Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Mengapa Minta Cerai

Kamis, 06 Desember 12


Edisi Th. XVIII No. 891/ Jum`at I/Muharram 1434 H/ 07 Desember 2012 M.

Allah berfirman, yang artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Ruum: 21).

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa diciptakannya wanita dari jenis yang sama dengan laki-laki agar timbul kecenderungan untuk saling menyayangi dan saling mengasihi di antara mereka berdua. Tidak mungkin ada kecenderungan tersebut terjadi pada dua makhluk dari jenis yang berbeda.

Dengan pernikahan dan bersatunya laki-laki dan perempuan sebagai suami dan istri bertujuan agar timbul ketenangan dan ketenteraman sehingga tercipta perasaan sakinah, bukan perselisihan dan pertengkaran sebagaimana yang sering terjadi pada pasangan suami istri saat ini. Walaupun demikian, sakinah bukanlah sesuatu yang instan, begitu menikah langsung sakinah seterusnya.

Sakinah pada ayat di atas menggunakan kata kerja, sakinah memerlukan upaya, pengorbanan, perlu proses dan pelestarian. Sakinah memerlukan upaya kedua belah pihak baik suami atau istri untuk saling memahami, saling mene- rima, saling memberi, saling menahan emosi, ego dan saling bantu dalam upaya mempertahankan biduk rumah tangga agar tidak kandas di tengah jalan. Oleh karena, tidak ada rumah tangga yang di dalamnya ada suami dan istri memiliki kecocokan 100 persen dalam segala hal, pasti ada saja ketidakcocokan di antara mereka baik dalam hal kebiasaan, makan, cara berpakaian, bergaul dan lain-lain karena keduanya berasal dari keluarga yang berbeda pula.

Setelah menikah, tidak sedikit pasangan yang terperanjat, ketika mendapati karakter dan pribadi pasangan yang berbeda jauh ketika dilihatnya sebelum menikah. Setelah menikah akan banyak kelemahan yang akan terungkap, kelebihan dan kekurangan bahkan aib yang tersingkap yang menunjukkan kebiasaan asli pasangan.

Tidak ada cinta dan kasih yang langgeng full 100 persen, pasti ada pasang surut di antara keduanya selama menjalani hidup serumah dan bertahun-tahun lamanya. Dan realita ini, bukan sesuatu yang harus dihilangkan tetapi dimengerti dan diterima karena ketidaksamaan antara suami dan istri itu adalah sesuatu yang niscaya.

Konsep rumah tangga bahagia, mawaddah wa rahmah bukan sekadar teori yang mudah dibaca di dalam buku, akan tetapi sangat tergantung pada suami istri yang menjalaninya. Tidak jarang ditemukan pada pasangan yang sama-sama paham tentang teori keluarga sakinah, konsep keluarga bahagia, bahkan suami istri memiliki ilmu agama yang baik, pendidikan yang cukup, tetapi keluarga mereka hancur di tengah jalan. Sebagai suami atau istri kita hanya mampu berusaha, berdoa dan berharap semoga Allah yang Maha Kuasa memberikan kepada kita semua keluarga yang sakinah, istiqamah dalam menjalankan agama Islam sampai maut yang memisahkan.

Oleh karena itu, mengapa perlu adanya akad nikah, perlu adanya ikatan yang kuat, perlu perjuangan dan pengorbanan untuk mempertahankan, karena kehancuran rumah tangga bisa saja berasal dari keinginan suami atau istri atau pihak lain tetapi dapat pula kehancuran itu akibat adanya tipu daya setan. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air. Kemudian ia mengirimkan pasukannya. Yang paling dekat kedudukan dengannya adalah yang paling besar menebar fitnah. Salah satu dari mereka datang kepadanya lalu berkata, ‘Aku melakukan ini dan itu.’ ‘Kamu tidak berbuat apa-apa!’ kata Iblis. Kemudian salah satu dari mereka datang dan berkata, ‘Aku tidak meninggalkan orang itu sampai aku berhasil memisahkannya dari istrinya.’ Lalu Iblis memberinya tempat di dekatnya dan berkata, ‘Kamu adalah setan terbaik.’” (HR.Muslim, no. 2813)

Kesalahan dan perbuatan buruk dapat terjadi pada suami ataupun istri, terkadang ada jenis masalah atau perbuatan yang ringan dan masih dapat menyatukan kehidupan rumah tangga, tetapi ada pula kesalahan atau perbuatan yang mengharuskan suami istri tersebut berpisah.

Oleh karena itu Islam memberikan aturan dan tahapan dalam menghadapi persoalan dalam rumah tangga, Allah berfirman, yang artinya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. an-Nisa: 34).

Jika suami mendapati pembangkangan dari pihak istri, maka suami jangan tergesa-gesa atau bermain-main dengan ancaman dan mengumbar kata-kata talak (cerai), karena perkataan talak meskipun bercanda tetapi diucapkan dengan lafadz yang jelas, dengan lafadz talak atau cerai, maka jatuhlah talak ketika itu.

Islam mengajarkan agar suami menasihati istri dengan baik, memberi nasihat agama agar istri takut kepada Allah. Tidak berhasil dengan nasihat, pisahlah (hajr) dengan istri di tempat tidur. Al-Qur’an menyebutnya, “di tempat tidur” bukan “dari tempat tidur” artinya suami istri harus berupaya untuk menyelesaikan persoalan itu berdua tanpa melibatkan siapapun dan tidak diekspose ke publik.

Apabila dengan hajr tidak berhasil juga, maka ayat menganjurkan untuk memukul istri dengan pukulan yang tidak mencederai. Jika berhasil, maka suami menutup masalah itu dan tidak mengungkitnya lagi di kemudian hari.

Jika persoalan semakin serius, konflik telah menimbulkan kebencian dan permusuhan, maka suami dan istri tidak boleh memutuskan sepihak. Allah berfirman, artinya, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. an-Nisa: 35).

Di dalam sebuah keluarga besar biasanya ada orang yang dapat berpikir bijak, tenang, tidak emosional dan disegani oleh keluarga besar masing-masing baik suami ataupun istri. Orang seperti inilah yang dijadikan hakam (juru damai). Jika hakam ini menghendaki suami istri itu bersatu, maka keduanya harus menerima, sehingga rumah tangga tidak mudah hancur dan anak-anak dapat terlindungi.

Adapun realita saat ini, justru yang menghendaki dan menuntut cerai adalah terjadi pada pihak istri. Ada yang mengatakan bahwa hal ini dipengaruhi adanya kesadaran perempuan akan hak-haknya sehingga menuntutnya ke pengadilan, pengaruh dari program kesetaraan gender, pengaruh emansipasi wanita, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) dan lain-lain yang tujuan awalnya ingin menghilangkan kekerasaan dalam rumah tangga tetapi kenyataannya telah meningkatkan angka perceraian.

Data statistik menunjukkan tren yang terbalik. Gugat cerai banyak terjadi dari pihak istri bukan lagi dari pihak suami dan persoalan mereka diputuskan tanpa melalui prosedur sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an. Perceraian sudah menjadi komoditas atau barang dagangan, untuk meningkatkan popularitas, harga diri, dan meraih keuntungan materi maupun mengejar tuntutan hawa nafsu.

Ada persoalan sedikit saja istri minta cerai, minta dibelikan perhiasan tetapi suami tidak mampu, istri kemudian minta cerai. Suami kurang nafkah, istri juga minta cerai dan masih banyak persoalan lain yang tergolong persoalan ringan tetapi istri sudah menuntut minta cerai. Dan tidak sedikit di antara mereka yang ketika ada masalah sedikit saja di dalam rumah tangga, langsung membawa persoalan tersebut ke Pengadilan Agama yang berujung pada perceraian.

Perceraian bagi suami istri dapat menjadi makruh, haram, boleh, sunnah bahkan wajib.
Talak menjadi makruh, jika perceraian tersebut tanpa sebab apa-apa dan pernikahan masih bisa diteruskan.
Talak menjadi Haram jika suami mentalak istri ketika dalam keadaaan haid, mentalaknya dalam keadaan suci setelah disetubuhi, atau jika perceraian itu menimbulkan madharat atau kerusakan yang lebih besar bagi salah seorang dari suami istri, atau tidak menghasilkan manfaat yang lebih baik daripada madharat yang ada, atau manfaatnya sama dengan madharat yang ada. Rasulullah bersabda, artinya, “Istri manapun yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, niscaya harumnya Surga diharamkan baginya.” (HR. Abu Dawud).

Talak diperbolehkan untuk menghilangkan madharat atau kerusakan salah satu suami atau istri. Allah berfirman, artinya, “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. al-Baqarah: 229).

”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (QS. at-Thalaq: 1).

Talak menjadi sunnah jika sang istri tidak memiliki sifat afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan hal-hal yang wajib dalam agama.

Dan talak menjadi wajib, jika madharat yang menimpa salah seorang dari suami istri tidak dapat dihilangkan kecuali dengan talak itu. Suami istri tidak dapat melaksanakan perintah dan larangan Allah jika bersatu dan jika dikhawatirkan akan menimbulkan kemadharatan yang lebih besar lagi jika tidak dipisah.

Semoga Allah memberi kesabaran, keikhlasan, taufik dan hidayah kepada pasangan suami istri agar tidak terburu-buru mengakhiri persoalan rumah tangga mereka dengan perceraian, wallahu a’lam bishawab.(Ustadz Iwan Muhijat)

[Sumber: Disarikan dari berbagai sumber]

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=705