Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Menghindari Jabatan-Jabatan Keagamaan
Jumat, 05 Nopember 21
Menghindari Jabatan-Jabatan Keagamaan

Pertanyaan:
Banyak thalib 'ilm (penuntut ilmu) yang menghindari jabatan keagamaan. Apa penyebabnya? Apa nasehat anda agar mereka mau menjabat/menyambut, karena banyak di antara para mahasiswa fakultas syariah yang mencari berbagai cara untuk bisa lepas dari jabatan hakim. Apa nasehat anda untuk mereka?

Jawaban:
Jabatan-jabatan keagamaan, seperti; hakim, guru, mufti, khatib dan sebagainya, merupakan jabatan-jabatan terhormat serta penting, dan kaum Muslimin sangat membutuhkannya. Jika tidak dipegang oleh para ulama, maka akan dijabat oleh orang-orang jahil sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan.
Maka para ahlul ilmi (ulama) dan yang mendalam ilmu agamanya, jika diperlukan, hendaknya mau menyambut, karena perkara-perkara tersebut, yakni; pengadilan, pengajaran, khutbah, dakwah dan sejenisnya, hukumnya wajib kifayah. Jika salah seorang yang berkompeten ditunjuk, maka ia wajib menerima, ia tidak boleh mengelak dan menolak.
Kemudian, jika ada seseorang yang dipandang mampu untuk memegang suatu jabatan, namun ia menganggap tidak cocok, maka hendaknya ia mengajukan jabatan yang lebih tepat, sebagaimana yang dikisahkan Allah tentang Yusuf ’alaihissalam, beliau berkata kepada raja Mesir,


ÞóÇáó ÇÌúÚóáúäöí Úóáóì ÎóÒóÇÆöäö ÇáúÃóÑúÖö Åöäøöí ÍóÝöíÙñ Úóáöíãñ (55)


"(Yusuf) berkata, "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan." (Yusuf: 55).

Yaitu tatkala beliau memandang bahwa yang lebih maslahat adalah bila memangku jabatan tersebut. Beliau adalah nabi yang mulia, dan tentunya para nabi adalah golongan manusia yang paling baik. Beliau meminta jabatan tersebut untuk mengadakan perbaikan, yakni memperbaiki kehidupan penduduk Mesir dan mengajak mereka kepada kebenaran.
Maka seorang penuntut ilmu (thalib 'ilm), jika ia memandang adanya kemaslahatan, hendaknya ia meminta tugas tersebut dan rela menerimanya, baik sebagai hakim, pengajar, menteri ataupun lainnya, dan hendaklah tujuannya adalah untuk kemaslahatan dan kebaikan, bukan untuk tujuan duniawi, tapi untuk mendapat pahala melihat wajah Allah, mendapat tempat kembali yang baik di akhirat, bermanfaat bagi manusia dalam perkara agama dan dunia mereka. Dan hendaknya tidak rela bila jabatan tersebut dipegang oleh orang-orang jahil atau fasik. Jika ia diminta untuk memegang suatu jabatan yang ia sendiri merasa kredibel dan potensial untuk itu, maka hendaklah ia menyambutnya dan memperbaiki niat serta mengerahkan segala kemampuannya untuk itu, jangan sampai mengatakan, "Saya khawatir begini, saya khawatir begitu."
Dengan niat yang baik dan jujur dalam bekerja, berarti seorang hamba telah bersikap benar dan akan ditolong Allah dalam melaksanakannya bila ia mengikhlaskan niat karena Allah, dan bila ia mengerahkan segala kemampuannya dalam hal itu maka Allah akan membimbingnya.
Mengenai hal ini telah disebutkan hadits Utsman bin Abi al-Ash ats-Tsaqafi, bahwa ia berkata, "Wahai Rasulullah, jadikanlah aku imam kaumku." Lalu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Engkau imam mereka. Perhatikan yang paling lemah di antara mereka, dan angkatlah seorang muadzin yang tidak meminta upah dari adzannya." (HR. Abu Dawud, kitab ash-Shalah, no. 531; an-Nasa`i, kitab al-Adzan, 2/23; Ibnu Majah, kitab Iqamatus Shalah, no. 987; dan mengeluarkan bagian akhirnya saja: at-Tirmidzi, kitab ash-Shalah, no. 209.)

Utsman bin Abi al-Ash radhiyallahu ‘anhu meminta jadi imam kaumnya untuk kemaslahatan syar'iyah, yaitu untuk mengarahkan mereka kepada kebaikan, mengajar mereka, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Yusuf ’alaihissalam.
Para ulama mengatakan, "Yang terlarang adalah meminta kepemimpinan dan kekuasaan jika memang tidak diperlukan." Karena ini merupakan permintaan berbahaya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang melarang itu. Tapi jika kebutuhan dan kemaslahatan syar'iyah menuntut demikian, maka hal itu dibolehkan, berdasarkan kisah Yusuf ’alaihissalam dan hadits Utsman radhiyallahu ‘anhu tersebut.

Majalah al-Buhuts, edisi 47, Syaikh Ibnu Baz, hal. 161-163.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatkonsultasi&id=4172