Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Nadzar

Kamis, 23 Juni 11

Sesungguhnya Islam adalah agama yang mudah dan memberi kemudahan, Nabi telah bersabda, “Sesungguhnya agama itu mudah, maka tidaklah seseorang itu mempersulit agama ini, kecuali dia akan kewalahan sendiri.”(HR. al Bukhari).

Di antara salah satu kemudahan dan samahah (toleransi) yang ditawarkan Islam adalah dimakruhkannya nadzar, meskipun berupa ketaatan. Ini dikarenakan di dalam nadzar terdapat bentuk (sikap) mewajibkan diri terhadap sesuatu yang bukan wajib. Jadi nadzar adalah mewajibkan diri sendiri untuk melakukan suatu ketaatan yang hukumnya tidak wajib dilakukan tanpa adanya nadzar tersebut.

Dalil-dalil yang menunjukkan makruhnya nadzar di antaranya adalah sebagai berikut:

Sabda Nabi, “Janganlah kalian bernadzar, karena nadzar tidak dapat mencegah sedikitpun dari terjadinya takdir, dan tidaklah nadzar itu dikeluarkan (diucapkan) kecuali oleh orang yang bakhil.” (HR. Muslim)

Dan dalam hadits Ibnu Umar, dia berkata, “Rasulullah melarang kami dari bernadzar dan bersabda, "Sesungguhnya dia tidak dapat menolak sesuatu sedikitpun, dan dia hanya diucapkan oleh orang yang bakhil saja.” (Muttafaq ‘alaih)

Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, dari Nabi bersabda, “Sesungguhnya nadzar tidak mendekatkan anak Adam sedikitpun terhadap apa yang telah Allah takdirkan untuknya, akan tetapi nadzar itu bertepatan dengan qadar. Maka akan dikeluarkan dengan sebab nadzar tersebut dari orang bakhil apa yang tidak pernah untuk dia keluarkan.” (Muttafaq ‘alaih)

Hukum Melaksanakan Nadzar

Diriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya Nabi pernah bersabda, “Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya, dan barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah maka janganlah ia melaksanakannya.” (HR. al-Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa siapa saja yang (terlanjur) telah bernadzar untuk melakukan suatu ketaatan, maka nadzar tersebut menjadi sesuatu yang wajib untuk dia lakukan, jika tidak terkait dengan permasalahan yang lain. Sedangkan orang yang bernadzar untuk melakukan kemaksiatan, maka tidak boleh untuk melaksanakan nadzar tersebut.
Apabila seseorang telah bernadzar dengan suatu ketaatan, namun tanpa diduga-duga keadaan menghalanginya untuk melakukan nadzar tersebut, seperti seorang yang bernadzar untuk berpuasa sebulan penuh, berhaji atau umrah kemudian dia tertimpa sakit sehingga tidak dapat memenuhi nadzarnya, maka dia harus membayar kafarat sebagaimana kafaratnya sumpah. Demikian pula seseorang yang bernadzar untuk bersedekah, namun mendadak hartanya habis (miskin mendadak) sehingga tidak mampu melakukan nadzarnya, maka dia juga terkena kafarat sumpah.

Dari Ibnu Abbas dia berkata, ”Barangsiapa bernadzar dengan sesuatu dan dia tidak mampu menunaikannya maka kafaratnya adalah sebagaimana kafarat sumpah.” (HR. Abu Dawud, mauquf shahih)

Ibnu Taimiyah mengatakan, "Apabila seseorang bernadzar karena Allah untuk melakukan ketaatan, maka dia harus memenuhinya, dan jika ia tidak memenuhi nadzarnya, maka dia harus membayar kafarat sumpah menurut pendapat mayoritas ulama Salaf.” (Majmu’ al-Fatawa 33/49)

Sedangkan nadzar berupa kemaksiatan maka tidak boleh untuk dilaksanakan, sebab nadzar tidak dapat bergandengan dengan kemaksiatan, berdasarkan hadits dari Aisyah di atas dan sabda Nabi yang lain, “Tidak boleh melaksanakan nadzar di dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad). Dan yang bersangkutan harus membayar kafarat seperti kafaratnya sumpah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi, “Tidak boleh nadzar di dalam kemaksiatan, dan kafaratnya adalah kafarat sumpah.” (HR. Ahmad dan Ashab as-Sunan, dishahihkan oleh al-Albani)

Dan di dalam hadits yang lain Nabi juga bersabda, “Nadzar itu ada dua macam, yaitu segala yang dinadzarkan untuk ketaatan kepada Allah, maka dia untuk Allah dan harus ditunaikan, dan nadzar dalam rangka bermaksiat kepada Allah, maka dia untuk setan dan tidak boleh dilaksanakan, dan dia membayar kafarat sebagaimana kafarat sumpah.” (HR. an-Nasai)

Adapun kafarat/sanksi bagi yang melanggar sumpah, dan juga nadzar adalah memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberikan pakaian yang layak paling tidak memenuhi syarat untuk shalat, atau memerdekakan budak wanita mukminah. Jika tidak mampu melakukan salah satu di antara ketiga hal di atas, maka yang terakhir adalah berpuasa tiga hari berturut-turut jika mampu, jika tidak mampu juga, maka dapat dilakukan secara terpisah. Puasa tiga hari adalah alternatif terakhir, tidak boleh berpindah ke puasa, jika masih mampu melakukan salah satu dari tiga hal sebelumnya, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al Maidah ayat; 89, “..Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu...”

Hikmah di balik Makruhnya Nadzar

Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di menyampaikan pernyataan yang indah ketika mengungkapkan hikmah dimakruhkannya nadzar, beliau berkata, ”Nadzar adalah akad yang dibenci (makruh), dia merupakan wasilah (sarana), sedangkan menunaikannya adalah wajib. Rasul melarang nadzar dan mengatakan, “Sesungguhnya ia tidak mendatangkan kebaikan,” Dan beliau memerintahkan agar memenuhi nadzar serta memuji orang-orang yang menunaikannya. Sebab (makruhnya) nadzar sangatlah jelas, yakni manusia itu selayaknya mencari sebab-sebab yang mendatangkan ‘afiyah (kese- lamatan dan kesejahteraan) dalam hal agama maupun dunia, sedangkan nadzar adalah membebani diri dengan sesuatu yang tidak dia ketahui apakah dirinya mampu melakukan atau tidak, ini salah satu sisi.

Dari sisi yang lain, bahwa ibadah kepada Allah itu tidaklah sempurna kecuali dengan dibarengi keikhlasan yang utuh semata-mata karena Allah. Sedangkan nadzar menjadikan cacat dan berkurangnya keikhlasan. Karena ketika seseorang mengatakan -misalnya-, “Saya bernadzar untuk Allah apabila Allah menyembuhkan saya, atau menghilangkan penyakit saya, atau memberikan kepada saya sesuatu, maka saya pasti (wajib) melakukan ibadah ini dan itu, kemudian semua itu terpenuhi. Nah, dalam nadzar ini seakan akan ada kesan minta ganti atau imbalan dari ibadah yang dia kerjakan. Sepertinya dia tidak akan melakukan ibadah yang dia nadzarkan itu kecuali dengan syarat terpenuhinya apa yang dia inginkan. Sedangkan ikhlas adalah seseorang melakukan suatu amalan semata-mata karena Allah secara murni, tidak meminta imbalan yang disegerakan atau yang dia inginkan.

Dari sisi yang lain, Bahwa orang yang bernadzar berarti mengharuskan diri melakukan sesuatu (yang akan dia kerjakan di waktu yang akan datang), padahal belum tentu sesuai dengan masyi’ah (kehendak) Allah, sehingga dia terkesan menyerupai orang yang mendahului (melancangi) Allah.

Dan sisi yang lain lagi, yakni adanya anggapan sebagian besar orang bahwa nadzar merupakan sebab untuk memperoleh sesuatu yang dia nadzarkan (kesembuhan, keberhasilan atau kesuksesan). Ini adalah anggapan keliru dan dusta berdasarkan sabda Nabi, “Sesungguhnya dia (nadzar) sama sekali tidak mendatangkan kebaikan, dan dia hanya diikrarkan oleh orang bakhil.” (Mutafaq ‘alaih).

Nadzar sama sekali bukan merupakan sebab syar’i (yang ditetapkan oleh syari’at) untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan seseorang. Dan sabda Nabi, bahwa yang bernadzar adalah orang bakhil meng- isyaratkan lemahnya keikhlasan yang bersangkutan, sehingga akhirnya dia mengerjakan hal-hal yang semisal nadzar ini. Maka seakan-akan kebaikan yang dia lakukan adalah kebaikan yang kurang sempurna. (Redaksi)

[Sumber : Kutaib, “an-Nadzar la ya’ti bikhairin”, al-Qism al-Ilmi, Darul Wathan dengan sedikit perubahan dari redaksi]

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=631