MENGHITUNG BACAAN DZIKIR DENGAN TASBEH
Terjadi perdebatan yang panjang mengenai hukum tasbîh (berdzikir dengan menggunakan tasbeh). Oleh karena itu, saya berniat semata-mata karena Allah ta'ala untuk merangkum pembahasan tentang masalah ini dilihat dari semua aspeknya sedapat mungkin, meskipun itu sangat panjang. Rangkuman tersebut adalah sebagai berikut:
Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menetapkan untuk melakukan dzikir yang berjumlah dengan hitungan tertentu (dzikir ‘adadi) dengan memakai jari-jari tangan, lalu terjadilah pengalihan untuk menghitung dzikir tersebut dengan memakai alat lain dalam beberapa tahapan: Periode pertama, menghitung dzikir dengan batu kerikil atau biji-bijian. Periode kedua, menghitung dzikir dengan kerikil atau biji-bijian yang dirangkai dengan benang (kemudian disebut tasbeh). Periode ketiga, menghitung dzikir dengan alat-alat buatan yang modern. Adapun penjelasan selengkapnya tentang ketiga tahapan ini, adalah:
Tahap Pertama: Bertasbih Dengan Batu Kerikil Atau Biji-Bijian
Periode ini terdiri atas tiga periode:
Periode Pertama: Pada Masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
Sudah diketahui sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sampai saat ini, bahwa masjid-masjid yang terdapat di beberapa perkampungan di semenanjung Arab tanahnya dipenuhi oleh banyak batu kerikil, dan orang-orang pun menggunakan batu-batu kerikil yang ada di dalam masjid tersebut untuk melempari anak-anak yang bermain di dalam masjid. Namun, pada masa-masa selanjutnya, tepatnya pada masa Bani Umaiyyah dan setelahnya, orang-orang yang shalat menggunakannya untuk melempari para wali (pemimpin) dan khatib jika mereka mendengar dari mulut orang-orang tersebut sesuatu yang tidak mereka ridhai.
Dan Anda telah mengetahui bahwa di sana terdapat tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam baik yang berbentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan (taqrîr) yang menjelaskan bahwa beliau menghitung bacaan tasbîh dengan jari-jari tangan.
Lalu, apakah pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terjadi perubahan menghitung dzikir dengan batu kerikil atau biji-bijian, untuk kemudian bisa dikatakan sebagai macam perbedaan variatif dalam hal alat menghitung dzikir, sehingga menghitung dzikir bisa dilakukan dengan jari-jari tangan, batu kerikil atau yang sejenisnya? Atau, sesungguhnya alat penghitung tersebut hanya satu, yaitu jari-jari tangan, bukan alat yang lainnya?!
Saya katakan: Tidaklah benar hadîts yang menyatakan disyariatkannya menghitung dzikir dengan batu kerikil atau biji-bijian. Dan banyaknya riwayat tentang masalah ini yang disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (marfu’) ada tiga hadîts. Satu hadîts di antaranya adalah maudhu’ (palsu), yaitu hadîts yang dinisbatkan kepada Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Sedangkan dua hadîts lainnya, yaitu hadîts dari Shafiyah radhiyallahu 'anha, dan hadîts dari Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu 'anhu, keduanya tidak kuat untuk dijadikan dalil dibenarkannya berdzikir dengan batu kerikil atau biji-bijian ini. Sebab semua sanadnya mempunyai catatan (banyak kelemahannya).
Selanjutnya, kita akan ulas satu per satu hadîts tersebut, sanad maupun matannya:
Hadîts Pertama: Hadîts dari Shafiyah binti Hayy, istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
ÚóÜäú ÕóÝöíóøÉó ÑóÖöíó Çááåõ ÚóäúåóÇ ÞóÇáóÊú: ÏóÎóáó Úóáóíóø ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáóøì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáóøãó æóÈóíúäó íóÏöíú ÃóÑúÈóÚóÉõ ÂáÇóÝö äóæóÇÉò ÃõÓóÈöøÍõ Èöåöäóø. ÝóÞóÇáó: íóÇ ÈöäúÊó Íóííòø¡ ãóÇ åóÐóÇ¿ ÞõáúÊõ: ÃõÓóÈöøÍõ Èöåöäóø. ÞóÇáó: ÞóÏú ÓóÈóøÍúÊõ ãõäúÐõ ÞõãúÊõ Úóáóì ÑóÃúÓößö ÃóßúËóÑó ãöäú åóÐóÇ. ÞõáúÊõ: Úóáöøãúäöíú íóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö. ÞóÇáó: Þõæúáöíú: ÓõÈúÍóÇäó Çááåö ÚóÏóÏó ãóÇ ÎóáóÞó Çááå ãöäú ÔóíúÁò.
Dari Shafiyah
radhiyallahu 'anha, berkata,
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menemuiku, sedang dihadapanku terdapat empat ribu biji-bijian yang aku pakai untuk bertasbîh, lalu beliau bertanya: “Wahai Binti Hayy (Shafiyyah), apa ini?” Aku menjawab: “Aku menggunakannya untuk bertasbîh.” Beliau bersabda, “Aku telah bertasbîh sejak aku berdiri di hadapanmu lebih dari ini.” Maka aku pun berkata, “Ajarilah aku, wahai Rasulullah,.” Beliau bersabda, “Ucapkanlah: ‘Mahasuci Allah sebanyak sesuatu yang Allah ciptakan’.”
Hadîts ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (no. 3554, 4/ 274), dan dia berkata, “Ini adalah hadîts
gharib (asing), yang tidak kami ketahui selain dari jalur ini dari hadîts Hasyim bin Sa’id al-Kufi, sedang sanadnya tidak dikenal, dan di dalam bab ini ada riwayat dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu 'anhu.”
Hadîts ini juga telah diriwayatkan oleh al-Hakim, dan dia menshahihkannya, lalu disepakati oleh Imam adz-Dzahabi (1/547). Juga, telah diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam Musnadnya (4/1696), dan oleh Ibnu ‘Adi di dalam
“al-Kâmil” (7/2574). Di dalam sanad hadîts ini terdapat Hasyim bin Sa’id al-Kufi yang oleh al-Hafizh (Ibnu Hajar)
rahimahullah di dalam
“at-Taqrîb” dinyatakan
‘dha’if’ (lemah riwayatnya), juga gurunya yang bernama Kinanah (budaknya Shafiyah) yang oleh al-Hafizh dinyatakan
maqbul (diterima riwayatnya), namun dinyatakan lemah oleh al-Azdiy tanpa suatu pun alasan.
Begitu pula, hadîts ini telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari jalur yang berbeda di dalam kitabnya
“ad-Du’â” dan
“al-Ausath” dari Rauh bin al-Faraj, dari Amr’ bin Khalid, dari Khudaij bin Mu’awiyah, dari Kinanah (budaknya Shafiyah), dari Shafiyah binti Hayy
radhiyallahu 'anhu.
Berkenaan dengan Hudaij ini, al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutnya:
‘Shadûq Yukhthi’ (seorang yang sangat jujur namun sering keliru dalam meriwayatkan hadits).
Juga, telah diriwayatkan dari jalur yang lain lagi oleh ath-Thabrani di dalam
“ad-Du’â” dan di dalam
“al-Ausath”, lalu dia berkata, “Berkata kepada kami Muhammad bin Utsman bin Abu Syaibah dari bapaknya, berkata, “Aku telah menemukan di dalam kitab ayahku dengan tulisannya: Berkata kepadaku Muslim bin Sa’id, dari Manshur bin Zadzan, dari Yazid bin Mut’ib (budaknya Shafiyyah binti Hayy
radhiyallahu 'anha). Hanya saja, Yazid tidak pernah diketahui biografinya, tetapi dia berada di pertengahan generasi Tabi’in, dan termasuk salah satu budak Shafiyyah
radhiyallahu 'anha.
Perkataan Imam at-Tirmidzi setelah hadîts Shafiyyah
radhiyallahu 'anhu terdahulu, yaitu: “Di dalam bab ini ada riwayat dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu 'anhuma ”, maksudnya adalah apa yang telah di-
takhrij oleh Imam Muslim dan yang lainnya dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu 'anhuma dari Juwairiyah
radhiyallahu 'anha yang bunyinya:
Ãóäóø ÇáäóøÈöíóø Õóáóøì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáóøãó ÎóÑóÌó ãöäú ÚöäúÏöåóÇ ÈõßúÑóÉð Íöíúäó Õóáóøì ÇáÕõøÈúÍó æóåöíó Ýöíú ãóÓúÌöÏöåóÇ¡ Ëõãóø ÑóÌóÚó Íöíúäó ÃóÖúÍóì æóåöíó Úóáóì ÍóÇáóÊöåóÇ¡ ÝóÞóÇáó: ãóÇÒöáúÊö Úóáóì ÍóÇáóÊößö ÇáóøÊöíú ÝóÇÑóÞúÊõßö ÚóáóíúåóÇ¡ ÞóÇáóÊú: äóÚóãú. ÝóÞóÇáó ÇáäóøÈöíõø Õóáóøì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáóøãó: áóÞóÏú ÞõáúÊõ ÈóÚúÏóßó ÃóÑúÈóÚó ßóáöãóÇÊò ËóáÇóËó ãóÑóøÇÊò¡ áóæú æõÒöäóÊú ÈöãóÇ ÞõáúÊö ãõäúÐõ Çúáíóæúãö áóæóÒóäóÊúåõäóø: ÓõÈúÍóÇäó Çááåö æóÈöÍóãúÏöåö ÚóÏóÏó ÎóáúÞöåö æóÑöÖóì äóÝúÓöåö æóÒöäóÉó ÚóÜÑúÔöåö æóãöÏóÇÏó ßóáöãóÇÊöåö.
“Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah keluar dari kediaman Juwairiyah sewaktu pagi-pagi ketika beliau shalat Subuh, sementara Juwairiyah berada di dalam masjidnya, lalu beliau kembali pada waktu dhuha sedangkan Juwairiyah masih dalam keadaannya yang semula, lalu beliau bertanya: “Masihkah kamu dalam keadaanmu yang semula di mana aku telah tinggalkan kamu”, dia menjawab: “Benar”, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, aku telah mengucapkan empat kalimat sebanyak tiga kali setelahmu, yang seandainya kalimat tersebut ditimbang dengan apa yang telah kamu ucapkan sejak hari ini, niscaya dia akan sebanding dengannya, yaitu: “Mahasuci Allah, dan dengan segala puji bagi-Nya, sebanyak ciptaan-Nya, keridhaan-Nya, berat ‘Arsynya, dan banyaknya tinta kalimat-Nya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah di dalam
“Nataij al-Afkar”, (1/78), berkata, “Wanita ini bisa jadi dia adalah Juwairiyah, dan telah disebutkan hadîtsnya terdahulu, namun pemaparannya tidak dengan lafazh (redaksi) ini. Dan juga bisa jadi perempuan itu adalah Shafiyyah, dan memang ada riwayat hadîtsnya sesuai dengan lafazh ini, tapi sangat singkat, dan di dalamnya disebutkan jumlah biji-bijian yang digunakan untuk ber
tasbîh.”
Hadîts Kedua, Hadîts dari Sa’ad bin Abu Waqqash
radhiyallahu 'anhu :
ÚóÜäú ÓóÚúÏò Èúäö ÃóÈöíú æóÞóøÇÕò ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ Ãóäóøåõ ÏóÎóáó ãóÚó ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáóøì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáóøãó Úóáóì ÇãúÑóÃóÉò æóÈóíúäó íóÏóíúåóÇ äõæóÇÉñ –Ãóæú ÞóÇáó: ÍóÕóÇÉñ- ÊõÓóÈöøÍõ ÈöåóÇ. ÝóÞóÇáó: ÃóáÇó ÃõÎúÈöÑõßó ÈöãóÇ åõæó ÃóíúÓóÑõ Úóáóíúßó ãöäú åóÐóÇ æóÃóÝúÖóáõ¿ ÓõÈúÍóÇäó Çááåö ÚóÏóÏó ãóÇ ÎóáóÞó Ýöí ÇáÓóøãÂÁö¡ æóÓõÈúÍóÇäó Çááåö ÚóÏóÏó ãóÇ ÎóáóÞó Ýöí ÇúáÃóÑúÖö¡ æóÓõÈúÍóÇäó Çááåö ÚóÏóÏó ãóÇ Èóíúäó Ðóáößó¡ æóÓõÈúÍóÇäó Çááåö ÚóÏóÏó ãóÇ åõæó ÎóÇáöÞñ¡ æóÇááåõ ÃóßúÈóÑõ ãöËúáó Ðóáößó¡ æóÇúáÍóãúÏõ ááåö ãöËúáó Ðóáößó¡ æóáÇó Íóæúáó æóáÇó ÞõæóøÉó ÅöáÇóø ÈöÇááåö ãöËúáó Ðóáößó.
“Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu, bahwasanya dia bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah masuk menemui seorang wanita, dan di hadapan wanita tersebut terdapat biji-bijian atau batu kerikil yang dia gunakan untuk bertasbîh, lalu beliau (Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) bersabda, “Tidakkah aku kabarkan kepadamu sesuatu yang lebih mudah bagimu dan lebih utama daripada ini?, yaitu: “Mahasuci Allah sejumlah apa yang diciptakan-Nya di langit, Mahasuci Allah sejumlah apa yang diciptakan-Nya di bumi, Mahasuci Allah sejumlah apa yang ada di antara langit dan bumi, Mahasuci Allah sejumlah apa yang Dia ciptakan, Maha Besar Allah seperti itu, segala puji bagi Allah seperti itu, dan tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah seperti itu.”
Hadîts ini diriwayatkan oleh Abu Daud (4/366); at-Tirmidzi (3568) dan dia berkata, “Ini hadîts
hasan gharib”, an-Nasa’i di dalam
“Amalul Yaum wal Lailah”, yaitu pada musnad Sa’ad no. 88; ath-Thabrani di dalam “ad-Du’â”, (3/1584, no. 1738) dan sebaiknya dilihat komentar
Muhaqqiq (pakar pengoreksi); al-Bazzar di dalam Musnadnya; al-Baihaqi di dalam
“Syu’ab al-Iman”, (1/347); al-Baghawi di dalam
“Syarh as-Sunnah”, hal. 1279; semuanya dengan sanad-sanad mereka sampai pada Ibnu Wahab, dari ‘Amr bin al-Harits, dari Sa’id bin Abu Hilal, dari Khuzaimah, dari ‘Aisyah binti Sa’ad bin Abu Waqqash, dari bapaknya (Sa’ad bin Abu Waqqash
radhiyallahu 'anhu), lalu dia (Sa’ad) menyampaikan hadîts ini.
Hadîts ini juga telah diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam
“al-Mustadrak” (1/547); Ibnu Hibban di dalam
Shahih-nya, no. 834; al-Bazzar di dalam Musnadnya, (4/40); semuanya dengan menggugurkan Khuzaimah, sementara riwayat Sa’id bin Abu Hilal di sini langsung dari ‘Aisyah bin Sa’ad bersama Sa’ad bin Abu Waqqash
radhiyallahu 'anhu.
Maka, sanad-sanadnya berkisar kepada
Sa’id bin Abu Hilal, yang oleh al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah disebut:
“Shaduq (seorang yang sangat jujur)”, dan saya tidak melihat seorang ulama salaf pun terhadap Ibnu Hazam yang mendha’ifkannya, kecuali bahwa as-Saji telah meriwayatkan dari Ahmad bahwa dia telah berubah hafalannya.”
Dan tentang Khuzaimah, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Khuzaimah dari ‘Aisyah binti Sa’ad, tidak dikenal….dst..”
Hadîts Ketiga, hadîts dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu (Lihat: as-Silsilah adh-Dha’ifah, no. 1002):
ÚóÜäú ÃóÈöíú åõÜÑóíúÑóÉó ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ ÞóÇáó: ßóÇäó Õóáóøì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáóøãó íõÓóÈöøÍõ ÈöÇáúÍóÕóì.
“Dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah bertasbîh dengan batu kerikil.” (HR. Abul Qasim al-Jurjani di dalam “Tarikh Jurjan”, hal. 68).
Di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muhammad bin Rabi’ah al-Qudama, seorang yang tertimpa musibah dan melakukan kemungkaran, sebagaimana yang tersebut di dalam biografinya di dalam kitab
“Lisân al-Mîzân”, aslinya adalah
“al-Mîzân al-I`tidâl.” Sedang orang yang meriwayatkan darinya adalah Shalih bin ‘Ali an-Naufali, namun tidak pernah diketahui biografinya. Maka, hadîts yang saya sebutkan di sini hanya sebagai pembahasan dari bab, dan kalau bukan alasan tersebut, maka saya tidak akan meliriknya.
Ringkasan
Dari berbagai hadîts
marfû’ yang disandarkan kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam di atas, bisa disimpulkan bahwa hadîts Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, yaitu hadits yang ketiga tidak dianggap, sebab ia termasuk dalam hukum hadîts palsu (
maudhu’). Adapun hadîts Shafiyah dan hadîts Sa’ad bin Abu Waqqash, maka masing-masing menjadi penguat bagi yang lainnya, mengingat di dalam sanadnya tidak ada orang yang dihukumi cacat dari segi keadilannya. Akan tetapi, apakah sebenarnya makna masing-masing hadîts tersebut -bila memang hadîts tersebut shahih-?
Sesungguhnya di dalam hadîts Shafiyah
radhiyallahu 'anhu terdapat pertanyaan Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam kepada Shafiyah ketika beliau melihatnya menghitung
tasbîh dengan biji-bijian: “Apa ini?”, dan ini sebagai sikap pengingkaran terhadap apa yang dilakukannya, seolah perbuatan tersebut tidak perlu masuk di dalam syariat. Maka, ucapan tersebut adalah bentuk pengingkaran terhadap perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam menunjukkan Shafiyah kepada
tasbîh yang disyariatkan, seperti beliau mengajarkan ‘biangnya do`a
Istighfâr’ (sayyidul istighfar) kepada orang-orang yang memohon ampunan. Maka, tidak ada satu pun petunjuk yang bisa dijadikan dalil untuk membolehkan ber
tasbîh dengan batu kerikil atau biji-bijian.
Sedangkan hadîts Sa’ad bin Abu Waqqash
radhiyallahu 'anhu disebutkan di dalamnya ketika Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam melihat seorang wanita ber
tasbîh dengan biji-bijian atau batu kerikil, beliau bersabda,
ÃóáÇó ÃõÎúÈöÑõßö ÈöãóÇ åõæó ÃóíúÓóÑõ Úóáóíúßö ãöäú åóÐóÇ æóÃÝóÖúáõ ..
“Maukah aku kabarkan kepadamu sesuatu yang lebih mudah bagimu dan lebih utama daripada hal ini….”
Perkataan Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam ini adalah ungkapan Arab yang terkenal yang mana
af’âl tafdhîl di dalamnya tidak disampaikan sesuai konteksnya, seperti apa yang ada di dalam firman Allah
ta'ala tentang kenikmatan para penghuni surga:
ÃóÕúÍóÇÈõ ÇáúÌóäóøÉö íóæúãóÆöÐò ÎóíúÑ ãõÓúÊóÞóÑðøÇ æóÃóÍúÓóäõ ãóÞöíúáÇð
“Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” (al-Furqan: 24).
Karena, penggunaan
af’al tafdhil di sini, termasuk penggunaan
af’âl tafdhîl yang berkaitan dengan kebaikan pada suatu tempat yang tidak didapati pada tempat lainnya, mengingat tidak ada satu pun kebaikan di dalam peristirahatan para penghuni neraka dan tempat tinggal mereka, seperti firman Allah
ta'ala:
Âááåõ ÎóíúÑñ ÃóãóøÇ íõÔúÑößõæúäó
“Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?” (an-Naml: 59).
Tafsir as-Sa’adi, (2/190).
Dengan penjelasan tersebut bagi makna kedua hadîts di atas -bila memang keduanya hadîts shahih-, maka akan terlihat secara jelas mengenai tidak benarnya tindakan orang yang menjadikan kedua hadîts tersebut sebagai dalil untuk membolehkan ber
tasbîh dengan batu kerikil atau biji-bijian.
Wallahu a’lam.
[
Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]