Artikel : Al-Quran - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Kaidah Ke-7 [Tak Ada Jalan Untuk Menyalahkan Orang Yang Berbuat Baik]

Rabu, 01 September 21
Kaidah (Prinsip Pokok) ke-7


{ ãóÇ Úóáóì ÇáúãõÍúÓöäöíäó ãöäú ÓóÈöíáò }


“Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik..”
{At-Taubah: 91 }

Ini adalah salah satu kaidah di antara kaidah-kaidah interaksi manusia, yang datang dalam konteks pembahasan tentang sebuah sikap yang dicatat oleh al-Qur`an untuk menjelaskan kelompok-kelompok yang meminta udzur (agar tidak ikut) dalam perang Tabuk, yang terjadi di bulan Rajab tahun 9 H, dan tentang siapa saja yang diterima udzurnya dan yang tidak diterima.
Allah ta’ala berfirman,


æóÌóÇÁó ÇáúãõÚóÐøöÑõæäó ãöäó ÇáúÃóÚúÑóÇÈö áöíõÄúÐóäó áóåõãú æóÞóÚóÏó ÇáøóÐöíäó ßóÐóÈõæÇ Çááøóåó æóÑóÓõæáóåõ ÓóíõÕöíÈõ ÇáøóÐöíäó ßóÝóÑõæÇ ãöäúåõãú ÚóÐóÇÈñ Ãóáöíãñ (90) áóíúÓó Úóáóì ÇáÖøõÚóÝóÇÁö æóáóÇ Úóáóì ÇáúãóÑúÖóì æóáóÇ Úóáóì ÇáøóÐöíäó áóÇ íóÌöÏõæäó ãóÇ íõäúÝöÞõæäó ÍóÑóÌñ ÅöÐóÇ äóÕóÍõæÇ áöáøóåö æóÑóÓõæáöåö ãóÇ Úóáóì ÇáúãõÍúÓöäöíäó ãöäú ÓóÈöíáò æóÇááøóåõ ÛóÝõæÑñ ÑóÍöíãñ (91) æóáóÇ Úóáóì ÇáøóÐöíäó ÅöÐóÇ ãóÇ ÃóÊóæúßó áöÊóÍúãöáóåõãú ÞõáúÊó áóÇ ÃóÌöÏõ ãóÇ ÃóÍúãöáõßõãú Úóáóíúåö ÊóæóáøóæúÇ æóÃóÚúíõäõåõãú ÊóÝöíÖõ ãöäó ÇáÏøóãúÚö ÍóÒóäðÇ ÃóáøóÇ íóÌöÏõæÇ ãóÇ íõäúÝöÞõæäó (92) ÅöäøóãóÇ ÇáÓøóÈöíáõ Úóáóì ÇáøóÐöíäó íóÓúÊóÃúÐöäõæäóßó æóåõãú ÃóÛúäöíóÇÁõ ÑóÖõæÇ ÈöÃóäú íóßõæäõæÇ ãóÚó ÇáúÎóæóÇáöÝö æóØóÈóÚó Çááøóåõ Úóáóì ÞõáõæÈöåöãú Ýóåõãú áóÇ íóÚúáóãõæäó (93)


"Dan datang (kepada Nabi) orang-orang yang mengemukakan udzur, yaitu orang-orang Arab Badui agar diberi izin bagi mereka (untuk tidak berjihad), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan RasulNya, duduk berdiam diri saja. Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih. Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan RasulNya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, 'Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.' lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka)." (At-Taubah: 90-93).

Makna Kaidah Ini dengan Ringkas:

Orang-orang yang memiliki udzur yang benar, seperti lemahnya badan, sakit, zamanah, (Az-Zamanah secara bahasa berarti cobaan dan penyakit, dikatakan: Òóãöäó ÒóãóäðÇ æóÒóãöäóÉð æóÒóãóÇäóÉð (yang berarti) sakit yang berlangsung lama, dan lemah karena usia lanjut atau sakit yang berkepanjangan, maka dia disebut Òóãöäñ dan Òóãöíúäñ, dan penggunaan para ahli fikih terhadap lafazh ini tidak keluar dari makna bahasanya. Zakaria al-Anshari berkata, "ÇóáÒøóãöäõ adalah orang yang terkena penyakit yang membuatnya tidak bisa bekerja.") Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 24/10.
Atau disebabkan tidak adanya biaya, tidak dikenai dosa, dengan syarat yang harus ada, yaitu ÅöÐóÇ äóÕóÍõæÇ "jika mereka berlaku ikhlas", yakni dengan niat dan ucapan-ucapan mereka, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dengan cara mereka tidak menakut-nakuti dan tidak merintangi manusia (untuk berperang), dan mereka berbuat baik dalam keadaan mereka ini. Kemudian (Allah) menguatkan harapan (mereka) dengan Firman-Nya, æóÇááøóåõ ÛóÝõæÑñ ÑóÍöíãñ "Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Lihat al-Muharrar al-Wajiz, 3/78; dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/464.)
Dan karena "Yang menjadi pegangan (patokan) itu adalah keumuman lafazh dan bukan dari kekhususan sebab" –sebagaimana hal itu telah ditetapkan dalam ilmu pokok-pokok (prinsip-prinsip) tafsir– maka ini berarti makna yang ditunjukkan oleh kaidah al-Qur`an ini, yang ditunjukkan oleh Firman Allah ta’ala, ãóÇ Úóáóì ÇáúãõÍúÓöäöíäó ãöäú ÓóÈöíáò "Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik", adalah luas.
Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya adalah selamatnya orang Muslim dari diwajibkannya dengan beban apa pun selain beban syariat, sebagaimana ayat ini menunjukkan dengan keumumannya bahwa pada dasarnya (semua orang itu) terbebas dari tanggung jawab, berupa diwajibkannya manusia dengan sesuatu apa pun dalam sesuatu yang terjadi antara dirinya dengan manusia, sehingga hal itu terbukti dengan menggunakan sarana apa saja di antara sarana-sarana pembuktian secara syar'i.

Wahai Orang yang Merenungkan Firman RabbNya,...

Sungguh ayat ini telah –dan senantiasa– menjadi dalil yang digunakan para ulama dalam beristidlal (menyimpulkan hukum dari suatu dalil) dalam banyak masalah fikih. Ringkasnya kembali kepada hakikat bahwasanya barangsiapa yang berbuat baik kepada orang lain, dalam dirinya, hartanya, dan yang semisalnya, lalu perbuatan baiknya itu mengakibatkan kekurangan atau kerusakan, maka dia tidak wajib menjamin (ganti rugi), karena dia itu berbuat baik, dan tidak ada jalan untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik, sebagaimana ia juga menunjukkan bahwasanya orang yang bukan (termasuk) orang yang berbuat baik, -yaitu orang yang buruk- seperti orang yang kurang maksimal, maka dia wajib menjamin (ganti rugi). (Tafsir as-Sa'di, hal. 347)
Dan apabila kita telah melewati sisi fikih yang telah saya isyaratkan secara global, maka marilah kita menoleh sedikit ke suatu bidang di antara bidang-bidang di mana kita membutuhkan kaidah ini di dalamnya. Hal itu karena hidup kita dipenuhi dengan situasi-situasi yang banyak yang mana pintu kebaikan terbuka padanya, dan memberi kesempatan kepada orang lain agar berbuat baik kepada orang lain, sehingga mereka bersegera memberikan suatu pelayanan tertentu, dan orang pertama dari mereka itu adalah penghuni rumah manusia: yaitu istri, suami, atau anak! Maka termasuk hal yang disayangkan, bahwa ada sebagian manusia yang menjauhi petunjuk kaidah al-Qur`an ini, mereka memberikan celaan dan kritikan keras kepada orang lain, padahal mereka itu adalah orang-orang yang berbuat baik dan sukarela, sehingga mereka memberikan andil dengan hal itu, baik mereka menyadarinya atau tidak, dalam menutup pintu kebaikan, atau mempersempit cakupannya di antara manusia.

Renungkanlah Gambaran Berikut Ini:
Salah seorang manusia berusaha bersungguh-sungguh menyelesaikan suatu kegiatan dakwah, sosial, atau keluarga, lalu dia mencurahkan kesungguhannya, dan mungkin juga hartanya, dan pada saat tersebut dia juga meminta orang lain agar membantu dan menolongnya menyelesaikan pekerjaan tersebut, tetapi dia tidak mendapatkan seorang pun (yang mau membantunya), maka dia memulai (pekerjaannya itu) sendirian, bersungguh-sungguh dan melakukannya secara kontinu agar pekerjaannya itu sukses, dan menampilkannya dengan penampilan yang membuatnya mulia. Tetapi tatkala datang waktu pengambilan manfaat dari amal ini, dan terlihatlah sebagian celah dan kekurangan yang mana pekerjaan manusia tidak bisa terlepas darinya, maka alih-alih dibalas dengan ucapan terima kasih dan penghormatan, sambil diingatkan atas kesalahan-kesalahannya dengan cara yang lembut, dia dibalas dengan celaan dan kritikan yang pedas, disebabkan kurangnya upayanya, dan lemahnya kemampuannya. Bukankah orang ini termasuk di antara orang yang paling berhak dengan Firman Allah ta’ala,


ãóÇ Úóáóì ÇáúãõÍúÓöäöíäó ãöäú ÓóÈöíáò


"Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik." (At-Taubah: 91).
Kemudian, bukankah pantas dikatakan kepada mereka,
Kurangilah celaan terhadap mereka,
semoga tidak ada bapak bagi bapak kalian,
Atau gantikanlah posisi yang mana
mereka menempati posisi itu
(Ini adalah di antara syair al-Huthai`ah, lihat al-Kamil fi al-Lughah wa al-Adab, 2/137.
Gambaran yang seperti ini berulang kali terjadi dalam situasi-situasi yang lain; di rumah, di sekolah, di yayasan, di perusahaan, di lingkungan-lingkungan pemerintahan, di kerja penyiaran, bersama para ulama, da'i, orang-orang yang berbuat baik, dan lainnya. Maka alangkah perlunya kita mengingatkan kembali kaidah ini, dan metode menyikapi kekeliruan dan kesalahan orang-orang yang berbuat baik; agar pintu kebaikan tidak terputus, karena sesungguhnya apabila terdapat banyak celaan bagi orang-orang yang berbuat baik dan sukarela, dan orang yang diharapkan bekerja menjadi tidak mau bekerja, maka siapa lagi yang tersisa bagi umat ini?!
Ini semua, tanpa diragukan, tidaklah bermaksud mengingatkan kesalahan-kesalahan, atau mengingatkan dengan tempat-tempat yang benar yang memang seharusnya diingatkan, akan tetapi yang penting, hal itu dilakukan dengan metode yang dapat menjaga kesungguhan orang yang berbuat baik, dan tidak melewatkan kesempatan untuk mengingatkan kesalahannya, agar dia dapat meningkatkan pekerjaannya, dan membuat (pekerjaannya) bertambah baik dan bagus.
Di antara hal yang penting juga –dan kita masih membicarakan tentang kaidah al-Qur`an ini– yaitu kita tidak boleh mencampuradukkan antara yang telah berlalu dengan kewajiban manusia atas sesuatu hal tertentu, lalu dia berlepas diri darinya dengan alasan dia sudah berbuat baik! Karena sesungguhnya ini termasuk pemahaman yang salah terhadap kaidah ini. Hal itu karena manusia sebelum dia terkena kewajiban dengan janji bagi pihak lain, maka dia berada dalam wilayah keutamaan dan perbuatan baik, akan tetapi apabila dia telah dikenai kewajiban untuk merealisasikan dan melaksanakan sesuatu hal tertentu, maka dia telah berpindah kepada wilayah kewajiban yang mana pelakunya berhak mendapat perhitungan balasan dan kritikan. Dan mungkin di antara hal yang dapat mendekatkan gambaran makna ini adalah nadzar, karena nadzar adalah perbuatan mukallaf yang mewajibkan atas dirinya sendiri sesuatu yang tidak wajib menurut hukum dasar syariat, seperti orang yang bernadzar untuk bersedekah dengan seribu riyal, maka orang ini sebelum dia bernadzar, dia tidak wajib bersedekah walaupun hanya satu riyal sekalipun, akan tetapi tatkala dia telah bernadzar, maka dia telah dikenai kewajiban, sehingga dia harus menunaikannya. Dan demikian juga apa yang sedang kita bicarakan ini, dan saya mengingatkan hal ini adalah karena sebagian manusia ada yang memiliki pemahaman yang salah tentang kaidah ini, dan dia menggeneralisirnya bukan pada tempatnya, sehingga hal itu menjadi sebab adanya perselisihan antara sebagian manusia, karena salah satu dari kedua pihak meyakini adanya kewajiban pihak lainnya, sehingga dia mengandalkannya, setelah Allah, lalu pihak tersebut berlepas diri dari tanggung jawabnya dengan alasan bahwa dia telah berbuat baik, sehingga terjadilah kebalikan dari yang dimaksud dari pintu kebaikan.


Sumber: 50 Prinsip Pokok Ajaran Al-Qur'an
Ditulis oleh: Dr Umar bin Abdullah Al-Muqbil
Diposting Oleh: Ricky Adhitia


Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatquran&id=355