Artikel : Kajian Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Pendidikan Anak Dalam Islam
oleh :

Bahasan Keempat : Aqidah Imam Syafi’i

A. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Tauhid

  • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut salah satu asma’ Allah, kemudian melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat. Dan barangsiapa yang bersumpah dengan menyebutkan selain Allah, misalnya, “Demi Ka’bah”, “Demi ayahku” dan sebagainya, kemudian melanggar sumpah itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat.”

    Begitu pula apabila ia bersumpah dengan mengatakan “Demi umurku”, ia tidak wajib membayar kaffarat. Namun, bersumpah dengan menyebut selain Allah adalah haram, dan dilarang berdasarkan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya Allah melarang kami untuk bersumpah dengan menyebut nenek moyang kamu. Siapa yang hendak bersumpah, maka bersumpahlah dengan menyebut asma Allah, atau lebih baik diam saja.” [1]

    Imam Syafi’i beralasan bahwa asma’-asma’ Allah itu bukan makhluk, karenanya siapa yang bersumpah dengan menyebut asma’ Allah, kemudian ia melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat. [2]

  • Imam Ibn al-Qayyim menuturkan dalam kitabnya Ijtima’ al-Juyusy, sebuah riwayat dari Imam Syafi’i, bahwa beliau berkata: “Berbicara tentang Sunnah yang menjadi pegangan saya, shahib-shahib (murid-murid) saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan saya ambil ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik, dan lain-lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, serta bersaksi bahwa Allah di atas ‘Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah, dan Allah itu turun ke langit terdekat kapan saja Allah berkehendak.” [3]

  • Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dari al-Muzani, katanya: “Apabila ada orang yang mengeluarkan unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid yang ada dalam hati saya, maka itu adalah Imam Syafi’i.”

    Saya pernah mendengar di Masjid Cairo dengan beliau, ketika saya mendebat di depan beliau, dalam hati saya terdapat unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid. Kata hatiku, saya tahu bahwa seseorang tidak akan mengetahui ilmu yang ada pada diri Anda, maka apa yang sebenarnya yang ada pada diri Anda?

    Tiba-tiba beliau marah, lalu bertanya: “Tahukah kamu, di mana kamu sekarang?” Saya menjawab, “Ya”. Beliau berkata, “Ini adalah tempat di mana Allah menenggelamkan Fir’aun. Apakah kamu tahu bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh bertanya masalah yang ada dalam hatimu itu?”. “Tidak”, jawab saya. “Apakah para sahabat pernah membicarakan masalah itu?”, tanya beliau lagi. “Tidak pernah”, jawab saya. “Berapakah jumlah bintang di langit?”, tanya beliau lagi. “Tidak tahu”, jawab saya. “Apakah kamu tahu jenis bintang-bintang itu, kapan terbitnya, kapan terbenamnya, dari bahan apa bintang itu diciptakan?”, tanya beliau. “Tidak tahu” jawab saya. “Itu masalah makhluk yang kamu lihat dengan mata kepalamu, ternyata kamu tidak tahu. Mana mungkin kamu mau membicarakan tentang ilmu Pencipta makhluk itu”, kata beliau mengakhiri.

    Kemudian beliau menanyakan kepada saya tentang masalah wudhu’, ternyata jawaban saya salah. Beliau lalu mengembangkan masalah itu menjadi empat masalah, ternyata jawaban saya juga tidak ada yang benar. Akhirnya beliau berkata: “Masalah yang kamu perlukan tiap hari lima kali saja tidak kamu pelajari. Tetapi kamu justru berupaya untuk mengetahui ilmu Allah ketika hal itu berbisik dalam hatimu. Kembali saja kepada firman Allah :

    æóÅöáóåõßõãú Åöáóåñ æóÇÍöÏñ áóÇ Åöáóåó ÅöáóøÇ åõæó ÇáÑóøÍúãóäõ ÇáÑóøÍöíãõ (163) Åöäóø Ýöí ÎóáúÞö ÇáÓóøãóÇæóÇÊö æóÇáúÃóÑúÖö æóÇÎúÊöáóÇÝö Çááóøíúáö æóÇáäóøåóÇÑö æóÇáúÝõáúßö ÇáóøÊöí ÊóÌúÑöí Ýöí ÇáúÈóÍúÑö ÈöãóÇ íóäúÝóÚõ ÇáäóøÇÓó æóãóÇ ÃóäúÒóáó Çááóøåõ ãöäó ÇáÓóøãóÇÁö ãöäú ãóÇÁò ÝóÃóÍúíóÇ Èöåö ÇáúÃóÑúÖó ÈóÚúÏó ãóæúÊöåóÇ æóÈóËóø ÝöíåóÇ ãöäú ßõáöø ÏóÇÈóøÉò æóÊóÕúÑöíÝö ÇáÑöøíóÇÍö æóÇáÓóøÍóÇÈö ÇáúãõÓóÎóøÑö Èóíúäó ÇáÓóøãóÇÁö æóÇáúÃóÑúÖö áóÂóíóÇÊò áöÞóæúãò íóÚúÞöáõæäó

    “Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Satu. Tidak ada Tuhan (yang Haq) selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (gersang) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah : 163-164)

    “Karenanya”, lanjut Imam Syafi’i, “Jadikanlah makhluk itu sebagai bukti atas kekuasaan Allah, dan janganlah kamu memaksa-maksa diri untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh akalmu.” [4]

  • Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Yunus bin Abdul A’la, katanya: “Apabila kamu mendengar ada orang berkata bahwa nama itu berlainan dengan apa yang diberi nama, atau sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu, maka saksikanlah bahwa orang itu adalah kafir zindiq”

  • Dalam kitabnya ar-Risalah, Imam Syafi’i berkata: “Segala puji bagi Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan di atas yang disifati oleh makhluk-Nya.”

  • Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lam an Nubala’ menuturkan dari Imam Syafi’i, kata beliau: “Kita menerapkan sifat-sifat Allah ini sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kita meniadakan tasybih (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), sebagaimana Allah juga meniadakan tasybih itu dalam firman-Nya:

    áóíúÓó ßóãöËúáöåö ÔóíúÁñ

    “Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura : 11) [5]

  • Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i berkata tentang firman Allah :

    ßóáóøÇ Åöäóøåõãú Úóäú ÑóÈöøåöãú íóæúãóÆöÐò áóãóÍúÌõæÈõæäó

    “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (al-Muthaffifin : 15)

    “Ayat ini memberitahu kita bahwa pada Hari Kiamat nanti ada orang-orang yang tidak terhalang, mereka dapat melihat Allah dengan jelas.” [6]

  • Imam al-Lalaka’i menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya: “Saya datang ke rumah Imam Syafi’i, ketika itu ada sebuah pertanyaan kepada beliau: “Apakah pendapat Anda tentang firman Allah dalam surat al-Muthaffifin ayat 15, yang artinya, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya?.”
    Imam Syafi’i menjawab, “Apabila orang- orang itu tidak dapat melihat Allah karena dimurkai Allah, maka ini merupakan dalil bahwa orang-orang yang diridhai Allah akan dapat melihat-Nya.”
    Ar-Rabi’ lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, apakah Anda berpendapat seperti itu?. “Ya, saya berpendapat seperti itu, dan itu saya yakini kepada Allah”, begitu jawab Imam Syafi’i. [7]

  • Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan, katanya, di hadapan Imam Syafi’i ada orang yang menyebut-nyebut nama Ibrahim bin Isma’il bin Ulayah. Kemudian Imam Syafi’i berkata: “Saya berbeda pendapat dengan dia dalam segala hal. Begitu pula dalam kalimat “La ilaha illallah”. Saya tidak berpendapat seperti pendapatnya. Saya mengatakan, bahwa Allah berfirman kepada Nabi Musa secara langsung tanpa penghalang. Sedangkan dia mengatakan, ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa, Allah menciptakan ucapan-ucapan yang kemudian dapat didengar oleh Nabi Musa secara tidak langsung (ada penghalang).” [8]

  • Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari ar Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk, maka dia telah menjadi kafir.” [9]

  • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i, “Benarkah al-Qur’an itu itu Khaliq (pencipta)?”, Jawab beliau, “Tidak benar”. “Apakah al-Qur’an itu makhluk?”, tanyanya lagi. “Tidak”, jawab Imam Syafi’i. “Apakah al-Qur’an itu bukan makhluk?”, tanyanya lagi “Ya, begitu”, jawab Imam Syafi’i.
    Orang tadi bertanya lagi: “Mana buktinya bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk?”. Imam Syafi’i kemudian mengangkat kepala, dan ia berkata: “Maukah kamu mengakui bahwa al-Qur’an itu Kalam Allah?”. “Ya, mau”, kata orang tadi. Kemudian Imam Syafi’i berkata, “Kamu telah didahului oleh ayat:

    æóÅöäú ÃóÍóÏñ ãöäó ÇáúãõÔúÑößöíäó ÇÓúÊóÌóÇÑóßó ÝóÃóÌöÑúåõ ÍóÊóøì íóÓúãóÚó ßóáóÇãó Çááóøåö

    “Dan jika di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepada kamu, maka lindungilah ia, supaya ia sempat mendengar Kalam Allah.” (At-Taubah : 6)

    æóßóáóøãó Çááóøåõ ãõæÓóì ÊóßúáöíãðÇ

    “Dan Allah telah berbicara dengan Musa secara langsung.” (An-Nisa’ : 164)
    Imam Syafi’i kemudian berkata lagi kepada orang tersebut: “Maukah kamu mengakui bahwa Allah itu ada dan demikian pula Kalam-Nya? Atau Allah itu ada, sedangkan Kalam-Nya belum ada ?”. Orang tadi menjawab, ”Allah ada, begitu pula Kalam-Nya.”
    Mendengar jawaban itu Imam Syafi’i tersenyum, lalu berkata: “Wahai orang-orang Kufah, kamu akan membawakan sesuatu yang agung kepadaku, apabila kamu mengakui bahwa Allah itu ada sejak masa azali, begitu pula Kalam-Nya. Lalu dari mana kamu pernah punya pendapat bahwa Kalam itu Allah atau bukan Allah?”. Mendengar penegasan Imam Syafi’i itu, orang tadi terdiam, kemudian keluar. [10]

  • Dalam kitab Juz al-I’tiqad yang disebut-sebut sebagai karya Imam Syafi’i dari riwayat Abu Thalib al-‘Isyari, ada sebuah keterangan sebagai berikut:
    “Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah, dan hal-hal yang perlu diimani, jawab beliau, “Allah Tabaraka wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang siapa pun dari umatnya tidak boleh menyimpang dari ketentuan seperti itu setelah memperoleh keterangan (hujjah). Apabila ia menyimpang dari ketentuan setelah ia memperoleh hujjah tersebut, maka kafirlah dia. Namun apabila ia menyimpang dari ketentuan sebelum ia memperoleh hujjah, maka hal itu tidak apa-apa baginya. Ia dimaafkan karena ketidaktahuannya itu. Sebab untuk mengetahui sifat-sifat Allah itu tidak mungkin dilakukan oleh akal dan fikiran, tetapi hanya berdasarkan keterangan-keterangan dari Allah. Bahwa Allah itu mendengar, Allah mempunyai dua tangan:

    Èóáú íóÏóÇåõ ãóÈúÓõæØóÊóÇäö

    “Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka.” (Al-Maidah : 64)

    Dan Allah itu mempunyai tangan kanan:

    æóÇáÓóøãÇæóÇÊõ ãóØúæöíóøÇÊñ Èöíóãöíäöåö

    “Dan langit itu dilipat tangan kanan Allah”. (az-Zumar: 67)

    Dan Allah juga punya wajah:

    ßõáõø ÔóíúÁò åóÇáößñ ÅöáóøÇ æóÌúåóåõ

    “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah Allah.” (al-Qashash : 88)

    æóíóÈúÞóì æóÌúåõ ÑóÈöøßó Ðõæ ÇáúÌóáóÇáö æóÇáúÅößúÑóÇãö

    “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman : 27)

    Allah juga mempunyai telapak kaki, ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

    ÍóÊóøì íóÖóÚó ÇáÑóøÈõø ÚóÒóøæóÌóáóø ÝöíúåóÇ ÞóÏúãóåõ

    “Sehingga Allah meletakkan telapak kaki-Nya di Jahanam.” [11]

    Allah tertawa terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang yang terbunuh dalam Jihad fi sabilillah, bahwa “kelak akan bertemu dengan Allah, dan Allah tertawa kepadanya.” [12]

    Allah turun setiap malam ke langit yang terdekat dengan bumi, berdasarkan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu. Mata Allah tidak pecak sebelah, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan, bahwa “Dajjal itu pecak sebelah matanya, sedangkan Allah tidak pecak mata-Nya.” [13]

    Orang-orang mukmin kelak akan melihat Allah pada hari kiamat dengan mata kepala mereka, seperti halnya mereka melihat bulan purnama. Allah juga punya jari-jemari, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

    ãóÇ ãöäú ÞóáúÈò ÅöáÇóø åõæó Èóíúäó ÃóÕóÇÈöÚö ÇáÑóøÍúãóäö

    “Tidak ada satu buah hati kecuali ia berada di antara jari-jari Allah ar-Rahman.” [14]

    Pengertian sifat seperti ini, di mana Allah telah mensifati diri-Nya sendiri dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga mensifati-Nya, tidak dapat diketahui hakikatnya oleh akal dan fikiran.

    Orang yang tidak mendengar keterangan tentang hal itu tidak dapat disebut kafir. Apabila ia telah mendengar sendiri secara langsung, maka ia wajib meyakininya seperti halnya kita harus menetapkan sifat-sifat itu tanpa mentasybihkan (menyerupakan) Allah dengan makhluk-Nya, sebagaimana juga Allah tidak menyerupakan makhluk apa pun dengan diri-Nya. Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman :

    áóíúÓó ßóãöËúáöåö ÔóíúÁñ æóåõæó ÇáÓóøãöíÚõ ÇáúÈóÕöíÑõ

    “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11) [15]



B. Pendapat Imam Syafi’i tentang Taqdir

  • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i pernah ditanya tentang taqdir, jawaban beliau :

    Apa yang Engkau kehendaki terjadi
    Meskipun aku tidak menghendaki
    Apa yang aku kehendaki tidak terjadi
    Apabila Engkau tidak menghendaki

    Engkau ciptakan hamba-hamba
    Sesuai apa yang Engkau ketahui
    Maka dalam ilmu-Mu
    Pemuda dan kakek berjalan

    Yang ini Engkau karuniai
    Sementara yang itu Engkau rendahkan
    Yang ini Engkau beri pertolongan
    Yang itu tidak Engkau tolong

    Manusia ada yang celaka
    Manusia juga ada yang beruntung
    Manusia ada yang buruk rupa
    dan ada juga yang bagus rupawan
    [16]

  • Imam al-Baihaqi menuturkan dalam kitab Manaqib asy Sayfi’i, bahwa Syafi’i mengatakan: “Kehendak manusia itu terserah kepada Allah. Manusia tidak berkehendak apa-apa kecuali dikehendaki oleh Allah Rabbul ‘alamin. Manusia itu dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan mereka. Perbuatan-perbuatan itu adalah salah satu makhluk Allah. Taqdir baik maupun buruk, semuanya dari Allah. Adzab kubur itu hak (benar), pertanyaan kubur juga hak, bangkit dari kubur juga hak, hisab (perhitungan amal) itu juga hak, surga dan neraka juga hak, begitu dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” [17]

  • Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari al-Muzani, katanya, Imam Syafi’i berkata: “Tahukah kamu siapa penganut paham Qadariyah itu? Yaitu orang yang mengatakan bahwa Allah tidak pernah menciptakan sesuatu sampai hal itu dikerjakan orang.” [18]

  • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari asy Syafi’i, beliau berkata: “Kelompok Qadariyah yang oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam disebut sebagai kelompok Majusi dari Umat Islam [19] adalah orang-orang yang berpendapat bahwa Allah itu tidak mengetahui maksiat sampai ada orang yang mengerjakannya.” [20]

  • Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman dari Imam Syafi’i, bahwa beliau tidak mau shalat menjadi makmum di belakang penganut paham Qadariyah. [21]



C. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Iman

  • Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Imam ar-Rabi’, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i berkata: “Iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan keyakinan (i’tiqad) di dalam hati. Tahukah kamu firman Allah:

    æóãóÇ ßóÇäó Çááóøåõ áöíõÖöíÚó ÅöíãóÇäóßõãú

    “Allah tidak menyia-nyiakan iman kamu.” (Al-Baqarah: 143)

    Maksud kata “Imanakum” (iman kamu) adalah shalatmu ketika menghadap ke Baitul Maqdis. Allah menamakan shalat itu iman, dan shalat adalah ucapan, perbuatan dan i’tiqad.” [22]

  • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang bertanya kepada Imam Syafi’i, “Apakah amal yang paling utama?” Imam Syafi’i menjawab: “Yaitu sesuatu yang apabila hal itu tiak ada, maka semua amal tidak akan diterima.” “Apakah itu?”, tanya orang itu lagi. Dijawab oleh Imam Syafi’i, “Yaitu iman kepada Allah di mana tidak ada Tuhan (yang hak disembah) selain Dia. Iman adalah amal yang paling tinggi derajatnya; paling mulia kedudukannya, dan paling bagus buah yang dipetik darinya.”

    Orang tadi bertanya lagi: “Bukankah iman itu ucapan dan perbuatan, atau ucapan tanpa perbuatan?” Imam Syafi’i menjawab: “Iman itu adalah perbuatan untuk Allah, dan ucapan itu merupakan sebagian dari amal tersebut.” Ia bertanya lagi, “Saya belum paham bagaimana itu, coba jelaskan lagi.”

    Imam Syafi’i menjelaskan, “Iman itu memiliki tingkatan-tingkatan, ada iman yang sangat sempurna, ada iman yang berkurang yang jelas kekurangannya dan ada pula iman yang bertambah.” “Apakah iman itu ada yang tidak sempurna, berkurang dan bertambah?”, tanya orang itu. “Ya”, jawab Imam Syafi’i. “Apakah buktinya?”, tanyanya lagi. Imam Syafi’i menjawab, “Allah telah mewajibkan iman atas anggota-anggota badan manusia. Allah membagi iman itu untuk semua anggota badan. Tidak ada satupun anggota badan manusia kecuali telah diserahi iman secara berbeda-beda. Semua itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan Allah.

    Hati misalnya, di mana manusia dapat berfikir dan memahami sesuatu, merupakan “pemimpin” badan manusia. Tidak ada gerak anggota badan kecuali berdasarkan pendapat dan perintah hati. Begitu pula dua biji mata, di mana manusia melihat, dua daun telinga di mana manusia mendengar, kedua tangan yang dipakai untuk memukul, kedua kaki yang dipakai untuk memenuhi keinginan hatinya, lisan yang dipakai untuk berbicara, dan kepala di mana terdapat wajahnya.

    Allah mewajibkan kepada hati akan hal-hal yang tidak diwajibkan kepada lisan. Pendengaran (telinga) diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada mata. Kedua tangan juga mendapat kewajiban yang tidak sama dengan kaki. Begitu pula farji mendapat kewajiban yang tidak sama dengan wajah.

    Adapun kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada hati adalah iman, maka berikrar (mengakui), mengetahui, meyakini, ridha, menyerahkan diri, bahwa tidak ada Tuhan (Yang Hak) selain Allah, Maha Esa Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak memiliki isteri dan anak. Dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, serta mengaku semua yang datang dari Allah, baik Nabi maupun Kitab. Semua itu merupakan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah kepada hati, dan hal itu adalah amal (pekerjaan) hati.

    ãóäú ßóÝóÑó ÈöÇááóøåö ãöäú ÈóÚúÏö ÅöíãóÇäöåö ÅöáóøÇ ãóäú ÃõßúÑöåó æóÞóáúÈõåõ ãõØúãóÆöäñø ÈöÇáúÅöíãóÇäö æóáóßöäú ãóäú ÔóÑóÍó ÈöÇáúßõÝúÑö ÕóÏúÑðÇ ÝóÚóáóíúåöãú ÛóÖóÈñ ãöäó Çááóøåö æóáóåõãú ÚóÐóÇÈñ ÚóÙöíãñ

    “Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (An-Nahl: 106)

    ÃóáóÇ ÈöÐößúÑö Çááóøåö ÊóØúãóÆöäõø ÇáúÞõáõæÈõ

    “Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d :28)

    ãöäó ÇáóøÐöíäó ÞóÇáõæÇ ÂóãóäóøÇ ÈöÃóÝúæóÇåöåöãú æóáóãú ÊõÄúãöäú ÞõáõæÈõåõãú

    “Di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman”, padahal hati mereka tidak beriman.” (Al-Maidah: 41)

    Allah juga berfirman :

    æóÅöäú ÊõÈúÏõæÇ ãóÇ Ýöí ÃóäúÝõÓößõãú Ãóæú ÊõÎúÝõæåõ íõÍóÇÓöÈúßõãú Èöåö Çááóøåõ

    “Dan jika Allah menampakkan apa yang ada dalam hati kamu, atau menyembunyikannya, niscaya Allah akan melakukan hisab (perhitungan) dengan kamu tentang perbuatan itu.” (Al-Baqarah: 284)

    Maka keimanan seperti itulah yang diwajibkan oleh Allah kepada hati, dan itu adalah pekerjaan hati; dan juga merupakan pangkal iman.

    Allah juga mewajibkan kepada lisan, yaitu mengucapkan dan menyebutkan apa yang telah diikrarkan dan diyakini di dalam hati. Allah berfirman:

    ÞõæáõæÇ ÂóãóäóøÇ ÈöÇááóøåöþ

    “Ucapkanlah, “Kami beriman kepada Allah,” (Al-Baqarah: 136)

    Allah juga berfirman:

    þ æóÞõæáõæÇ áöáäóøÇÓö ÍõÓúäðÇ

    “Dan katakanlah yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)

    Itulah ucapan-ucapan yang diwajibkan oleh Allah kepada lisan, yaitu mengatakan yang ada dalam hati. Dan hal itu merupakan pekerjaan lisan, dan keimanan yang diwajibkan kepadanya.

    Allah juga mewajibkan kepada telinga (pendengaran) untuk tidak mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Allah berfirman:

    æóÞóÏú äóÒóøáó Úóáóíúßõãú Ýöí ÇáúßöÊóÇÈö Ãóäú ÅöÐóÇ ÓóãöÚúÊõãú ÂóíóÇÊö Çááóøåö íõßúÝóÑõ ÈöåóÇ æóíõÓúÊóåúÒóÃõ ÈöåóÇ ÝóáóÇ ÊóÞúÚõÏõæÇ ãóÚóåõãú ÍóÊóøì íóÎõæÖõæÇ Ýöí ÍóÏöíËò ÛóíúÑöåö Åöäóøßõãú ÅöÐðÇ ãöËúáõåõãú

    “Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” (An-Nisa’: 140)

    Namun ada pengecualian, bila seseorang itu lupa sehingga duduk bersama orang-orang kafir itu. Allah berfirman :

    æóÅöãóøÇ íõäúÓöíóäóøßó ÇáÔóøíúØóÇäõ ÝóáóÇ ÊóÞúÚõÏú ÈóÚúÏó ÇáÐöøßúÑóì ãóÚó ÇáúÞóæúãö ÇáÙóøÇáöãöíäó

    “Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan itu), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah ingat (akan larangan itu). (Al-An’am: 68)

    Dan Allah juga berfiman :

    ÝóÈóÔöøÑú ÚöÈóÇÏö (17) ÇáóøÐöíäó íóÓúÊóãöÚõæäó ÇáúÞóæúáó ÝóíóÊóøÈöÚõæäó ÃóÍúÓóäóåõ ÃõæáóÆößó ÇáóøÐöíäó åóÏóÇåõãõ Çááóøåõ æóÃõæáóÆößó åõãú Ãõæáõæ ÇáúÃóáúÈóÇÈö

    “Maka sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (Az-Zumar :17-18)

    Allah juga berfirman :

    ÞóÏú ÃóÝúáóÍó ÇáúãõÄúãöäõæäó (1) ÇáóøÐöíäó åõãú Ýöí ÕóáóÇÊöåöãú ÎóÇÔöÚõæäó (2) æóÇáóøÐöíäó åõãú Úóäö ÇááóøÛúæö ãõÚúÑöÖõæäó (3) æóÇáóøÐöíäó åõãú áöáÒóøßóÇÉö ÝóÇÚöáõæäó

    “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ di dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang selalu membersihkan dirinya.” (Al-Mu’minun: 1-4)

    Allah berfirman pula :

    æóÅöÐóÇ ÓóãöÚõæÇ ÇááóøÛúæó ÃóÚúÑóÖõæÇ Úóäúåõ

    “Apabila mereka mendengar (perkataan) yang tidak berguna, mereka berpaling meninggalkannya.” (Al-Qashash: 55)

    Begitu pula firman Allah:

    æóÅöÐóÇ ãóÑõøæÇ ÈöÇááóøÛúæö ãóÑõøæÇ ßöÑóÇãðÇ

    “Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang melakukan perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Al-Furqan: 72)

    Ayat-ayat itu semua menunjukkan adanya kewajiban yang ditetapkan Allah kepada telinga agar ia membersihkan diri dari hal-hal yang haram didengar.

    Dan hal itu, merupakan telinga, dan itu termasuk iman.

    Allah juga meriwayatkan dua mata manusia untuk tidak melihat hal-hal yang diharamkan. Dalam hal ini Allah berfirman:

    Þõáú áöáúãõÄúãöäöíäó íóÛõÖõøæÇ ãöäú ÃóÈúÕóÇÑöåöãú æóíóÍúÝóÙõæÇ ÝõÑõæÌóåõãú

    “Katakanlah kepada orang-orang mukmin, agar mereka menahan pandangan matanya dan menjaga kemaluannya.” (An-Nur: 30)

    Dalam ayat ini Allah melarang orang mukmin untuk melihat kemaluan orang lain, dan menyuruh agar menjaga kemaluannya agar tidak dilihat orang lain. Setiap ungkapan “menjaga kemaluan” di dalam al-Qur’an, maksudnya adalah berkaitan dengan zina, kecuali dalam ayat-ayat an-Nur ini, maksudnya adalah melihat.

    Dan itulah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada kedua mata manusia, dan itu merupakan pekerjaan mata termasuk dalam iman.

    Allah kemudian memberitahukan apa yang wajib dikerjakan oleh hati, telinga dan mata, dalam sebuah ayat berikut ini:

    æóáóÇ ÊóÞúÝõ ãóÇ áóíúÓó áóßó Èöåö Úöáúãñ Åöäóø ÇáÓóøãúÚó æóÇáúÈóÕóÑó æóÇáúÝõÄóÇÏó ßõáõø ÃõæáóÆößó ßóÇäó Úóäúåõ ãóÓúÆõæáðÇ

    “Dan janganlah kamu mengikuti hal-hal yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’ : 36)

    Maksud ayat ini adalah bahwa Allah mewajibkan kepada farj (kemaluan) agar tidak digunakan untuk hal-hal yang haram. Allah berfirman:

    æóãóÇ ßõäúÊõãú ÊóÓúÊóÊöÑõæäó Ãóäú íóÔúåóÏó Úóáóíúßõãú ÓóãúÚõßõãú æóáóÇ ÃóÈúÕóÇÑõßõãú æóáóÇ ÌõáõæÏõßõãú

    “Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu.” (Fushshilat: 22)

    Yang dimaksud dengan “kulitmu” dalam ayat ini adalah “kemaluan dan paha”. Dan itulah yang diwajibkan oleh Allah kepada kemaluan agar menjaga dirinya dari hal-hal yang tidak halal. Dan itu merupakan pekerjaan kemaluan.

    Allah juga mewajibkan kedua tangan agar tidak digunakan untuk hal-hal yang diharamkan, tetapi justeru digunakan dalam hal-hal yang diperintahkan Allah, seperti sadaqah, silaturahim, jihad fi sabilillah, bersuci untuk shalat dan lain-lain. Allah berfirman:

    íóÇ ÃóíõøåóÇ ÇáóøÐöíäó ÂóãóäõæÇ ÅöÐóÇ ÞõãúÊõãú Åöáóì ÇáÕóøáóÇÉö ÝóÇÛúÓöáõæÇ æõÌõæåóßõãú æóÃóíúÏöíóßõãú Åöáóì ÇáúãóÑóÇÝöÞö ...

    “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu, tanganmu sampai siku-siku …dst.” (Al-Maidah : 6)

    Allah juga berfirman :

    ÝóÅöÐóÇ áóÞöíÊõãõ ÇáóøÐöíäó ßóÝóÑõæÇ ÝóÖóÑúÈó ÇáÑöøÞóÇÈö ÍóÊóøì ÅöÐóÇ ÃóËúÎóäúÊõãõæåõãú ÝóÔõÏõøæÇ ÇáúæóËóÇÞó ÝóÅöãóøÇ ãóäðøÇ ÈóÚúÏõ æóÅöãóøÇ ÝöÏóÇÁð

    “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga jika kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka, dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan.” (Muhammad : 4)

    Memerangi orang-orang kafir, silaturrahim, sadaqah, dan lain-lain adalah perbuatan tangan.

    Allah juga mewajibkan kedua kaki manusia untuk tidak berjalan kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Allah berfirman:

    æóáóÇ ÊóãúÔö Ýöí ÇáúÃóÑúÖö ãóÑóÍðÇ Åöäóøßó áóäú ÊóÎúÑöÞó ÇáúÃóÑúÖó æóáóäú ÊóÈúáõÛó ÇáúÌöÈóÇáó ØõæáðÇ

    “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Al-Isra’: 37)

    Allah mewajibkan wajah untuk sujud kepada Allah siang dan malam, dan pada waktu-waktu shalat. Allah berfirman:

    íóÇ ÃóíõøåóÇ ÇáóøÐöíäó ÂóãóäõæÇ ÇÑúßóÚõæÇ æóÇÓúÌõÏõæÇ æóÇÚúÈõÏõæÇ ÑóÈóøßõãú æóÇÝúÚóáõæÇ ÇáúÎóíúÑó áóÚóáóøßõãú ÊõÝúáöÍõæäó

    “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapatkan kemenangan.” (Al-Hajj: 77)

    æóÃóäóø ÇáúãóÓóÇÌöÏó áöáóøåö ÝóáóÇ ÊóÏúÚõæÇ ãóÚó Çááóøåö ÃóÍóÏðÇ

    “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorang di samping Allah.” (Al-Jin: 18)

    Maksudnya menyembah di masjid, di mana manusia melakukan shalat dengan sujud. Dan itulah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah kepada anggota badan.

    Allah juga menyebutkan bersuci dan shalat (sembahyang) sebagai iman, yaitu ketika Allah memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memalingkan wajahnya dari menghadap ke Baitul Maqdis dalam shalat beralih menghadap ke Ka’bah di Makkah. Sementara kaum muslimin telah melakukan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan. Mereka kemudian mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan shalat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis, apakah diterima oleh Allah?”. Allah kemudian menurunkan ayat:

    æóãóÇ ßóÇäó Çááóøåõ áöíõÖöíÚó ÅöíãóÇäóßõãú Åöäóø Çááóøåó ÈöÇáäóøÇÓö áóÑóÁõæÝñ ÑóÍöíãñ

    “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan iman kamu. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Baqarah: 143)

    Dalam ayat ini Allah telah menamakan shalat dengan iman. Maka siapa kelak bertemu dengan Allah dengan menjaga shalat-shalatnya, menjaga anggota badannya, mengerjakan dengan seluruh anggota badannya apa yang diperintahkan dan diwajibkan Allah, maka ia bertemu dengan Allah dengan iman yang sempurna dan ia termasuk penghuni surga. Sebaliknya, siapa yang anggota badannya dengan sengaja meninggalkan perintah-perintah Allah, maka ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan imannya berkurang.”

    Begitulah penjelasan Imam Syafi’i tentang iman. Kemudian orang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tadi bertanya lagi, “Saya sudah paham tentang berkurang dan sempurnanya iman. Dari mana datang tambahnya iman itu?” Imam Syafi’i menjawab dengan menyebutkan firman Allah:

    æóÅöÐóÇ ãóÇ ÃõäúÒöáóÊú ÓõæÑóÉñ Ýóãöäúåõãú ãóäú íóÞõæáõ Ãóíõøßõãú ÒóÇÏóÊúåõ åóÐöåö ÅöíãóÇäðÇ ÝóÃóãóøÇ ÇáóøÐöíäó ÂóãóäõæÇ ÝóÒóÇÏóÊúåõãú ÅöíãóÇäðÇ æóåõãú íóÓúÊóÈúÔöÑõæäó (124) æóÃóãóøÇ ÇáóøÐöíäó Ýöí ÞõáõæÈöåöãú ãóÑóÖñ ÝóÒóÇÏóÊúåõãú ÑöÌúÓðÇ Åöáóì ÑöÌúÓöåöãú æóãóÇÊõæÇ æóåõãú ßóÇÝöÑõæäó

    “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafiq) ada yang berkata, “Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan turunnya (surat) ini? Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang hatinya ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka di samping kekafirannya (yang telah ada), dan mereka mati dalam kekafiran.” (At-Taubah : 124-125)

    Allah juga berfirman :

    Åöäóøåõãú ÝöÊúíóÉñ ÂóãóäõæÇ ÈöÑóÈöøåöãú æóÒöÏúäóÇåõãú åõÏðì

    “Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Al-Kahfi : 13)

    Imam Syafi’i kemudian mengatakan, “Sekiranya iman itu satu, tidak ada yang tambah dan kurang, maka tidak ada kelebihan apa-apa bagi seseorang, dan semua manusia sama. Tetapi, dengan sempurnanya iman, orang mukmin akan masuk ke surga, dan dengan tambahnya iman pula orang mukmin akan memperoleh keunggulan tingkatan di dalam surga. Sebaliknya bagi orang-orang yang imannya kurang, mereka akan masuk ke neraka.

    Kemudian Allah akan mendahulukan orang beriman lebih dahulu. Manusia akan memperoleh haknya berdasarkan kedahuluannya dalam beriman. Setiap orang akan memperoleh haknya, tidak dikurangi sedikitpun. Yang datang belakang tidak akan didahulukan; yang tidak mulia (karena rendahnya iman) tidak akan didahulukan daripada yang mulia (karena ketinggian iman). Itulah kelebihan orang-orang terdahulu dari ummat ini. Seandainya orang-orang yang beriman lebih dahulu itu tidak mempunyai kelebihan, niscaya akan sama nilainya orang yang beriman belakangan dengan orang-orang yang beriman lebih dulu.” [23]


D. Pendapat Imam Syafi’i tentang Sahabat

  • Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Allah telah memuji para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam al-Qur’an, Taurat dan Injil. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memuji keluhuran mereka, sementara untuk yang lain tidak disebutkan. Maka semoga Allah merahmati mereka, dan menyambut mereka dengan memberikan kedudukan yang paling tinggi sebagai shiddiqin, syuhada’ dan shalihin.

    Mereka telah menyampaikan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita. Mereka juga telah menyaksikan turunnya wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karenanya, mereka mengetahui apa yang dimaksud oleh Rasulullah, baik yang bersifat umum maupun khusus, kewajiban maupun anjuran. Mereka mengetahui apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui tentang sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka di atas kita di dalam segala hal, ilmu dan ijtihad, kehati-hatian dan pemikiran, dan hal-hal yang diambil hukumnya. Pendapat-pendapat mereka, menurut kita, juga lebih unggul daripada pendapat-pendapat kita sendiri.” [24]

  • Imam al-Baihaqi menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman bahwa ia mendengar Imam Syafi’i memandang Abu Bakar adalah yang paling utama di antara semua sahabat, kemudian Umar, Ustman dan kemudian Ali. [25]

  • Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Abdullah bin Abd al-Hakam, katanya, ia mendengar Imam Syafi’i berkata: “Manusia yang paling mulia sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali radhiyallahu ‘anhum.” [26]

  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, katanya, saya bertanya kepada Imam Syafi’i: “Apakah saya boleh shalat bermakmum di belakang orang Rafidhi (Syi’ah) ?” Beliau menjawab: “Jangan kamu shalat menjadi makmum orang Rafidhi, Qadari (penganut paham Qadariyah), dan penganut paham Murji’ah.” Saya bertanya lagi: “Apakah tanda-tanda mereka itu?” Beliau menjawab: “Orang yang berpendapat bahwa iman itu hanyalah ucapan saja, maka ia penganut paham Murji’ah. Orang yang berpendapat bahwa Abu Bakar dan Umar itu bukan imam umat Islam adalah penganut paham Rafidhah. Dan orang yang berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kehendak mutlak dan dapat menentukan nasibnya sendiri, ia adalah penganut paham Qadariyah.” [27]


E. Larangan Imam Syafi’i terhadap Ilmu Kalam dan Berdebat dalam Agama.

  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i berkata: “Seandainya ada orang berwasiat kepada orang lain untuk mengambil kitab-kitabnya yang berisi ilmu-ilmu keislaman, sementara di antara kitab-kitab itu ada kitab-kitab Kalam, maka kitab-kitab Kalam ini tidak masuk di dalam wasiat, karena Kalam itu tidak termasuk ilmu-ilmu keislaman.” [28]

  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari al-Hasan az-Za’farani, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i berkata: “Saya tidak pernah berdiskusi dengan seorangpun dalam masalah Kalam kecuali hanya satu kali saja. Dan itu kemudian saya membaca istighfar, minta ampun dari Allah.” [29]

  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i pernah berkata: “Seandainya saya mau, saya akan membawa kitab yang besar untuk berdiskusi dengan lawan pendapatku. Tetapi untuk berdiskusi tentang masalah Kalam, saya tidak suka dikait-kaitkan dengan Kalam.” [30]

  • Imam Ibn Battah meriwayatkan dari Abu Tsaur katanya, Imam Syafi’i pernah berkata kepadaku: “Saya tidak pernah melihat orang menyandang sedikitpun tentang Kalam kemudian ia menjadi orang yang beruntung.” [31]

  • Imam Harawi meriwayatkan dari Yunus al-Mishri, katanya, Imam Syafi’i pernah berkata: “Seandainya Allah memberikan cobaan (ujian) kepada seorang, sehingga ia melakukan larangan-larangan Allah selain syirik, hal itu masih lebih bagus daripada ia mendapati cobaan (ujian) dengan terperosok pada Ilmu Kalam.” [32]


Itulah rangkuman pendapat-pendapat Imam Syafi’i –rahimahullah- tentang masalah Ushuluddin, dan sikap beliau tentang Ilmu Kalam.

Catatan Kaki :

[1] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Aiman wa an-Nadzair, II/530 Shahih Muslim, III/266. Manaqib asy-Syafi’i, I/405

[2] Ibn Abi Hatim, Adab asy-Syafi’i, hal.193, al-Hilyah, IX/112-113 al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, X/28

[3] kk

[4] Siyar A’lam an-Nubala’, X/31

[5] Siyar A’lam an Nubula’, XX/341

[6] al-Intiqa’, hal.79

[7] Syarh Ushul I’tiqad Ahl as Sunnah, II/506

[8] al-Intiqa’, hal. 79. Al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i, I/35

[9] Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, I/252

[10] Manaqib asy-Syafi’i, I/407-408

[11] Shahih Bukhari, Kitab at-Tafsir, VII/594, Shahih Muslim, Kitab Al-Jannah, IV/2187

[12] Shahih Bukhari, Kitab al-Jihad, VI/39, Shahih Muslim, Kitab al-Imarat, III/1504

[13] Shahih Bukhari, Kitab al-Fitan, XIII/91. Shahih Muslim, Kitab al-Fitan, IV/2248

[14] Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, IV/ 182. Sunan Ibn Majah, I/72.Mustadrak al-Hakim, I/525. Al-Ajiri, asy-Syari’ah hal. 317. Ibn Mandah, ar-Radd.

[15] Aqidah Imam Syafi’i ini dinukil dari sebuah manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Pusat Universitas Leiden, Belanda.

[16] Manaqib asy-Syafi’i, 1/412-413. Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, II/702

[17] Manaqib asy- Syafi’i, I/415

[18] Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah,II/701

[19] Sunan Abi Daud, Kitab as-Sunnah, V/66. Mustadrak al-Hakim. U/85

[20] Manaqib asy Syafi’i, I/413

[21] Ibid

[22] al-Intiqa’ hal. 81

[23] Manaqib asy-Syafi’i, I/387-393

[24] Manaqib Imam asy-Syafi’i, I/442

[25] Ibid

[26] Ibid, I/433

[27] Dzamm al-Kalam, lembar 215. adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, X/31

[28] Ibid, X/30. Dzamm al-Kalam, lembar 213

[29] Ibid

[30] Ibid. lembar 215

[31] al-Ibanah al-Kubra, hal. 535-536

[32] Ibn Abi Hatim, Manaqib asy-Syafi’i, hal. 182

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexkajian&id=1§ion=kj001