Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Sepuluh Akhir yang Diistimewakan

Jumat, 14 April 23

**

Sesungguhnya bulan Ramadhan yang penuh berkah merupakan bulan yang seluruhnya penuh berkah dan penuh kasih sayang siang dan malam harinya. Dan, diistimewakan sepuluh akhirnya dengan ditambahkan beberapa keistimewaan yang tidak ada pada sisa hari dan malam lainnya. Ditambahkan dengan beberapa keistimewaan yang besar dan keutamaan nan agung. Dengan keistimewaan dan keutamaan tersebut, sepuluh terakhir bulan Ramadhan menjadi lebih istimewa daripada hari-hari dan malam-malam lainnya. Oleh karena itu, dulu Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-dan para sahabatnya mengagungkan sepuluh akhir ini dan mereka bersungguh-sungguh di dalam mengisinya lebih dari kesungguhan mereka dalam mengisi hari-hari lainnya.

Imam Ahmad di dalam Musnadnya dan imam Muslim di dalam shahihnya meriwayatkan dari Aisyah- ÑóÖöíó Çááåõ ÚóäúåóÇ-, ia mengatakan,


ßóÇäó ÑóÓõæáõ Çááøóåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó íóÌúÊóåöÏõ Ýöí ÇáúÚóÔúÑö ÇáúÃóæóÇÎöÑö ãóÇ áóÇ íóÌúÊóåöÏõ Ýöí ÛóíúÑöåö


Rasulullah- Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-biasa bersungguh-sungguh pada sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan) tidak sebagaimana beliau bersungguh-sungguh pada selainnya. [1]

Dan, asy-Syaikhan (Bukhari dan Muslim) meriwayatkan juga dari Aisyah- ÑóÖöíó Çááåõ ÚóäúåóÇ-ia berkata,


ßóÇäó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÅöÐóÇ ÏóÎóáó ÇáúÚóÔúÑõ ÔóÏøó ãöÆúÒóÑóåõ ¡ æóÃóÍúíóÇ áóíúáóåõ ¡ æóÃóíúÞóÙó Ãóåúáóåõ


Apabila sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan) telah masuk, Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. [2]

Makna ((ÔóÏøó ãöÆúÒóÑóåõ)) (mengencangkan ikat pinggangnya) yakni bersungguh-sungguh dan mengerahkan segenap kesungguhan untuk beribadah dan menjauhkan diri dari istri ; maka pada malam-malam itu beliau tidak bernikmat-nikmat melainkan dengan bermunajat kepada Rabbnya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Maka, apa yang diperbolehkan oleh Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-bagi beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-berupa melakukan hubungan intim suami istri pada malam-malam Ramadhan menjadi tersibukkan oleh selainnya berupa ibadah dan ketaatan karena sangat mendambakan untuk mendapatkan pahala sepuluh malam ini dan diberi taufik untuk mendapatkan lailatul qadar.

Makna (( ÃóÍúíóÇ áóíúáóåõ )) (menghidupkan malamnya), yakni, bergadang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan. Maka, beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-menghidupkannya dengan hal tersebut. Dan, beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-menghidupkan diri dan jiwanya pada malam itu dengan mendekatkan diri dan merendahkan diri dan beribadah kepada Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-. Karena tidur itu saudara kematian, dan tidak akan hidup ruh, tidak pula badan, tidak pula waktu, dan tidak pula umur melainkan dengan ketaatan kepada Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-. Inilah dia kehidupan yang sejatinya. Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-berfirman,


{ Ãóæóãóäú ßóÇäó ãóíúÊðÇ ÝóÃóÍúíóíúäóÇåõ æóÌóÚóáúäóÇ áóåõ äõæÑðÇ íóãúÔöí Èöåö Ýöí ÇáäøóÇÓö ßóãóäú ãóËóáõåõ Ýöí ÇáÙøõáõãóÇÊö áóíúÓó ÈöÎóÇÑöÌò ãöäúåóÇ } [ÇáÃäÚÇã:122]


Apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, seperti orang yang berada dalam kegelapan sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? (al-An’am : 122)

Dia-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-menamakan jasad-jasad ini sebagai ‘mayat’ padahal ia bergerak di atas muka bumi, makan dan minum. Hal demikian itu karena jauhnya jasad-jasad tersebut dari iman dan ketaatan kepada Dzat yang Maha Penyayang (Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-) dan kesibukannya dengan kesesataan, kefasikan, dan kedurhakaan serta kezhaliman.

Adapun makna (( ÃóíúÞóÙó Ãóåúáóåõ )) (membangunkan keluarganya), yakni, membangunkan mereka untuk menunaikan shalat dan ibadah pada malam-malam ini. Dan, ini termasuk kesempurnaan kesungguhan beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-terhadap keluarganya (agar mendapatkan kebaikan) dan juga kesempurnaan perhatian beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- terhadap mereka sebagai bentuk penunaian kewajiban memperhatikan hal-hal yang Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- wajibkan kepada beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-untuk diperhatikan. Ini juga menunjukkan kesemangatan dari beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-untuk menunjukkan mereka kepada kebaikan. Dan, orang yang menunjukkan kepada kebaikan seperti pelakunya. Ditambah lagi dengan pahalanya yang diusahakannya karena kesungguhanya dengan dirinya sendiri. Dalam tindakan beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-ini juga sebagai pensyariatan untuk umatnya agar mereka mengambil langkahnya dan meneladani beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-dalam hal tersebut. Di dalamnya juga terdapat arahan bagi para ayah dan ibu dan motivasi bagi mereka agar perhatian dengan pendidikan anak-anak mereka dan agar benar-benar memperhatikan keadaan mereka, terkhusus pada bulan nan mulia ini, memantau keadaan mereka dan mengawasi mereka dalam hal ibadah mereka, dan sungguh-sungguh dalam upaya menjaga mereka, mendorong dan memotivasi mereka untuk berlomba dalam melakukan ketaatan dan menjauhi perkara yang terlarang, dan mendayagunakan sarana yang dapat digunakan untuk menakut-nakuti dan memberikan motivasi.

Ibnu Hajar-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan, ‘dan di dalam hadis ini terdapat anjuran untuk bersemangat dalam mendawamkan shalat malam pada sepuluh akhir ini sebagai sebuah isyarat kepada dorongan untuk memperbagus penutupan. Semoga Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-menutup amal dan kehidupan kita dengan kebaikan.’ Amin [3]

Dan di antara hal yang istimewa pada sepuluh terakhir ini adalah bahwa Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-biasa beri’tikaf pada sepuluh terakhir ini. Begitu pula para sahabatnya semasa hidup beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-atau pun sepeninggalnya. I’tikaf adalah melazimi masjid untuk menfokuskan diri mentaati Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-. I’tikaf termasuk sunnah yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-berfirman,


{ æóáóÇ ÊõÈóÇÔöÑõæåõäøó æóÃóäúÊõãú ÚóÇßöÝõæäó Ýöí ÇáúãóÓóÇÌöÏö } [ÇáÈÞÑÉ:187]


jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid (al-Baqarah : 187)

Di dalam shahihain (shahih al-Bukhari dan shahih Muslim) disebutkan dari Aisyah-ÑóÖöíó Çááåõ ÚóäúåóÇ-ia berkata,


ßóÇäó ÇáäøóÈöíøó Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó íóÚúÊóßöÝõ ÇáúÚóÔúÑó ÇáúÃóæóÇÎöÑó ãöäú ÑóãóÖóÇäó ÍóÊøóì ÊóæóÝøóÇåõ Çááøóåõ ÚóÒøó æóÌóáøó ¡ Ëõãøó ÇÚúÊóßóÝó ÃóÒúæóÇÌõåõ ãöäú ÈóÚúÏöåö


Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-biasa beri’tikaf pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan hingga Allah- ÚóÒøó æóÌóáøó-mewafatkannya. Kemudian, para istrinya juga beri’tikaf sepeninggalnya [4]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-telah menjelaskan sebagian hukum-hukum i’tikaf di dalam kitabnya yang masyhur yang khusus berkaitan dengan bulan Ramadhan yang Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- banyak memberikan kemanfaatannya-semoga Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- memberikan balasan kebaikan kepada beliau-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-atas kesungguhannya mendakwahkan Islam dan memberikan manfaat terhadap kaum Muslimin, semoga pula Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-meliputinya dengan keluasan rahmat-Nya, dituliskan untuk beliau di bulan penuh berkah ini seperti pahala setiap orang yang mengambil faedah dari kitab ini dan memberikan manfaat dengannya dan yang lainnya dari kitab-kitabnya. Di antara yang disebutkan dalam kitab tersebut adalah perkataan beliau-ÑóÍöãóåõ Çááåõ- :

“Maksud dari i’tikaf adalah putusnya hubungan seseorang dari manusia lainnya untuk berkonsentrasi melakukan ketaatan kepada Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- dalam salah satu masjid dengan tujuan mencari pahala-Nya, karunia-Nya, serta lailatul qadar. Oleh sebab itu, seharusnya orang yang melakukan i’tikaf tersibukkan dengan dzikir, membaca al-Qur’an, shalat, serta berbagai ibadah lainnya. Dia seharusnya menjauhi perkara-perkara yang tidak bermanfaat untuknya, seperti membicarakan dunia. Namun ia boleh melakukan sedikit pembicaraan yang dibolehkan, baik dengan keluarga, atau pun selainnya untuk suatu kemaslahatan.

Disebutkan dalam hadis Ummul Mukminin, Shafiyyah-ÑóÖöíó Çááåõ ÚóäúåóÇ-, ia berkata,


« ßóÇäó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ãõÚúÊóßöÝðÇ ÝóÃóÊóíúÊõåõ ÃóÒõæÑõåõ áóíúáðÇ ÝóÍóÏøóËúÊõåõ Ëõãøó ÞõãúÊõ áöÃóäúÞóáöÈó - Ãóíú : áöÃóäúÕóÑöÝó Åöáóì ÈóíúÊöí - ÝóÞóÇãó -ÇóáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó – ãóÚöíó... » ÇáÍÏíË


Nabi- Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- dulu melakukan i’tikaf, kemudian aku mendatangi beliau di malam hari untuk membicarakan sesuatu dengan beliau. Lalu aku berdiri untuk pulang ke rumahku, dan Nabi berdiri bersamaku .. al-Hadis [5]

Diharamkan bagi orang yang beri’tikaf untuk melakukan jima’ atau hal-hal yang mengantarkan kepadanya, seperti ciuman dan rabaan dengan syahwat.

Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóáóì-berfirman,


{ æóáóÇ ÊõÈóÇÔöÑõæåõäøó æóÃóäúÊõãú ÚóÇßöÝõæäó Ýöí ÇáúãóÓóÇÌöÏö }


Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid..(al-Baqarah : 187)

Adapun tentang keluarnya dia dari masjid, jika yang keluar hanyalah sebagian badannya, maka hal ini tidak mengapa. Diriwayatkan dari hadis Aisyah-ÑóÖöíó Çááåõ ÚóäúåóÇ-, ia berkata,


ßóÇäó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó íõÎúÑöÌõ ÑóÃúÓóåõ ãöäú ÇáúãóÓúÌöÏö æóåõæó ãõÚúÊóßöÝñ ÝóÃóÛúÓöáõåõ æóÃóäóÇ ÍóÇÆöÖñ


Nabi- Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-pernah mengeluarkan kepalanya dari masjid padahal beliau dalam keadaan ber’itikaf, lalu aku mencuci kepala beliau, meskipun aku sedang haidh [6]

Di dalam riwayat lain disebutkan :


ßóÇäóÊú ÊõÑóÌøöáõ ÇáäøóÈöíøó Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó æóåöíó ÍóÇÆöÖñ æóåõæó ãõÚúÊóßöÝñ Ýöí ÇáúãóÓúÌöÏö æóåöíó Ýöí ÍõÌúÑóÊöåóÇ íõäóÇæöáõåóÇ ÑóÃúÓóåõ


“ ’Aisyah menyisir rambut Nabi- Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-, padahal dia dalam keadaan haidh dan Nabi dalam keadaan ber’itikaf di masjid. Nabi menyodorkan kepalanya kepada ‘Aisyah yang tetap berada di kamarnya.”[7]

Dan jika dia keluar dengan seluruh badannya dari masjid, maka terdapat tiga bentuk dalam perkara ini :

Pertama : Dia keluar untuk suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, baik secara tabiat atau pun syariat, seperti buang air besar dan buang air kecil, wudhu, mandi wajib, makan, minum, dan sebagainya. Jika hal-hal itu memang tidak bisa dilakukan di masjid, maka dia diperbolehkan keluar masjid. Adapun jika bisa dilakukan di masjid, maka dia tidak boleh keluar. Misalnya, dia beri’tikaf di suatu masjid yang di dalamnya terdapat kamar mandi sehingga ia bisa buang hajat dan mandi di sana, atau ada yang selalu mengantarkan makanan.

Kedua : Dia keluar untuk suatu ketaatan yang tidak wajib dilakukan, seperti menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, dan semisalnya. Dalam kondisi ini, hendaklah dia tetap tidak keluar dari masjid. Kecuali jika keluarnya tersebut telah disyaratkan sejak awal i’tikafnya. Misalnya, ada orang sakit yang ia khawatirkan wafatnya atau harus senantiasa ia kunjungi. Jika ia mensyaratkan hal itu sejak awal i’tikafnya, maka tidak mengapa.

Ketiga : Dia keluar untuk suatu perkara yang membatalkan i’tikaf, seperti jual beli, jima’ dengan istri, dan semisalnya. Semua itu tidak boleh dilakukan, baik dengan syarat atau pun tidak, karena hal itu menafikan dan membatalkan maksud dari i’tikaf. [8] Selesai perkataan beliau-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-.

Dan termasuk hal yang menunjukan keistimewaan sepuluh akhir ini di mana hal ini khusus ada pada sepuluh akhir ini adalah bahwa di malam harinya ada lailatul qadar. Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úáóíúåö æóÓóáøóãó –bersabda,


ÊóÍóÑøóæúÇ áóíúáóÉó ÇáúÞóÏúÑö Ýöí ÇáúæöÊúÑö ãöäú ÇáúÚóÔúÑö ÇáúÃóæóÇÎöÑö ãöäú ÑóãóÖóÇäó


Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh akhir dari bulan Ramadhan [9]

Dan akan datang pembicaraan tentang malam yang penuh berkah ini dan keutamaannya, serta pentingnya memanfaatkannya dan tidak layaknya menyia-nyiakannya pada pembicaraan yang akan datang. Insya Allah.

Ya Allah ! Bimbimlah kami untuk dapat melakukan hal-hal yang akan menjadikan Engkau ridha terhadap kami di sepuluh akhir ini. Dan tutuplah bulan kami ini dengan amal baik untuk kami. Dan, terimalah amal tersebut dari kami, wahai Dzat yang Maha Dermawan lagi Maha Mulia.

Amin

Wallahu A’lam

(Redaksi)

Sumber :

Al-‘Asyru al-Awakhir Min Ramadhan, Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-'Abbad-ÍóÝöÙóåõ Çááåõ ÊóÚóÇáóì.

Catatan :

[1] HR. Muslim (1175) dan imam Ahmad (24409)

[2] HR. al-Bukhari (2024) dan Muslim (1174), dan lafazh ini milik imam al-Bukhari

[3] Fathul Bariy (4/270) di bawah hadis no. 2024

[4] Shahih al-Bukhari (2026) dan Muslim (1172)

[5] Muttafaq ‘Alaih ; al-Bukhari (3281), Muslim (2175)

[6] HR. al-Bukhari (2031) dan Muslim (297), dan lafazh ini milik imam al-Bukhari

[7] HR. al-Bukhari (2046)

[8] Majalis Syahri Ramadhan (halaman : 118-119)

[9] HR. al-Bukhari (2017)

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=1017