Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Ingin Berjihad Ke Palestina
Kamis, 08 April 04

Tanya :
Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh,
Sebagai pecinta alsofwah, saya ingin mengajukan pertanyaan tentang hal tsb di atas. Karena saya seorang pegawai negeri, usia 52 th, tetapi rasanya ikut terpanggil dan merasa ingin ikut jihad ke Palestina karena kebetulan saya kenal dengan orang yang tanpa gembar-gembor di media massa sudah beberapa kalii mengirimkan orang ke berbagai tempat untuk menegakkan kalimatullah.Yang menjadi ganjalan karena sempitnya pengetahuan saya, adalah :

1. Istri dan anak saya masih keberatan. (saya sudah membaca buku kecil berjudul Wasiat Dr. 'Abdullah 'Azzam, yang intinya tidak perlu minta izin kepada Istri dan anak, pemerintah)

2. Bagaimana dalam mengurus hak-hak pensiun, karena seandainya mengajukan percepatan pensiun, nantinya setiap kali mengambil hak pensiun pasti harus menggunakan surat kuasa, sedangkan bila ditinggalkan waktu untuk kembali atau tidaknya tidak pasti (padahal saya sangat menginginkan mati syahid). Dari 2 hal yang menjadi ganjalan tersebut, bagaimana jalan keluarnya ?Jazakumullah khairun. Wassalam

Jawab :

Wa'alaikum Salâm Warahmatullâhi Wa barokâtuh
Terimakasih atas kepercayaan anda kepada kami, semoga tali silaturrahim dan ukhuwwah islamiyyah diantara kita tetap terjalin dengan baik.

Kami amat terharu dengan ghirah agama bapak yang demikian tinggi dan keinginan untuk membela saudara-saudara kita di Palestina yang kehormatan dan darah mereka telah dikotori dan tumpahkan oleh cucu-cucu kera yang telah dilaknat Allah.
Namun begitu, pasti bapak tahu bahwa niat yang baik itu pasti diganjar pahala oleh Allah meskipun belum tersalurkan. Karena permasalahan ini amat penting, khususnya dari tinjauan agama, maka disini kami memberikan sumbangsih pemikiran melalui artikel tentang jihad, definisinya, dst yang terkait dengan pertanyaan bapak.

Kami berharap, dari kajian tersebut bapak dapat mengambil kesimpulannya tentang apa yang harus bapak lakukan.
Namun sebelumnya, kami katakan bahwa memang tidak diragukan lagi betapa besarnya pahala orang yang berjihad menegakkan panji dan kalimat Allah di muka bumi ini dan bila hal itu dilakukan karenaNya semata, maka surgalah tempat yang dijanjikan untuknya. keutamaan jihad sangat banyak sekali disebutkan baik dalam al-Qur'an maupun hadits nabi. Dalam hal ini, kami tidak melampirkannya karena secara langsung tidak terkait dengan pertanyaan bapak dan kami yakin bapak sudah mengetahui hal itu dimana karenanya pula tergerak hati bapak untuk itu.


Definisi
Jihad secara bahasa berasal dari kata al-Jahd, yaitu ath-Thâqah (kekuatan) dan al-Masyaqqah (kesulitan) ; mengupayakan segenap tenaga dan kekuatan serta menanggung kesulitan yang ditimbulkan dalam memerangi musuh dan menghadangnya, atau dalam istilah kekinian disebut dengan “perang”, yakni perang dengan senjata antara dua negara atau lebih. Hal ini merupakan sesuatu yang pasti terjadi di kalangan manusia dari dulu hingga saat ini, bahkan telah ditetapkan oleh syari’at-syari’at agama dahulu.


Pensyari’atannya dalam Islam
Jihad diizinkan di kota Madinah saat umat Islam mengalami penindasan dari musuh dan terpaksa harus mempertahankan diri serta menjaga tegaknya dakwah.
Ayat pertama yang turun terkait dengan itu adalah firmanNya dalam surat al-Hajj ayat 39-41. Diantara alasan diizinkannya berdasarkan ayat tersebut adalah tiga hal:
Pertama, bahwa mereka dizhalimi, dimusuhi, dikeluarkan dari rumah mereka tanpa hak selain mereka memilih agama yang hak dan mengatakan Rabb kami adalah Allah.

Kedua, andaikata bukan izin Allah untuk mempertahankan diri niscaya akan banyak rumah-rumah ibadah yang hancur padahal rumah-rumah ibadah tersebut merupakan tempat menyebut nama Allah.
Ketiga, bahwa tujuan kemenangan, tegaknya khilafah di muka bumi dan hukum Allah adalah untuk mendirikan shalat, memberi zakat, amar ma’ruf dan nahi munkar.


Kapan diwajibkan
Diwajibkan pada tahun ke-2 hijriah berdasarkan firmanNya dalam surat al-Baqarah ayat 216.


Hukumnya
Hukumnya adalah fardhu kifayah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa diantara fardhu (kewajiban) itu ada yang diwajibkan atas setiap individu agar melakukannya dan tidak gugur kewajibannya dari hal itu meskipun sudah dilakukan oleh sebagian orang, seperti masalah iman, thaharah, shalat, zakat, shaum dan haji.

Masalah-masalah tersebut hukumnya fardhu ‘ain yang mewajibkan setiap orang untuk melakukannya dan tidak boleh lalai darinya.
Diantara kewajiban itu ada yang diwajibkan atas sebagian orang saja dan tidak diwajibkan kepada sebagian yang lain, dan ini dinamakan dengan fardhu kifayah yang terbagi menjadi tiga macam:

Pertama, bersifat dieniy (agamis) ; seperti belajar menuntut ilmu, mengajarkan ilmu, hukum yang terkait dengan syubhat, menjawab keraguan yang ditimbulkan seputar islam, shalat jenazah, azan, dsb.

Kedua, berhubungan dengan perbaikan dalam hal kehidupan seperti pertanian, industri, kedokteran dan semua jenis pekerjaan yang berbahaya bila terhenti terhadap urusan dunia dan agama.

Ketiga, yang didalamnya disyaratkan oleh penguasa, seperti jihad, menegakkan hukum hudud; sebab masalah-masalah ini hanya merupakan kewenangan penguasa saja sehingga tidak ada hak bagi seseorang untuk menegakkan hukum hudud terhadap orang selainnya.

Keempat, yang didalamnya tidak disyaratkan izin dari penguasa, seperti amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kepada kebajikan dan menumpas semua kemaksiatan.
Kewajiban-kewajiban diatas merupakan fardhu kifayah dimana tidak diwajibkan atas setiap orang, tetapi wajib ada yang melakukannya dan bila ada orang yang melakukannya dan mencapai target, maka kewajiban itu gugur dari orang selain mereka semuanya, namun bila tidak ada yang melakukannya seorangpun maka semuanya berdosa.

Dalam hal ini, jihad hukumnya bukan fardhu/wajib atas semua kaum muslimin tetapi fardhu kifayah yang bila dilakukan oleh sebagian orang dan musuh berhasil dihadang sehingga hal itu sudah cukup; maka gugurlah kewajiban bagi sebagian yang lain.
Allah Ta’ala berfirman: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS. 9/at-Taubah: 122).
Dan firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!. (QS. 4/an-Nisa’: 71).

Dan firmanNya: “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, [95]. (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [96] – (Q.S. an-Nisa’)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiallaahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mengutus satu utusan ke Bani Lihyan –dari suku Huzail-, beliau bersabda: “hendaknya bangkit (berperang/menyongsong musuh) salah seorang dari
tiap-tiap dua orang , maka pahalanya (terbagi) antara keduanya”.

hal tersebut dikatakan fardhu kifayah sebab andaikata wajib atas semuanya, tentu akan rusaklah kepentingan duniawi seluruh manusia, karenanya hanya wajib bagi sebagian saja dari mereka.

Kapan jihad menjadi fardhu ‘ain?

Jihad menjadi fardhu ‘ain hukumnya hanya dalam gambaran berikut:

1. Hadirnya seorang mukallaf (yang dibebani dengan syara’) ke barisan perang, maka ketika itu jihad menjadi fardhu ‘ain baginya. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. (QS. 8/al-Anfal: 45) dan firmanNya: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)”. (QS. 8/al-Anfal: 15).

2. bila musuh datang ke tempat atau negeri yang didiami oleh kaum muslimun; maka wajib bagi penduduk negeri tersebut secara keseluruhan untuk menyongsong musuh dan memerangi mereka. Tidak boleh seorangpun yang berpangku tangan dan enggan menjalankan kewajibannya untuk berperang bila dalam mengusir musuh harus dengan cara bersatu secara keseluruhan dan serempak menyongsong mereka. Allah berfirman: Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa. (QS. 9:123).

3. bila penguasa negeri memerintahkan orang yang mukallaf untuk ikut berperang, maka tidak boleh seorangpun yang memenuhi kriteria itu untuk berpangku tangan dan enggan memenuhi panggilan kewajiban. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “tidak ada hijrah setelah penaklukan (kota Mekkah), akan tetapi (yang ada) adalah jihad dan niat, maka bila kalian diperintahkan untuk keluar berperang, maka keluarlah untuk itu”. (H.R.al-Bukhariy). Demikian pula dengan firmanNya dalam surat at-Taubah,
ayat 38.

Terhadap siapakah jihad diwajibkan?

Jihad diwajibkan kepada orang Islam, laki-laki, berakal sehat, baligh, sehat, yang memiliki harta yang cukup untuk dirinya dan keluarganya hingga dia bisa konsentrasi dalam berjihad.

Maka tidak wajib atas orang non Muslim, wanita, anak-anak, orang gila dan orang yang sakit. Jadi, tidak apa-apa diantara orang-orang tersebut untuk tidak memenuhi panggilan jihad karena kelemahan mereka menghalangi untuk dapat berperang, dan orang seperti merekapun tidak terlalu dibutuhkan di medan jihad, bahkan sebaliknya, keberadaan mereka justru lebih banyak membahayakan ketimbang manfa’atnya.

Allah Ta’ala berfirman: “Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk mengalahkan orang-orang yang berbuat baik, Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. 9:91). Demikian pula firmanNya dalam surat al-Fath, ayat 17.
Dan dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: “aku mengajukan diri kepada Rasulullah pada perang Uhud dan saat itu aku baru berusia 14 tahun, lalu beliau tidak membolehkanku”. (H.R.al-Bukhariy dan Muslim).

Mengenai izin kedua orangtua

Jihad yang wajib tidak memerlukan izin orangtua, sedangkan jihad yang tidak wajib/sunnah; maka harus mendapatkan izin dari kedua orangtua yang beragama islam, merdeka. Atau izin dari salah seorang dari keduanya.
Ibnu Mas’ud berkata: “aku bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam : ‘apa amalan yang paling dicintai oleh Allah?’. beliau bersabda: “shalat pada waktunya”. Lalu aku berkata: ‘kemudian apa lagi?’. Beliau menjawab: “berbakti kepada kedua orangtua”. Lalu aku berkata lagi: ‘kemudian apa lagi?’. Beliau menjawab: “jihad di jalan Alah”. (H.R.al-Bukhariy dan Muslim).
Dalam hadits yang lain, Ibnu Umar berkata:”seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam lantas meminta izin kepada beliau untuk berjihad”. Kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bertanya: “apakah kedua orangtuamu masih hidup?”. Dia menjawab: “ya”. Beliau bersabda:”maka minta izinlah kepada keduanya, lalu berjihadlah”. (H.R. al-Bukhariy, Abu Daud, dll).

Izin pemberi utang

Demikian pula, orang yang berutang dan tidak dapat memegang janji harus mendapatkan izin dari pemberi utang untuk pergi berjihad yang sifatnya sunnah, atau dengan menggadaikan sesuatu yang ada dan aman atau ada orang yang bertindak sebagai penanggung jawab dan orangnya juga kaya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim dari Abu Qatadah, dia berkata; “bagaimana pendapatmu (wahai Rasulullah) jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku dihapuskan?”. Lalu beliau bersabda: “ya, sedangkan kamu dalam keadaan sabar dan mengharap pahala, menyongsong bukan membelakangi, kecuali hutang, sebab jibril memberitahukan kepadaku demikian” . (diambil dari kitab "Fiqhussunnah" karya Sayyid Sabiq)

Jadi, menurut kami niat suci bapak untuk berjihad itu hukumnya adalah fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain sebagaimana penjelasan diatas. Sebab ada tiga hal, hukum fardhu 'ain itu dapat direalisasikan sebagaimana penjelasan diatas, dan bapak belum memenuhi hal itu.

Disamping itu, pengetahuan tentang medan jihad sangat perlu sehingga tidak mendapatkan kesulitan dalam beradaptasi padahal -sebagaimana kita ketahui- hampir semua pintu masuk ke Palestina itu dikuasai oleh Israel sehingga hal ini membuat kehadiran orang selain Palestina yang berwajah Arab amat mudah diketahui dan ini tentunya akan membahayakan diri.

Berdasarkan pertimbangan tersebut disertai rasa haru dan hormat kami atas keinginan suci bapak, kami berpendapat -meskipun bapak mengenal orang yang bisa masuk ke sana- bahwa bapak dapat melakukan hal lain yang juga insya Allah masih dalam makna jihad dan bertolong-tolong dalam kebaikan, yaitu dengan menyumbangkan infaq misalnya untuk pembelian senjata dalam mempersenjatai pejuang-pejuang Palestina yang sudah berpengalaman dan nampaknya mereka hanya membutuhkan persenjataan yang seimbang yang dapat dibeli dengan infaq tersebut -tentunya tanpa mengecilkan arti partisipasi saudara-saudara mereka se-agama dimanapun mereka berada- melawan tentara israel yang memiliki persenjataan yang amat canggih. Atau untuk kegunaan lainnya, seperti pembelian obat-obatan, dsb yang tentunya juga amat diperlukan.

Sebagai dimaklumi pula, bahwa di dalam berperang kita harus memiliki taktik dan strategi sehingga tujuan kita berhasil. Diantara yang mendukung hal itu adalah pengetahuan tentang medan suatu pertempuran, apalagi bagi orang dari negeri lain (bukan penduduk asli).

Ada beberapa masukan yang kiranya dapat dipertimbangkan:
- Untuk memasuki Palestina, tidak gampang bahkan orang yang berkebangsaan Palestina sendiri sangat sulit untuk keluar-masuk dari negerinya.
- Kondisi peperangan disana tidak sama dengan kondisi peperangan yang sebenarnya - seperti yang kami singgung diatas, alias bukan secara terbuka, tetapi secara grilya dan terpisah sesuai keberadaan kekuatan kaum Muslimin yang mengangkat senjata di sana.

- Salah satu hal yang mendukung juga adalah bahasa sebagai sarana komunikasi, sehingga dituntut memahami bahasa ‘Arab. Namun begitu, hal itu semua terpulang kepada bapak semoga bapak dapat
-
- mengambil sikap dan jalan yang terbaik. perlu anda camkan makna hadits Rasulullah berikut: "barangsiapa yang meminta syahadah (mati syahid) kepada Allah dengan penuh kesungguhan/kejujuran, niscaya Allah akan menyampaikannya kepada kedudukan para syuhada' meskipun dia meninggal diatas kasurnya/tempat tidurnya". (H.R.al-Bukhariy) Mengenai solusi tentang pensiunan itu, bila bapak tetap berkeinginan kuat untuk itu dan mempertimbangkan segala sesuatunya; sebaiknya bapak musyawarahkan dengan pihak-pihak terkait.
-
Kami berdoa semoga Allah memberikan ganjaran yang setimpal atas niat baik bapak tersebut dan memberikan kesempatan kepada kita untuk berjihad dalam membebaskan al-Masjid al-Aqsha. wallahu a'lam. wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarokaatuh.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatkonsultasi&id=82