Perbedaan di Dalam Pembagian Harta Warisan
Teori yang dimiliki Islam di dalam pembedaan antara (bagian) laki-laki dan perempuan (dalam pembagian harta warisan) adalah teori ekonomi murni, yaitu teori yang dibangun di atas prinsip “Bahwa laki-lakilah yang bertanggung-jawab atas urusan keluarga dan dia pulalah yang menyandang beban menafkahi mereka, di samping tugas-tugas lain yang dibebankan kepadanya di masyarakat di mana perempuan tidak dibebani.” Maka kalau Islam memberikan kepada perempuan setengah dari bagian yang diterima laki-laki (1:2) dari harta warisan, sedangkan perempuan tidak bertanggungjawab untuk memberikan nafkah hingga terhadap dirinya sekalipun, dan sekalipun ia adalah perempuan kaya, maka yang demikian itu adalah puncak kebijaksanaan dan keadilan. Sebab tidak rasional kalau pembagian disamaratakan antara orang yang mempunyai tanggungan mengemban semua beban kehidupan perekonomian dengan orang yang tidak dibebani sedikitpun daripadanya.
Sungguh, Islam benar-benar sangat pemurah lagi toleran karena telah membebaskan perempuan dari segala beban perekonomian dan menyandangkan sepenuhnya di atas pundak laki-laki, lalu setelah itu Islam masih memberi kepada perempuan separoh bagian harta waris dari bagian yang diterima laki-laki. Jadi, tidak ada ruang untuk menuntut persamaan bagian perempuan dengan laki-laki dalam pembagian harta waris dan tidak juga ada tempat untuk dikatakan bahwa hal itu mengandung penghinaan terhadap kemanusiaan atau kedudukan perempuan, serta tidak ada artinya pula memojokkan Islam dalam masalah itu dan menjadikan masalah warisan sebagai sarana untuk menuduh bahwa pembagian yang seperti itu merendahkan martabat kaum perempuan. Bagaimana ungkapan seperti itu dilontarkan, padahal Islam sendiri telah memberikan kepada perempuan haknya di dalam harta warisan yang pada masa Jahiliyah mereka tidak mendapatkan bagian sedikit pun, juga pada bangsa-bangsa lainnya yang terdahulu dan pada sebagian bangsa modern sekarang ini. Sebagai contoh adalah yang terjadi di sebagian daerah Skandanivia, di negeri itu hingga sekarang masih membedakan antara kaum lelaki dan kaum perempuan dalam pembagian harta warisan, di mana laki-laki diberi lebih banyak daripada perempuan sekalipun mereka sama-sama menanggung beban perekonomian.
Sesudah itu semua, sesungguhnya pembedaan bagian harta waris antara laki-laki dan perempuan itu tidak pada setiap keadaan, karena Al-Qur’an telah menetapkan persamaan hak bagian harta warisan pada bagian ibu dan ayah apabila anaknya yang meninggal dunia itu meninggalkan beberapa anak laki-laki. Allah berfirman,
æóáöÃóÈóæóíúåö áößõáöø æóÇÍöÏò ãöäúåõãóÇ ÇáÓõøÏõÓõ ãöãóøÇ ÊóÑóßó Åöäú ßóÇäó áóåõ æóáóÏñ
“Dan dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.” (An-Nisa’: 11).
Demikian pula (kesamaan bagian) antara saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu jika saudara laki-laki itu tidak mempunyai asal laki-laki (ayah dan seterusnya) atau fura’ (anak laki-laki dan ke bawah) pewaris, maka masing-masing berhak menerima 1/6 dari harta waris. Kalau saudara seibu itu lebih dari dua orang, maka mereka semua mendapat bagian yang sama dari 1/3 bagian harta warisan, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian Allah berfirman,
æóÅöäú ßóÇäó ÑóÌõáñ íõæÑóËõ ßóáóÇáóÉð Ãóæö ÇãúÑóÃóÉñ æóáóåõ ÃóÎñ Ãóæú ÃõÎúÊñ Ýóáößõáöø æóÇÍöÏò ãöäúåõãóÇ ÇáÓõøÏõÓõ ÝóÅöäú ßóÇäõæÇ ÃóßúËóÑó ãöäú Ðóáößó Ýóåõãú ÔõÑóßóÇÁõ Ýöí ÇáËõøáõËö
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak pula meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari dua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (An-Nisa’: 12).
Yang jelas, bahwa ada beberapa kondisi yang tidak merealisasikan persamaan hak bagian antara laki-laki dan perempuan di dalam harta warisan, hal itu terjadi karena ada tanggungjawab memberi nafkah, yaitu tanggung jawab yang dipikulkan di atas pundak laki-laki, bertolak dari Qa’idah Syar’iyah: “Al-Ghunmu bil-ghurmi atau al-Ghurmu bil-ghunm”. Maksudnya adalah bahwa seseorang itu diberi sesuai dengan tanggungjawabnya, atau tanggungjawabnya itu sesuai dengan apa yang diberikan kepadanya. Maka dari itu, tidak adil kalau perempuan diberi sebesar bagian laki-laki, karena laki-laki sajalah yang menanggung tanggungjawab memberikan nafkah, sedangkan perempuan tidak.
Jadi, masalahnya di sini adalah dibangun berdasarkan prinsip keadilan bukan berdasarkan merendahkan martabat dan kedudukan perempuan atau nilai sosialnya, sebagaimana anggapan orang-orang bodoh yang tidak mengerti hikmah tasyri’ (penetapan hukum Islam).
Hit : 0 |
IndexJudul |
IndexSubjudul |
kirim ke teman | versi cetak