Kajian Islam
Ada dua golongan yang sesat dalam masalah ini:
Pertama; Golongan yang secara total menolak adanya takdir, bahkan termasuk ilmu Allah yang terdahulu dengan dugaan bahwa itu bertentangan dengan keadilan Ilahi, dan mereka pun berlebihan dalam menetapkan kehendak manusia, sehingga mengatakan, “Tidak ada takdir, dan urusan itu hanya terjadi tanpa takdir.” Ungkapan kelompok ini merupakan akibat dari kejahilan dan kelemahan terhadap Allah Subhaanahu Wata'ala, bahkan mereka pun mengatakan bahwa ada kejadian dalam kerajaan-Nya sesuatu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki-Nya. Maha Tinggi Allah setinggi-tinggi dari dugaan itu.
Firman Allah yang menunjukkan keumuman dan cakupan pengetahuan-Nya terhadap segala sesuatu, ÑóÈøóäóÇ Åöäøóßó ÊóÚúáóãõ ãóÇ äõÎúÝöí æóãóÇ äõÚúáöäõ æóãóÇ íóÎúÝóì Úóáóì Çááøóåö ãöäú ÔóíúÁò Ýöí ÇáúÃóÑúÖö æóáóÇ Ýöí ÇáÓøóãóÇÁö “Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.” (Ibrahim: 38).
Dalam ayat lain disebutkan, “Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq: 12).
Dalam ayat lain disebutkan, “Yang mengetahui yang ghaib, tidak ada yang tersembunyi daripada-Nya seberat dzarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Saba’: 3).
Kemudian tentang kemutlakan kehendak-Nya, Allah berfirman, “Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruj: 16).
Maka tidak ada seorang manusia pun kecuali berhendak terhadap apa yang tidak bisa dia lakukan atau melakukan terhadap yang tidak dikehendaki, akan tetapi hanya Allahlah yang kuasa berbuat terhadap apa yang dikehendaki-Nya.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takwir: 29).
Dalam ayat lain disebutkan, “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Insan: 30). Yakni, kehendak kalian mengikuti kehendak Allah Subhaanahu Wata'ala. Maka barangsiapa yang dikehendaki mendapatkan hidayah, niscaya dimudahkan jalannya dan faktor-faktor penyebabnya, dan barangsiapa yang dikehendaki kesesatannya maka akan dipalingkan dari petunjuk. Dan dalam hal ini terkandung hikmah yang sangat rinci dan hujjah yang sangat detail.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman, “Katakanlah: “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya.” (Ar-Ra’d: 27).
Muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata, “Yang pertama kali berkata tentang takdir di Bashrah adalah Ma’bad Al-Juhanny, lalu aku dan Humaid bin Abdurrahman Al-Humairi pergi haji atau umrah, kami katakan, bahwa seandainya kami bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka kami akan bertanya kepadanya tentang apa yang dikatakan oleh mereka mengenai takdir. Di sana kami berjumpa dengan Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang sedang memasuki majlis, lalu kami mengapitnya, salah seorang kami di sebelah kanannya dan seorang lagi di sebelah kirinya. Tampaknya temanku akan menyerahkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, orang-orang sebelum kami telah membaca Al-Qur’an dan mempelajari ilmu.” Lalu disebutkan tentang keadaan mereka, “dan mereka menyatakan bahwa tidak ada takdir, dan urusan itu terjadi tanpa taqdir.” Ia berkata, “Jika engkau bertemu mereka, maka sampaikan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku.” Dan yang disumpahkan oleh Abdullah bin Umar, “Seandainya salah seorang mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu diinfakkannya, Allah tidak akan menerima darinya sehingga ia beriman kepada takdir.”
Kedua; Golongan yang menyangkal secara total adanya kehendak manusia, sehingga menyamakan apa yang terjadi pada manusia itu dengan tanpa kehendaknya dengan apa yang dia lakukan atas pilihannya sendiri, golongan ini pun mengatakan bahwa manusia adalah seperti bulu yang melayang di udara yang bisa ditiup oleh angin ke mana saja.
Pendapat golongan ini pada ujungnya menyebabkan penisbatan kezhaliman terhadap Allah Subhaanahu Wata'ala, karena menyatakan bahwa Allah telah mengekang hamba-hamba-Nya yang tidak ada kekuasaan dan tidak ada pilihan. Maha Tinggi Allah setinggi-tingginya dari dugaan mereka.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman, ÓóíóÞõæáõ ÇáøóÐöíäó ÃóÔúÑóßõæÇ áóæú ÔóÇÁó Çááøóåõ ãóÇ ÃóÔúÑóßúäóÇ æóáóÇ ÂÈóÇÄõäóÇ æóáóÇ ÍóÑøóãúäóÇ ãöäú ÔóíúÁò ßóÐóáößó ßóÐøóÈó ÇáøóÐöíäó ãöäú ÞóÈúáöåöãú ÍóÊøóì ÐóÇÞõæÇ ÈóÃúÓóäóÇ Þõáú åóáú ÚöäúÏóßõãú ãöäú Úöáúãò ÝóÊõÎúÑöÌõæåõ áóäóÇ Åöäú ÊóÊøóÈöÚõæäó ÅöáøóÇ ÇáÙøóäøó æóÅöäú ÃóäúÊõãú ÅöáøóÇ ÊóÎúÑõÕõæäó “Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun”. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (Al-An’am: 148).
Mereka mengatakan, “Sesungguhnya Allah mengetahui kami dalam kesyirikan, dan Dia berkuasa untuk merubah apa yang terjadi dengan menghalangi antara kami dengan kemusrikan dan mengilhamkan keimanan kepada kami, tapi Allah tidak melakukannya. Hal ini menunjukkan keridhaan-Nya terhadap kami yang berbuat demikian.” Ini adalah alasan yang lemah, karena Allah telah mengutus para rasul-Nya kepada mereka, menimpakan kemurkaan-Nya dan mengirimkan kepada mereka para utusan-Nya yang mulia, hal ini menunjukkan ketidak ridhaan-Nya terhadap kekufuran dan kesyirikan mereka.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman, æóáóÞóÏú ÈóÚóËúäóÇ Ýöí ßõáøö ÃõãøóÉò ÑóÓõæáðÇ Ãóäö ÇÚúÈõÏõæÇ Çááøóåó æóÇÌúÊóäöÈõæÇ ÇáØøóÇÛõæÊó Ýóãöäúåõãú ãóäú åóÏóì Çááøóåõ æóãöäúåõãú ãóäú ÍóÞøóÊú Úóáóíúåö ÇáÖøóáóÇáóÉõ ÝóÓöíÑõæÇ Ýöí ÇáúÃóÑúÖö ÝóÇäúÙõÑõæÇ ßóíúÝó ßóÇäó ÚóÇÞöÈóÉõ ÇáúãõßóÐøöÈöíäó “Dan berkatalah orang-orang musyrik, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya”. Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka; maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (An-Nahl: 35).
Inti pernyataan mereka adalah, seandainya Allah Ta’ala tidak menyukai apa yang kami lakukan, tentulah Dia akan mengingkarinya terhadap kami dengan siksaan dan tidak akan membiarkan kami dalam perbuatan tersebut. Maka Allah menjelaskan bahwa Dia mengingkari mereka dengan mengutus para rasul yang memerintahkan untuk beribadah hanya kepada Allah saja dan mencegah peribadatan kepada selain-Nya.
Di jaman kita sekarang, telah banyak beredar pemahaman yang menyerupai ini dari kalangan orang-orang maksiat dan yang berlebih-lebihan, mereka berdalih dengan takdir yang ditetapkan pada mereka yang berupa kelengahan, berlebih-lebihan dan melakukan maksiat, yang mana hal ini menimbulkan hal-hal negatif, kekakuan dan penyimpangan. Hal ini menyebabkan mereka tidak bersungguh-sungguh terhadap amal dunia dan agama, sehingga dalam urusan dunia mereka meremehkan dan hanya menjadi pengekor umat lain, sementara dalam urusan agama mereka fasik dan meninggalkan jihad yang wajib dengan alasan taqdir yang telah membawa mereka demikian. Perlu diketahui bahwa takdir tidak boleh di jadikan hujjah dalam hal aib/maksiat akan tetapi akan bisa dijadikan penghibur ketika terjadinya musibah.
Hit : 0 |
IndexJudul |
IndexSubjudul |
kirim ke teman | versi cetak
Allah telah menunjuki Ahlus Sunnah wal Jama’ah kepada perkataan yang baik sehingga mereka berada di tengah antara yang sangat kurang dan berlebihan.
Mereka menetapkan takdir dengan empat tingkatannya, yaitu: ilmu (pengetahuan Allah), pencatatan, kehendak Allah dan penciptaan. Mereka membedakan antara iradah kauniyah qadariyah, yakni kehendak Allah, dan iradah syar’iyah yang berupa taklif (beban tugas) yang di antara tuntutannya adalah kecintaan. Mereka mengatakan: Dalam kekuasaan Allah terkadang ada sesuatu yang terjadi yang tidak dikehendaki-Nya secara syari’at dan tidak diridhai-Nya, seperti kekufuran, kesyirikan dan dosa-dosa lainnya, akan tetapi dalam kekuasaan-Nya tidak ada kejadian yang di luar kehendak-Nya.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman, æóÇáóøÐöíäó ßóÐóøÈõæÇ ÈöÂíóÇÊöäóÇ Õõãñø æóÈõßúãñ Ýöí ÇáÙõøáõãóÇÊö ãóäú íóÔóÅö Çááóøåõ íõÖúáöáúåõ æóãóäú íóÔóÃú íóÌúÚóáúåõ Úóáóì ÕöÑóÇØò ãõÓúÊóÞöíãò “Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk mendapat petunjuk), Niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” (Al-An’am: 39).
Dalam ayat lain disebutkan,
Ýóãóäú íõÑöÏö Çááóøåõ Ãóäú íóåÏöíóåõ íóÔúÑóÍú ÕóÏúÑóåõ áöáúÅöÓúáóÇãö æóãóäú íõÑöÏú Ãóäú íõÖöáóøåõ íóÌúÚóáú ÕóÏúÑóåõ ÖóíöøÞðÇ ÍóÑóÌðÇ ßóÃóäóøãóÇ íóÕóøÚóøÏõ Ýöí ÇáÓóøãóÇÁö [ÇáÃäÚÇã/125]
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (Al-An’am: 125).
Pemberian hidayah dan penyesatan hanya ada di tangan Allah, namun kehendak-Nya untuk menyesatkan tidak terjadi keridhaan dan kecintaan-Nya terhadap hal itu.
Dalam ayat lain disebutkan,
Åöäú ÊóßúÝõÑõæÇ ÝóÅöäóø Çááóøåó Ûóäöíñø Úóäúßõãú æóáóÇ íóÑúÖóì áöÚöÈóÇÏöåö ÇáúßõÝúÑó [ÇáÒãÑ/7]
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (Az-Zumar: 7).
Jadi, Allah tidak ridha terhadap kekufuran para hamba-Nya, walaupun dengan kehendak-Nya hal itu terjadi dalam lingkup ciptaan-Nya.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman,
ÝóÅöäú ÊóÑúÖóæúÇ Úóäúåõãú ÝóÅöäóø Çááóøåó áóÇ íóÑúÖóì Úóäö ÇáúÞóæúãö ÇáúÝóÇÓöÞöíäó [ÇáÊæÈÉ/96]
“Tetapi jika sekiranya kamu ridha terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (At-Taubah: 96). Allah tidak ridha terhadap orang-orang fasik, akan tetapi kefasikan yang mereka perbuat itu terjadi karena kehendak Allah Subhaanahu Wata'ala.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman,
íóÓúÊóÎúÝõæäó ãöäó ÇáäóøÇÓö æóáóÇ íóÓúÊóÎúÝõæäó ãöäó Çááóøåö æóåõæó ãóÚóåõãú ÅöÐú íõÈóíöøÊõæäó ãóÇ áóÇ íóÑúÖóì ãöäó ÇáúÞóæúáö æóßóÇäó Çááóøåõ ÈöãóÇ íóÚúãóáõæäó ãõÍöíØðÇ [ÇáäÓÇÁ/108]
“mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.
.” (An-Nisa’: 108) Keputusan yang mereka tetapkan itu tidak diridhai Allah akan tetapi terjadi dengan kehendak Allah Subhaanahu Wata'ala walaupun Allah tidak menyukai dan tidak meridhainya.
Ahlus Sunnah pun menyatakan adanya kehendak manusia dan kemampuan hamba untuk memilih, akan tetapi bukan merupakan kekuasaan dan kemampuan yang mutlak, namun terliputi oleh kekuasaan Allah Subhaanahu Wata'ala dan berdasarkan kehendak-Nya, dan bahwa kriteria beban tugas dicerminkan dalam akal, kemampuan dan sampainya hujjah.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman, æóÊöáúßó ÇáúÌóäóøÉõ ÇáóøÊöí ÃõæÑöËúÊõãõæåóÇ ÈöãóÇ ßõäúÊõãú ÊóÚúãóáõæäó “Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (Az-Zukhruf: 72).
Dalam ayat lain disebutkan,
æóÐõæÞõæÇ ÚóÐóÇÈó ÇáúÎõáúÏö ÈöãóÇ ßõäúÊõãú ÊóÚúãóáõæäó “Dan rasakanlah siksa yang kekal, disebabkan apa yang selalu kamu kerjakan.” (As-Sajdah: 14).
Kedua ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa perbuatan dan usaha hamba dipikulkan kepadanya, dan bahwa seorang hamba mempunyai kemampuan terhadap amal perbuatannya, sehingga dengan kehendaknya ia bisa mendapat ganjaran pahala atau balasan siksa yang sesuai.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman, æóãóÇ ÊóÔóÇÁõæäó ÅöáóøÇ Ãóäú íóÔóÇÁó Çááóøåõ ÑóÈõø ÇáúÚóÇáóãöíäó “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takwir: 29).
Ayat ini menjelaskan bahwa kehendak hamba itu tidak bersifat mutlak, akan tetapi dalam bingkai kehendak Allah Subhaanahu Wata'ala, jadi itu merupakan bagian dari kekuasaan-Nya.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman,
æóÇÚúáóãõæÇ Ãóäóø Çááóøåó íóÍõæáõ Èóíúäó ÇáúãóÑúÁö æóÞóáúÈöåö [ÇáÃäÝÇá/24]
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (Al-Anfal: 24).
Yakni, seorang hamba tidaklah beriman dan tidak pula kufur kecuali dengan seizin-Nya, karena itulah dalam do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan, Çóááøåõãóø ãõÕóÑöøÝó ÇáúÞõáõæúÈö ÕóÑöøÝú ÞõáõæúÈóäóÇ Åöáóì ØÇóÚÊößó. “Ya Allah yang mencendrungkan hati, cendrungkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.”
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman,
áóÇ íõßóáöøÝõ Çááóøåõ äóÝúÓðÇ ÅöáóøÇ æõÓúÚóåóÇ [ÇáÈÞÑÉ/286]
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286).
Yakni bahwa Allah tidak membebani seorang hamba di luar batas kemampuannya. Ini merupakan kelembutan dan belas kasih serta kebaikan Allah terhadap makhluk-Nya. Maka orang gila yang tidak dapat mencerna beban tugas (taklif) dan orang jahil yang tidak mengetahui ilmu serta orang yang dipaksa sehingga tidak dapat memilih, tidaklah termasuk golongan yang diberlakukan tuntutan tugas (taklif).
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman,
æóãóÇ ßõäóøÇ ãõÚóÐöøÈöíäó ÍóÊóøì äóÈúÚóËó ÑóÓõæáðÇ [ÇáÅÓÑÇÁ/15]
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra’: 15).
Ayat ini menunjukkan keadilan Allah Subhaanahu Wata'ala, bahwa Allah tidak akan mengadzab seorang pun kecuali setelah ditegakkannya hujjah, yaitu dengan mengutus para rasul kepada kaumnya.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman,
æóÃõæÍöíó Åöáóíóø åóÐóÇ ÇáúÞõÑúÂóäõ áöÃõäúÐöÑóßõãú Èöåö æóãóäú ÈóáóÛó [ÇáÃäÚÇã/19]
“Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya).” (Al-An’am: 19),
Jadi Al-Qur’an itu sebagai peringatan bagi setiap yang telah sampai kepadanya, sehingga barangsiapa yang Al-Qur’an sampai kepadanya seolah-olah ia telah bertemu dengan Nabi shallallohu 'alaihi wasallam.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman,
æóÇááóøåõ ÃóÎúÑóÌóßõãú ãöäú ÈõØõæäö ÃõãóøåóÇÊößõãú áóÇ ÊóÚúáóãõæäó ÔóíúÆðÇ æóÌóÚóáó áóßõãõ ÇáÓóøãúÚó æóÇáúÃóÈúÕóÇÑó æóÇáúÃóÝúÆöÏóÉó áóÚóáóøßõãú ÊóÔúßõÑõæäó [ÇáäÍá/78]
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl: 78). Allah telah menambahkan kepada para hamba-Nya perlengkapan untuk mengetahui khithab dan sarana agar hujjah bisa sampai kepadanya, yaitu pendengaran, penglihatan dan hati.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa manusia akan dimintai pertanggungan jawabnya terhadap alat-alat perlengkapan tersebut, karena beban tugas itu ditujukan kepadanya berdasarkan fungsi yang ada padanya, maka Allah berfirman, Åöäóø ÇáÓóøãúÚó æóÇáúÈóÕóÑó æóÇáúÝõÄóÇÏó ßõáõø ÃõæáóÆößó ßóÇäó Úóäúåõ ãóÓúÆõæáðÇ “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungan jawab.” (Al-Isra’: 36).
Allah pasti akan menanyai mereka pada hari mereka kembali kepada-Nya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ÑõÝöÚó ÇáúÞóáóãõ Úóäú ËóáÇóËò: Úóäö ÇáÕóøÈöíöø ÍóÊóøì íóÈúáõÛõ æóÚóäö ÇáäóøÇÆöãö ÍóÊóøì íóÓúÊóíúÞöÙó æóÚóäö ÇáúãóÌúäõæúäö ÍóÊóøì íóÝöíúÞó. “Pena diangkat dari tiga hal: Dari anak kecil sehingga ia baligh, dari orang tidur sehingga ia bangun, dan dari orang gila sehingga ia sadar.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi dan Al-Hakim serta dishahihkannya).
Jadi, ketiga golongan manusia ini tidak termasuk golongan yang dibebani tugas karena tidak tersedianya pelengkap untuk menjalankan taklif pada mereka. Hit : 0 |
IndexJudul |
IndexSubjudul |
kirim ke teman | versi cetak
|