Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Orang Tua Memaksa Putrinya Kawin
Jumat, 02 April 04

Tanya :

Saya mempunyai saudara wanita sebapak, ia telah dikawinkan oleh ayah saya dengan seorang lelaki yang tidak ia suka dan tanpa meminta pendapat terlebih dahulu kepadanya, dan ia telah berusia 21 tahun. Para saksi telah memberikan kesaksian palsu atas akad nikahnya, bahwa saudara wanita saya itu menyetujuinya, dan ibu yang mewakilinya di dalam penandatanganan surat akad nikah. Demikianlah proses pernikahan itu terjadi (tanpa sepengetahuannya. Pen). Dan sampai kini ia tetap menolak parkawinan itu. (Yang ditanyakan adalah): Apa hukum akad tersebut? Dan Apa pula hukum kesaksian palsu yang diberikan oleh para saksi?

Jawab :

Jika saudara wanita itu berstatus masih gadis dan dipaksa nikah oleh ayahnya, maka sebagian ulama ada yang berpendapat pernikahannya sah, dan mereka berpendapat bahwa ayah berhak memaksa putrinya menikah dengan orang yang tidak disukainya, jika orang itu kufu’ (layak, sepadan dan mampu). Akan tetapi pendapat yang lebih kuat di dalam masalah ini adalah (yang mengatakan) bahwa ayah ataupun lainnya tidak berhak dan tidak boleh memaksa putrinya menikah dengan orang yang tidak ia suka sekalipun kufu’ (sepadan, mampu), karena Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda,

áÇó ÊõäúßóÍõ ÇáúÈößúÑõ ÍóÊøóì ÊõÓúÊóÃúÐóäó.
“Wanita gadis tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai izin (pendapat).”

Hadits ini bersifat umum, tidak seorang pun dari para wali yang dikecualikan, bahkan ada hadits di dalam Shahih Muslim sebagai berikut:

æóÇáúÈößúÑõ íóÓúÊóÃúÐöäõåóÇ ÃóÈõæúåóÇ.
“Seorang gadis itu dimintai izin (pendapat) oleh ayahnya.”

Hadits ini menegaskan keputusan atas gadis remaja dan keputusan terhadap ayahnya, yaitu keputusan di dalam perselisihan. Dari itu wajib dijadikan rujukan pemecahan masalah. Maka paksaan orang tua (ayah) terhadap putrinya untuk menikah dengan lelaki yang tidak disukainya hukumnya adalah haram; dan sesuatu yang diharamkan menjadi tidak sah dan tidak berlaku, sebab memberlakukannya dan mengesahkannya bertentangan dengan larangan yang terdapat di dalam nash hadits, sedangkan apa yang dilarang oleh syari’ (Allah dan Rasul-Nya) dimak-sudkan agar ummat Islam tidak melanggar atau mengerjakannya. Apabila kita benarkan pemaksaan itu, maka itu artinya kita melanggar larangan dan mengerjakannya, dan berarti kita telah menjadikannya seperti akad-akad yang diperbolehkan oleh asy-syari’. Ini tidak benar! Maka dari itu, pendapat yang kuat adalah bahwa perkawinan paksa yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap putrinya dengan lelaki yang tidak disukainya adalah perkawinan yang rusak dan akadnya pun rusak, maka pihak Kehakiman wajib meninjau ulang.

Adapun mengenai orang yang melakukan kesaksian palsu, maka mereka telah melakukan salah satu dosa yang sangat besar, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, “Maukah kalian aku beritakan mengenai dosa-dos yang paling besar?” Lalu beliau menyebutkannya, dan pada saat itu beliau bersandar lalu duduk dan kemudian bersabda,

ÃóáÇó æóÞóæúáõ ÇáÒøõæúÑö æóÔóåóÇÏóÉõ ÇáÒøõæúÑö¡ ÃóáÇó æóÞóæúáõ ÇáÒøõæúÑö æóÔóåóÇÏóÉõ ÇáÒøõæúÑö.
“Ketahuilah, dan ucapan dusta dan kesaksian dusta (palsu); Ketahuilah, dan ucapan dusta dan kesaksian dusta (palsu).” Beliau mengulanginya berulang-ulang, sampai para shahabat mengatakan: mudah-mudahan beliau diam.

Orang-orang yang telah melakukan kepalsuan itu hendaknnya segera bertobat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan mengatakan yang haq serta menje-laskan kepada hakim agama bahwa mereka telah memberikan kesaksian palsu dan mereka menyatakan mencabut kesaksian palsu itu.

Demikian pula sang ibu, karena telah memberikan tanda tangan atas nama anaknya secara dusta, ia juga berdosa dan wajib bertobat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan tidak mengulangi hal seperti itu lagi.
( Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, jilid 2, hal. 759-760. )

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatfatwa&id=581