Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Mendekat Tanpa Merayap
Selasa, 18 Agustus 20

LANGKA DALAM CERITA

“Aku keluar menuju pantai untuk melakukan ribath (tugas menjaga perbatasan). Ketika itu kami harus berjaga di suatu pos penjagaan yang menghadap Mesir. Tatkala aku sudah tiba di pantai, tiba-tiba di tanah yang lapang itu aku melihat sebuah kemah. Di kemah itu ada seorang laki-laki yang kedua tangan dan kakinya buntung, telinganya susah mendengar dan pandangannya pun telah samar-samar. Tidak ada anggota tubuh yang bisa digunakan selain lisannya. Dan ia terus menerus membaca:


Çóááøóåõãøó ÃóæúÒöÚúäöìú Ãóäú ÃóÍúãóÏóßó ÍóãúÏðÇ ÃõßóÇÝöìÁõ Èöåö ÔõßúÑó äöÚúãóÊößó ÇáøóÊöí ÃóäúÚóãúÊó ÈöåóÇ Úóáóìøó æóÝóÖøóáúÊóäöì Úóáóì ßóËöíúÑò ãöãøóäú ÎóáóÞúÊó ÊóÝúÖöíúáðÇ


“Ya Allah! tolonglah aku agar aku bisa senantiasa memuji-Mu, pujian yang mampu membuatku mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan Engkau telah melebihkan diriku atas banyak makhluk yang Engkau ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

“Demi Allah! Aku harus mendatangi orang ini, lalu menanyakan bagaimana ia bisa terus menerus mengucapkan kata-kata itu, apakah itu pemahaman, ilmu atau ilham yang diperolehnya?” gumam dalam hati.

Maka aku pun mendatangi orang itu dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu aku berkata, “Aku mendengar engkau terus mengucapkan, ‘Ya Allah! tolonglah aku agar aku bisa senantiasa memuji-Mu, pujian yang mampu membuatku mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan Engkau telah melebihkan diriku atas banyak makhluk yang Engkau ciptakan dengan kelebihan yang sempurna,’ lantas nikmat apa dari nikmat-nikmat yang telah Allah karuniakan kepadamu yang membuatmu harus memuji-Nya dan keutamaan apa yang telah dilebihkan kepadamu yang membuatmu harus mensyukurinya?”
Lalu orang itu menjawab, “Apa pendapatmu terhadap apa yang dilakukan oleh Tuhanku. Demi Allah! andai saja Allah mengirimkan api dari langit lalu membakar tubuhku, menyuruh gunung-gunung untuk menghancurkan diriku, menyuruh lautan untuk menenggelamkan jasadku, dan menyuruh bumi untuk menelan ragaku, tidaklah bertambah dalam diriku kepada Tuhanku melainkan rasa syukur atas lisan yang telah dikaruniakan kepadaku.”(ats-Tsiqat, Ibnu Hibban, 5/2-5). Inilah kisah yang dituturkan oleh Abdullah bin Muhammad.

AKAN TERUS TERKENANG

Laki-laki yang diceritakan oleh Abdullah bin Muhammad adalah Abu Qilabah Abdullah bin Zaid al-Jarmi. Meninggal tahun 104 H. Ia adalah seorang yang shalih, ahli ibadah, dan sangat zuhud, seorang alim dan ahli fikih.

Ayyub berkata, “Demi Allah! dia merupakan seorang fuqaha yang berilmu, sungguh aku mendapatinya sebagai seorang manusia yang paling tahu tentang masalah qadha’ (pengadilan), sekaligus yang paling cepat dan paling antusias menghindari masalah qadha’. Di wilayah ini, aku tidak menemukan seorang yang paling tahu tentang qadha’ selain daripada Abu Qilabah.”(Siar A’lam an-Nubala’, adz-Dzahabi, 8/26).

Abu Qilabah dilahirkan di Bashrah (Irak), lalu tumbuh besar menjadi seorang alim yang dikenal. Ketika diminta menjadi seorang qadhi (hakim), dia justru menolak, padahal jabatan itu sangat layak. Dia malah memilih pergi ke Syam, tepatnya di daerah Dariya. Hidup sederhana dalam keterbatasan. Diuji raganya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala; lemah tidak bisa berbuat apa-apa, karena kedua tangan dan kakinya buntung, kedua matanya nyaris buta, kedua telinganya nyaris tuli. (Siar A’lam an-Nubala’, adz-Dzahabi, 8/29). Dia pergi menjauhi hiruk pikuk dunia, tinggal di dalam kemah hanya ditemani seorang anak yang masih belia, anak inilah satu-satunya yang membantu dirinya mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia yang mewudhukan, menyuapi dan memberinya minum.

Keberadaan anak ini adalah separuh nikmat dalam hidupnya. Tapi tatkala anak itu meninggal dimangsa binatang buas. Dia justru memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala.


ÇóáúÍóãúÏõ áöáøóåö ÇáøóÐöí áóãú íóÎúáõÞú ãöäú ÐõÑöøíøóÊöíú ÎóáúÞðÇ íóÚúÕöíúåö¡ ÝóíõÚóÐøöÈóåõ ÈöÇáäøóÇÑö


“Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan dari anak keturunanku seorang yang bermaksiat kepada-Nya lalu menyiksanya dengan api neraka.” (Ats-Tsiqat, Ibnu Hibban, 5/2-5).

SATU YANG BESAR

Bisa mengantarkan kebaikan yang besar, pun menjebak dalam keburukan yang besar. Tinggal siapa dan bagaimana membawanya. Yang satu ini tidak lain adalah lisan. Separuh nikmat yang melengkapi nikmat anak dalam benak Abu Qilabah yang sangat patut disyukuri.


ãóäú íóÖúãóäú áöí ãóÇ Èóíúäó áóÍúíóíúåö æóãóÇ Èóíúäó ÑöÌúáóíúåö ÃóÖúãóäú áóåõ ÇáÌóäøóÉó


“Siapa dapat menjaga apa yang ada diantara dua rahang (yakni lisan), dan apa yang ada diantara dua kaki (yakni kemaluan), maka aku jaminkan untuknya surga.”(HR. Al-Bukhari, no. 6474).


æóåóáú íóßõÈøõ ÇáäøóÇÓó Ýöí ÇáäøóÇÑö Úóáóì æõÌõæåöåöãú Ãóæú Úóáóì ãóäóÇÎöÑöåöãú ÅöáøóÇ ÍóÕóÇÆöÏõ ÃóáúÓöäóÊöåöãú


“Tidaklah manusia ditelungkupkan ke dalam api neraka di atas wajah atau hidung mereka melainkan karena ulah lisan mereka.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2616, hadits shahih).

MENDEKAT TANPA MERAYAP

Keterbatasan fisik bukan alasan tidak bisa menjadi besar, kelemahan raga bukan alasan tetap dalam keterpurukan. Selama hati masih tersentuh, lisan masih bisa digerakkan, sekalipun hanya teriringi suara sayup-sayup. Harapan besar masih terbuka lebar.

Nabi Ayyub ‘alaihissalam, raganya diuji dengan suatu penyakit, sudah tidak ada yang layak selain hati dan lisan.(Tafsir Ibnu Katsir, 5/359). Pun Abu Qilabah, merayap tak kuasa apalagi berdiri. Namun beruntung, hati dan lisan masih tersimpan baik. Mereka membuktikan dengan keduanya masih bisa meraih kemenangan yang besar, yaitu keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat QS. At-Taubah: 72).


Åöäøó Çááøóåó áóÇ íóäúÙõÑõ Åöáóì ÃóÌúÓóÇÏößõãú æóáóÇ Åöáóì ÕõæóÑößõãú æóáóßöäú íóäúÙõÑõ Åöáóì ÞõáõæÈößõãú


“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada raga dan rupa kalian tapi melihat kepada hati kalian.” (HR. Muslim, no. 6707).

Mendekatlah, sekalipun hasrat hati merayap, ketika raga terdiam tak kuasa. Cukup hati menuntun, lisan mengiringi. Berjalan bersama, hati mengajak bersabar, lisan menyanjung memuji. Sabar dan syukur berpadu, mengepak dari relung hati yang suci, terlantun indah dalam lisan. Cukup dua organ ini mengajak mendekat, jika memang keterbatasan raga menjadi sebuah keniscayaan. Tidak ada yang perlu disesali. Yang ada bagaimana dihiasi.

1. Berdzikir

Dzikir adalah amalan yang agung. Bukti hati itu dekat dan mendekat kepada sang pencipta. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan membalas jerih itu dengan dekatnya ampunan dan pahala yang besar.(Lihat QS. al-Ahzab: 35). Allah Subhanahu wa Ta’ala juga akan senantiasa mengingatnya.(Lihat QS. al-Baqarah: 152). Maka penuhi hari-hari dengan dzikir.

2. Membaca al-Qur’an

Al-Qur’an kalam Dzat Yang Maha Mulia, dibawa oleh malaikat yang paling mulia, diturunkan kepada manusia yang paling mulia, maka lisan yang dibasahi lantunan al-Qur’an, hati yang dipenuhi hafalan al-Qur’an, niscaya raga tempat hati dan lisan, sekalipun dalam keterbatasan, akan mulia dan dimuliakan.

3. Berdoa

Doa adalah senjata orang beriman. Munajat dan lantunan lisan ini mampu menggetarkan tujuh lapis langit, menembus awan, melesat dalam kegelapan. Perbanyaklah doa. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suka diminta dan murka kepada orang yang tidak mau meminta kepada-Nya.

4. Amar ma’ruf nahi munkar

Shalat, zakat, puasa, haji, sedekah, semua itu baik, tapi belum cukup membuat umat ini yang terbaik. Tapi amar ma’ruf nahi munkar membingkai umat ini menjadi yang terbaik.(Lihat QS. Ali Imran: 110). Ketika yang tersisa hanya lisan, itu masih bisa andil menjadikan umat ini yang terbaik, dengan amar ma’ruf nahi munkar semampu kata-kata lisan.

(Saed as-Saedy, Lc.)

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatkisah&id=375