Artikel : Al-Quran - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Kaedah Ke-46 [Kebaikan Apapun Allah Mengetahuinya]

Senin, 13 Desember 21
Kaidah (Prinsip Pokok) ke-46


{ æóãóÇ ÊóÝúÚóáõæÇ ãöäú ÎóíúÑò íóÚúáóãúåõ Çááøóåõ }


Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.”
{ Al-Baqarah: 197}
Ini adalah sebuah kaidah (prinsip pokok) al-Qur`an yang muhkam, yang berkaitan erat dengan masalah yang penting dalam masalah hubungan dengan Allah, dan dengan hamba-hambaNya.
Kaidah al-Qur`an yang muhkam ini disebutkan di dalam konteks ayat-ayat haji. Allah ta’ala berfirman,


ÇáúÍóÌøõ ÃóÔúåõÑñ ãóÚúáõæãóÇÊñ Ýóãóäú ÝóÑóÖó Ýöíåöäøó ÇáúÍóÌøó ÝóáóÇ ÑóÝóËó æóáóÇ ÝõÓõæÞó æóáóÇ ÌöÏóÇáó Ýöí ÇáúÍóÌøö æóãóÇ ÊóÝúÚóáõæÇ ãöäú ÎóíúÑò íóÚúáóãúåõ Çááøóåõ æóÊóÒóæøóÏõæÇ ÝóÅöäøó ÎóíúÑó ÇáÒøóÇÏö ÇáÊøóÞúæóì æóÇÊøóÞõæäö íóÇ Ãõæáöí ÇáúÃóáúÈóÇÈö (197)


"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal." (Al-Baqarah: 197).

Ada baiknya sebelum kita masuk ke penjelasan sebagian dari makna-makna kaidah ini, (terlebih dahulu) kami menjelaskan makna ayat yang terkandung dalam kaidah ini dengan singkat. Maka kami katakan:

(1). Ketika kewajiban haji telah ditetapkan, dan hukum-hukumnya telah disebutkan (di ayat) sebelum ayat ini –yang berkaitan dengan penyempurnaan (ibadah haji) dan (pelaksanaan ibadah haji) pada saat terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit)– maka mulailah dibahas sejumlah adab dan hukum, di antaranya: larangan rafats, yakni bersetubuh dan mukadimahnya yang bersifat perbuatan dan perkataan, khususnya di hadapan perempuan, dan fusuq, yakni semua perbuatan maksiat, dan di antaranya adalah larangan-larangan ihram, dan jidal, yakni pertengkaran, perselisihan, dan pertikaian, karena ia dapat melahirkan keburukan dan menimbulkan permusuhan. Dan setelah Allah melarang mereka dari melakukan apa-apa yang buruk, baik perkataan maupun perbuatan, Allah memotivasi mereka untuk melakukan apa-apa yang baik, dan Dia mengabarkan bahwasanya Dia mengetahui hal itu, dan Dia akan memberi balasan kepada mereka atas (perbuatan baik mereka) itu dengan balasan yang paling penuh pada Hari Kiamat. ( Tafsir Ibnu Katsir, 1/197.)

(2). Dalam pengabaran bahwasanya 'tidaklah ada satu pun kebaikan yang kita lakukan melainkan Dia ta’ala mengetahuinya', terdapat petunjuk yang jelas bahwa ini mengandung pemberian balasan atas hal ini, dan anjuran untuk melakukannya, kalau tidak demikian, maka sesungguhnya Dia ta’ala mengetahui kebaikan dan keburukan.
Dan yang serupa dengan kaidah (prinsip pokok) ini adalah FirmanNya,


æóãóÇ ÃóäúÝóÞúÊõãú ãöäú äóÝóÞóÉò Ãóæú äóÐóÑúÊõãú ãöäú äóÐúÑò ÝóÅöäøó Çááøóåó íóÚúáóãõåõ


"Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Al-Baqarah: 270).

(3). Kemudian ayat ini ditutup dengan dua perkara penting, yang keduanya terkandung dalam FirmanNya,


æóÊóÒóæøóÏõæÇ ÝóÅöäøó ÎóíúÑó ÇáÒøóÇÏö ÇáÊøóÞúæóì æóÇÊøóÞõæäö íóÇ Ãõæáöí ÇáúÃóáúÈóÇÈö


"Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal." (Al-Baqarah: 197).

Maka dalam FirmanNya ta’ala, æóÊóÒóæøóÏõæÇ "Berbekallah," yakni siapkanlah bekal untuk santapan tubuh-tubuh kalian dan santapan hati-hati kalian –dan ini adalah yang paling utama di antara kedua jenis (santapan) ini- berdasarkan Firman Allah ta’ala, ÝóÅöäøó ÎóíúÑó ÇáÒøóÇÏö ÇáÊøóÞúæóì "dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa."
Kemudian setelah Allah ‘azza wa jalla memotivasi (manusia) agar bertakwa, Dia memerintahkan (manusia) agar bertakwa untuk mendapatkan kebaikannya, Allah ta’ala berfirman, æóÇÊøóÞõæäö íóÇ Ãõæáöí ÇáúÃóáúÈóÇÈö "dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal." Dan sesungguhnya para pemilik akal (yang cemerlang) dipanggil dengan khithab seperti ini –dan mereka itu adalah orang-orang yang berakal– adalah karena mereka merupakan orang-orang yang dapat menjangkau faidah takwa dan hasilnya; adapun orang-orang yang lemah akalnya, maka mereka tidak dapat menjangkaunya. ( Lihat Tafsir al-Qur`an, al-'Utsaimin, 2/415.)

Sesungguhnya kaidah (prinsip pokok) yang mulia ini (datang) untuk menumbuhkan banyak makna-makna keimanan dan pendidikan dalam diri orang Mukmin –pada saat dia sedang menempuh perjalanan menuju Allah dan negeri akhirat–, dan mungkin kami akan meringkas makna-makna ini sebagai berikut:

Pertama: Dalam ayat ini terdapat motivasi dan anjuran untuk mengikhlaskan amal kepada Allah Yang Mahamulia dan Mahatinggi, walaupun tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, bahkan sesungguhnya orang yang diberi taufik di antara hamba-hamba Allah adalah orang yang memiliki antusiasme yang sangat tinggi untuk menyembunyikan amalnya dari makhluk dengan segala upaya yang mampu dia lakukan, dan dalam hal itu terdapat banyak sekali faidah-faidah dan manfaat-manfaat bagi hati dan jiwa. Dan Ibnul Qayyim memiliki kata-kata dalam makna ini yang pantas ditulis dengan tinta emas, di mana beliau berkata,
"Berapa banyak pemilik hati, fokus batin, dan kondisi bersama Allah, yang telah membicarakan dan mengabarkan hal itu (kepada orang lain), sehingga justru ia diambil darinya oleh orang lain, maka dia membalikkan kedua telapak tangannya (dalam keadaan kosong). Oleh karena itu orang-orang yang arif dan para syaikh mewasiatkan agar menjaga rahasia bersama Allah, tidak menunjukkannya kepada seorang pun, dan menyembunyikannya dengan sangat rapi.
Dan kaum (as-Salaf) itu adalah orang-orang yang paling besar usahanya dalam hal menyembunyikan keadaan-keadaan mereka bersama Allah, dan apa yang dianugerahkan Allah kepada mereka berupa kecintaan kepadaNya dan rasa kedekatan denganNya dan pertautan hati denganNya, terutama bagi pemula dan orang yang telah menempuh jalan (kepadaNya). Maka apabila salah seorang di antara mereka telah mampu dan kuat, dan telah kokoh dasar-dasar pohon yang baik tersebut –yang mana akarnya menancap dengan kokoh dan cabangnya (menjulang tinggi) ke langit– dalam hatinya, di mana dia tidak mengkhawatirkannya dari (terjangan) badai, maka apabila dia memperlihatkan kondisi dan keadaannya bersama Allah agar dijadikan teladan dan diikuti, dia tidak peduli, dan ini adalah perkara yang besar manfaatnya, dan hanya diketahui oleh para pemiliknya yang tulen saja." ( Bada`i' al-Fawa`id, 3/847.)

Kedua: Di antara makna yang ditumbuhkan oleh kaidah (prinsip pokok) ini, æóãóÇ ÊóÝúÚóáõæÇ ãöäú ÎóíúÑò íóÚúáóãúåõ Çááøóåõ "Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya", dalam jiwa-jiwa pelakunya adalah: Ketenteraman jiwa dan ketenangan hati. Itu karena orang yang berbuat baik kepada makhluk, yang ikhlas dalam hal itu, tidak menunggu penghargaan dan sanjungan dari makhluk, bahkan dia mendapatkan kemudahan untuk bersabar atas pengingkaran sebagian manusia terhadap hal baik yang dia lakukan, atau perbuatan ma'ruf yang telah dia lakukan! Maka sesungguhnya apabila dia melakukan kebaikan dan meyakini bahwa Rabbnya mengetahuinya dengan pengetahuan yang (menyebabkan) Dia akan memberi balasan kepadanya atasnya, niscaya pengingkaran dan penolakan yang didapatkannya akan terasa ringan baginya, apalagi (kalau hanya sekedar) pengurangan dalam haknya, dan lisan keadaannya adalah sebagaimana dikabarkan oleh Allah tentang penghuni surga,


ÅöäøóãóÇ äõØúÚöãõßõãú áöæóÌúåö Çááøóåö áóÇ äõÑöíÏõ ãöäúßõãú ÌóÒóÇÁð æóáóÇ ÔõßõæÑðÇ (9)


"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (Al-Insan: 9).

Saya mengenal seorang laki-laki yang banyak keutamaannya, dia memiliki syafa'at dan kedudukan (yang digunakannya) untuk memberi manfaat kepada manusia, lalu dia diuji dengan sekelompok orang yang lupa terhadap perbuatan-perbuatan baiknya, dan mengingkari kebaikan-kebaikannya, bahkan dia merasakan bahwa sebagian dari mereka menusuknya dari belakang, atau memutar-balikkan fakta!
Maka saya mengingatkannya akan makna ini –yang sedang kita dengungkan di sini– sehingga dia pun menjadi lebih merasa nyaman.
Dan bersama apa yang telah disebutkan ini, maka sesungguhnya saya menghadiahkan untuk saudara-saudara saya –yang mana Allah telah menganugerahkan kepada mereka berbuat baik kepada makhluk lalu mereka diuji dengan keberpalingan mereka– teks yang berharga dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, di mana beliau berkata dalam perkataannya yang panjang seputar makna ini, beliau berkata,
"Dan janganlah hal ini mendorongmu untuk berbuat keras (tidak santun) kepada manusia, meninggalkan berbuat baik kepada mereka, dan sabar menanggung gangguan dari mereka, justru tetaplah berbuat baik kepada mereka karena Allah, bukan karena mengharapkan (sesuatu dari) mereka. Dan sebagaimana Anda tidak takut kepada mereka, maka janganlah berharap kepada mereka. Takutlah kepada Allah dalam (urusan) manusia, dan jangan takut kepada manusia dalam (urusan) Allah. Berharaplah kepada Allah dalam (urusan) manusia, dan janganlah berharap kepada manusia dalam (urusan) Allah, dan jadilah di antara orang-orang yang difirmankan oleh Allah ta’ala tentangnya,


æóÓóíõÌóäøóÈõåóÇ ÇáúÃóÊúÞóì (17) ÇáøóÐöí íõÄúÊöí ãóÇáóåõ íóÊóÒóßøóì (18) æóãóÇ áöÃóÍóÏò ÚöäúÏóåõ ãöäú äöÚúãóÉò ÊõÌúÒóì (19) ÅöáøóÇ ÇÈúÊöÛóÇÁó æóÌúåö ÑóÈøöåö ÇáúÃóÚúáóì (20)


'Dan kelak orang yang paling takwa akan dijauhkan dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seorang pun yang memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Mahatinggi.' (Al-Lail: 17-20).

Dan Allah ta’ala juga berfirman tentangnya,


ÅöäøóãóÇ äõØúÚöãõßõãú áöæóÌúåö Çááøóåö áóÇ äõÑöíÏõ ãöäúßõãú ÌóÒóÇÁð æóáóÇ ÔõßõæÑðÇ (9)


'Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih'. (Al-Insan: 9)." ( Majmu' al-Fatawa, 1/31.)

Beliau juga berkata pada tempat lain –seraya berwasiat kepada orang yang melakukan sesuatu untuk memberi manfaat kepada makhluk–,
"Dan apabila dia berbuat baik kepada manusia, maka dia berbuat baik kepada mereka hanya untuk mengharapkan Wajah Tuhannya Yang Mahatinggi, dan dia mengetahui (menyadari) bahwasanya Allah telah memberi anugerah kepadanya dengan menjadikannya sebagai orang yang berbuat baik, dan tidak menjadikannya sebagai orang yang berbuat buruk, sehingga dia berpandangan bahwa amalnya adalah untuk Allah dan dengan (pertolongan) Allah. Hal ini disebutkan dalam Surat al-Fatihah,


ÅöíøóÇßó äóÚúÈõÏõ æóÅöíøóÇßó äóÓúÊóÚöíäõ (5)


'Hanya kepadaMu-lah kami menyembah, dan hanya kepadaMulah kami meminta pertolongan'. (Al-Fatihah: 5).

Maka orang Mukmin berpandangan bahwa amalnya adalah untuk Allah karena Dia-lah yang dia sembah, dan bahwa hal itu (terjadi) dengan (pertolongan) Allah, karena kepadaNya-lah dia meminta pertolongan, sehingga dia tidak meminta balasan dan ucapan terima kasih dari orang yang dia berbuat baik kepadanya, karena sesungguhnya dia hanya melakukan apa yang dilakukannya itu untuk Allah, sebagaimana dikatakan oleh orang-orang yang suka berbuat baik,


ÅöäøóãóÇ äõØúÚöãõßõãú áöæóÌúåö Çááøóåö áóÇ äõÑöíÏõ ãöäúßõãú ÌóÒóÇÁð æóáóÇ ÔõßõæÑðÇ (9)


'Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.' (Al-Insan: 9).

Dia tidak menyebut-nyebut hal itu dan tidak menyakiti perasaan yang menerima, karena dia telah mengetahui bahwasanya Allah adalah yang telah memberi karunia kepadanya, karena Dia telah menggunakan orang tersebut dalam perbuatan baik, dan bahwasanya karunia telah diberikan kepadanya dan kepada orang (yang ditolong) itu, maka kewajibannya adalah: bersyukur kepada Allah karena Dia telah memudahkannya untuk berbuat baik, dan kewajiban (orang yang ditolong) itu adalah hendaklah dia juga bersyukur kepada Allah, karena Allah telah memudahkan baginya orang yang memberikan apa yang bermanfaat baginya berupa rizki, ilmu, bantuan, atau hal-hal lainnya.
Dan di antara manusia terdapat orang yang berbuat baik kepada orang lain agar dia bisa menyebut-nyebut (kebaikannya) tersebut, atau membalas kebaikannya tersebut dengan ketaatan orang itu kepadanya, penghormatannya kepadanya, atau manfaat lainnya, dan terkadang dia menyebut-nyebut (kebaikannya) dengan berkata, "Aku telah melakukan begini kepadamu", maka orang seperti ini tidaklah menyembah Allah dan meminta pertolongan kepadaNya, tidak beramal untuk Allah dan tidak beramal demi Allah, dia adalah seorang yang berbuat riya`. Dan Allah telah membatalkan sedekah orang yang menyebut-nyebut (sedekahnya) dan sedekah orang yang berbuat riya`...." dan seterusnya. ( Majmu' al-Fatawa, 14/329.)

Maksudnya, bahwa barangsiapa yang memahami apa yang ditunjukkan oleh kaidah (prinsip pokok ajaran) al-Qur`an yang muhkam (bermakna jelas) ini, æóãóÇ ÊóÝúÚóáõæÇ ãöäú ÎóíúÑò íóÚúáóãúåõ Çááøóåõ "Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya," niscaya dia akan melakukan perbuatan baik, dan menjadi ringan baginya untuk bersabar atas kekurangan makhluk dan sikap keras mereka, karena sesungguhnya dia tidak berharap kecuali kepada Allah.
Kita memohon kepada Allah ta’ala dengan anugerah dan kemurahanNya agar menganugerahkan kepada kita untuk selalu berbuat kebaikan, dan ikhlas kepada Allah ta’ala dalam semua yang kita lakukan dan amal kita tekadkan.


Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatquran&id=395