Artikel : Al-Quran - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Kaedah Ke-25 [Kami Kirimkan Ayat Agar Kalian Takut]

Senin, 25 Oktober 21
Kaidah (Prinsip Pokok) ke-25


{ æóãóÇ äõÑúÓöáõ ÈöÇáúÂíóÇÊö ÅöáøóÇ ÊóÎúæöíÝðÇ }


" Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.”
{ Al-Isra`: 59}
Ini adalah salah satu kaidah (prinsip pokok) yang berkaitan dengan pemahaman terhadap sunnah ilahiyyah pada bangsa-bangsa dan masyarakat.
Ungkapan para ahli tafsir sangat beraneka ragam dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan "ayat-ayat" dalam ayat ini yang disebutkan secara muthlaq oleh Rabb kita ‘azza wa jalla. Ada yang berkata, "Ia adalah kematian yang menyebar luas yang disebabkan oleh wabah atau penyakit."
Ada pula yang berkata, "Ia adalah mukjizat para rasul, yang dijadikan oleh Allah ta’ala untuk mempertakutkan orang-orang yang mendustakan (agama)."
Dan yang ketiga berkata, "(Ia adalah) ayat-ayat tentang pembalasan, untuk menumbuhkan rasa takut (agar tidak berbuat) maksiat."
Inilah Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah, beliau memberi judul terhadap hadits-hadits shalat gerhana dengan ucapan beliau, "Bab penyebutan khabar yang menunjukkan bahwa gerhananya matahari dan bulan merupakan tindakan mempertakutkan dari Allah terhadap hamba-hambaNya. Allah ta’ala berfirman,


æóãóÇ äõÑúÓöáõ ÈöÇáúÂíóÇÊö ÅöáøóÇ ÊóÎúæöíÝðÇ


'Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.' (Al-Isra`: 59).(Shahih Ibnu Khuzaimah, 2/309.)

Semua ungkapan ini –dengan keanekaragamannya– mengisyaratkan bahwa tanda-tanda (ayat-ayat) tersebut tidak mungkin dibatasi hanya pada satu macam saja, dan apa yang disebutkan oleh as-Salaf rahimahumullah hanyalah merupakan contoh-contoh dari tanda-tanda (ayat-ayat) tersebut, dan maksud mereka dengan hal itu bukanlah membatasi tanda-tanda (ayat-ayat) pada satu bentuk saja, dan ini merupakan kebiasaan as-Salaf ketika mereka menafsirkan hal-hal yang semisal dengan ayat-ayat seperti ini.
Yang penting di sini adalah hendaknya orang Mukmin dan Mukminah banyak merenungkan tentang hikmah dari diutusnya tanda-tanda (ayat-ayat) tersebut, yang tak lain adalah untuk menumbuhkan rasa takut, sehingga manusia merasa takut dan cemas dari hukuman yang boleh jadi turun kepadanya.
Qatadah rahimahullah berkata tentang penjelasan makna kaidah al-Qur`an ini, æóãóÇ äõÑúÓöáõ ÈöÇáúÂíóÇÊö ÅöáøóÇ ÊóÎúæöíÝðÇ "Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti," "Yakni, sesungguhnya Allah menakut-nakuti manusia dengan tanda (ayat) yang Dia kehendaki agar mereka mengambil pelajaran, ingat (kepadaNya), atau kembali (kepada jalan yang lurus). Telah disebutkan kepada kami bahwa Kufah dilanda gempa pada masa Ibnu Mas'ud, maka beliau berkata, 'Wahai manusia, sesungguhnya Rabb kalian sedang menuntut agar kalian membuatNya ridha, maka buatlah Dia ridha'."( Tafsir ath-Thabari, 17/478.)
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah meriwayatkan dalam Mushannaf beliau dari jalan Shafiyah binti Abu Ubaid, dia berkata, "Telah terjadi gempa bumi pada masa (pemerintahan) Umar radhiyallahu ‘anhu sehingga ranjang-ranjang berguncang, dan itu bertepatan dengan Abdullah bin Umar yang sedang shalat, maka dia tidak mengetahui (adanya gempa tersebut)." Dia berkata, "Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkhutbah di hadapan manusia, beliau berkata, 'Kalau gempa itu datang lagi, aku benar-benar akan keluar dari tengah-tengah kalian'."
Yang terdapat dalam kata-kata kaum as-Salaf ini tentang penjelasan makna ayat ini menguatkan bahwa sebab terbesar dalam pengiriman tanda-tanda (ayat-ayat) adalah untuk mempertakutkan hamba-hambaNya, dan menakuti mereka dari apa yang terjadi pada diri mereka berupa dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan maksiat, agar mereka kembali kepada Rabb mereka yang telah mengutus tanda-tanda (ayat-ayat) dan peringatan-peringatan ini kepada mereka, dan apabila mereka tidak kembali (kepada Rabb mereka), maka ini merupakan salah satu tanda kerasnya hati –kita berlindung kepada Allah ta’ala–, sebagaimana Allah berfirman,


æóáóÞóÏú ÃóÑúÓóáúäóÇ Åöáóì Ãõãóãò ãöäú ÞóÈúáößó ÝóÃóÎóÐúäóÇåõãú ÈöÇáúÈóÃúÓóÇÁö æóÇáÖøóÑøóÇÁö áóÚóáøóåõãú íóÊóÖóÑøóÚõæäó (42) ÝóáóæúáóÇ ÅöÐú ÌóÇÁóåõãú ÈóÃúÓõäóÇ ÊóÖóÑøóÚõæÇ æóáóßöäú ÞóÓóÊú ÞõáõæÈõåõãú æóÒóíøóäó áóåõãõ ÇáÔøóíúØóÇäõ ãóÇ ßóÇäõæÇ íóÚúãóáõæäó (43) ÝóáóãøóÇ äóÓõæÇ ãóÇ ÐõßøöÑõæÇ Èöåö ÝóÊóÍúäóÇ Úóáóíúåöãú ÃóÈúæóÇÈó ßõáøö ÔóíúÁò ÍóÊøóì ÅöÐóÇ ÝóÑöÍõæÇ ÈöãóÇ ÃõæÊõæÇ ÃóÎóÐúäóÇåõãú ÈóÛúÊóÉð ÝóÅöÐóÇ åõãú ãõÈúáöÓõæäó (44)


"Dan sungguh Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun menampakkan kepada mereka keindahan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa." (Al-An'am: 42-44).

Sebagaimana Rabb kita ‘azza wa jalla juga befirman,


æóáóÞóÏú ÃóÎóÐúäóÇåõãú ÈöÇáúÚóÐóÇÈö ÝóãóÇ ÇÓúÊóßóÇäõæÇ áöÑóÈøöåöãú æóãóÇ íóÊóÖóÑøóÚõæäó (76)


"Dan sungguh Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepadaNya) dengan merendahkan diri." (Al-Mu`minun: 76).

Apabila Anda bertanya, Apa jawaban dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata –ketika beliau mendengar adanya gerhana–, "Dahulu kami, para sahabat Nabi Muhammad, mengategorikan tanda-tanda (ayat-ayat) sebagai keberkahan, sedangkan kalian mengategorikannya untuk menimbulkan ketakutan?!"
Maka jawabannya: Bahwa maksud Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu –sebagaimana dijelaskan oleh Imam ath-Thahawi- adalah bahwasanya dahulu kami mengategorikannya sebagai keberkahan, karena kami takut terhadap hal itu sehingga iman dan amal kami bertambah besar, maka hal itu merupakan keberkahan bagi kami, sedangkan kalian mengategorikannya sebagai (usaha Allah) untuk menakut-nakuti (manusia), dan kalian tidak melakukan amal apa pun yang menjadi keberkahan bagi kalian dengannya. Dan apa yang dikatakan oleh Abdullah radhiyallahu ‘anhu menurut kami tidaklah bertentangan dengan apa yang terdapat dalam kitab Allah ‘azza wa jalla, yaitu Firman Allah ta’ala,


æóãóÇ äõÑúÓöáõ ÈöÇáúÂíóÇÊö ÅöáøóÇ ÊóÎúæöíÝðÇ


"Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti." (Al-Isra`: 59),
yakni, untuk menimbulkan rasa takut pada diri kalian agar amal dan iman kalian bertambah besar, sehingga hal itu akan menjadi keberkahan bagi kalian. (Lihat Syarh Musykil al-Atsar, 9/6.)

Bersama dengan jelas dan nyatanya makna yang ditunjukkan oleh kaidah al-Qur`an ini, tetapi sayang sekali bahwa manusia membaca atau mendengar sebagian para penulis surat kabar, atau para pembicara pada sebagian mimbar-mimbar media, yang menghina atau merendahkan makna-makna syariat yang jelas ini! Dan mereka ingin membatasi sebab-sebab terjadinya gempa, banjir, angin topan, atau tanda-tanda besar semisalnya, pada sebab-sebab yang bersifat materi saja; dan ini merupakan kesalahan yang besar!
Kami tidak mengingkari bahwa gempa bumi memiliki sebab-sebab geologi yang sudah dikenal, banjir memiliki sebab-sebabnya, dan angin topan juga memiliki sebab-sebabnya yang bersifat materi, akan tetapi pertanyaan yang harus ditujukan kepadanya adalah: Siapakah yang telah memerintahkan kepada bumi agar ia bergerak dan bergoncang? Siapakah yang telah mengizinkan kepada air agar ia turun (hujan) melebihi kadar normalnya pada sebagian daerah? Siapakah yang telah memerintahkan kepada angin agar ia bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi tersebut? Bukankah dia itu adalah Allah?! Bukankah yang telah mengirimkan semua itu ingin agar hamba-hambaNya merendahkan diri mereka kepadaNya, dan agar mereka berdoa kepadaNya supaya Dia menyingkapkan tanda-tanda ini bagi mereka?!
Saya tidak tahu! Tidakkah mereka merenungkan makna yang ditunjukkan oleh kaidah ini dari sisi bahasa? Karena sesungguhnya kaidah ini datang dengan gaya bahasa pembatasan (hashr),


æóãóÇ äõÑúÓöáõ ÈöÇáúÂíóÇÊö ÅöáøóÇ ÊóÎúæöíÝðÇ


"Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti", (Al-Isra`: 59),

maka ia sama seperti pembatasan yang ditunjukkan oleh Firman-Nya ta’ala,


æóãóÇ ãöäú Åöáóåò ÅöáøóÇ Çááåõ


"Dan tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah." (Ali Imran: 62).

Ia juga sama seperti pembatasan yang ditunjukkan oleh FirmanNya ta’ala,


æóãóÇ ãöäú ÏóÇÈøóÉò Ýöí ÇáúÃóÑúÖö ÅöáøóÇ Úóáóì Çááåö ÑöÒúÞõåóÇ æóíóÚúáóãõ ãõÓúÊóÞóÑøóåóÇ æóãõÓúÊóæúÏóÚóåóÇ ßõáøñ Ýöí ßöÊóÇÈò ãõÈöíäò (6)


"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (Hud: 6).
Dan ayat-ayat semisalnya.

Kemudian apa yang akan diperbuat oleh orang-orang yang merendahkan kedudukan ayat-ayat ini, baik mereka menyadari ataupun tidak, baik mereka sengaja ataupun tidak, dengan penjelasan-penjelasan dingin yang bersifat materi seperti itu, apa yang akan mereka perbuat dengan apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shollallohu ‘alaihi wa salam, bahwasanya beliau berkata, "(Kebiasaan) Nabi shollallohu ‘alaihi wa salam apabila angin bertiup, beliau berdoa,


Çóááøåõãøó Åöäøöíú ÃóÓúÃóáõßó ÎóíúÑóåóÇ¡ æóÎóíúÑó ãóÇ ÝöíúåóÇ¡ æóÎóíúÑó ãóÇ ÃõÑúÓöáóÊú Èöåö¡ æóÃóÚõæúÐõ Èößó ãöäú ÔóÑøöåóÇ¡ æóÔóÑøö ãóÇ ÝöíúåóÇ¡ æóÔóÑøö ãóÇ ÃõÑúÓöáóÊú Èöåö.


'Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu kebaikan (angin) ini, kebaikan apa yang terdapat padanya, dan kebaikan yang dikirimkan bersamanya, dan aku berlindung kepadaMu dari keburukan (angin) ini, keburukan yang terdapat padanya, dan keburukan yang dikirimkan bersamanya.'

Aisyah berkata, "Dan apabila langit terlihat mendung –dan ia penuh dengan awan yang terdapat kilat dan petir, yang Nabi mengiranya akan menurunkan hujan– maka berubahlah rona (wajah) beliau, beliau keluar masuk, datang ke depan dan berbalik ke belakang, lalu apabila (awan itu) menurunkan hujan, beliau senang, dan aku melihat hal itu pada wajah beliau." Aisyah berkata, "Maka aku menanyakan (hal itu) kepada beliau, lalu beliau menjawab, 'Wahai Aisyah, karena boleh jadi hal itu sebagaimana kaum Ad berkata,


ÝóáóãøóÇ ÑóÃóæúåõ ÚóÇÑöÖðÇ ãõÓúÊóÞúÈöáó ÃóæúÏöíóÊöåöãú ÞóÇáõæÇ åóÐóÇ ÚóÇÑöÖñ ãõãúØöÑõäóÇ (24)


'Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka, 'Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami'." (Al-Ahqaf: 24). (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4551; Muslim, no. 899, dan lafazh dan doa ini adalah riwayat Muslim.)


Saya tidak tahu bagaimana mereka menjawab Firman Allah ‘azza wa jalla berkaitan dengan kaum Nuh,


ãöãøóÇ ÎóØöíÆóÇÊöåöãú ÃõÛúÑöÞõæÇ ÝóÃõÏúÎöáõæÇ äóÇÑðÇ Ýóáóãú íóÌöÏõæÇ áóåõãú ãöäú Ïõæäö Çááåö ÃóäúÕóÇÑðÇ (25)

"Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah." (Nuh: 25)?!

Ibnu Katsir rahimahullah berkata menjelaskan makna FirmanNya, ãöãøóÇ ÎóØöíÆóÇÊöåöãú "Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka", yakni, disebabkan banyaknya dosa-dosa mereka, kedunguan mereka, bersikerasnya mereka di atas kekufuran, dan penentangan mereka terhadap Rasul mereka, ÃõÛúÑöÞõæÇ ÝóÃõÏúÎöáõæÇ äóÇÑðÇ "mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka," yakni, mereka berpindah dari dinginnya lautan menuju panasnya api. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/238, cetakan Dar Thaibah.)

Adapun perkataan yang dikatakan oleh sebagian orang, "Terdapat negeri-negeri yang maksiatnya lebih parah daripada negeri-negeri yang dilanda gempa bumi tersebut, dan terdapat negara-negara yang kejahatannya lebih parah daripada negara-negara yang dilanda angin ribut tersebut", maka perkataan-perkataan seperti ini sama sekali tidak layak untuk dikatakan, karena sesungguhnya ia seperti menentang hikmah Allah ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya, Qadha`-qadha`Nya, dan Qadar-qadarNya, karena sesungguhnya Rabb kita memutuskan apa yang dikehendakiNya dan Dia melakukan apa yang diinginkanNya. Allah memutuskan (perkara) dengan haq, Rabb kita tidak ditanya atas apa yang Dia kerjakan. Dia ‘azza wa jalla memiliki hikmah yang luhur dan ilmu yang sempurna. Dan di balik cobaan-cobaan itu terdapat hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang mana akal-akal kita tidak mampu meliputinya, apalagi menjangkaunya.
Kita memohon kepada Allah ‘azza wa jalla agar Dia menganugerahkan kepada kita sikap mengambil pelajaran, mengambil peringatan, mengambil nasihat dengan apa yang dinasihatkan kepada kita, dan kita berlindung kepada Allah dari kerasnya hati yang menghalangi pemahaman (apa yang datang) dari Allah dan RasulNya.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatquran&id=373