Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Masalah Qadha Puasa (bagian 3)

Jumat, 20 Mei 22

Alhamdulillah. Telah dimaklumi bersama bahwa qadha puasa Ramadhan merupakan kewajiban atas orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena udzur syar’i, seperti safar dan sakit. Sebagaimana firman Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-,


ÃóíøóÇãðÇ ãóÚúÏõæÏóÇÊò Ýóãóäú ßóÇäó ãöäúßõãú ãóÑöíÖðÇ Ãóæú Úóáóì ÓóÝóÑò ÝóÚöÏøóÉñ ãöäú ÃóíøóÇãò ÃõÎóÑó [ÇáÈÞÑÉ : 184]


(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tdak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain... (Qs. al-Baqarah : 184)

Dan, dalam hal qadha puasa yang ditinggalkan ini, ada beberapa masalah yang patut kiranya dimengerti. Di antaranya adalah apa yang telah disebutkan pada bagian pertama dan kedua tulisan ini, yaitu,

1. Masalah Pertama : Penyegeraan dan Penundaan dalam Mengqadha Puasa Wajib
2. Masalah Kedua : Penundaan Qadha Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya
3. Masalah Ketiga : Wajibnya melanjutkan puasa qadha [1]
4. Masalah Keempat : Mendahulukan puasa sunnah atas puasa qadha
5. Masalah Kelima : Kebolehan Melakukan Qadha secara terpisah-pisah [2]

Adapun pada bagian ketiga tulisan ini, akan disebutkan masalah yang lainnya terkait dengan qadha puasa ini, yaitu,
Masalah Keenam : Mengqadha Puasa Ramadhan di Hari-hari Bulan Ramadhan
Apabila seseorang berniat mengqadha puasa Ramadhan yang telah lewat di bulan Ramdhan berikutnya tanpa adanya udzur yang membolehkannya untuk berbuka, maka hal tersebut disepakati ketidaksahannya. Karena, puasa Ramadhan berikutnya tersebut wajib dilakukan pada saat itu.

Masalah Ketujuh : Mengqadha Puasa Ramadhan di Hari Raya (Iedul Fithri dan Iedul Adha)
Para ulama berselisih pendapat tentang qadha puasa Ramadhan yang dilakukan pada dua hari raya (Iedul Fithri dan Iedul Adha) menjadi dua pendapat,
Pendapat pertama :
Bahwa tidak sah qadha yang dilakukan pada dua hari raya. Dengan inilah Jumhur berpendapat. [3]
Pendapat kedua :
Bahwa sah qadha yang dilakukan pada dua hari raya. Pendapat ini merupakan satu riwayat dari imam Ahmad [4]
Dalil-dalil
Dalil-dalil pendapat pertama :
Dalil mereka bahwa hari fithri (dan idul adha) bukanlah waktu untuk melakukan qadha. Berdasarkan hadis,
1-Hadis Abu Sa’id-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-, bahwa Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- ,


äóåóì Úóäú Õóæúãóíúäö íóæúãó ÇáúÝöØúÑö æóíóæúãó ÇáäøóÍúÑö


Melarang melakukan dua puasa ; puasa pada hari iedul fithri dan hari Nahr.[5]
2-Hadis Umar bin Khaththab-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-bahwasanya ia berkata :


åóÐóÇäö íóæúãóÇäö äóåóì ÑóÓõæáõ Çááøóåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó Úóäú ÕöíóÇãöåöãóÇ íóæúãõ ÝöØúÑößõãú ãöäú ÕöíóÇãößõãú æóÇáúíóæúãõ ÇáúÂÎóÑõ ÊóÃúßõáõæäó Ýöíåö ãöäú äõÓõßößõãú


Dua hari ini, Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-melarang berpuasa pada kedua hari tersebut, yaitu, hari berbukanya kalian dari puasa kalian, dan hari lainnya, yaitu, hari di mana kalian mengonsumsi hewan kurban kalian.[6]
Dan beberapa dalil yang lainnya yang melarang berpuasa pada dua hari raya.
Dalil pendapat kedua :
Pendapat kedua ini didasarkan pada firman Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì -,


ÝóÚöÏøóÉñ ãöäú ÃóíøóÇãò ÃõÎóÑó [ÇáÈÞÑÉ : 185]


maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.[7]
Ini mencakup hari ied dan hari-hari setelahnya.

Sanggahan
Hal ini disanggah dengan adanya larangan dari Nabi-Õóáøóì Çááåõ ÚóáóÈúåö æóÓóáøóãó –untuk melakukan puasa pada kedua hari ied tersebut. Karena keumuman ayat tersebut dikhususkan dengan apa yang telah lalu berupa larangan untuk berpusa pada hari ied. Dan, hal yang khusus itu lebih dikedepankan atas hal yang bersifat umum.

Pendapat yang Rajih
Pendapat yang rajih(kuat)-Wallahu A’lam-adalah pendapat pertama, karena kuatnya dalil yang melandasinya.

Masalah Kedelapan : Mengqadha puasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat, menjadi dua pendapat ;
Pendapat pertama :
Bahwa qadha boleh dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, tanpa dimakruhkan.
Ini merupakan pendapat Madzhab Hanafiyah [8], dengan pendapat ini pula kalangan Malikiyah berpendapat, Madzhab Syafi’iyyah [9] dan Madzhab Hanabilah [10]. Dan, dengan pendapat ini pula Sa’id bin al-Musayyib, Ishak, Abu Tsaur dan Ibnul Munzhir berpendapat.[11]
Pendapat kedua :
Bahwa qadha boleh dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, namun dimakruhkan.
Dengan pendapat inilah sebagian kalangan Malikiyah berpendapat [12]. Pendapat ini merupakan satu riwayat dari imam Ahmad [13], dan al-Hasan dan az-Zuhri berpendapat pula dengan pendapat ini. [14]
Dalil-dalil
Dalil-dalil pendapat pertama :
Pendapat pertama ini didasarkan pada beberapa dalil berikut ini,
1-Firman Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-,


ÝóÚöÏøóÉñ ãöäú ÃóíøóÇãò ÃõÎóÑó [ÇáÈÞÑÉ : 185]


maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. [15]
Sisi pendalilannya :
Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan qadha puasa Ramadhan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, tanpa dimakruhkan, karena keumuman ayat ini [16]
Tanpa diberikan batasan waktunya, sehingga bersifat umum pada semua waktu-waktunya. Tidak keluar dari sifat keumumannya kecuali yang dikeluarkan oleh dalil. Sementara dalil telah mengeluarkan dua hari ied, hari-hari tasyrik dan hari-hari bulan Ramadhan yang datang berikutnya. Selain itu, maka tetap pada keumumannya tersebut.
2-Apa yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syarik dari al-Aswad bin Qais, dari ayahnya, dari Umar, ia berkata,


áóÇ ÈóÃúÓó ÈöÞóÖóÇÁö ÑóãóÖóÇäó Ýöí ÇáúÚóÔúÑö


Tidak mengapa mengqadha puasa Ramadhan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah [17]
3-Apa yang diriwayatkan Utsman bin Abdillah bin Wahb, ia berkata, ‘Ada seorang lelaki bertanya kepada Abu Hurairah-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-,’Sesungguhnya aku dulu biasa berpuasa di hari-hari ini, sepuluh hari pertama-yakni, bulan Dzulhijjah- sementara aku pernah sakit di bulan Ramadhan, aku memiliki tanggungan mengqadha puasa beberapa hari dari bulan Ramadhan, bolehkah aku berpuasa di hari-hari ini ? Abu Hurairah menjawab, ‘Mulailah dengan hak Allah atas dirimu !’ .
4-Bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah itu merupakan hari-hari untuk beribadah, maka tidaklah dimakruhkan untuk mengqadha puasa Ramadhan di hari-hari tersebut, seperti halnya sepuluh hari pertama dari bulan Muharram.[18]
5-Bahwa ‘memakruhkan’ merupakan penghukuman yang ditetapkan secara syar’i, membutuhkan kepada dalil syar’i, sementara (dalam hal ini) tidak ada dalil syar’i yang memakruhkannya.
6-Karena sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah merupakan waktu yang disukai untuk dilakukannya puasa (sunnah), maka qadha (puasa Ramadhan) yang dilakukan di hari-hari tersebut lebih utama daripada qadha yang dilakukan di hari-hari lainnya.[19]
Dalil-dalil pendapat kedua :
Pendapat kedua ini didasarkan pada beberapa dalil berikut ini,
1-Sabda Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- dalam hadis Ibnu Abbas-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-,


ãóÇ ãöäú ÃóíøóÇãò ÇáúÚóãóáõ ÇáÕøóÇáöÍõ ÝöíúåóÇ ÃóÍóÈøõ Åöáóì Çááøóåö ãöäú åóÐöåö ÇáúÃóíøóÇãö .íóÚúäöí : ÇóáúÚóÔúÑõ


Tidak ada hari-hari di mana amal shaleh di hari-hari tersebut lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini. Yakni, sepuluh hari (pertama dari bulan Dzulhijjah).

Sisi pendalilannya :
Hadis ini menunjukkan akan keutamaan amal shaleh yang dilakukan pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah ini, maka disukai untuk dilakukan puasa di sela-sela hari-harinya, agar mendapatkan keutamaannya, dan menjadikan qadha puasa Ramadhan di hari-hari lainnya.[20]

Pendalilan ini disanggah dari dua sisi :
Sisi pertama :
Bahwa hadis tersebut menunjukkan keutamaan amal shaleh yang dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan hal tersebut tidak berkonsekwensi tidak disukainya melakukan qadha (puasa Ramadhan) pada hari-hari tersebut.
Sisi kedua :
Bahwa qadha puasa Ramadhan termasuk amal shaleh. Bahkan, qadha puasa Ramadhan lebih utama daripada puasa sunnah, maka qadha puasa Ramadhan masuk dalam cakupan amal shaleh yang dilakukan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadis qudsi,


æóãóÇ ÊóÞóÑøóÈó Åöáóíøó ÚóÈúÏöí ÈöÔóíúÁò ÃóÍóÈøó Åöáóíøó ãöãøóÇ ÇÝúÊóÑóÖúÊõ Úóáóíúåö æóãóÇ íóÒóÇáõ ÚóÈúÏöí íóÊóÞóÑøóÈõ Åöáóíøó ÈöÇáäøóæóÇÝöáö ÍóÊøóì ÃõÍöÈøóåõ


Dan tidak ada pendekatan diri kepada-Ku yang dilakukan oleh hamba-Ku yang lebih Aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku wajibkan atasnya. Dan, selagi hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah niscaya Aku akan mencintainya...al-Hadis [21]
2-Apa yang diriwayatkan dari Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-‘Bahwa beliau melarang melakukan qadha Ramadhan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. [22]
3-Apa yang diriwayatkan Abdurrazzaq dari jalan al-Harits dari Ali, ia berkata,


áóÇ íõÞúÖóì ÑóãóÖóÇäõ Ýöí Ðöíú ÇáúÍöÌøóÉö


Puasa Ramadhan tidak diqadha pada bulan Dzulhijjah.[23]
Dalil ini disanggah dari beberapa sisi ;
Sisi pertama : Bahwa ini adalah riwayat yang lemah.
Sisi kedua : Bahwa ini adalah perkataan seorang sahabat yang diselisihi oleh sahabat yang lainnya.
Sisi ketiga : Bahwa ini bertentangan dengan zhahir al-Qur’an.

Tarjih :
Pendapat yang rajih (kuat) –Wallahu A’lam- adalah pendapat pertama, karena pada asalnya adalah tidak dimakruhkan. Adapun bila seseorang terbiasa mendekatkan diri kepada Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-dengan berpuasa pada hari-hari tersebut, maka yang utama adalah hendaknya ia berpuasa (sunnah) pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut, kemudian setelah itu ia berpuasa qadha supaya diperoleh dua keutamaan tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan :
Dan yang paling pas barang kali adalah bahwa puasa keduanya, yakni, puasa sunnah dan puasa qadha boleh dilakukan (pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah), sedangkan melakukan puasa yang sunnah kala itu adalah yang lebih utama, seperti halnya sunnah rawatib yang dilakukan di awal waktu shalat (fardhu) [24]

Buah Perbedaan
Syaikhul Islam-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-berkata :
Ada orang di kalangan sahabat kita yang membangun kedua riwayat (yang berbeda) di atas tentang kemakruhan mengqadha puasa Ramadhan pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan di atas dua riwayat tentang wajibnya mendahulukan qadha (puasa wajib) atas puasa sunnah. Jika kita katakan ‘wajib mendahulukan qadha’, maka tidak dimakruhkan untuk mengqadha puasa wajib tersebut pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut. Dan, jika kita katakan, ‘tidak wajib mendahulukan qadha, maka dimakruhkan mengqadha (puasa wajib) tersebut pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut.
Dan, cara yang telah kami sebutkan lebih tepat sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan imam Ahmad dan usulnya, yaitu bahwa apabila kita katakan, ‘boleh melakukan hal yang sunnah sebelum mengqadha/mengganti (hal yang wajib), maka tentang kemakruhan mengqadha puasa Ramadhan terdapat dua riwayat, dan apabila kita katakan, ‘tidak boleh melakukan yang sunnah sebelum mengqadha (puasa yang wajib)’, maka tidak ada maknanya memakruhkan qadha (puasa yang wajib) saat itu. [25]

Wallahu A’lam
(Redaksi)
Sumber :
Al-Jami’ Li-Ahkami Ash-Shiyam, Prof. Dr. Khalid bin Ali al-Musyaiqih, penerbit : Maktabah ar-Rusyd, KSA, Jilid 4, hal. 34-41.

Keterangan :
[1] Masalah pertama, kedua, dan ketiga, dapat Anda baca di https://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=919 atau https://alsofwa.com/masalah-qadha-puasa-bagian-1/
[2] Masalah keempat dan kelima, dapat Anda baca di https://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=920 atau https://alsofwa.com/masalah-qadha-puasa-bagian-2/
[3] Tabyin al-Haqaiiq, 1/344, al-Ikhtiyar 2/136, Mawahib al-Jalil, 2/450, Hasyiyah ad-Dusuqiy, 536, Raudhatu ath-Thalibin, 2/366, Nihayatu al-Muhtaj, 3/177, al-Mughniy, 3/163, al-Inshaf, 3/351, al-Muhalla, 6/456)
[4] al-Inshaf, 3/351
[5] Shahih al-Bukhari-kitab ash-Shaum-bab : Shaum Yaumil Fithri 2/249. Muslim –kitab ash-Shiyam – bab : an-Nahyu ‘An Shaumi Yaumil Fithri, 1/800 (827)
[6] Shahih al-Bukhari, 2/249 dan Muslim, 1/799 (1137)
[7] Al-Baqarah : 185
[8] al-Mabsuth 3/92, Badai’ ash-Shana-I’ 2/162, al-Hidayah, 1/131, Ahkamu al-Qur’an, al-Jashshash,1/208
[9] Mughniy al-Muhtaj, 1/448, Tuhfatu ath-Thalab,1/430
[10] al-Mughniy 4/402, asy-Syarh al-Kabir 7/505, Syarh al-‘Umdah 1/359, al-Furu’ 3/131
[11] Al-Majmu’ 6/367, al-Mughniy 3/146
[12] at-Taaj Wa al-Ikliil, 2/417
[13] al-Mughniy, 4/402, asy-Syarh al-Kabir 4/505, al-Kaafiy, 2/253, al-Furu’ 3/131
[14] Al-Majmu’, 6/413 dan al-Mughniy, 4/402
[15] Al-Baqarah : 185
[16] Bada-i’ ash-Sana-i’ 2/162, al-majmu’ 6/413, al-Furu’ 3/131
[17] al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah 2/488
Diriwayatkan Abdurrazzaq di dalam Mushannafnya 4/256, dari ats-Tsauriy, dari al-Aswad bin Qais
Diriwayatkan al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra 4/285 dari jalan Sufyan dari al-Aswad bin Qais, dari ayahnya bahwa Umar-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-mengatakan :


ãóÇ ãöäú ÃóíøóÇãò ÃóÍóÈøó Åöáóìøó Ãóäú ÃóÞúÖöìó ÝöíåóÇ ÔóåúÑó ÑóãóÖóÇäó ãöäú ÃóíøóÇãö ÇáúÚóÔúÑö


Tidak ada hari-hari yang lebih aku sukai untuk mengqadha puasa bulan Ramadhan daripada ayyam al-‘Asyr (sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah)
[18] Al-Mughni 4/402, asy-Syarh al-Kabir 7/505, al-Kafi 2/253, al-Furu’ 3/131
[19] Bada-i’ ash-Shanaa-i, 2/108
[20] Al-Mughniy 4/402, asy-Syarh al-Kabir 7/505
[21] Shahih al-Bukhari –kitab ar-Raqaq – bab : at-Tawadhu’ (6502)
[22] Bada-i’ ash-Shana-‘i, 2/162
[23] Mushannaf Abdurrazzaq 4/258, dalam sanadnya terdapat rawi bernama al-Harits, ia adalah seorang rawi yang dha’if (lemah)
[24] Syarhu al-‘Umdah, 1/360
[25] Syarh al-‘Umdah, 3/360-361

------------------

Pembahasan sebelumnya: Masalah Qadha Puasa (Bagian 1), Masalah Qadha Puasa (Bagian 2)

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=974