Artikel : Kajian Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Pendidikan Anak Dalam Islam
oleh :

Kedua : Kaidah-kaidah dan Permasalahan Tentang Shufrah, Kudrah dan al-Qushatul Baidha'

shufrah adalah sesuatu yang seperti nanah dan didominasi warna kuning.

kudrah adalah seperti warna air yang kotor, dan tidak menyerupai salah satu dari warna-warna darah, atau seperti air yang bercampur dengan warna merah. Ia keluar semisal warna coklat pada umumnya.

Pertanyaan: Dengan apa seorang wanita mengetahui masa sucinya?

1. Dengan al-qushshahtul baidha’ (lendir putih), yaitu cairan berwarna putih yang keluar karena tekanan rahim pada saat darah haidh berhenti.

2. Atau dengan jafaf (keringnya kemaluan), yaitu dengan memasukkan sapu tangan (tissue), maka ketika dikeluarkan, sapu tangan (tissue) tersebut tetap dalam keadaan kering.

Pengertian jafaf di sini adalah tidak ada lagi darah sedikit pun. Juga tidak ada shufrah dan kudrah, sebab kemaluan wanita tidak pernah terlepas dari kondisi basah secara umum.

Kaidah-kaidah dan Permasalahan shufrah, Kudrah dan al-Qushshatul Baidha'

  • shufrah dan kudrah yang keluar pada masa haidh, maka ia termasuk haidh.

    Misalnya: Seorang wanita biasa haidh selama lima hari, lalu pada satu bulan tertentu atau seterusnya ia mengeluarkan darah selama dua hari, lalu pada hari ke tiga keluar shufrah dan kudrah, kemudian dua hari terakhir keluar darah, maka berarti masa lima hari keseluruhanya adalah masa haidh.

  • shufrah dan kudrah jika bersambung dengan hari-hari haidh sebelum masa suci, maka ia termasuk haidh.

    Misalnya: Seorang wanita mengalami haidh selama lima hari, lalu setelah itu keluar shufrah dan kudrah selama dua hari, lalu keluar lendir putih, maka itu berarti masa tujuh hari keseluruhannya adalah masa haidh.

  • shufrah dan kudrah tidak dianggap apa-apa setelah masa suci.

    Misalnya: Seorang wanita selesai dari haidh, lalu ia melihat tanda suci, dan setelah itu ia mendapati shufrah dan kudrah, maka ini bukanlah haidh. Namun shufrah dan kudrah ketika itu dianggap sebagai istihadhah. Hendaknya ia berwudhu di setiap waktu shalat dan membersihkan pakaian yang terkena cairan tersebut.

    Kaidah: shufrah dan kudrah apabila terjadi pada masa haidh atau bersambung dengannya sebelum datangnya masa suci, maka ia dianggap sebagai haidh. Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata, "Kami tidak menganggap shufrah dan kudrah sebagai haidh setelah masa suci." ( Riwayat al-Bukhari dan Abu Dawud, dan lafazh ini adalah miliknya dengan tambahan ini)

  • shufrah dan kudrah yang terjadi sebelum keluarnya darah atau terjadi pada masa haidh dengan disertai rasa sakit ketika haidh, atau ia datang sebelum keluarnya darah secara terus-menerus, maka dianggap sebagai haidh, dengan rincian sebagai berikut:

    a). Jika shufrah dan kudrah keluarnya tersendat-sendat sebelum datangnya haidh dengan disertai rasa sakit ketika haidh, maka ia dianggap haidh.

    Misalnya: Jika seorang wanita melihat shufrah dan kudrah dalam jangka waktu satu hari atau dua hari atau pun tiga hari dengan disertai rasa sakit sebagaimana rasa sakit waktu haidh, lalu datang kepadanya haidh, maka tiga hari yang pertama sebelum haidh juga dianggap haidh.

    b). Jika shufrah dan kudrah keluar secara terputus-putus sebelum masa haidh tanpa disertai rasa sakit waktu haidh, maka dihitung sebagai istihadhah.

    c). Jika shufrah dan kudrah keluar terus-menerus hingga datangnya haidh, maka ia dianggap haidh.

    Misalnya: Seorang wanita melihat shufrah dan kudrah selama tiga hari terus-menerus, lalu pada hari keempat ia mengalami haidh, maka tiga hari sebelumnya adalah haidh juga.

    d). Jika shufrah dan kudrah keluar pada hari pertama haidh dengan disertai rasa sakit waktu haidh, maka dianggap sebagai haidh.

  • Keluarnya garis/benang tipis berwarna hitam pada cairan pada hari-hari pertama haidh dengan disertai rasa sakit, maka dianggap sebagai haidh dengan syarat keluarnya garis-garis/benang-benang tipis pada cairan itu secara terus menerus dengan tidak ada masa kering. Adapun jika garis-garis/benang-benang tipis itu keluar, lalu berhenti, maka ia bukan haidh, sebab haidh itu tidak terjadi kurang dari sehari semalam sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

  • Jika seorang wanita melihat tanda suci berupa al-qushshatul baidha' (lendir putih), lalu mengalami shufrah dan kudrah, lalu keluar al-qushshatul baidha', kemudian shufrah dan kudrah, maka al-qush-shatul baidha' (lendir putih) yang pertama adalah tanda masa suci.

  • Jika warna shufrah dan kudrah yang bersambung dengan darah haidh berubah secara perlahan-lahan dari warna coklat ke warna kuning, dan terjadi terus-menerus, maka hendaknya seorang wanita menunggu sampai ia melihat masa suci [keluarnya al-qushshatul baidha' (lendir putih) atau jafaf (keringnya kemaluan)].

    Adapun jika meningkat kepada warna kuning akan tetapi berhenti, dan ia tidak melihatnya kecuali hanya sekali saja, misalnya dalam sehari, sedangkan keluarnya lendir putih mengalami keterlambatan, misalnya tiga hari, maka masa suci terjadi ketika awal melihat warna kuning yang berhenti itu.

Memeriksa Masa Suci

Sebagian Salaf mengatakan, “Bukan merupakan keharusan bagi seorang wanita untuk memeriksa masa sucinya di malam hari dan itu tidak aku sukai, sedangkan saat itu manusia tidak memiliki lampu, sebagaimana dikatakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dan selainnya. Akan tetapi yang harus baginya ialah melakukannya pada saat ingin tidur atau melakukan shalat Shubuh dan hendaknya ia melihat pada waktu-waktu shalat. Mencari masa suci ketika malam hari bukan termasuk amalan orang-orang."

Tata Cara Mandi yang Sempurna dan Disunnahkan Ketika Selesai dari haidh, Nifas dan Junub, dan Juga Ketika Ihram untuk Haji dan Umrah:

  • Hendaknya ia berniat di dalam hatinya.

  • Lalu membaca bismillah, mencuci tangannya tiga kali, dan mencuci kemaluannya.

  • Kemudian berwudhu secara sempurna.

  • Lalu menuangkan air di kepalanya (hingga membasahi pangkal rambut/kulit kepala)

  • Kemudian membasuh bagian tubuh yang kanan, bagian depan dan belakangnya, serta menggosok dengan dua tangannya.

  • Kemudian membasuh bagian tubuh sebelah kiri, bagian depan dan belakang, serta menggosok dengan dua tangannya.

Sedangkan mandi yang dianggap sah adalah mencuci kemaluan, lalu berkumur dan beristinsyaq (memasukkan air ke hidung), lalu menyiramkan air ke seluruh tubuh dengan niat bersuci dari haidh, nifas atau janabah.

Peringatan:

  • Inilah tata cara mandi yang sempurna dan tata cara mandi yang dianggap sah, yang memungkinkan seorang wanita bisa mendirikan shalat setelahnya, setelah ia mengalami hadats besar (haidh, nifas atau janabah saja), dan cukup baginya tanpa berwudhu.

  • Jika seorang wanita sedang junub, lalu mengalami haidh, maka hendaklah ia mandi dari janabah untuk meringankan junub, dan setelah itu memungkinkan dia untuk membaca al-Qur'an.

Faidah 1:

Disunnahkan bagi orang yang mandi dari haidh untuk mengusapkan kapas yang dilumuri misik pada tempat keluarnya darah, berdasarkan ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anha,

ÓóÃóáóÊú ÇöãúÑóÃóÉñ ÇáäóøÈöíóø Õóáóøì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáóøãó¡ ßóíúÝó ÊóÛúÊóÓöáõ ãöäú ÍóíúÖóÊöåóÇ¿ ÝóÐó ßóÑóÊú Ãóäóøåõ ÚóáóøãóåóÇ ßóíúÝó ÊóÛúÊóÓöáõ Ëõãóø ÊóÃú ÎõÐõ ÝöÑúÕóÉð ãöä ãöÓúßò ÝóÊóØóåóøÑõ ÈöåóÇ. ÞóÇáóÊú: ßóíúÝó ÃóÊóØóåóøÑõ ÈöåóÇ¿ ÞóÇáó: ÊóØóåóøÑöí ÈöåóÇ ÓõÈúÍóÇäó Çááåö. ÝóÞõáúÊõ: ÊóÊóÈóøÚöìú ÈöåóÇ ÃóËóÑó ÇáÏóøãö.

"Salah seorang wanita bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang bagaimana cara mandi dari haidh? Maka dia mengatakan bahwasanya beliau (Nabi) telah mengajarkan kepadanya tata cara mandi, dan memerintahkannya untuk mengambil firshatu misik (sepotong kapas/ kain yang diberi misik) dan membersihkan (bersuci) dengannya. Wanita itu bertanya, "Bagaimanakah aku bersuci dengannya?" Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, "(Bagaimana) engkau bersuci dengannya, subhanallah. Maka aku berkata, "Usapkanlah kapas tersebut ke daerah bekas keluarnya darah." (HR. Muslim)

Arti Kosa Kata:

Firshatu misik; Yaitu sepotong kapas yang digunakan seorang wanita untuk mengusap darah haidh, artinya ia mengambil potongan kapas yang telah diolesi misik (cair atau padat).

Usapkanlah kapas tersebut ke daerah bekas keluarnya darah; Jumhur Ulama mengatakan, “Yang dimaksud adalah farj (kemaluan)”.

Ia mengambil misik dan mengoleskannya di kapas dan semisalnya, lalu mengoleskannya pada kemaluannya. Jika tidak mendapati misik, maka cukup dengan minyak wangi.

Hikmah dari hal tersebut adalah:
1. Dikatakan bahwa tujuannya adalah supaya aroma darah hilang.
2. Dikatakan juga, karena ia akan mempercepat mendapatkan anak.
3. Dikatakan juga dapat menghentikan keluarnya cairan kotor (cairan keputihan/kekuningan dari vagina).
4. Mempermudah bagi wanita setelah itu untuk mengetahui masa sucinya dengan adanya lendir putih atau jafaf (keringnya kemaluan).

Peringatan:

Sebaiknya wanita melakukan amalan sunnah ini, walaupun ia seorang yang masih dalam masa iddah (masa menunggu) karena kematian suaminya, kecuali bagi wanita yang sedang melakukan ihram untuk melaksanakan ibadah Haji atau Umrah.

Faidah 2:

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

)æóÇáúãöÓúßõ ÃóØúíóÈõ ÇáØöøíúÈö)

"Misik adalah minyak wangi yang paling baik. (HR. Muslim dari hadits Abu Sa'id al-Khudri)

Misik merupakan minyak wanginya surga. Dan di antara manfaatnya adalah menjadikan keringat wangi, memperindah anggota badan, mencegah bau yang tidak enak yang keluar dari dalam pencernaan, menguatkan jantung, menyenangkan, memperbaiki pikiran, menghilangkan bisikan jiwa, memberikan manfaat bagi yang terkena sakit kepala, mencerdaskan otak, memberikan manfaat dari seluruh penyakit dingin, menghentikan kerjanya racun dan lain sebagainya. ( Faidhul Qadir, oleh Al-Manawi, 1/547 dengan beberapa perubahan)

Tanya: Sebagian wanita mengeluhkan terjadinya rasa jenuh, lalai, keras hati pada saat masa haidh atau nifas dengan sebab mereka tidak mendirikan shalat dan berpuasa pada masa ini, maka bagaimanakah cara penyembuhannya?

Jawab: Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala melarang mereka mendirikan shalat dan berpuasa adalah sebagai rahmat bagi mereka, sebab Dia adalah yang paling Penyayang di antara yang penyayang. Akan tetapi jalan-jalan kebaikan amatlah banyak –alhamdulillah-, maka seorang Muslimah hendaknya menempuh jalan-jalan itu supaya tetap dekat dengan Rabbnya dalam seluruh keadaannya, seperti dengan cara membaca al-Qur'an melalui hafalannya, atau dengan pemisah yang suci misalnya sarung tangan dan selainnya, ber-dzikir dan beristighfar, menjawab mu’adzin, berdoa, berbuat baik kepada kedua orang tua, silaturrahim, membantu kesulitan orang, memberi buka puasa orang yang berpuasa, menjenguk orang sakit, mendengarkan kaset yang bermanfaat, menghadiri majlis-majlis ilmu, dan jika ia hendak melakukan suatu urusan, maka ia boleh membaca doa istikharah dengan tanpa melakukan shalat.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexkajian&id=1§ion=kj001