Artikel : Ekonomi Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - Senin, 07 Juli 03

Akhlak Usahawan Muslim
oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi

Hukum Jual Beli Ini

Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:

1. Jual beli dengan uang muka (panjar) ini tidak sah.

Inilah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Al Khothobi menyatakan, “Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan jual beli ini. Malik, Syafi’i menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits[6] dan karena terdapat syarat fasad dan Al Ghoror[7]. Juga hal ini masuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’yi (madzhab Abu Hanifah -pen) menilainya tidak sah.”[8]

Ibnu Qudamah menyatakan, “Ini pendapat Imam Malik, Asy Syafi’i dan Ash-hab Al Ra’yi dan diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas dan Al Hasan Al Bashri.”[9]

Dasar argumentasi mereka di antaranya:

a. Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata,


äóåóì ÑóÓõæáõ Çááóøåö Õóáóøì Çááóøåõ Úóáóíúåö æóÓóáóøãó Úóäú ÈóíúÚö ÇáúÚõÑúÈóÇäö
ÞóÇáó ãóÇáößñ æóÐóáößó ÝöíãóÇ äóÑóì æóÇááóøåõ ÃóÚúáóãõ Ãóäú íóÔúÊóÑöíó ÇáÑóøÌõáõ ÇáúÚóÈúÏó Ãóæú íóÊóßóÇÑóì ÇáÏóøÇÈóøÉó Ëõãóø íóÞõæáõ ÃõÚúØöíßó ÏöíäóÇÑðÇ Úóáóì Ãóäöøí Åöäú ÊóÑóßúÊõ ÇáÓöøáúÚóÉó Ãóæú ÇáúßöÑóÇÁó ÝóãóÇ ÃóÚúØóíúÊõßó áóßó

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Malik menyatakan, “Dan menurut yang kita lihat –wallahu A’lam- (jual beli) ini adalah seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian menyatakan, ‘Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu.’”[10]

b. Jenis jual beli semacam itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan bagi si penjual tanpa ada kompensasinya.[11] Sedangkan memakan harta orang lain hukumnya haram sebagaimana firman Allah,


íóÇ ÃóíõøåóÇ ÇáóøÐöíäó ÂãóäõæÇ áÇ ÊóÃúßõáõæÇ ÃóãúæóÇáóßõãú Èóíúäóßõãú ÈöÇáúÈóÇØöáö ÅöáÇ Ãóäú Êóßõæäó ÊöÌóÇÑóÉð Úóäú ÊóÑóÇÖò ãöäúßõãú æóáÇ ÊóÞúÊõáõæÇ ÃóäúÝõÓóßõãú Åöäóø Çááóøåó ßóÇäó Èößõãú ÑóÍöíãðÇ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An Nisaa’ 4: 29)

Imam Al Qurthubi dalam Tafsirnya (5/150) menyatakan, “Di antara bentuk memakan harta orang lain dengan cara bathil adalah jual beli dengan panjar (uang muka). Jual beli ini tidak benar dan tidak boleh menurut sejumlah ahli fiqih dari ahli Hijaz dan Iraq, karena termasuk jual beli perjudian, ghoror, spekulatif, dan memakan harta orang lain dengan cara batil tanpa pengganti dan hadiah pemberian dan itu jelas batil menurut ijma’.”

c. Karena dalam jual beli itu ada dua syarat batil: syarat memberikan uang panjar dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha.[12] Padahal Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,


áÇ íÍá ÓáÝ æÈíÚ ¡ æáÇ ÔÑØÇä Ýí ÈíÚ . ÑæÇå ÇáÎãÓÉ

“Tidak boleh ada hutang dan jual beli dan dua syarat dalam satu jual beli.” (HR Al Khomsah).

Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui (Khiyaar Al Majhul). Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan, “Saya punya hak pilih. Kapan mau, akan saya kembalikan dengan tanpa dikembalikan uang bayarannya.[13] Ibnu Qudamah menyatakan, “Inilah qiyas (analogi).”[14]

Pendapat ini dirojihkan Al Syaukani dalam pernyataan beliau, “Yang rojih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, karena hadits ‘Amru bin Syu’aib telah ada dari beberapa jalan periwayatan yang saling menguatkan. Juga karena hal ini mengandung larangan dan hadits yang terkandung larangan lebih rojih dari yang menunjukkan kebolehan sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqih…”

‘Illat (sebab hukum) dari larangan ini adalah jual beli ini mengandung dua syarat yang fasid; salah satunya adalah syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila pembeli gagal membelinya. Yang kedua adalah syarat mengembalikan barang kepada penjual apabila tidak terjadi keridhoan untuk membelinya.[15]

2. Jual beli ini diperbolehkan.

Inilah pendapat madzhab Hambaliyyah dan diriwayatkan kebolehan jual beli ini dari Umar, Ibnu Umar, Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin.[16]

Al Khothobi menyatakan, “Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau memperbolehkan jual beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar. Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya dan menyatakan, ‘Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini adalah pendapat Umar, yaitu tentang kebolehannya.’ Ahmad pun melemahkan (mendhoifkan) hadits larangan jual beli ini, karena terputus.[17]

Dasar argumentasi mereka adalah:

a. Atsar yang berbunyi,


Úóäú äóÇÝöÚö Èúäö ÇáÍÇÑË, Ãóäóøåõ ÇÔúÊóÑóì áöÚõãóÑó ÏóÇÑó ÇáÓöøÌúäö ãöäú ÕóÝúæóÇäó Èúäö ÃõãóíóøÉó, ÝóÅöäú ÑóÖöíó ÚõãóÑõ , æó ÅöáÇóø Ýóáóåõ ßóÐóÇ æó ßóÐóÇ

Diriwayatkan dari Nafi bin Al-Harits, ia pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan) apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.

Atsar ini dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya (5/392) dan Al Bukhori secara mu’allaq (lihat Fathul Bari 5/91) dan Al Atsram meriwayatkannya dalam kitab Sunnahnya dari jalan periwayatan Ibnu ‘Uyainah dari Amru bin Dinaar dari Abdurrahman bin Farukh dengan lafadz,


Ãä äÇÝÚ Èä ÚÈÏ ÇáÍÇÑË ÇÔÊÑì ÏÇÑÇð ááÓÌä ãä ÕÝæÇä Èä ÃãíÉ ÈÃÑÈÚÉ ÂáÇÝ ÏÑåã¡ ÝÅä ÑÖí ÚãÑ ÝÇáÈíÚ áå¡ æÅä ÚãÑ áã íÑÖ ÝÃÑÈÚãÇÆÉ áÕÝæÇä

Demikian juga Abdurrazaaq dalam Mushonnafnya (5/148-149), Al Baihaqi dalam sunannya 6/34, Al Azraaqi dalam Akhbaar Makkah 2/165 dan Al Fakihi dalam Akhbaar Makkah 3/254 seluruhnya dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah.
Dalam sanad ini ada Abdurrahman bin Farukh Maula Al ‘Adawi, Al Haafidz ibnu Hajar dalam Al Taqrieb hal 254 menyatakan, “Maqbul dari tabaqat ketiga dan imam al-Bukhori tidak secara gamblang menyebutnya.”

Ibnu Hibaan menyebutnya dalam kitab Al Tsiqaat 7/87 dan Al Dzahabi tidak berkomentar dalam Al Mizaan 2/582 serta Muslim menyebutkannya dalam kitab Al Wihdaan hal 117 termasuk orang yang Amru bin Dinar bersendirian meriwayatkan hadits darinya dan Al Bukhori tidak memberikan keterangan tambahan dalam tarikhnya 5/337 selain menyatakan Abdurrahman bin Farukh maula Umar bin Al Khothob dari bapaknya.

Syeikh Al Albani menyatakan dalam Mukhtashor Al Bukhori 2/137, “Sungguh Abdurrahman ini telah diisyaratkan Al Dzahabi sebagai perawi majhul, tidak meriwayatkan darinya kecuali Amru bin Dinaar.”

Al Haafidz dalam Fathul Bari 5/91-92 menyatakan bahwa Umar bin Syubah meriwayatkannya dalam Akhbar Makkah dari jalan Ibnu Juraij dengan menghapus Abdurrahman dan yang benar bahwa Ibnu Juraij meriwayatkannya dari Abdurahman ini juga, sebagaimana disampaikan Abdurrazaq dalam Mushonnafnya 5/147-148.

Riwayat ini dapat dijadikan hujjah, sebagaimana dilakukan imam Ahmad bin Hambal.
Al-Atsram berkata, “Saya bertanya kepada Ahmad, ‘Apakah Anda berpendapat demikian?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang harus kukatakan? Ini Umar rodhiyallohu ‘anhu (telah berpendapat demikian).’”[18]
Demikian juga Ibnul Qayyim menukilkannya dari beliau dalam kitab Bada’i Al Fawa’id 4/84.

Ditambah kisah ini telah masyhur dikalangan para ulama dan penulis sejarah Makkah seperti Al Azraaqi, Al Fakihi dan Umar bin Syubah hingga diriwayatkan penjara ini masih ada sampai zaman Al Fakihie. Wallahu A’lam.[19]

b. Hadits Amru bin Syuaib adalah lemah sehingga tidak dapat dijadikan sandaran dalam melarang jual beli ini.

Kelemahannya karena semua jalan periwayatannya kembali kepada orang tsiqah yang mubham (tidak disebut namanya). Ini karena imam Malik menyatakan, Telah menceritakan kepadaku seorang tsiqah sebagaimana dalam riwayat Ahmad dan Malik di dalam Muwatha’.” Sedangkan dalam riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah diriwayatkan imam Malik menyatakan, “Telah sampai kepada kami bahwa Amru bin Syu’aib …” Ini tentu saja menunjukkan adanya perawi yang dihapus antara Malik dengan Amru bin Syu’aib. Adapun ibnu Majah meriwayatkan dari jalan lain, namun ada perawi bernama Abu Muhammad Habieb bin Abi Habieb Katib Malik yang matruk (lemah sekali) dan Abdullah bin Amir Al Aslami yang juga lemah.

Hadits ini dinilai lemah oleh Imam Ahmad [20], Al Baihaqi [21], Al Nawawi [22], Al Mundziri [23], Ibnu Hajar [24] dan Al Albani [25].

c. Panjar ini adalah kompensasi dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Ia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Tidak sah ucapan orang yang mengatakan bahwa panjar itu telah dijadikan syarat bagi penjual tanpa ada imbalannya.

d. Tidak sahnya qiyas atau analogi jual beli ini dengan Al Khiyar Al Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya panjar ini adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, maka batallah analogi tersebut, dan hilanglah sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.

e. Jual beli ini tidak dapat dikatakan jual beli mengandung perjudian sebab tidak terkandung spekulasi antara untung dan buntung. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarah Bulugh Al Maram hal. 100 menyatakan, “Ketidakjelasan dalam jual beli al-Urbun tidak sama dengan ketidakjelasan dalam perjudian, karena ketidakjelasan dalam perjudian menjadikan dua transaktor tersebut berada antara untung dan buntung, adapun ini tidak, karena penjual tidak merugi bahkan untung dan paling tidak barangnya dapat kembali. Sudah dimaklumi seorang penjual memiliki syarat hak pilih untuk dirinya selama satu hari atau dua hari, dan itu diperbolehkan. Dan jual beli dengan uang muka ini menyerupai syarat hak pilih tersebut. Hanya saja penjual diberi sebagian dari pembayaran apabila barang dikembalikan, karena nilainya telah berkurang bila orang mengetahui hal itu walaupun hal ini didahulukan namun ada maslahat disana. Juga ada maslahat lain bagi penjual karena pembeli bila telah menyerahkan uang muka akan termotivasi untuk menyempurnakan transaksi jual belinya. Demikian juga ada maslahat bagi pembeli, karena ia masih dapat memilih mengembalikan barang tersebut bila menyerahkan uang muka. Padahal bila tidak tentu diharuskan terjadinya jual beli tersebut.”[26]

---------------------
[6] Yaitu hadits Amru bin Syu’aib mendatang (penulis)
[7] Tentang Al Ghoror penulis telah menjelaskan pada rubrik Fiqih dalam majalah As Sunnah. Atau bisa dilihat di sini.
[8] Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud yang dicetak pada footnote Sunan Abu Daud 3/768.
[9] Al Mughni 6/331.
[10] HR. imam Malik dalam Al-Muwaththa 2/609, Ahmad dalam Musnadnya (no.6436) 2/183, Abu Dawud no. 3502 (3/768) dan Ibnu Majah 3192. lafadznya lafadz Abu Daud. Namun sanadnya lemah. Hadits ini dinilai dhoif (lemah) oleh Syeikh Al Albani dalam kitab Dhoif Sunan Abu Daud no. 3502 dan Dhoif Sunan Ibnu Majah 487/3192, Al Misykah 2864 dan Dhoif Al Jami’ Al Shoghir 6060
[11] lihat Al Mughni 6/331
[12] lihat Shohih Fiqh Al Sunnah 4/411
[13] ibid
[14] ibid
[15] Nailul Author 6/289.
[16] Lihat Al Mughni 6/331
[17] Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud yang dicetak pada footnote Sunan Abu Daud 3/768.
[18] Kisah ini diriwayatkan Al Atsram dengan sanadnya, lihat Al Mughni 6/331.
[19] Takhrij ini Diringkas dari makalah Abu Abdurrahman Adnan Al Ahmadi berjudul Bahtsun fil ‘Urbun. Lihat www.saaid.net.
[20] Dinukil Ibnul Qayyim dalam Bada’i Al Fawa’id 4/84
[21] Al Ma’rifat Wa Al Sunan 4/380
[22] Al Majmu’ 9/335
[23] lihat ‘Aun Al Ma’bud 9/399
[24] Talkhish Al Habier 3/17
[25] Lihat Dhoif Sunan Abu Daud no. 3502 dan Dhoif Sunan Ibnu Majah 487/3192, Al Misykah 2864 dan Dhoif Al Jami’ Al Shoghir 6060
[26] Dinukil secara ringkas.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexekonomi&id=1§ion=e001