah melarang kamu untuk bersumpah dengan menyebut nenek moyangmu.” Umar radhiyallahu ‘anhu kemudian berkata, “Demi Allah, sesudah itu saya tidak pernah bersumpah dengan menyebut nama selain Allah.” [11]

Kata Imam Syafi’i selanjutnya, “Semua orang yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, saya tidak menyukai ia melakukan itu. Dan saya khawatir sumpahnya itu menjadi maksiat. [12]

Sementara Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki mengatakan, “Dosa besar yang ke seratus enam puluh tujuh adalah menyembelih binatang dengan menyebut nama selain Allah dengan cara yang tidak menyebabkan kafir, misalnya dengan tidak bermaksud mengagungkan sesuatu yang di tuju dalam penyembelihannya, seperti mengagungkan dengan cara beribadah dan sujud.”

Selanjutnya, Imam Ibnu Hajar mengatakan “Menurut ulama penerus madzhab Syafi’i, di antara perbuatan yang menyebabkan sembelihan binatang itu haram dimakan adalah ketika menyembelih mengatakan, “Dengan menyebut nama Allah dan nama Muhammad”, ‘atau Muhammad Rasulullah’ atau ‘Muhammad’. Demikian pula apabila seorang kafir kitabi (Yahudi dan Nashrani) menyembelih binatang untuk gereja, salib, Musa, atau Isa. Begitu pula orang muslim menyembelih hewan untuk Ka’bah, Muhammad, atau menyembelih dengan niat ketaatan ritual untuk penguasa atau yang lain, atau untuk jin, semua itu menyebabkan hewan yang disembelih haram dimakan, dan itu semua merupakan dosa besar.” [13]

Dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam al-Rafi’i mengatakan, “Adapun nadzar yang diperuntukkan kepada makam-makam “keramat”, yaitu pada kubur seorang wali, ulama atau nama wali yang menempatinya, atau tempat-tempat yang dikeramatkan karena sering dikunjungi para wali atau orang-orang shaleh, maka apabila orang yang melakukan nadzar tersebut bermaksud, dan ini yang banyak terjadi dan dilakukan orang-orang awam, untuk mengagungkan bumi, tempat, atau ruangan, orang yang dimakamkan di situ, atau orang-orang yang ada kaitannya dengan tempat-tempat itu, atau dengan niat mengagungkan suatu nama, maka nadzar tersebut batal, tidak sah.

Hal itu karena mereka berkeyakinan bahwa tempat-tempat itu memiliki keistimewaan. Mereka menganggap bahwa tempat-tempat itu dapat menolak balak, mendatangkan keberuntungan, dan dengan nadzar itu, tempat-tempat itu dapat menyembuhkan dari penyakit. Sampai mereka melakukan nadzar untuk batu-batu, karena konon ada orang shaleh yang pernah bersandaran pada batu-batu itu. Mereka juga bernadzar untuk memasang lampu, memberikan minyak untuk sebuah kuburan. Mereka beranggapan bahwa kubur seseorang, atau tempat itu menerima nadzar; maksudnya dengan memberikan nadzar itu maksud seseorang dapat terkabul, misalnya orang sakit bisa sembuh, orang hilang bisa kembali, atau bisa diselamatkan, dan nadzar-nadzar lainnya.

Nadzar dengan cara seperti ini adalah batal, tidak diragukan lagi. Bahkan nadzar untuk memasang lampu, memberikan minyak dan lain-lain pada suatu kuburan adalah batal secara mutlak. Termasuk nadzar untuk memasang lilin yang besar dan banyak di makam Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, kubur nabi-nabi yang lain, atau kubur orang-orang shaleh. Orang yang bernadzar itu tidak punya maksud lain dengan memasang lampu di kubur-kubur itu, kecuali mencari berkah dan mengagungkan tempat-tempat itu, karena mereka mengira hal seperti itu merupakan ibadah. Hal ini tidak diragukan lagi kebatilannya. Menyalakan lampu seperti itu adalah haram, baik ada orang yang menggunakannya atau tidak.” [14]

Imam Nawawi mengatakan, “Apabila ada yang bernadzar untuk berjalan kaki menuju ke masjid selain tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Aqsha), maka dia tidak wajib melakukannya, dan menurut madzhab Syafi’i, nadzar tersebut tidak sah.” [15]

Dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam Ibnu Hajar al-Makki mengatakan, “Orang yang menyembelih binatang tidak boleh menyebut “Bismillahi wa ismi Muhammad” (Dengan menyebut nama Allah dan nama Muhammad).” Kata beliau, “Menyambung dua kata itu haram, karena hal itu berarti mempersekutukan Muhammad dengan Allah. Sementara hak Allah adalah sembelihan itu disebutkan nama-Nya saja sebagaimana dengan sumpah, harus disebut nama Allah saja.

Apabila ketika menyembelih itu menyebut nama Allah, kemudian nama Muhammad disebut agar memperoleh keberkahan saja, maka hal itu dimakruhkan.

Sedangkan Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami asy-Syafi’i berkata, “Hal itu maksudnya mereka tidak boleh bernadzar kepada selain Allah, mereka tidak boleh thawaf kecuali di Baitullah. Oleh karena itu tidak boleh nadzar untuk para wali dan para ulama shalihin. Tidak boleh pula melakukan thawaf mengelilingi kubur-kubur mereka, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu berthawaf mengelilingi Syaikh Abdul Qadir Jaelani, kubur Syaidina al-Husain, Syaikh al-Badawi, Syaikh ad-Dasuqi, dan lain-lain. Semua itu adalah perbuatan syirik, tidak ada perbedaan pendapat lagi dalam masalah ini.

Banyak pelaku bid’ah yang bodoh-bodoh bernadzar untuk orang-orang shaleh. Sebagian mereka mengirimkan uang untuk memasang gordyn (kelambu) dan membangun kubah, seperti banyak dilakukan orang-orang India dan Pakistan yang bernadzar untuk Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Perbuatan ini dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah.

Sementara orang-orang Syi’ah dari India dan Pakistan, mereka bernadzar menyerahkan hartanya untuk kuburan Ahli Bait di Najaf, Karbala, Khurasan, dan Qum. Mereka sengaja datang dari berbagai penjuru dunia ke kubur-kubur itu, untuk melakukan thawaf, minta pertolongan kepada penghuni kubur, meminta agar penghuni kubur itu mengabulkan hajatnya, melepaskan dari kesusahannya, suatu hal yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh pencipta langit dan bumi.

Sebagaimana tidak boleh bernadzar untuk kubur para wali dan shalihin, tidak boleh pula mewakafkan rumah atau kebun untuk kepentingan kubur mereka. Barangsiapa bernadzar untuk selain Allah, ia tidak boleh memenuhi nadzarnya itu, bahkan dia harus minta ampun kepada Allah, bertaubat, membaca kalimat syahadat karena dia telah murtad, apabila ia telah tahu bahwa nadzar untuk selain Allah itu syirik.

Orang yang mewakafkan kebun atau binatang untuk kubur-kubur para wali, maka wakafnya itu batal (tidak sah). Apabila ada orang yang berwasiat seperti itu, maka wasiatnya juga batal (tidak sah). Kebun atau hewan tadi tetap menjadi miliknya. Kita mohon petunjuk kepada Allah untuk kita dan mereka.

Adapun pendapat orang yang mengatakan bahwa nadzar itu untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali, maka pendapat itu adalah batil dan kesesatan yang nyata. Untuk wali dimasukkan ke situ? Apabila ia bermaksud sedekah, silahkan bersedekah kepada orang-orang fakir atas nama sendiri, kedua orang tuanya, dan keluarganya. Dari mana pula ia tahu bahwa penghuni kubur itu adalah wali? Segala sesuatu itu akan dinilai bagaimana akhirnya. Adakalanya seseorang kelihatan baik, tetapi ternyata batinnya buruk; tampaknya muslim, ternyata batinnya kafir zindiq. Orang-orang yang melakukan perbuatan seperti itu sudah jelas ketidakbenarannya dan kesesatannya, yaitu mereka menggiring kambing dan menyembelihnya di kuburan. Ketika anda ingkari hal itu, mereka berkata, “Sembelihan untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali”. Tujuan mereka tidak lain adalah untuk mengelabui dan memutarbalikkan kebenaran. Mereka tidak punya tujuan lain kecuali untuk wali penghuni kubur.

Padahal para ulama telah menjelaskan, bahwa tidak boleh menyembelih hewan di suatu tempat yang dulu pernah dipakai untuk menyembelih hewan untuk selain Allah. Hal itu berdasarkan hadits riwayat Tsabit adh-Dhahhak, katanya, “Ada seorang bernadzar untuk menyembelih onta di suatu tempat bernama Bawanah. Ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk hal itu. Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah di tempat itu ada patung-patung jahiliyah yang disembah?” Para sahabat menjawab, “Tidak”. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Penuhilah nadzarmu, dan tidak boleh memenuhi nadzar yang berunsur maksiat kepada Allah, dan tidak boleh pula memenuhi nadzar dalam hal-hal yang tidak dimiliki oleh manusia.” [16]

Catatan Kaki :

[1] Berdasarkan firman Allah :

ÅöÐú ÊóÓúÊóÛöíËõæäó ÑóÈóøßõãú ÝóÇÓúÊóÌóÇÈó áóßõãú

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabb-mu, lalu diperkenankan-Nya bagimu.” (Al-Anfal : 9)

æóÞóÇáó ÑóÈõøßõãõ ÇÏúÚõæäöí ÃóÓúÊóÌöÈú áóßõãú Åöäóø ÇáóøÐöíäó íóÓúÊóßúÈöÑõæäó Úóäú ÚöÈóÇÏóÊöí ÓóíóÏúÎõáõæäó Ìóåóäóøãó ÏóÇÎöÑöíäó

“Dan Rabbmu berfirman: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (Al-Mu’min: 60)

æóãóäú ÃóÖáõø ãöãóøä íóÏúÚõæÇ ãöä Ïõæäö Çááåö ãóä áÇóøíóÓúÊóÌöíÈõ áóåõ Åöáóì íóæúãö ÇáúÞöíóÇãóÉö æóåõãú Úóä ÏõÚóÂÆöåöãú ÛóÇÝöáõæäó

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do'anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do'a orang itu.” (al-Ahqaf:5)

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Sesungguhnya doa’ itu adalah ibadah”

Untuk mengetahui lebih jauh pendapat ulama Syafi’iyah, lihat al-I’lam bi Qawathi al-Islam, karya Imam Ibnu Hajar al-Makki, hal. 95,71; Al-‘Iqd” ats Tsamin, dan Tathhir al-Jinan, hal. 38

Adapun cerita sementara orang, bahwa Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Apabila saya mendapat kesulitan, saya akan pergi dan berdo’a di kubur Imam Abu Hanifah. Maka beliau akan mengabulkan”, Imam Alusi al-Hanafi mengatakan bahwa cerita ini sangat bohong bagi orang yang mengetahui penukilan riwayat.

Imam Syafi’i, begitu kata Al-Alusi, ketika datang di Baghdad, di kota ini tidak ada kuburan yang diziarahi dan dipakai untuk berdo’a sama sekali. Bahkan pada masa Imam Syafi’i hal seperti itu tidak dikenal. Imam Syafi’i pernah melihat kubur para nabi, para sahabat dan tabi’in di Hijaz, Syam dan Mesir. Penghuni kubur itu bagi Imam Syafi’i dan umat Islam seluruhnya tentu lebih utama dibanding dengan Imam Abu Hanifah. Ternyata Imam Syafi’i tidak berdo’a di tempat-tempat seperti itu.

Sementara murid-murid Imam Abu Hanifah yang hidup satu masa dengan beliau, seperti Abu Yusuf, Muhammad, Zufar dan al-Hasan bin Ziyad dan yang segenarasi dengan mereka, tidak pernah berdo’a di kubur Imam Abu Hanifah atau yang lain. Sedang Imam Syafi’i sendiri telah menegaskan dalam sebagian kitabnya, bahwa beliau tidak menyukai pengagungan kuburan, khawatir terjadi fitnah (hal-hal yang mengarah kepada pengkultusan dan kemusyrikan).

Cerita seperti di atas, itu hanya dibikin oleh orang-orang yang dangkal pengetahuan agamanya. Hal itu terjadi karena, kemungkinan bersumber dari orang yang tidak dikenal identitasnya.

Hikayat ini andaikata dikatakan diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka riwayatnya tidak dapat diterima sebelum diteliti keshahihannya menurut kaidah Ahli Hadits. Apalagi kalau hikayat ini dinukil dari selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam .

Termasuk dalam kaitan masalah ini adalah perbuatan yang boleh jadi dikerjakan oleh seorang sahabat, atau juga mungkin pendapatnya, yang hanya berdasarkan ijtihadnya yang bisa benar dan salah. Atau sahabat berpendapat tetapi dengan beberapa catatan atau syarat yang harus dipenuhi. Sementara periwayat pendapat itu tidak menuturkan syarat-syarat atau catatan itu secara lengkap, sehingga terjadi perubahan dalam penukilan.

Seperti halnya riwayat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau menyuruh ziarah kubur setelah sebelumnya beliau melarangnya. Kemudian orang-orang yang cenderung kepada kebatilan menganggap bahwa ziarah yang disuruh atau diizinkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah ziarah seperti yang mereka lakukan, di mana mereka sengaja ziarah kubur untuk shalat di atasnya, dan minta pertolongan kepada penghuni kubur.

Dalil-dalil seperti ini antara dua hal; Riwayat yang tak dapat dibenarkan syari’at atau qiyas yang tidak dapat dijadikan landasan penganjuran ibadah, sementara diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mensyariatkannya. Lihat Fath al-Mannan, hal. 372-373.

[2] Berdasarkan firman Allah:

íóÇãóÑúíóãõ ÇÞúäõÊöí áöÑóÈöøßö æóÇÓúÌõÏöí æóÇÑúßóÚöí ãóÚó ÇáÑóøÇßöÚöíäó

“Hai Maryam, ta'atlah kepada Rabbmu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.” (Ali Imran: 43).

Untuk mengetahui sikap ulama madzhab Syafi’i tentang masalah ini, silahkan lihat: Raudhah ath-thalibin, VII/283-284; al-Jamal ala Syarh al-Minhaj, V/124; Mughni al-Muhtaj, IV/136; Al-I’lam bi Qawathi’ al-Islam, hal. 95, 63, 19, 93, 98, 20, 21; dan Thathir al-Jinan, hal.37

[3] Berdasarkan firman Allah pada catatan kaki di atas (Ali Imran: 43). Sementara untuk mengetahui sikap ulama madzhab Imam Syafi’i dalam masalah ini, silahkan lihat al-Jamal ‘ala Syarh al- Minhaj, V/124

[4] Berdasarkan firman Allah :

æóáúíõæÝõæÇ äõÐõæÑóåõãú

“Dan hendaklah mereka melakukan nadzar-nadzar mereka” Al-Hajj : 29

Nadzar adalah sebuah ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali karena Allah. Untuk mengetahui sikap ulama madzhab Imam Syafi’i dalam masalah ini, lihat al-Majmu’, VIII/435; Mughni al-Muhtaj, IV/371, Fath al-Majid, hal. 213; dan Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 86, 96.

[5] Berdasarkan firman Allah:

ÝóÕóáöø áöÑóÈöøßó æóÇäúÍóÑú

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah. (Al-Kautsar : 2)

Dan firman Allah :

Þõáú Åöäóø ÕóáÇóÊöí æóäõÓõßöí æóãóÍúíóÇíó æóãóãóÇÊöí ááåö ÑóÈöø ÇáúÚóÇáóãöíäó

“Katakanlah:"Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (Al-An’am : 162)

Menyembelih binatang adalah suatu ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali karena Allah, dan harus menyebut nama Allah. Tidak boleh memakan daging sembelihan yang ketika menyembelihnya tidak disebut nama Allah. Untuk mengetahui sikap ulama madzhab Syafi’i dalam masalah ini, silakan baca Raudhatu ath Thalibin; VII/284; az-Zawajir, I/167, Al-‘Iqd ats-Tsamin, hal. 222; dan Thathir al-Jinan, hal. 37.

[6] Berdasarkan firman Allah :

ÚóÇáöãó ÇáúÛóíúÈö ÝóáÇó íõÙúåöÑõ Úóáóì ÛóíúÈöåö ÃóÍóÏð

“Dia adalah Tuhan yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.” (Al-Jinn: 26).

Dan firman Allah, “Katakan tidak ada seseorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah.” (An-Naml : 65

Untuk mengetahui pendapat para ulama madzhab Syafi’i, lihat al-I’lam bi Qawathi’ al-Islam, hal. 69,71; al-‘Iqd ats-Tsamin al-Baghawi, IV/405-406.

[7] Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapa yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, maka ia telah menjadi musyrik.” Dalam riwayat lain disebutkan, “telah kafir”.

Untuk mengetahui pendapat ulama madzhab Syafi’i, lihat al-Umm, VII/61; al-Majmu', hal.19, 227, 228; Syarh as-Sunnah, /9; Ibnu Daqiq al-‘Id, Ihkam al-Ahkam, IV/144; Hilyah al-Ulama, VII/256; Mughni al-Muhtaj, IV/324; al-Jamal ‘ala Syarh al-Minhaj, V/288; dan Fath al-Bari, XI/530-531.

[8] Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang yang berkata begitu kepada beliau, “Apakah kamu mau menjadikan aku sebagai tandingan Allah? Katakan saja, “Apa yang dikehendaki Allah saja.” Lihat Syarh As-Sunnah, XII/36-361

[9] Berdasarkan firman Allah :

Ýóáóãóø ÃóáúÞõæÇ ÓóÍóÑõæÇ ÃóÚúíõäó ÇáäóøÇÓö æóÇÓúÊóÑúåóÈõæåõãú æóÌóÂÁõæÇ ÈöÓöÍúÑò ÚóÙöíãò

“Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).” (Al-A’raf 7:116)

Dan firman Allah :

ÅöäóøãóÇ ÕóäóÚõæÇ ßóíúÏõ ÓóÇÍöÑò æóáÇóíõÝúáöÍõ ÇáÓóøÇÍöÑõ ÍóíúËõ ÃóÊóì

“Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang". (Thaha: 69)

Untuk mengetahui pendapat ulama madzhab Syafi’i, lihat al-I’am bi Qawathi’ al-Islam, hal. 98

[10] Shahih al-Bukhari, XI/530; Shahih Muslim; III/126 Sunan an-Nasai, VII/4; Sunan Abu Daud, III/569

[11] Sunan Abu Daud, III/570; Sunan An-Nasa’i VII/4; Sunan Ibnu Majah, I/667.

[12] al-Umm, VII/61.

[13] az-Zawajir, I/284-285

[14] Fath al-Majid, hal. 213

[15] al-Majmu. VIII/471

[16] Hadits riwayat Abu Daud, Sunan Abi Daud, III/607, Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, X/83, ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, hadits no.1341. Hadits ini shahih menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, Talkhis al-Habir, IV/180. Tentang keterangan Imam Ibnu Hajar Ali Buthami, lihat Tathhir al-Jinan, hal.21-29.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexkajian&id=1§ion=kj001