Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Keutamaan Bulan Rajab dalam Timbangan

Jumat, 11 Februari 22

Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-memberikan keutamaan kepada sebagian siang dan malam hari atas sebagian siang dan malam hari yang lainnya, sesuai dengan hikmah-Nya yang mendalam, untuk mendorong kesungguhan para hambaNya dalam melakukan beragam bentuk kebaikan, agar mereka memperbanyak amal shaleh di dalamnya. Akan tetapi para setan dari kalangan manusia dan jin mereka melakukan beragam tindakan yang bertolak belakang dalam rangka menghalang-halangi manusia dari jalan yang lurus. Mereka duduk di setiap tempat pengintaian untuk memasang perangkap yang akan menyekat antara manusia dengan kebaikan.

Maka, mereka, para setan-setan itu, menghiasi pada sebagian manusia bahwa musim yang penuh dengan keutamaan dan rahmat sebagai ajang untuk melakukan perbuatan yang tidak berguna dan berleha-leha, serta ajang untuk melampiaskan berbagai bentuk hasrat dan keinginan syahwat.

Dan, mereka pun, para setan-setan itu, mengobarkan semangat sekelompok manusia yang lainnya -baik mereka adalah orang-orang yang telah memiliki niatan-niatan yang baik namun dikalahkan oleh sifat kejahilan (ketidaktahuan) terhadap hukum-hukum agama, ataupun orang-orang yang memiliki kebaikan dan kepemimpinan di tengah-tengah masyarakatnya dalam urusan agama dan dunia namun sedemikian takut kehilangan kedudukannya- dalam bentuk memenuhi musim-musim kebaikan dengan perkara-perkara baru yang Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang hal itu.

Hassan bin ‘Athiyyah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan,


ãóÇ ÇÈúÊóÏóÚó Þóæúãñ ÈöÏúÚóÉð Ýöí Ïöíúäöåöãú ÅöáøóÇ äóÒóÚó Çááåõ ãöäú ÓõäøóÊöåöãú ãöËúáóåóÇ ¡ æóáóÇ íõÚöíúÏõåóÇ Åöáóíúåöãú Åöáóì íóæúãö ÇáúÞöíóÇãóÉö


“Tidaklah suatu kaum melakukan perkara baru dalam agama mereka, melainkan Allah bakal mencabut hal yang semisalnya dari perkara sunnah yang biasa mereka lakukan, dan Allah pun tidak akan mengembalikan perkara sunnah itu kepada mereka sampai hari Kiamat.” [1]

Bahkan, Ayub as-Sikhtiyani-ÑóÍöãóåõ Çááåõ- mengatakan,


ãóÇ ÇÒúÏóÇÏó ÕóÇÍöÈõ ÈöÏúÚóÉò ÇöÌúÊöåóÇÏðÇ ÅöáøóÇ ÒóÇÏó ãöäó Çááåö ÈõÚúÏðÇ


“Tidaklah pelaku kebid’ahan semakin bertambah kesungguhannya (dalam melakukan kebid’ahannya) melainkan ia menambah jarak yang semakin jauh dari Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-.” [2]

Dan, barang kali di antara musim yang paling kentara dilakukannya perkara-perkara bid’ah oleh sebagian orang di banyak daerah adalah pada bulan Rajab. Karenanya, dalam tulisan ini, saya kemukakan sebagian amal yang dilakukan oleh banyak orang di bulan ini, dan saya mencocokannya dengan teks-teks syariat dan pendapat para ulama, sebagai bentuk nasehat kepada ummat ini dan peringatan terhadap mereka. Semoga saja hal ini dapat menjadi sarana petunjuk bagi hati, membuka mata dan telinga yang telah hidup lama terkungkung di dalam kegelapan bid’ah dan terombang-ambing dalam kebodohan.

Apakah bulan Rajab memiliki kelebihan atas bulan-bulan yang lainnya ?
Ibnu Hajar-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan, “Tidak ada hadis yang shahih yang layak dijadikan sebagai hujjah (yang menunjukkan) tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula yang menunjukan tentang keutamaan berpuasa di dalamnya, tidak pula yang menunjukkan dianjurkannya puasa pada hari tertentu pada bulan tersebut, tidak pula qiyamullail yang dilakukan pada malam tertentu secara khusus pada bulan tersebut. Pernyataan secara pasti yang aku kemukakan ini telah didahului oleh imam Abu Ismail al-Harawiy, al-Hafizh-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-. Kami meriwayatkannya darinya dengan sanad yang shahih, dan demikian pula kami meriwayatkannya dari selainnya.” [3]

Beliau-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-juga mengatakan, “Adapun hadis-hadis yang datang tentang keutamaan bulan Rajab atau tentang keutamaan puasanya, atau puasa pada hari tertentu dari bulan tersebut maka sangat jelas, ada dua macam; (1) dha’ifah (lemah) dan (2) maudhu’ah (palsu). Dan, kami akan menyebutkan riwayat-riwayat yang lemah dan mengisyaratkan kepada riwayat yang maudhu’ah (palsu) dengan isyarat yang dapat dipahami...”[4]. Lantas beliau-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mulai menyebutkan riwayat-riwayat tersebut.

Shalat ‘ar-Ragha-ib’
a. Sifatnya
Sifat shalat ini disebutkan dalam sebuah hadis palsu dari Anas-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ- dari Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-bahwa beliau bersabda,


“ãóÇ ãöäú ÃóÍóÏò íóÕõæúãõ íóæúãó ÇáúÎóãöíúÓö (Ãóæøóáõ ÎóãöíúÓò ãöäú ÑóÌóÈò) Ëõãøó íõÕóáøöí ÝöíúãóÇ Èóíúäó ÇáúÚöÔóÇÁö æóÇáúÚóÊóãóÉö íóÚúäöí áóíúáóÉó ÇáúÌõãõÚóÉö ÇöËúäóÊóíú ÚóÔúÑóÉó ÑóßúÚóÉð ¡ íóÞúÑóÃõ Ýöí ßõáøö ÑóßúÚóÉò ÈöÝóÇÊöÍóÉö ÇáúßöÊóÇÈö ãóÑøóÉð æó((ÅäøóÇ ÃóäÒóáúäóÇåõ Ýöí áóíúáóÉö ÇáÞóÏúÑö)) ËóáóÇËó ãóÑøóÇÊò¡ æó((Þõáú åõæó Çááøóåõ ÃóÍóÏñ)) ÇËúäóÊóíú ÚóÔúÑóÉó ãóÑøóÉð ¡ íõÝóÕøöáõ Èóíúäó ßõáøö ÑóßúÚóÊóíúäö ÈöÊóÓúáöíúãóÉò ¡ ÝóÅöÐóÇ ÝóÑóÛó ãöäú ÕóáóÇÊöåö Õóáøóì Úóáóíøó ÓóÈúÚöíúäó¡ ÝóíóÞõæúáõ Ýöí ÓõÌõæúÏöåö ÓóÈúÚöíúäó ãóÑøóÉð: (ÓõÈøõæúÍñ ÞõÏøõæúÓñ ÑóÈøõ ÇáúãóáóÇÆößóÉö æóÇáÑøõæúÍö) ¡ Ëõãøó íóÑúÝóÚõ ÑóÃúÓóåõ æóíóÞõæúáõ ÓóÈúÚöíúäó ãóÑøóÉð: ÑóÈøö ÇÛúÝöÑú æóÇÑúÍóãú æóÊóÌóÇæóÒú ÚóãøóÇ ÊóÚúáóãõ ¡ Åöäøóßó ÃóäúÊó ÇáúÚóÒöíúÒõ ÇúáÃóÚúÙóãõ ¡ Ëõãøó íóÓúÌõÏõ ÇáËøóÇäöíóÉó ÝóíóÞõæúáõ ãöËúáó ãóÇ ÞóÇáó Ýöí ÇáÓøóÌúÏóÉö ÇáúÃõæúáóì ¡ Ëõãøó íóÓúÃóáõ Çááåó (ÊóÚóÇáóì) ÍóÇÌóÊóåõ¡ ÝóÅöäøóåóÇ ÊõÞúÖóì".. ÞóÇáó ÑóÓõæúáõ Çááåö –Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-: "æóÇáøóÐöí äóÝúÓöí ÈöíóÏöåö ¡ ãóÇ ãöäú ÚóÈúÏò æóáóÇ ÃóãóÉò Õóáøóì åóÐöåö ÇáÕøóáóÇÉó ÅöáøóÇ ÛóÝóÑó Çááåõ áóåõ ÌóãöíúÚó ÐõäõæúÈöåö ¡ æóáóæú ßóÇäóÊú ãöËúáõ ÒóÈóÏö ÇáúÈóÍúÑö ¡ æóÚóÏóÏö ÇáÑøóãóáö ¡ æóæóÒúäö ÇáúÌöÈóÇáö ¡ æóæóÑóÞö ÇáúÃóÔúÌóÇÑö ¡ æóíóÔúÝóÚõ íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö Ýöí ÓóÈúÚöãöÆóÉö ãöäú Ãóåúáö ÈóíúÊöåö ãöãøóäú ÞóÏú ÇÓúÊóæúÌóÈõ ÇáäøóÇÑó”


“Tidaklah seseorang berpuasa pada hari Kamis (kamis pertama dari bulan Rajab) kemudian ia shalat di antara shalat Isya dan al-‘Atamah, yakni, malam Jum’at sebanyak 12 rakaat, di mana pada setiap rakaatnya ia membaca surat al-Fatihah 1 kali,((ÅäøóÇ ÃóäÒóáúäóÇåõ Ýöí áóíúáóÉö ÇáÞóÏúÑö)) 3 kali, dan ((Þõáú åõæó Çááøóåõ ÃóÍóÏñ)) 12 kali, ia memisahkan antara setiap dua rakaat dengan salam. Lalu, apabila ia telah usai dari shalatnya, ia bershalawat kepadaku 70 kali, ia membaca, (ÓõÈøõæúÍñ ÞõÏøõæúÓñ ÑóÈøõ ÇáúãóáóÇÆößóÉö æóÇáÑøõæúÍö) dalam sujudnya sebanyak 70 kali. Kemudian, ia mengangkat kepalanya dan mengucapkan :


ÑóÈøö ÇÛúÝöÑú æóÇÑúÍóãú æóÊóÌóÇæóÒú ÚóãøóÇ ÊóÚúáóãõ ¡ Åöäøóßó ÃóäúÊó ÇáúÚóÒöíúÒõ ÇúáÃóÚúÙóãõ


Sebanyak 70 kali.
Kemudian ia sujud kedua kalinya membaca seperti yang dibacanya pada sujud yang pertama, kemudian ia meminta kebutuhannya kepada Allah-ÊóÚóÇáóì- niscaya kebutuhannya tersebut dipenuhi “...Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba laki-laki, tidak pula seorang hamba perempuan mengerjakan shalat ini, melainkan Allah bakal mengampuni semua dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan, sejumlah pasir, seberat gunung, dan dedaunan pohon. Di hari Kiamat, Ia pun bakal memberikan syafa’at kepada 700 orang dari kalangan keluarganya yang telah wajib masuk Neraka. [5]

b. Perkataan Ahli Ilmu Seputar Shalat Ragha-ib
An-Nawawiy-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan, “Shalat ragha-ib itu bid’ah yang buruk, kemungkaran yang sangat mungkar, mengandung beberapa bentuk kemungkaran, sehingga jelas bahwa hal tersebut semestinya ditinggalkan dan wajib pula berpaling darinya, dan wajib pula pengingkarannya terhadap pelakunya.” [6]
Ibnu an-Nahas-ÑóÍöãóåõ Çááåõ- mengatakan, “Shalat ragha-ib tersebut merupakan bid’ah, hadis yang datang tentang shalat tersebut adalah maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan para ahli hadis.” [7]

Ibnu Taimiyah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ- mengatakan, ”Adapun shalat ragha-ib, maka tidak ada asalnya, bahkan merupakan perkara baru, maka (shalat tersebut) tidak disunnahkan untuk dilakukan secara berjama’ah, tidak pula secara sendirian. Telah valid di dalam shahih Muslim bahwa Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó – melarang mengkhususkan malam Jum’at untuk melakukan shalat malam atau (mengkhususkan) siang hari Jum’at untuk berpuasa, sementara atsar yang menyebutkan tentang (keutamaan)nya dusta dan palsu dengan kesepakatan para ulama, tak seorang pun dari kalangan salaf dan para imam yang menyebutkan asal (pijakan)nya.[8]

Ath-Thurthusyi-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-telah menjelaskan tentang awal mula kemunculannya, seraya mengatakan, “Dan telah mengkhabarkan kepadaku Abu Muhammad al-Maqdisi, ia berkata, ‘belum ada sama sekali (sebelumnya) di tempat kami di baitul maqdis (apa yang disebut sebagai) shalat ragha-ib ini yang dilakukan (oleh orang-orang) di bulan Rajab dan Sya’ban. Awal kemunculan (shalat ini) di tempat kami adalah pada tahun 448, seorang lelaki dari Nablus yang dikenal dengan Ibnu Abi al-Hamra datang kepada kami di baitul Maqdis, beliau ini seorang yang bagus bacaannya, lalu ia berdiri mengerjakan shalat di masjid al-Aqsha pada malam pertengahan bulan Sya’ban ... sampai beliau menuturkan ... : adapun shalat (khusus pada bulan) Rajab belum terjadi di tempat kami di baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480, kami belum penah melihatnya dan tidak pernah pula mendengarnya sebelum itu.” [9]

Dan, Ibnu al-Jauziy-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-telah memastikan kepalsuan hadis tentang shalat Ragha-ib ini di dalam kitabnya al-Maudhu’aat, begitu pula al-Hafizh Abu al-Khaththab dan Abu Syamah [10]. Sebagaimana telah dipastikan akan kebid’ahan shalat ragha-ib ini oleh Ibnu al-Hajj [11], dan Ibnu Rajab, dan ia menyebutkan hal itu dari Abu Ismail al-Anshariy, Abu Bakar as-Sam’aniy, Abul Fadhl bin Nashir [12]...dan yang lainnnya [13]

c. Hukum mengerjakan shalat Ragha-ib untuk menarik hati orang awam
Abu Syamah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-, mengatakan, ”Dan betapa banyak orang yang berkedudukan sebagai imam mengatakan kepadaku bahwa tidaklah ia mengerjakan shalat tersebut (shalat ragha-ib) melainkan untuk menjaga hati orang-orang awam terhadap dirinya, dan agar ia tetap memegang masjidnya karena ia takut akan dimakzulkan darinya (jika tidak melakukan shalat tersebut).’ Di dalam sikap mereka ini terdapat kesalahan besar, di mana sebagian mereka (para imam itu) masuk mengerjakan shalat tanpa niat yang benar dan meremehkan perkara berdirinya seorang hamba di hadapan Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-. Kalaulah tidak ada dalam perkara bid’ah ini selain hal ini niscaya sudah cukup. Dan setiap orang yang mempercayai shalat ini atau menganggapnya baik maka ia menjadi penyebab jatuhnya orang lain ke dalam kesalahan ini. Ia menipu orang awan dengan apa yang mereka yakini tentang shalat tersebut, mereka (para imam tersebut) berdusta terhadap syariat disebabkan karena hal tersebut. Kalaulah sekiranya mereka (orang-orang awam) diberi pengertian tentang kesalahan ini tahun demi tahun niscaya mereka akan berhenti dari melakukannya dan mereka akan memakzulkan sang imam, sehingga akan hilang kepemimpinan para pecinta bid’ah dan orang-orang yang menghidupkannya.’ Hanya Allah-lah yang dapat memberikan taufiq.

Dulu, para pemuka kalangan ahli kitab enggan untuk menerima Islam karena takut akan kehilangan kedudukan mereka di tengah-tengah masyarakatnya. Tentang mereka inilah, Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-menurunkan ayat-Nya,


Ýóæóíúáñ áöáøóÐöíäó íóßúÊõÈõæäó ÇáúßöÊóÇÈó ÈöÃóíúÏöíåöãú Ëõãøó íóÞõæáõæäó åóÐóÇ ãöäú ÚöäúÏö Çááøóåö áöíóÔúÊóÑõæÇ Èöåö ËóãóäðÇ ÞóáöíáðÇ Ýóæóíúáñ áóåõãú ãöãøóÇ ßóÊóÈóÊú ÃóíúÏöíåöãú æóæóíúáñ áóåõãú ãöãøóÇ íóßúÓöÈõæäó [ÇáÈÞÑÉ : 79]


Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sediri), kemudian berkata, “Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat (Qs. al-Baqarah : 79) [14]

Isra Mi’raj
Termasuk mu’jizat Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-yang paling agung adalah diperjalankannya beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-pada malam hari dari Masjidil Haram ke masjidil Aqsha. Kemudian dinaikkan ke langit tujuh, lalu ke tempat yang berada di atasnya. Sementara itu telah tersebar di sebagian negeri adanya perayaan untuk memperingati peristiwa tersebut pada malam 27 Rajab. Padahal, tidak benar bahwa peristiwa malam Nabi di-isra-kan itu terjadi pada malam tersebut. Berkata Ibnu Hajar-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-dari Ibnu Dihyah, “Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa peritiwa isra terjadi pada bulan Rajab, ia berkata : dan yang demikian itu adalah dusta.” [15]

Dan, Ibnu Rajab-ÑóÍöãóåõ Çááåõ- berkata : “dan diriwayatkan dengan sanad tidak shahih dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa di-isra-kannya Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- terjadi pada tanggal 27 Rajab,’ dan hal itu telah diingkari oleh Ibrahim al-Harbiy dan yang lainnya.”[16]

Ibnu Taimiyah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ- mengatakan,
“Tidak ada dalil yang diketahui, baik terkait bulannya, harinya atau pun tanggalnya. Bahkan, nukilan-nukilan (riwayat) tentang hal tersebut terputus, berbeda-beda, tidak ada yang dapat dipastikan (keabsahannya).” [17]

Kalaupun peristiwa isra mi’raj tersebut valid kejadiannya pada malam tertentu misalnya, maka tidaklah disyariatkan untuk mengkhususkannya dengan amalan tertentu. Hal demikian itu karena tidak ada riwayat yang valid dari Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó – tidak pula dari seorang pun dari kalangan para sahabatnya atau para tabi’in bahwa mereka menjadikan malam isra mi’raj sebagai malam yang istimewa yang berbeda dari malam-malam yang lainnya. Apatah lagi mereka membuat perayaan untuk memperingatinya. Ditambah lagi dengan apa-apa yang terdapat dalam perayaan malam tersebut berupa kebid’ahan dan kemungkaran. [18]

Penyembelihan di Bulan Rajab dan Hal-hal yang Menyerupainya
Penyembilahan binatang untuk Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-di bulan Rajab secara mutlak bukanlah perkara yang terlarang seperti halnya penyebelihan binatang yang dilakukan di bulan-bulan lainnya. Akan tetapi, orang-orang Jahiliyah, dulu mereka biasa menyembelih binatang di bulan Rajab yang mereka namakan dengan ‘al-‘Atirah.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa Islam telah membatalkannya. Mereka berargumentasi dengan hadis yang diriwayatkan asy-Syaikhan (imam al-Bukhari dan imam Muslim) dari sahabat mulia Abu Hurairah-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-, (dari Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- beliau bersabda),


áóÇ ÝóÑóÚó æóáóÇ ÚóÊöíÑóÉó


Tidak ada Far’ dan tidak ada pula ‘Athirah. [19]

Sementara sebagian ulama, seperti Ibnu Sirin-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-, berpedapat bahwa hal tersebut mustahab. Mereka berargumentasi dengan sejumlah hadis yang menunjukkan akan kebolehannya.

Namun, pendapat mereka ini disanggah dengan dikatakan bahwa hadis Abu Hurairah di atas lebih shahih dan lebih valid. Sehingga, yang menjadi patokan dalam beramal adalah hadis Abu Hurairah tersebut, bukan yang lainnya. Bahkan, sebagian mereka seperti Ibnul Munzhir-ÑóÍöãóåõ Çááåõ- berpendapat bahwa hukumnya telah dinasakh (dihapus) karena keislaman Abu Hurairah terjadi belakangan dan bahwa kebolehan melakukan hal tersebut di awal-awal Islam kemudian dinasakh. Dan inilah pendapat yang rajih. [20]

Al-Hasan-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan, ‘Tidak ada ‘Athirah’ di dalam Islam. ‘Athirah hanya ada di masa Jahiliyah. Dulu, salah seorang di antara mereka berpuasa dan menyembelih hewan (pada bulan Rajab).’ [21]

Dan, Ibnu Rajab-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan, ‘Dan menyerupai tindakan menyembelih binatang di bulan Rajab adalah menjadikan bulan Rajab sebagai musim dan hari perayaan, seperti makan al-Halwa (semacam kembang gula) dan yang lainnya. Dan sungguh telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-bahwasanya beliau tidak menyukai seseorang menjadikan bulan Rajab sebagai perayaan. [22]

Mengkhususkan bulan Rajab untuk Berpuasa atau I’tikaf
Adapun puasa, maka tidak ada riwayat yang shahih sedikit pun dari Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- dan tidak pula dari kalangan para sahabatnya tentang keutamaan puasa di bulan Rajab secara khusus. [23]

Dan, Ibnu Taimiyah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan,’Dan adapun puasa Rajab secara khusus, maka hadis-hadisnya semuanya lemah, bahkan palsu, para ulama tidak menjadikannya sebagai pegangan sedikitpun, dan bukan termasuk hadis lemah yang diriwayatkan dalam bab keutamaan. Bahkan, pada ghalibnya termasuk riwayat-riwayat palsu dan dibuat-buat...Ibnu Majah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-telah meriwayatkan di dalam sunannya dari Ibnu Abbas-ÑÖöíó Çááåõ Úóäúåõ- dari Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó – bahwa beliau melarang dari berpuasa di bulan Rajab, sedangkan di dalam sanadnya terdapat kritikan. Akan tetapi ada riwayat shahih bahwa Umar bin Khaththab-ÑÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-pernah memukuli tangan-tangan manusia dengan maksud agar mereka meletakkan tangan-tangannya di atas makanan di bulan Rajab, dan beliau mengatakan, ‘Janganlah kalian menyerupakannya (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan...’. Adapun mengenai mengkhususkan dengan melakun i’tikaf tiga bulan; Rajab, Sya’ban dan Ramadhan, maka aku tidak mengetahui adanya perintah, tetapi setiap orang yang berpuasa dengan puasa yang disyariatkan dan ingin ber’itikaf saat berpuasa, hal demikian boleh dilakukan tanpa ada keraguan, dan bila beri’tikaf tanpa berpuasa, maka dalam hal ini ada dua pendapat yang masyhur di kalangan ahli ilmu. [24]

Tidak adanya riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan puasa di bulan Rajab secara khusus, tidak berarti bahwa tidak ada puasa sunnah di bulan tersebut karena adanya nash-nash yang menjelaskan disyariatkannya berpuasa pada bulan tersebut dan di bulan-bulan lainnya, seperti anjuran berpuasa pada hari senin dan kamis, puasa tiga hari setiap bulan, dan puasa sehari berbuka sehari. Yang dimakruhkan puasanya adalah seperti yang disebutkan oleh ath-Thurthusyi [25]
1- Apabila kaum Muslimin mengkhususkannya dalam setiap tahunnya menurut orang-orang awam dan orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang syariat, di mana mereka memperlihatkan puasanya bahwa puasa tersebut merupakan puasa wajib seperti puasa Ramadhan.
2- Menyakini bahwa puasa Rajab merupakan sunnah yang valid yang dikhususkan oleh Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- seperti sunnah rawatib.
3- Menyakini bahwa puasa di bulan Rajab dikhususkan dengan keutamaan pahalanya atas puasa yang dilakukan di bulan-bulan lainnya, dan bahwa puasa di bulan Rajab tersebut seperti halnya puasa ‘Asyura.

Umrah di Bulan Rajab
Sebagian orang bersemangat untuk menunaikan umrah pada bulan Rajab dengan keyakinan bahwa umrah pada bulan tersebut memiliki keistimewaan yang lebih. Hal ini tidak ada asalnya. Imam al-Bukhari telah meriwayatkan dari Ibnu Umar-ÑóÖöíó Çááåõ ÚóäúåõãóÇ-, ia berkata,


Åöäøó ÑóÓõæáó Çááøóåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÇÚúÊóãóÑó ÃóÑúÈóÚó ÚõãóÑóÇÊò ÅöÍúÏóÇåõäøó Ýöí ÑóÌóÈò ÞóÇáóÊú íóÑúÍóãõ Çááøóåõ ÃóÈóÇ ÚóÈúÏö ÇáÑøóÍúãóäö ãóÇ ÇÚúÊóãóÑó ÚõãúÑóÉð ÅöáøóÇ æóåõæó ÔóÇåöÏõåõ æóãóÇ ÇÚúÊóãóÑó Ýöí ÑóÌóÈò ÞóØøõ


“Sesungguhnya Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-umrah sebanyak 4 kali, salah satunya pada bulan Rajab. Ia (Aisyah) berkata, ‘Semoga Allah merahmati Abu Abdurrahman, tidaklah beliau (yakni, Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-) menunaikan umrah melainkan ia (yakni, Ibnu Umar-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-) ikut hadir bersama beliau. Dan tidaklah pernah sama sekali beliau -Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- menunaikan umrah pada bulan Rajab.” [26]

Ibnu al-‘Athar-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan,”Dan di antara perkara yang telah sampai kepadaku tentang penduduk Makkah (semoga Allah menambahkan kemuliaan padanya) adalah kebiasaan mereka banyak melakukan umrah pada bulan Rajab. Sementara hal ini termasuk perkara yang aku tidak mengetahui pijakannya.” [27]

Sementara al-‘Allamah Ibnu Bazz-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-telah menegaskan [28] bahwa waktu paling utama untuk menunaikan umrah adalah bulan Ramadhan, berdasarkan sabda Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-


ÚõãúÑóÉñ Ýöí ÑóãóÖóÇäó ÊóÚúÏöáõ ÍöÌøóÉð


Umrah pada bulan Ramadhan sebanding dengan haji
Kemudian setelah itu adalah umrah pada bulan Dzulqa’dah, karena umrah beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-semuanya terjadi pada bulan Dzulqa’dah, sementara Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-telah berfirman,


áóÞóÏú ßóÇäó áóßõãú Ýöí ÑóÓõæáö Çááøóåö ÃõÓúæóÉñ ÍóÓóäóÉñ [ÇáÃÍÒÇÈ : 21]


Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu...(Qs. al-Ahzab : 21)

Berzakat di Bulan Rajab
Sebagian penduduk negeri biasa mengkhususkan bulan Rajab dengan mengeluarkan zakat. Ibnu Rajab-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-menuturkan tentang hal tersebut, “Hal tersebut tidak ada asalnya di dalam sunnah, dan juga tidak diketahui dari seorang pun dari kalangan salaf...dan dalam kondisi apa pun, zakat itu wajib ditunaikan bila telah sempurna kepemilikan harta yang mencapai nisob selama satu tahun. Setiap harta itu memiliki ketentuan haulnya masing-masing tergantung waktu memiliki harta tersebut yang telah mencapai nisob. Maka, jika harta yang telah mencapai nisob tersebut telah sempurna kepemilikannya selama setahun maka wajib dikeluarkan zakatnya di bulan apa pun “. Lantas, beliau-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-menyebutkan bolehnya menyegerakan pengeluaran zakatnya (bila harta yang dimiliki tersebut telah mencapai nisob) karena adanya momentum waktu yang utama seperti bulan Ramadhan, atau karena untuk memanfaatkan kesempatan bersedekah kepada orang yang sangat membutuhkan, di mana diduga bahwa kala harta yang dimilikinya ketika kepemilikannya telah sempurna satu tahun, pemiliknya tidak akan lagi mendapati orang yang kondisinya seperti orang yang sangat membutuhkan sedekah tersebut. [29]

Sementara, Ibnu al-‘Athar-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan, “Dan apa yang dilakukan oleh (sebagian) orang di zaman sekarang ini berupa mengeluarkan zakat harta mereka di bulan Rajab saja bukan di bulan-bulan lainnya tidaklah memiliki asal (pijakan). Bahkan, hukum syariat menetapkan bahwasanya wajib mengeluarkan zakat harta ketika telah sempurna kepemilikan harta tersebut satu tahun dengan syaratnya (yakni, telah mencapai nisob) baik pada bulan Rajab atau pun pada bulan lainnya.” [30]

Tak Ada Peristiwa Besar di Bulan Rajab
Ibnu Rajab-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan, ”Telah diriwayatkan bahwasanya pernah ada peristiwa besar pada bulan Rajab, namun tak satu pun dari hal tersebut yang benar. Diriwayatkan bahwa Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-dilahirkan pada malam pertama bulan tersebut. Ada yang mengatakan, pada tanggal 25, namun hal tersebut tidaklah benar.” [31]

Sejenak Bersama Sebagian Da’i
Sebagian pendakwah pada hari ini berupaya menyebarkan beragam bentuk perkara bid’ah musiman, seperti bid’ah-bid’ah di bulan Rajab, sementara mereka meyakini bahwa hal tersebut tidaklah disyariatkan, mereka beralasan dengan rasa takut nantinya tidak akan menyibukkan manusia dengan suatu bentuk peribadatan jika mereka meninggalkan perbuatan bid’ah yang biasa mereka lakukan. Disamping bahwa amalan bid’ah itu merupakan dosa yang paling berbahaya setelah dosa melakukan kesyirikan, hanya saja bahwa cara pandang dan tindakan dalam berdakwah serta cara merubah seperti ini sangatlah berbahaya, menyelisihi petunjuk Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-. Yang wajib adalah menyeru manusia kepada sunnah yang murni yang tidak akan didapatkan keistiqamahan tanpanya.

Ats-Tsauriy-ÑóÍöãóåõ Çááåõ – mengatakan, ‘Dulu, para fuqaha mengatakan, ‘Suatu perkataan tidak akan lurus kecuali (dibuktikan) dengan amal. Perkataan dan amal tidak akan lurus kecuali dengan (lurusnya) niat. Sedangkan, perkataan, amal dan niat tidak akan lurus kecuali dengan meyelaraskan diri dengan sunnah.’ [32]

Yang wajib atas mereka adalah mempelajari sunnah dan mengajarkannya, menyeru diri mereka dan orang-orang di sekitarnya untuk menerapkannya; karena Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-bersabda,


ãóäú Úóãöáó ÚóãóáÇð áóíúÓó Úóáóíúåö ÃóãúÑõäóÇ Ýóåõæó ÑóÏøñ


Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, niscaya amal tersebut tertolak.

Alangkah bagusnya pesan Abul ‘Aliyah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ– ketika ia mengatakan kepada sebagian sahabatnya,


ÊóÚóáøóãõæúÇ ÇáúÅöÓúáóÇãó ¡ ÝóÅöÐóÇ ÊóÚóáøóãúÊõãõæúåõ ÝóáóÇ ÊóÑúÛóÈõæúÇ Úóäúåõ ¡ æóÚóáóíúßõãú ÈöÇáÕøöÑóÇØö ÇáúãõÓúÊóÞöíúãö ¡ ÝóÅöäøó ÇáÕøöÑóÇØó ÇáúãõÓúÊóÞöíúãó : ÇóÅöãõÓúáóÇãõ ¡ æóáóÇ ÊóäúÍóÑöÝõæúÇ Úóäö ÇáÕøöÑóÇØö ÇáúãõÓúÊóÞöíúãö íóãöíúäÇð æóÔöãóÇáðÇ ¡ æóÚóáóíúßõãú ÈöÓõäøóÉö äóÈöíøößõãú ¡ æóÅöíøóÇßõãú æóåóÐöåö ÇúáÃóåúæóÇÁó ÇáøóÊöí ÊõáúÞöí Èóíúäó ÃóåúáöåóÇ ÇáúÚóÏóÇæóÉó æóÇáúÈóÛúÖóÇÁó"


“ Pelajarilah oleh kalian Islam, lalu apabila kalian telah mempelajarinya, maka janganlah kalian membencinya. Dan, hedaklah kalian tetap meniti jalan yang lurus, sesungguhnya jalan yang lurus itu adalah Islam, dan janganlah kalian berpaling dari jalan yang lurus itu ke kanan dan ke kiri. Dan, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnah Nabi kalian. Dan, jauhilah oleh kalian keinginan-keinginan (hawa nafsu) ini yang akan melemparkan permusuhan dan kebencian di tengah-tengah para pemiliknya.” [33]

Sebelum Abul ‘Aliyah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ–, Hudzaefah –ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-telah lebih dulu menuturkan,


íóÇ ãóÚúÔóÑó ÇáúÞõÑøóÇÁö ÇÓúÊóÞöíãõæÇ ÝóÞóÏú ÓóÈóÞúÊõãú ÓóÈúÞðÇ ÈóÚöíÏðÇ ÝóÅöäú ÃóÎóÐúÊõãú íóãöíäðÇ æóÔöãóÇáðÇ áóÞóÏú ÖóáóáúÊõãú ÖóáóÇáðÇ ÈóÚöíÏðÇ


“ Wahai para al-Qurra’ (orang-orang yang mengerti al-Qur’an dan sunnah), bersikap luruslah ! (tempuhlah jalan istiqamah, yakni, pegang teguhlah perintah Allah dan teladanilah sunnah-sunnah Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-baik berupa mengerjakan sesuatu atau pun meninggalkan sesuatu). Jika kalian telah berlaku lurus, sungguh kalian telah jauh mengungguli orang lain dalam setiap kebaikan. Namun, jika kalian berpaling ke kanan dan ke kiri, sungguh kalian benar-benar telah tersesat sangat jauh.”[34]

Akhirnya, maka sesungguhnya para dai (penyeru) dan ummat yang bersama mereka hari ini diharapkan benar-benar memurnikan diri untuk mengikuti ajaran dan sunnah Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- dalam setiap keadaannya. Sama halnya mereka diharapkan benar-benar memurnikan keikhlasan kepada Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- jika mereka menginginkan keselamatan untuk diri mereka dan jika mereka menginginkan pertolongan dan kemuliaan untuk agama mereka. Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-berfirman,


Ýóãóäú ßóÇäó íóÑúÌõæ áöÞóÇÁó ÑóÈøöåö ÝóáúíóÚúãóáú ÚóãóáðÇ ÕóÇáöÍðÇ æóáóÇ íõÔúÑößú ÈöÚöÈóÇÏóÉö ÑóÈøöåö ÃóÍóÏðÇ [ÇáßåÝ : 110]


“Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Qs. al-Kahfi : 110)

Dan Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-juga berfirman,


æóáóíóäúÕõÑóäøó Çááøóåõ ãóäú íóäúÕõÑõåõ Åöäøó Çááøóåó áóÞóæöíøñ ÚóÒöíÒñ [ÇáÍÌ : 40]


Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa (Qs. al-Hajj : 40)

Semoga Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-membimbing kita semuanya untuk dapat melakukan kebaikan, dan Dialah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-pemberi petunjuk ke jalan yang benar.

Wallahu A’lam

(Redaksi)

Sumber :
Fadha-il Syahri Rajabi Fi al-Mizan, Dr. Faishal bin Ali al-Ba’daniy-ÍóÝöÙóåõ Çááåõ-. Dengan sedikit gubahan.


Catatan :
[1] Al-Hilyah, 6/73
[2] Al-Hilyah, 3/9
[3] Tabyinu al-‘Ajab Fima Warada Fi Fadhli Rajabi, Ibnu Hajar, hal.6. Dan, lihat : as-Sunan Wa al-Mubtada’at, asy-Syuqairiy, hal.125
[4] Idem, hal. 8
[5] Lihat : Ihya Ulumiddin, al-Ghazaliy, 1/202 dan Tabyin al-‘Ajab Fima Warada Fi Fadhli Rajab, hal. 22-24
[6] Fatawa al-Imam an-Nawawi, hal. 57
[7] Tanbih al-Ghafilin, hal. 496
[8] Al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, 23/132. Dan, lihat juga al-Fatawa, 23/134-135
[9] Al-Hawadits Wa al-Bida’, hal. 103
[10] Lihat, al-Ba-‘its ‘Ala Inkari al-Bida’ Wal Hawadits, hal. 61
[11] Al-Madkhal, 1/211
[12] Lihat, Latha-if al-Ma’arif, Tahqiq : al-Ustadz Yasin as-Sawasi, hal. 228
[13] Muqaddimah Musajalah al-‘Iz bin Abdissalam Wa Ibni Shalah, hal. 87
[14] Al-Ba-‘its ‘Ala Inkari al-Bida’i Wal Hawaditsi, hal. 105
[15] Tabyinu al-‘Ajab, hal.6
[16] Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 1/275. Ibnu Hajar di dalam Fathul Bariy, 7/242-243 menyebutkan perbedaan pendapat tentang waktu kapan paristiwa isra mi’raj ini terjadi. Ada yang berpendapat bahwa peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab. Ada yang berpendapat, terjadi pada bulan Rabi’ul Akhir. Ada yang berpendapat, terjadi pada bulan Ramadhan atau bulan Syawwal. Namun, perkaranya seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-.
[17] Latha-if al-Ma’arif, Ibnu Rajab, hal. 233
[18] Sebagian bentuk kemungkarannya disebutkan oleh Ibnu an-Nahas di dalam Tanbih al-Ghafilin, hal.497, Ibnu al-Hajj di dalam al-Madkhal, 1/211-212 dan Ali Mahfuzh di dalam al-Ibdaa’, hal. 272
[19] HR. al-Bukhari, no. 5473 dan Muslim, no. 1976
[20] Lihat, Latha-if al-Ma’arif, hal. 227 dan al-I’tibar Fi an-Nasikh Wal Mansukh Min al-Atsar, al-Hazimi, hal. 388-390.
[21] Latha-if al-Ma’arif, hal. 227
[22] Latha-if al-Ma’arif, hal. 227
[23] Latha-if al-Ma’arif, hal. 228
[24] Al-Fatawa, 25/290-292
[25] Al-Bida’ Wal Hawadits, hal. 110-111. Dan lihat juga, Tabyin al-‘Ajab, Ibnu Hajar, hal. 37-38
[26] Shahih al-Bukhari, no. 1776
[27] Al-Musajalah Baina al-‘Iz bin Abdissalam Wa Ibni ash-Shalah, hal. 56. Dan lihat pula, Fatawa asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/131
[28] Lihat, Fatawa Islamiyah, dikumpulkan oleh al-Ustadz Muhammad al-Musnid, 2/303-304
[29] Latha-if al-Ma’arif, hal. 231-232
[30] Al-Musajalah Baina al-‘Iz bin Abdissalam Wa Ibni ash-Shalah, hal. 55.
[31] Latha-if al-Ma’arif, hal. 233
[32] Al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah, 1/333
[33] Al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah, 1/338
[34] Al-Bida’u Wa an-Nahyu ‘Anha, Ibnu Wadhah, hal. 10-11


Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=960