Artikel : Fiqih - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Akad Nikah

Senin, 11 Maret 13


Akad nikah seperti akad lainnya berpijak kepada keinginan dan kerelaan kedua belah pihak, manakala asal kerelaan adalah hati yang tidak diketahui, maka dibutuhkan ucapan yang menunjukkannya. Lafazh yang mewujudkan akad dan menunjukkan kerelaan kedua belah pihak disebut dengan ijab dan qabul, keduanya merupakan dua rukun akad dengan kesepakatan para ulama.

Ijab adalah lafazh yang diucapkan oleh wali untuk mengungkapkan keinginannya dalam menegakkan hubungan pernikahan, sedangkan qabul adalah lafazh yang diucapkan oleh pelamar untuk mengungkapkan penerimaannya terhadap ucapan wali.

Syarat Shighat Akad

1- Ijab dengan lafazh nikah dan kawin, ini tanpa perbedaan. Bagaimana bila dengan lafazh selain itu seperti hibah, beri, serah dan lainnya? Misalnya wali berkata, “Saya serahkan fulanah binti fulan… Apakah akad sah?

Madzhab Hanafi dan Maliki mensahkan, karena Nabi pernah menikahkan seorang wanita dengan ucapan, “Aku menetapkanmu memilikinya dengan al-Qur`an yang ada padamu.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Sahal bin Saad. Sedangkan madzhab Syafi'i dan Hanbali tidak mensahkan, mereka hanya membatasi pada lafazh nikah dan kawin, karena al-Qur`an hanya menyebutkan dua lafazh ini maka ia harus dibatasi pada keduanya.

Harus dengan bahasa Arab? Bila kedua pihak atau salah satunya tidak berbicara Arab, maka sah dengan bahasa yang dipahami dengan kesepakatan. Bila keduanya mampu, maka madzhab Syafi'i dan Hanbali tidak membolehkan kecuali dengan bahasa Arab. Pendapat yang shahih boleh dan sah, karena tujuan akad adalah apa yang menjadi maksudnya dan Allah tidak menetapkan lafazh akad sebagai ibadah mahdhah yang tak boleh diubah.

2- Shighat akad bersifat langsung bukan menggantung, langgeng bukan temporal, tidak sah berkata, “Bila kamu lulus maka aku menikahkanmu dengan anakku.” Atau, “Aku menikahkanmu dengan anakku sekian hari.”

3- Qabul sesuai dengan ijab, bila menyelisihi maka tidak sah. Wali berkata, “Saya menikahkanmu dengan anakku Zaenab binti fulan….” Lalu pelamar menjawab, “Saya terima nikah putri bapak Aisyah binti….” Tidak sah. Atau wali berkata, “Dengan mahar sekian dibayar tunai.” Lalu pelamar menjawab, “Dengan mahar sekian dibayar hutang.”

4- Ijab dan qabul bersambung, hal ini terwujud bila ijab dan qabul dilakukan di satu majlis akad. Syafi'iyah mengharuskan qabul langsung tanpa tenggat waktu, sementara Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah membolehkan adanya tenggat waktu antara ijab dan qabul.

Para fuqaha mensyaratkan satu majlis karena saat itu tidak dibayangkan adanya ijab dan qabul yang bersambung dari dua tempat yang berbeda, adapun di zaman ini, maka hal ini mungkin, sehingga tidak ada penghalang melangsungkan akad dengan perbedaan tempat, karena ijab dan qabul tetap bisa bersambung.

5- Wali tidak membatalkan ijabnya sebelum pelamar mengucapkan qabul, jumhur fuqaha berpendapat bahwa ijab belum mengikat, bila wali membatalkannya maka akad batal, tidak sah. Demikian juga bila salah satu pihak wafat sesudah ijab dan sebelum qabul, maka akad belum sah menurut jumhur.

Syarat Kedua Pihak

1- Kompetensi kedua belah pihak untuk melakukan akad: dewasa, berakal dan bertindak lurus.

2- Pemilik hak untuk melakukan akad: wali sah dan pelamar sah atau wakil keduanya.

3- Kerelaan kedua belah pihak tanpa paksaan.

4- Istri dan suami diketahui dan ditentukan, bila wali berkata, “Saya menikahkanmu dengan seorang anakku.” Padahal dia memiliki lebih dari satu anak, maka tidak sah.

5- Bebasnya istri dan suami dari faktor penghalang pernikahan. Wallahu a'lam.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatfiqih&id=323