Artikel : Al-Quran - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Kaedah Ke-27 [Siapa Menyucikan Diri Maka Untuk Dirinya Sendiri]

Kamis, 28 Oktober 21
Kaidah (Prinsip Pokok) ke-27


{ æóãóäú ÊóÒóßøóì ÝóÅöäøóãóÇ íóÊóÒóßøóì áöäóÝúÓöåö}


" Dan barangsiapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri.”
{ Fathir: 18}

Ini adalah kaidah (prinsip pokok ajaran) al-Qur`an yang memiliki kedudukan yang agung, karena pengaruhnya yang besar dalam kehidupan seorang hamba, dan kaitannya yang erat dengan segumpal darah yang telah dijelaskan oleh Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam bahwa baiknya (segumpal darah) itu berarti baik juga seluruh jasad, dan rusaknya (segumpal darah) itu berarti rusak juga seluruh jasad.

ÇóáÊøóÒúßöíóÉõ (penyucian diri) itu diartikan dan dimaknai dengan dua makna:

Makna pertama: penyucian, dan termasuk dalam makna ini adalah Firman Allah ta’ala tentang Yahya,


æóÒóßóÇÉð æóßóÇäó ÊóÞöíøðÇ


"Dan kesucian (dari dosa). Dan ia adalah seorang yang bertakwa." (Maryam: 13).
Di mana dalam ayat ini Allah menyucikan diri Yahya serta membersihkan kalbu dan hati beliau, dan ini adalah penyucian secara maknawi, tetapi kata ini juga bisa bermakna penyucian secara fisik, dikatakan: ÒóßóíúÊõ ÇáËøóæúÈó (aku menyucikan baju), maksudnya aku membersihkan baju.

Makna kedua: bertambah. Dikatakan: Òóßóì ÇáúãóÇáõ íóÒúßõæ (harta itu bertambah), maksudnya harta itu berkembang.

Kedua makna dari segi bahasa ini dimaksud pula di dalam syariat, karena penyucian jiwa itu mencakup dua perkara: (1) menyucikan dan membersihkannya dari kotoran dan noda yang bersifat fisik maupun maknawi, (2) mengembangkan dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji dan utama. Maka kata ÇóáÒøóßóÇÉõ (penyucian) -secara ringkas- (maknanya) berkisar pada dua perkara: yaitu (1) membersihkan, dan (2) menghiasi.
Yang dimaksud dengan "membersihkan" adalah menyucikan hati dari kotoran dosa dan maksiat. Sedangkan yang dimaksud dengan "menghiasi" adalah menghiasi jiwa dengan akhlak-akhlak yang sempurna dan sifat-sifat yang baik. Kedua proses ini saling berjalan berdampingan, maka orang Mukmin dituntut agar membersihkan diri dari berbagai cela, seperti riya`, sombong, bohong, menipu, makar, melakukan tipu daya, nifak, dan akhlak-akhlak tercela semacam itu lainnya; dan dia juga dituntut agar menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang baik seperti jujur, ikhlas, tawadhu, bersikap lembut, menasihati hamba-hamba (Allah), selamatnya hati dari dengki, hasad, dan akhlak tercela lainnya; karena penyucian diri yang dia lakukan manfaatnya akan kembali kepadanya, dan tujuan dari penyucian diri itu akan sampai kepadanya, tidak ada sesuatu pun dari amalnya yang sia-sia. (Tafsir as-Sa'di, hal. 627.)
Berdasarkan makna inilah ayat-ayat al-Qur`an memerintahkan penyucian dan pendidikan jiwa, seperti Firman Allah ta’ala,


ÞóÏú ÃóÝúáóÍó ãóäú ÊóÒóßøóì (14) æóÐóßóÑó ÇÓúãó ÑóÈøöåö ÝóÕóáøóì (15)

"Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat." (Al-A'la: 14-15).

Allah ta’ala juga berfirman,


ÞóÏú ÃóÝúáóÍó ãóäú ÒóßøóÇåóÇ (9) æóÞóÏú ÎóÇÈó ãóäú ÏóÓøóÇåóÇ (10)


"Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya." (Asy-Syams: 9-10).

Dan sebagaimana dalam kaidah al-Qur`an yang sedang kita bicarakan ini,


æóãóäú ÊóÒóßøóì ÝóÅöäøóãóÇ íóÊóÒóßøóì áöäóÝúÓöåö


"Dan barangsiapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri." (Fathir: 18).

Dan ayat ini terdapat dalam Surat Fathir pada konteks berikut,


íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáäøóÇÓõ ÃóäúÊõãõ ÇáúÝõÞóÑóÇÁõ Åöáóì Çááåö æóÇááåõ åõæó ÇáúÛóäöíøõ ÇáúÍóãöíÏõ (15) Åöäú íóÔóÃú íõÐúåöÈúßõãú æóíóÃúÊö ÈöÎóáúÞò ÌóÏöíÏò (16) æóãóÇ Ðóáößó Úóáóì Çááåö ÈöÚóÒöíÒò (17) æóáóÇ ÊóÒöÑõ æóÇÒöÑóÉñ æöÒúÑó ÃõÎúÑóì æóÅöäú ÊóÏúÚõ ãõËúÞóáóÉñ Åöáóì ÍöãúáöåóÇ áóÇ íõÍúãóáú ãöäúåõ ÔóíúÁñ æóáóæú ßóÇäó ÐóÇ ÞõÑúÈóì ÅöäøóãóÇ ÊõäúÐöÑõ ÇáøóÐöíäó íóÎúÔóæúäó ÑóÈøóåõãú ÈöÇáúÛóíúÈö æóÃóÞóÇãõæÇ ÇáÕøóáóÇÉó æóãóäú ÊóÒóßøóì ÝóÅöäøóãóÇ íóÊóÒóßøóì áöäóÝúÓöåö æóÅöáóì Çááåö ÇáúãóÕöíÑõ (18)


"Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah. Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan shalat. Dan barangsiapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali(mu)." (Fathir: 15-18).

Al-Allamah Ibnu Asyur berkata, "Kalimat, æóãóäú ÊóÒóßøóì ÝóÅöäøóãóÇ íóÊóÒóßøóì áöäóÝúÓöåö "Dan barangsiapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri", adalah sebuah pelengkap di akhir kalimat yang berlaku seperti layaknya peribahasa, dan penyebutan pelengkap di akhir kalimat setelah kalimat yang dilengkapi akhirnya mengisyaratkan bahwa apa yang terkandung dalam kalimat yang dilengkapi akhirnya masuk ke dalam pelengkap akhir sejak awal mula, seperti masuknya sebab kata umum dalam keumumannya semenjak pandangan pertama tanpa dikhususkannya kata umum dengannya. Maka maknanya, bahwa orang-orang yang takut kepada Rabbnya sekalipun mereka tidak melihatNya, dan mendirikan shalat, mereka itu termasuk di antara orang-orang yang menyucikan diri, maka mereka mendapatkan manfaat dengan penyucian diri mereka. Maka maknanya: sesungguhnya orang yang mengambil manfaat dengan peringatan adalah orang-orang yang takut kepada Rabb mereka sekalipun mereka tidak melihatNya, maka mereka itu menyucikan diri mereka dengan rasa takut tersebut, dan barangsiapa yang menyucikan diri, maka sesungguhnya dia menyucikan dirinya sendiri.
Dan maksud dari pembatasan dalam FirmanNya, ÝóÅöäøóãóÇ íóÊóÒóßøóì áöäóÝúÓöåö "sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri", adalah bahwa penerimaan mereka terhadap peringatan tersebut adalah untuk kepentingan diri mereka sendiri. Maka di dalamnya terdapat sindiran bahwa orang-orang yang tidak mempedulikan peringatanNya, berarti mereka telah meninggalkan penyucian diri mereka dengannya, maka sikap meninggalkan mereka (terhadap penyucian diri mereka) adalah kemudaratan bagi diri mereka sendiri.(At-Tahrir wa at-Tanwir, 12/43.)

Sesungguhnya orang yang merenungkan nash-nash al-Qur`an akan menemukan perhatian yang besar terhadap masalah penyucian diri.
Inilah Khalil ar-Rahman (Ibrahim) ketika beliau berdoa agar Allah mengutus seorang rasul dari keturunan beliau, beliau menyebutkan di antara alasan-alasan beliau, menyucikan orang-orang yang akan diseru oleh rasul tersebut. Allah ta’ala berfirman,


ÑóÈøóäóÇ æóÇÈúÚóËú Ýöíåöãú ÑóÓõæáðÇ ãöäúåõãú íóÊúáõæ Úóáóíúåöãú ÂíóÇÊößó æóíõÚóáøöãõåõãõ ÇáúßöÊóÇÈó æóÇáúÍößúãóÉó æóíõÒóßøöíåöãú Åöäøóßó ÃóäúÊó ÇáúÚóÒöíÒõ ÇáúÍóßöíãõ (129)


"Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayatMu, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur`an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau-lah yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana." (Al-Baqarah: 129).

Dan Rabb kita subhanahu wa ta’ala mengingatkan hamba-hambaNya akan anugerahNya kepada mereka, ketika Dia mengabulkan doa kekasihNya, Ibrahim, dan bahwa di antara tugas terbesar rasul tersebut adalah menyucikan diri-diri mereka. Allah ta’ala berfirman,


áóÞóÏú ãóäøó Çááåõ Úóáóì ÇáúãõÄúãöäöíäó ÅöÐú ÈóÚóËó Ýöíåöãú ÑóÓõæáðÇ ãöäú ÃóäúÝõÓöåöãú íóÊúáõæ Úóáóíúåöãú ÂíóÇÊöåö æóíõÒóßøöíåöãú æóíõÚóáøöãõåõãõ ÇáúßöÊóÇÈó æóÇáúÍößúãóÉó æóÅöäú ßóÇäõæÇ ãöäú ÞóÈúáõ áóÝöí ÖóáóÇáò ãõÈöíäò (164)


"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (Ali Imran: 164).

Allah ta’ala juga berfirman,


åõæó ÇáøóÐöí ÈóÚóËó Ýöí ÇáúÃõãøöíøöíäó ÑóÓõæáðÇ ãöäúåõãú íóÊúáõæ Úóáóíúåöãú ÂíóÇÊöåö æóíõÒóßøöíåöãú æóíõÚóáøöãõåõãõ ÇáúßöÊóÇÈó æóÇáúÍößúãóÉó æóÅöäú ßóÇäõæÇ ãöäú ÞóÈúáõ áóÝöí ÖóáóÇáò ãõÈöíäò (2)


"Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (Al-Jumu'ah: 2).

Dan ketika Nabi Allah, Musa ’alaihissalam, menyeru Fir'aun, beliau merangkum seruan beliau kepadanya dalam dua kalimat,


ÝóÞõáú åóáú áóßó Åöáóì Ãóäú ÊóÒóßøóì (18) æóÃóåúÏöíóßó Åöáóì ÑóÈøößó ÝóÊóÎúÔóì (19)


"Dan katakanlah (kepada Fir'aun), 'Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)? Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepadaNya?'" (An-Nazi'at: 18-19).

Barangsiapa yang merenungkan Surat asy-Syams, niscaya dia akan memahami agungnya tujuan ini dan pentingnya ibadah yang mulia ini, karena Allah ta’ala bersumpah sebanyak sebelas kali secara berturut-turut bahwa kemenangan jiwa tidak akan pernah terjadi kecuali dengan menyucikan jiwa tersebut! Dan di dalam al-Qur`an tidak terdapat yang seperti ini -yakni sumpah sebanyak sebelas kali secara berturut-turut terhadap satu hal yang dikuatkan oleh sumpah- dan tak ada keraguan bahwa ini merupakan petunjuk yang jelas dan bukti yang nyata akan pentingnya masalah ini.
Sesungguhnya makna yang tersurat dari kaidah al-Qur`an ini, æóãóäú ÊóÒóßøóì ÝóÅöäøóãóÇ íóÊóÒóßøóì áöäóÝúÓöåö "Dan barangsiapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri," menunjukkan dengan jelas bahwa pengaruh terbesar dari penyucian diri ini adalah pengaruhnya terhadap jiwa orang yang menyucikan dirinya itu sendiri, sedangkan makna tersiratnya mengandung ancaman: bahwa apabila Anda tidak menyucikan diri wahai hamba Allah, maka sesungguhnya orang yang paling besar mendapatkan kemudaratan karena melalaikan penyucian diri ini adalah diri Anda sendiri.
Apabila kaidah ini berlaku bagi setiap Muslim yang mendengarnya, maka sesungguhnya bagian seorang da'i dan penuntut ilmu lebih besar dan lebih banyak dalam masalah ini, karena pandangan mata lebih cepat diarahkan kepadanya, kesalahan darinya lebih mengena, kritikan terhadapnya lebih keras, dan dakwahnya harus dilakukan dengan perbuatannya sebelum dengan perkataannya.
Dan karena besarnya kedudukan penyucian diri dalam Agama, maka para ulama yang menulis buku dalam bidang akidah senantiasa menegaskan perkara ini dengan ungkapan yang beraneka ragam, di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagai sejumlah sifat perilaku dan akhlak Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Di antaranya adalah perkataan beliau, "Mereka memerintahkan untuk bersabar pada saat tertimpa musibah dan bersyukur pada saat lapang, mengajak kepada akhlak-akhlak yang mulia dan perbuatan-perbuatan yang baik, meyakini makna sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,


Ãóßúãóáõ ÇáúãõÄúãöäöíúäó ÅöíúãóÇäðÇ ÃóÍúÓóäõåõãú ÎõáõÞðÇ.


'Orang Mukmin yang paling sempurna Iman(nya) adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara mereka,'. (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 1162 dan yang lainnya. At-Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits hasan shahih." (Dan dinyatakan hasan shahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi. Ed. T.).)

serta mereka memerintahkan kepada akhlak-akhlak yang luhur dan melarang dari akhlak-akhlak yang rendah." (Majmu' al-Fatawa, 3/158-159.)

Para imam Agama tersebut menyatakan hal itu karena terdapat korelasi yang kuat antara perilaku dan keyakinan; perbuatan yang lahir berkaitan dengan keyakinan yang batin. Maka penyimpangan apa pun dalam akhlak adalah karena kurangnya Iman dalam batin. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Apabila amal-amal zahir yang wajib mengalami kekurangan, maka itu karena kurangnya Iman yang ada di dalam hati, karena tidak dapat dibayangkan bersama sempurnanya Iman yang wajib yang ada di dalam hati, apabila amal-amal yang zahir dan wajib itu tidak ada."(Majmu' al-Fatawa, 7/582, 621, 616.)

Asy-Syathibi rahimahullah berkata, "Amal-amal yang zahir dalam syariat merupakan bukti atas apa yang ada di dalam hati. Apabila (amal-amal) yang zahirnya itu kurang atau lurus, maka apa yang ada di batinnya dihukumi dengan hal itu juga." (Al-Muwafaqat, 1/233.)

Maka perilaku dan keyakinan merupakan dua hal yang saling berkaitan, demikianlah, karena di antara akhlak dan perilaku ada yang termasuk ke dalam cabang-cabang Iman.
Oleh karena itu, ketika sebagian orang -dan di antara mereka adalah sebagian penuntut ilmu- mengira bahwa perkara penyucian diri itu mudah atau gampang, atau ia hanyalah untuk para pemberi nasihat saja, baik itu dikatakan dengan lisan perilaku atau dengan lisan perkataan, maka akan ditemukan banyak bentuk kontradiksi dan pertentangan yang dahsyat antara ilmu dan amal!
Sesungguhnya pertanyaan yang langsung ada di benak kita pada saat kita membicarakan kaidah al-Qur`an ini adalah: Bagaimana cara kita menyucikan diri kita? Maka jawaban dari (pertanyaan) ini sangat panjang sekali, akan tetapi saya akan mengisyaratkan dengan ringkas kepada cara-cara penyucian diri yang paling penting, di antaranya adalah:

1. Mentauhidkan Allah ‘azza wa jalla, dan keterikatan yang kuat dengan-Nya.
2. Konsisten membaca dan mentadabburi al-Qur`an.
3. Banyak berdzikir secara umum.
4. Menjaga shalat fardhu, dan qiyamullail walaupun sebentar.
5. Konsisten mengevaluasi (dan mengoreksi) diri antara satu waktu ke waktu lainnya.
6. Hadirnya akhirat dalam hati seorang hamba.
7. Mengingat kematian dan menziarahi kuburan.
8. Membaca perjalanan hidup orang-orang shalih.

Kebalikan dari hal ini, maka sesungguhnya orang yang berakal adalah orang yang waspada untuk menutup pintu-pintu yang boleh jadi dirusak oleh pengaruh sarana-sarana tersebut, karena hati yang menghadapi sarana-sarana dan penghalang-penghalang adalah tempat yang sama yang tidak mungkin dipisahkan.
Kalau demikian adanya, maka manusia tidak cukup melakukan sarana-sarananya saja, tetapi dia juga harus berhati-hati terhadap penghalang-penghalangnya, seperti: melihat sesuatu yang diharamkan, mendengar sesuatu yang diharamkan, atau membiarkan lisan mengucapkan sesuatu yang tidak berguna, apalagi sesuatu yang diharamkan oleh Allah.
Ya Allah, sesungguhnya kami meminta dan memohon kepadaMu dengan apa yang dimohon oleh NabiMu, Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, "Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada diri-diri kami, dan sucikanlah diri-diri kami, Engkau adalah Yang terbaik yang dapat menyucikannya, Engkau adalah Pengurusnya dan Tuannya. Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak tunduk, jiwa yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak terkabulkan." (Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2722.)

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatquran&id=375