Artikel : Al-Quran - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Kaedah Ke-36 [Bertakwalah Kepada Allah Semampumu]

Rabu, 17 Nopember 21
Kaidah (Prinsip Pokok) ke-36


{ ÝóÇÊøóÞõæÇ Çááåó ãóÇ ÇÓúÊóØóÚúÊõãú}


" Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..”
{ At-Taghabun: 16}

Ini adalah sebuah kaidah (prinsip pokok) syariat yang termasuk di antara kaidah-kaidah syariat yang paling agung, yang mana para ulama merujuk kepadanya dalam fatwa-fatwa mereka.
Kaidah (prinsip pokok ajaran) al-Qur`an yang muhkam ini terdapat di Surat at-Taghabun, dan dengan merenungkan konteksnya terdapat sesuatu yang bagus untuk disebutkan di sini, khususnya bahwasanya kaidah ini dimulai dengan huruf fa` yang dinamakan oleh sebagian ulama sebagai fa` al-Fashilah (pemisah antara yang satu dengan yang lain sehingga rapi dan teratur) atau fa` at-Tafri', maka (kalimat) yang sesudahnya merupakan cabang dari (kalimat) sebelumnya. Hal itu karena Allah ta’ala berfirman sebelum kaidah ini,


íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÂãóäõæÇ Åöäøó ãöäú ÃóÒúæóÇÌößõãú æóÃóæúáóÇÏößõãú ÚóÏõæøðÇ áóßõãú ÝóÇÍúÐóÑõæåõãú æóÅöäú ÊóÚúÝõæÇ æóÊóÕúÝóÍõæÇ æóÊóÛúÝöÑõæÇ ÝóÅöäøó Çááåó ÛóÝõæÑñ ÑóÍöíãñ (14) ÅöäøóãóÇ ÃóãúæóÇáõßõãú æóÃóæúáóÇÏõßõãú ÝöÊúäóÉñ æóÇááåõ ÚöäúÏóåõ ÃóÌúÑñ ÚóÙöíãñ (15)


"Hai orang-orang Mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar."

(At-Taghabun: 14-15).

Kemudian datang setelah ini FirmanNya ta’ala,


ÝóÇÊøóÞõæÇ Çááåó ãóÇ ÇÓúÊóØóÚúÊõãú æóÇÓúãóÚõæÇ æóÃóØöíÚõæÇ æóÃóäúÝöÞõæÇ ÎóíúÑðÇ áöÃóäúÝõÓößõãú æóãóäú íõæÞó ÔõÍøó äóÝúÓöåö ÝóÃõæáóÆößó åõãõ ÇáúãõÝúáöÍõæäó (16)


"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah, taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung." (At-Taghabun: 16).

Maksudnya, apabila kalian telah mengetahui hal ini, maka bertakwalah kepada Allah dalam apa-apa yang wajib dari takwa dalam berinteraksi dengan anak-anak, pasangan, dan tempat-tempat pengelolaan harta. Kemudian janganlah kecintaan terhadap hal itu dan kesibukan Anda dengan hal itu menghalangi Anda dari kewajiban-kewajiban (Anda), dan janganlah kemarahan dan yang semisalnya mengeluarkan Anda dari batas keadilan yang diperintahkan, dan janganlah kecintaan terhadap harta menghalangi (Anda) untuk menunaikan hak-hak harta dan tetaplah mencari harta dari bentuk-bentuk yang halal. Maka perintah untuk bertakwa mencakup peringatan yang telah lalu, motivasi untuk memaafkan sebagaimana telah dijelaskan, dan hal-hal lainnya. Dan ketika takwa -dalam kaitan hal-hal yang telah disebutkan dan yang lainnya- terkadang pelakunya melakukan kekurangan dalam menegakkannya karena ingin sekali membuat ridha keinginan syahwat yang dimiliki jiwa -pada kebanyakan dari kondisi hal-hal tersebut- maka ditambahlah penegasan perintah untuk bertakwa dengan FirmanNya, ãóÇ ÇÓúÊóØóÚúÊõãú "menurut kesanggupanmu", dan ãóÇ ÇÓúÊóØóÚúÊõãú adalah mashdariyah zharfiyyah, yakni, dalam batas waktu kesanggupanmu, agar ia berlaku umum pada seluruh waktu, juga berlaku umum pada kondisi-kondisi sebagai konsekuensi dari umumnya waktu, juga berlaku umum pada kesanggupan. Maka hendaklah mereka tidak melepaskan diri dari ketakwaan pada suatu waktu apa pun, dan waktu dijadikan sebagai zharaf bagi kesanggupan agar mereka tidak melakukan kekurangan dalam hal yang mereka mampu lakukan dalam hal yang mereka diperintahkan untuk bertakwa pada hal itu, selama tidak keluar dari batas kesanggupan menjadi batas kesulitan. Maka dalam Firman-Nya, ãóÇ ÇÓúÊóØóÚúÊõãú "menurut kesanggupanmu", tidaklah terdapat keringanan dan tidak pula pemberatan, akan tetapi ia adalah keadilan dan obyektifitas. Maka dalam hal itu terdapat kewajiban dan hak mereka (secara sekaligus). (At-Tahrir wa at-Tanwir, 28/258, dengan sedikit diringkas.)

Dan setelah ulasan global di atas makna kaidah (prinsip pokok) ini, jelaslah bahwa ukuran dari ketakwaan ini adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh hamba, yaitu bertakwa kepada Allah menurut kesanggupannya. Adapun ketakwaan yang merupakan hak Allah ‘azza wa jalla, maka ia datang dalam FirmanNya ta’ala,


íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÂãóäõæÇ ÇÊøóÞõæÇ Çááåó ÍóÞøó ÊõÞóÇÊöåö æóáóÇ ÊóãõæÊõäøó ÅöáøóÇ æóÃóäúÊõãú ãõÓúáöãõæäó (102)


"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (Ali Imran: 102).

Dan ayat inilah yang ditafsirkan oleh sebagian as-Salaf dengan perkataannya, "Dia harus ditaati dan tidak boleh dimaksiati, harus diingat dan tidak boleh dilupakan, serta harus disyukuri dan tidak boleh dikufuri." Dan dengan penyatuan ini jelaslah bahwasanya tidak benarlah orang yang mengatakan, "Sesungguhnya kaidah (prinsip pokok) yang sedang kita bicarakan ini, ÝóÇÊøóÞõæÇ Çááåó ãóÇ ÇÓúÊóØóÚúÊõãú "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu," menasakh ayat Ali Imran, ÇÊøóÞõæÇ Çááåó ÍóÞøó ÊõÞóÇÊöåö "Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepadaNya."
Sesungguhnya kaidah al-Qur`an yang muhkam ini menunjukkan dengan jelas bahwa setiap kewajiban yang mana orang mukallaf tidak mampu melaksanakannya, maka kewajiban itu menjadi gugur darinya, dan bahwasanya apabila dia mampu melaksanakan sebagian perkara dan tidak mampu melaksanakan sebagian lainnya, maka dia harus melaksanakan bagian yang mampu dia lakukan tersebut, dan gugurlah bagian yang tidak mampu dia lakukan, sebagaimana hal itu telah tsabit dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, (bahwa Rasulullah sollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,)
ÅöÐóÇ ÃóãóÑúÊõßõãú ÈöÃóãúÑò ÝóÃúÊõæúÇ ãöäúåõ ãóÇ ÇÓúÊóØóÚúÊõãú.

"Apabila aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka laksanakanlah perintah itu menurut kesanggupanmu." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6858; dan Muslim, no. 1337.)

Maka masuklah di bawah kaidah syariat ini cabang-cabang (agama) yang tidak mungkin dibatasi (karena saking banyaknya), sebagaimana dikatakan oleh bukan hanya satu orang ulama saja.(Tafsir as-Sa'di, hal. 141.)

Dan mungkin kita akan mengambil sebagian contoh yang akan memperjelas kaidah ini:

(1). Yang pertama sekali dari contoh-contoh ini yang bagus untuk dijadikan contoh adalah sebuah situasi yang membuat Nabi sollallohu ‘alaihi wa sallam mengatakan kalimat beliau yang baru saja disebutkan,ÅöÐóÇ ÃóãóÑúÊõßõãú ÈöÃóãúÑò ÝóÃúÊõæúÇ ãöäúåõ ãóÇ ÇÓúÊóØóÚúÊõãú (Apabila aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka laksanakanlah perintah itu menurut kesanggupanmu).

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahihnya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,


ÎóØóÈóäóÇ ÑóÓõæúáõ Çááåö ÝóÞóÇáó: ÃóíøõåóÇ ÇáäøóÇÓõ¡ ÞóÏú ÝóÑóÖó Çááåõ Úóáóíúßõãõ ÇáúÍóÌøó ÝóÍõÌøõæúÇ. ÝóÞóÇáó ÑóÌõáñ: Ãóßõáøó ÚóÇãò íóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö¿ ÝóÓóßóÊó¡ ÍóÊøóì ÞóÇáóåóÇ ËóáóÇËðÇ¡ ÝóÞóÇáó ÑóÓõæúáõ Çááåö: áóæú ÞõáúÊõ äóÚóãú¡ áóæóÌóÈóÊú æóáóãóÇ ÇÓúÊóØóÚúÊõãú! Ëõãøó ÞóÇáó: ÐóÑõæúäöíú ãóÇ ÊóÑóßúÊõßõãú! ÝóÅöäøóãóÇ åóáóßó ãóäú ßóÇäó ÞóÈúáóßõãú ÈößóËúÑóÉö ÓõÄóÇáöåöãú æóÇÎúÊöáóÇÝöåöãú Úóáóì ÃóäúÈöíóÇÆöåöãú¡ ÝóÅöÐóÇ ÃóãóÑúÊõßõãú ÈöÔóíúÁò ÝóÃúÊõæúÇ ãöäúåõ ãóÇ ÇÓúÊóØóÚúÊõãú¡ æóÅöÐóÇ äóåóíúÊõßõãú Úóäú ÔóíúÁò ÝóÏóÚõæúåõ.


"Rasulullah sollallohu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di hadapan kami, beliau bersabda, 'Wahai manusia, sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah!' Lalu seorang laki-laki berkata, 'Apakah harus setiap tahun wahai Rasulullah?!' Maka beliau diam, sehingga laki-laki tersebut menanyakannya sebanyak tiga kali, lalu Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Kalau aku menjawab, 'Ya' niscaya ia akan wajib (dilakukan tiap tahun) dan kalian tidak akan mampu melakukannya!' Kemudian beliau bersabda, 'Biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan bagi kalian! Karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa disebabkan sikap mereka yang banyak bertanya, dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka. Maka apabila aku memerintahkan kalian melakukan sesuatu, maka laksanakanlah ia sesuai dengan kemampuan kalian, dan apabila aku melarang kalian melakukan sesuatu, maka tinggalkanlah ia'."

(2). Di antara bentuk aplikasi kaidah (prinsip pokok) ini adalah bahwasanya apabila kemaslahatan dan kemudaratan (kerusakan) berkumpul, maka apabila dimungkinkan untuk meraih kemaslahatan dan mencegah kemudaratan (secara bersamaan), maka kita harus melakukan hal itu, sebagai pelaksanaan dari perintah Allah ta’ala terhadap keduanya, berdasarkan Firman Allah,


ÝóÇÊøóÞõæÇ Çááåó ãóÇ ÇÓúÊóØóÚúÊõãú


"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." (At-Taghabun: 16).

Dan apabila mencegah kemudaratan (kerusakan) dan meraih kemaslahatan tidak bisa terwujud (bersamaan); maka apabila kerusakannya itu lebih besar daripada kemaslahatannya, maka mencegah kerusakan didahulukan dan kita tidak mempedulikan terluputnya kemaslahatan tersebut. Allah ‘azza wa jalla berfirman,


íóÓúÃóáõæäóßó Úóäö ÇáúÎóãúÑö æóÇáúãóíúÓöÑö Þõáú ÝöíåöãóÇ ÅöËúãñ ßóÈöíÑñ æóãóäóÇÝöÚõ áöáäøóÇÓö æóÅöËúãõåõãóÇ ÃóßúÈóÑõ ãöäú äóÝúÚöåöãóÇ


"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, 'Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya'."
Allah mengharamkan keduanya karena kemafsadatan keduanya lebih besar dari manfaatnya. (Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1/110.)

(3). Bahwasanya yang wajib dilakukan ketika hendak melaksanakan shalat adalah bersuci dengan air, lalu apabila dia tidak mendapatkan air atau tidak bisa menggunakannya, maka sesungguhnya manusia berpindah kepada (kewajiban) tayamum (dengan tanah atau debu) sebagaimana hal itu telah dimaklumi.

(4). Bahwasanya shalat yang fardhu, pada asalnya seseorang harus melaksanakannya dengan berdiri, lalu apabila dia tidak mampu, maka dia boleh shalat sambil duduk, dan apabila dia tidak (mampu duduk), maka dia boleh shalat sambil berbaring, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh Imran bin Hushain. Dan masuk ke dalam hal itu seluruh syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat.

(5). Dalam masalah puasa, orang Muslim wajib menahan diri dari seluruh hal-hal yang dapat membatalkan puasa semenjak terbit fajar sampai tenggelam matahari, lalu apabila puasa terasa berat bagi dirinya, maka dia boleh berbuka dan berpindah kepada (kewajiban) memberi makan (orang miskin).

(6). Dalam ibadah haji, maka sesungguhnya bangunan rukun Islam yang satu ini seluruhnya berada di atas pokok yang agung ini, (yaitu) kemampuan, sebagaimana Allah ‘azza wa jalla berfirman,


æóáöáåö Úóáóì ÇáäøóÇÓö ÍöÌøõ ÇáúÈóíúÊö ãóäö ÇÓúÊóØóÇÚó Åöáóíúåö ÓóÈöíáðÇ æóãóäú ßóÝóÑó ÝóÅöäøó Çááåó Ûóäöíøñ Úóäö ÇáúÚóÇáóãöíäó (97)


"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (Ali Imran: 97).
Juga sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

(7). Dan di antara cabang-cabang penerapan kaidah dalam manasik haji, bahwasanya barangsiapa yang tidak mendapatkan tempat di Mina atau Muzdalifah, maka dia boleh tinggal di tempat mana saja yang mudah baginya, dan seperti itu juga tentang orang yang tidak mampu melempar jumrah karena suatu sebab apa saja yang diakui secara syariat, dan mungkin haji ini termasuk di antara rukun-rukun Islam yang paling banyak cabangnya yang merealisasikan kaidah yang agung ini.

(8). Dan di antara bentuk aplikasi kaidah (prinsip pokok) yang agung ini dalam masalah amar ma'ruf nahi mungkar: bahwasanya orang mukallaf wajib mengingkari dengan tangannya apabila dia mampu melakukannya, dan apabila dia tidak mampu, maka dengan lisannya, dan apabila dia tidak mampu, maka dengan hatinya, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh hadits Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan dalam ash-Shahih. Shahih Muslim, no. 49.

(9). Dan dalam masalah nafkah, siapa yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan nafkah yang wajib, dan dia tidak mampu mengeluarkan semuanya, maka dia harus memulai dengan istrinya, lalu sahayanya, lalu anaknya, lalu kedua orangtuanya, lalu orang yang paling dekat, lalu orang yang lebih dekat, dan demikian juga zakat fitrah.

(10). Dan di antara bentuk aplikasi kaidah (prinsip pokok) yang agung ini, masalah-masalah kepemimpinan dan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat keagamaan dan keduniaan seluruhnya -yang kecil maupun yang besar- masuk ke bawah kaidah yang agung ini. Maka wajib bagi setiap lembaga (wewenang) kepemimpinan untuk mengangkat orang yang paling cocok sebagai pemimpin, yang mana dengan pengangkatannya itu terwujudlah tujuan dari kepemimpinan, dan apabila seluruhnya tidak ada yang paling cocok, maka wajib untuk mengangkat orang yang paling mirip (dengan orang yang paling cocok) lalu orang yang lebih mirip, dan telah disebutkan pembahasan yang terperinci pada pembahasan tentang kaidah ke-17,


Åöäøó ÎóíúÑó ãóäö ÇÓúÊóÃúÌóÑúÊó ÇáúÞóæöíøõ ÇáúÃóãöíäõ (26)


"Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (Al-Qashash: 26).

Dan dengan contoh-contoh yang telah disebutkan, jelaslah bagi kita agungnya kedudukan kaidah (prinsip pokok) yang satu ini (yang berasal) dari Syariat yang disucikan, yang dibangun di atas kemudahan dan kelapangan; maka kita memohon kepada Allah ta’ala yang telah memberi kita petunjuk kepada Agama yang lurus ini, agar Dia meneguhkan kita di atasnya sampai kita bertemu dengan-Nya, dan agar Dia mengaruniakan kepada kita pemahaman dalam AgamaNya, dan bashirah (ilmu yang mantap) di dalamnya.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatquran&id=385