Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Hukum Menikah Di Luar Negeri Dengan Niat Talak Dan Bedanya Dengan Nikah Mut’ah
Jumat, 02 April 04

Tanya :

Ada sebagian kaum Muslimin yang bepergian jauh ke luar negeri untuk studi atau keperluan lainnya. Apakah boleh bagi mereka menikah di sana dengan niat thalak? Lalu apa bedanya nikah seperti itu dengan nikah mut’ah? Saya memohon penjelasannya.

Jawab :

Menikah di luar negeri itu mengandung bahaya besar dan sangat berbahaya, maka tidak boleh pergi ke luar negeri kecuali dengan syarat-syarat yang penting. Sebab pergi ke luar negeri itu dapat menyebabkan kekafiran kepada Allah dan dapat menjerumuskan kepada kemaksiatan, seperti minum minuman keras (khamar), melakukan zina dan tindak keja-hatan lainnya. Maka dari itulah para ulama menegaskan haramnya beper-gian ke negara-negara kafir, sebagai pengamalan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :

ÃóäóÇ ÈóÑöíúÁñ ãöäú ßõáøö ãõÓúáöãò íõÞöíúãõ Èóíúäó ÃóÙúåõÑö ÇáúãõÔúÑößöíúäó.

“Aku tidak bertanggung jawab atas setiap Muslim yang bermukim (tinggal) di tengah-tengah masyarakat musyrikin.”

Bermukim di tengah-tengah masyarakat kafir itu sangat berbahaya sekali, apakah itu untuk keperluan tourism, studi, perniagaan maupun lainnya. Maka mereka yang musafir dari kalangan pelajar SLTA atau SLTP atau untuk studi di perguruan tinggi menghadapi bahaya yang sangat besar. Maka kewajiban negara adalah memberikan jaminan dapat belajar di dalam negeri, dan tidak mengizinkan mereka pergi ke luar negeri karena banyak mengandung resiko dan bahaya yang sangat besar bagi mereka.

Banyak sekali keburukan yang lahir dari situ, seperti riddah (murtad), meremehkan maksiat zina dan minuman keras, dan yang lebih dari itu adalah meninggalkan shalat, sebagaimana telah menjadi maklum bagi siapa saja yang memperhatikan kondisi orang-orang yang suka bepergian ke luar negeri, kecuali mereka yang dibelaskasihi Allah, dan itu pun sangat sedikit sekali. Maka wajib mencegah mereka dari hal-hal tersebut dan hendaknya tidak diperbolehkan ke luar negeri kecuali orang-orang tertentu saja dari kalangan orang-orang yang dikenal komit dalam beragama, beriman dan mempunyai ilmu bila untuk kepentingan dakwah atau mendalami spesialisasi suatu disiplin ilmu yang memang dibutuhkan oleh negara Islam.


Dan Hendaknya bagi musafir yang dikenal mempunyai ilmu, keunggulan dan iman, wajib tetap istiqamah agar dapat berdakwah kepada Allah atas dasar bashirah dan mempelajari sebagaimana mestinya apa yang dibebankan kepadanya. Ada pengecualian lain, yaitu terpaksa harus mempelajari disiplin ilmu tertentu di mana tidak ada orang yang mempelajarinya dan tidak mudah untuk mendatangkan tenaga pengajar ke dalam negeri. Maka orang yang diutus untuk belajar itu adalah orang yang dikenal konsisten dalam beragama, mempunyai bekal iman yang cukup dan mempunyai keunggulan, sebagaimana kami sebut di atas.

Adapun tentang menikah dengan niat talak (cerai) terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Di antara mereka ada yang mengha-ramkannya, seperti Imam Al-Auza’i Rahimahullaah dan sederet ulama lainnya. Mereka mengatakan bahwa nikah dengan niat talak itu serupa dengan nikah mut’ah. Maka hendaknya seseorang tidak melakukan pernikahan dengan niat akan menceraikannya dikemudian hari. Demikian pendapat mereka.

Mayoritas Ahlul ‘ilm (ulama), sebagaimana dicatat oleh Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah Rahimahullaah di dalam karya besarnya “al-Mughni” membolehkannya jika niatnya (hanya diketahui) dia dan Allah saja dan tanpa syarat. Maka jika seseorang melakukan perjalanan jauh untuk studi atau pekerjaan lainnya, sedangkan ia mengkhawatirkan dirinya (akan terjerumus ke dalam zina. pen), maka boleh menikah sekalipun dengan niat akan menceraikannya apabila tugasnya selesai. Pendapat ini yang lebih kuat apabila niatnya hanya antara dia dengan Allah saja tanpa suatu syarat dan tidak diberitahukan kepada istri atau walinya; dan yang tahu hanya Allah saja. Jumhur (mayoritas) ulama membolehkan hal tersebut, sebagaimana dijelaskan dan itu sama sekali tidak termasuk mut’ah, karena niatnya hanya diketahui dia dan Allah saja dan nikah tersebut dilakukan tanpa syarat.

Sedangkan nikah mut’ah ada keterikatan dengan syarat, seperti hanya untuk satu bulan, dua bulan, setahuan atau dua tahun saja, yang disepakati antara laki-laki yang menikah dengan keluarga istri atau antara dia dengan istri itu sendiri. Nikah yang seperti ini disebut nikah mut’ah dan hukumnya haram, sebagaimana ijma’ ulama, dan tidak ada yang menganggapnya enteng kecuali Rafidhah (Syi’ah). Memang pada awal Islam itu diperbolehkan, namun kemudian dihapus dan diharamkan oleh Allah hingga hari kiamat, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh hadits-hadits shahih.

Adapun menikah di suatu negeri yang ia datang ke sana untuk belajar (studi) atau ia datang ke sana sebagai duta atau karena sebab lainnya yang membolehkan ia bepergian ke negeri kafir, maka baginya boleh menikah dengan niat akan menceraikannya apabila ia akan kembali ke negaranya, sebagaimana dijelaskan di muka, apabila ia butuh nikah karena khawatir terhadap dirinya (akan perbuatan zina). Akan tetapi meninggalkan niat seperti itu lebih baik, sebagai sikap hati-hati di dalam beragama dan supaya keluar dari perbedaan pendapat para ulama, dan juga sebenarnya niat seperti itu tidak diperlukan. Sebab nikah itu sendiri tidak merupakan sesuatu yang terlarang dari talak bila memang ada maslahatnya sekalipun tidak ada niat talak ketika akan menikah.
( Majmu’ Fatawa wa Maqulat Islamiyah, jilid 5, hal. 41-43. Oleh Syaikh bin Baz. )

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatfatwa&id=658