Artikel : Al-Quran - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Kaedah Ke-28 [Janganlah Merugikan Hak-Hak Orang Lain]

Rabu, 03 Nopember 21
Kaidah (Prinsip Pokok) ke-28


{ æóáóÇ ÊóÈúÎóÓõæÇ ÇáäøóÇÓó ÃóÔúíóÇÁóåõãú}


" Dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya.”
{ Al-A'raf: 85; Hud: 85 dan asy-Syu'ara`: 183}

Ini adalah kaidah (prinsip pokok ajaran) al-Qur`an yang berkaitan erat dengan realita manusia, dan kebutuhan untuk mempopulerkan kaidah ini semakin bertambah pada zaman ini, di mana sarana-sarana transformasi informasi telah menyebar luas.
Kaidah (prinsip pokok ajaran) al-Qur`an yang mulia ini diulang sebanyak tiga kali dalam Kitab Allah ‘azza wa jalla, dan semuanya terdapat dalam kisah Nabi Syu'aib, semoga shalawat dan salam yang paling utama selalu tercurah bagi beliau dan juga Nabi kita (Muhammad).
Telah diketahui bahwa di antara sejumlah perkara-perkara yang dinasihatkan oleh Nabi Syu'aib untuk kaum beliau adalah masalah kecurangan dalam takaran dan timbangan, di mana hal ini merata dan tersebar di antara mereka.
Ini adalah sebuah contoh -dari sejumlah contoh-contoh yang banyak- yang menunjukkan komprehensifnya dakwah para nabi ’alaihimussalam untuk semua bidang kehidupan, dan bahwa sebagaimana mereka mengajak kepada dasar dari segala dasar, yaitu tauhid, mereka juga mengajak untuk meluruskan seluruh penyimpangan Syariat, walaupun sebagian manusia mengira bahwa ia adalah penyimpangan yang ringan, karena kesempurnaan ibadah kepada Allah tidak akan pernah terwujud kecuali apabila urusan Agama dan dunia tunduk kepada kekuasaan Syariat.
Dan apabila Anda merenungkan kaidah al-Qur`an ini, æóáóÇ ÊóÈúÎóÓõæÇ ÇáäøóÇÓó ÃóÔúíóÇÁóåõãú "Dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya," niscaya Anda akan menemukan bahwa ia datang setelah keumuman larangan tentang pengurangan takaran dan timbangan. Maka ia adalah lafazh umum (yang datang) setelah lafazh khusus, agar (larangan ini) mencakup seluruh sesuatu yang dapat dicurangkan, baik itu sedikit maupun banyak, berharga maupun tidak.

Al-Allamah ath-Thahir Ibnu Asyur rahimahllah berkata,
"Apa yang terdapat dalam penetapan syariat ini merupakan salah satu pilar di antara pilar-pilar majunya transaksi-transaksi ekonomi di antara umat, karena transaksi-transaksi ekonomi bertumpu kepada kepercayaan yang berputar di antara umat, dan hal itu terjadi dengan meratanya amanah di antara umat. Apabila hal itu terjadi, niscaya orang-orang akan semakin banyak melakukan transaksi ekonomi, sehingga produsen semakin bertambah produksi dan dagangannya di pasar-pasar, dan pembeli –baik itu pedagang (eceran) atau konsumen– datang ke pasar-pasar dalam keadaan aman, tidak takut terhadap penipuan, tipu daya, dan kata-kata bohong, sehingga melimpahlah barang-barang dagangan pada umat, dan tidak perlu lagi mengadakan kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder, dan tertier mereka, sehingga pertumbuhan kota dan kebudayaan berdiri di atas dasar yang kokoh, dan manusia hidup dalam kelapangan, saling mencintai, dan saling bersaudara. Dan kebalikan dari hal itu, keadaan umat menjadi terkoyak berbanding lurus dengan hal yang menjadi kebalikannya." (At-Tahrir wa at-Tanwir, 5/451.)

Sebagian ahli tafsir berkata ketika menjelaskan luasnya makna yang ditunjukkan oleh kaidah ini,
"Dan ia berlaku umum dalam setiap hak yang telah terbukti milik seseorang agar tidak dikurangi haknya, dan (berlaku) dalam setiap kepemilikan agar ia tidak dirampas dari pemiliknya dan tidak dizhalimi, dan tidak digunakan kecuali dengan izinnya dengan penggunaan yang sesuai Syariat." (Tafsir al-Kasysyaf, 3/337.)

Apabila luasnya makna yang ditunjukkan oleh kaidah ini telah jelas, dan bahwa di antara yang paling khusus yang termasuk ke dalamnya adalah kecurangan dalam hak-hak keuangan, maka makna yang ditunjukkannya menjadi luas agar mencakup semua hak materi atau maknawi yang telah tetap bagi seseorang.
Adapun hak-hak yang bersifat materi berjumlah banyak, di antaranya adalah apa yang telah diisyaratkan, seperti: hak yang telah tetap untuk manusia, seperti rumah, tanah, buku, ijazah, dan yang semisalnya.
Adapun hak-hak yang bersifat maknawi, maka itu terlalu banyak untuk dapat dibatasi, akan tetapi bisa dikatakan bahwa kaidah (prinsip pokok) al-Qur`an ini sebagaimana ia adalah kaidah dalam masalah transaksi ekonomi, maka dengan keumumannya, ia juga merupakan salah satu kaidah di antara kaidah-kaidah dalam bersikap obyektif terhadap orang lain.
Dan al-Qur`an penuh dengan penegasan kaidah bersikap obyektif dan tidak melakukan kecurangan terhadap manusia dengan (mengurangi) hak-hak mereka. Renungkan misalnya, Firman Allah ta’ala,


íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÂãóäõæÇ ßõæäõæÇ ÞóæøóÇãöíäó áöáåö ÔõåóÏóÇÁó ÈöÇáúÞöÓúØö æóáóÇ íóÌúÑöãóäøóßõãú ÔóäóÂäõ Þóæúãò Úóáóì ÃóáøóÇ ÊóÚúÏöáõæÇ ÇÚúÏöáõæÇ åõæó ÃóÞúÑóÈõ áöáÊøóÞúæóì æóÇÊøóÞõæÇ Çááåó Åöäøó Çááåó ÎóÈöíÑñ ÈöãóÇ ÊóÚúãóáõæäó (8


"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (Al-Ma`idah: 8).

Bayangkanlah! Tuhan Anda memerintahkan Anda agar Anda bersikap obyektif terhadap musuh Anda, dan jangan sampai kebencian Anda kepadanya mendorong Anda untuk meremehkan haknya. Maka apakah Anda mengira bahwa sebuah agama yang memerintahkan Anda untuk bersikap obyektif terhadap musuh Anda, tidak memerintahkan Anda untuk bersikap obyektif juga terhadap saudara Anda yang Muslim?!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahllah berkata, dalam komentar beliau terhadap ayat ini, "Allah melarang agar kebencian kaum Mukminin terhadap orang-orang kafir tidak mendorong mereka untuk berlaku tidak adil terhadap mereka, maka bagaimana apabila (kebenciannya itu adalah) kebencian kepada orang fasik atau ahli bid'ah yang melakukan takwil dari kalangan orang-orang yang beriman?! Maka ini lebih wajib agar (kebenciannya) itu tidak mendorongnya untuk bersikap tidak adil terhadap orang Mukmin walaupun orang itu berbuat zhalim terhadapnya."(Al-Istiqamah, 1/38.)

Dalam realita kaum Muslimin terdapat sesuatu yang dapat mengernyitkan dahi berupa pengurangan terhadap hak-hak (orang lain), menzhalimi dan sedikitnya sikap obyektif, sehingga hal itu mengakibatkan putusnya hubungan silaturahim dan saling membelakangi. Dan benarlah al-Mutanabbi pada hari di mana dia berkata,

Dan kurangnya sikap obyektif
selalu menjadi pemutus di antara orang-orang,
walaupun mereka itu adalah orang-orang
yang memiliki hubungan kekerabatan


dan begitu pula Imam negeri hijrah, Malik bin Anas rahimahllah, beliau membeberkan pengaduannya yang dulu dari penyakit ini, beliau berkata, "Tidak ada sesuatu pun pada manusia yang lebih sedikit daripada bersikap obyektif."
Ibnu Rusyd mengomentari kalimat ini, beliau berkata, "Imam Malik mengatakan hal ini berdasarkan apa yang telah beliau ujikan dari akhlak-akhlak manusia, dan faidah dari mengabarkan (hal ini) adalah mengingatkan bahwa hal itu tercela, agar manusia berhenti melakukannya sehingga setiap orang yang memiliki hak mengetahui haknya masing-masing."(Al-Bayan wa at-Tahshil, 18/306.)

Bukalah lembaran-lembaran muamalah dalam realita kita:
Salah seorang dari kita berselisih dengan seseorang dari teman-temannya, atau dengan salah seorang yang memiliki keutamaan dan kebaikan, maka apabila dia marah kepadanya, dia menjatuhkannya dan melupakan semua kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaannya, apabila dia berbicara tentangnya, dia berbicara dengan sesuatu yang tidak dikatakan oleh manusia yang paling keras permusuhannya (sekalipun). Na'udzu billah!
Katakan seperti itu juga, dalam sikap kita terhadap kesalahan ulama, atau kesalahan para da'i, di mana mereka semua dikenal selalu mencari kebaikan, dan selalu antusias untuk mencapai kebenaran, akan tetapi dia tidak diberi keberhasilan pada kali ini atau itu, maka Anda mendapatkan sebagian orang melupakan atau menghancurkan sejarahnya, cobaan-cobaan (yang dialami)nya, kesungguhannya, dan manfaatnya untuk agama Islam dan pemeluknya, disebabkan sebuah kesalahan yang tidak diterima oleh pembicara atau kritikus tersebut, padahal boleh jadi (ulama itu) dimaafkan dalam perkara itu!
Dan taruhlah kalau dia tidak dimaafkan, tapi bukan seperti itu cara bersikap dan bukan seperti itu al-Qur`an mendidik kita! Bahkan sesungguhnya kaidah al-Qur`an yang sedang kita bicarakan ini menegaskan pentingnya bersikap obyektif dan tidak mengurangi hak-hak manusia.
Terdapat bentuk lain yang kira-kira berulang kali terjadi, di mana obyektifitas hilang padanya, yaitu bahwasanya sebagian penulis dan pembicara tatkala mereka mengkritik lembaga negara atau lembaga yang berwenang terhadap salah satu kementerian-kementerian, maka terjadilah pada dirinya kezhaliman dan pengurangan dalam sisi-sisi yang bercahaya (positif) dalam lembaga ini atau itu, dan mulailah si penulis atau si pembicara –disebabkan egoisme yang masuk ke dalam dirinya– tidak berbicara kecuali dari sisi kesalahan, karena lupa atau pura-pura lupa untuk melihat dari sisi kebenaran dan kebaikan yang banyak yang mana lembaga pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang itu mendapat keberhasilan pada sisi tersebut.
Bukan seperti itu al-Qur`an mendidik pemeluknya, bahkan al-Qur`an mendidik mereka di atas makna yang agung yang ditunjukkan oleh kaidah yang muhkam ini, æóáóÇ ÊóÈúÎóÓõæÇ ÇáäøóÇÓó ÃóÔúíóÇÁóåõãú "Dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya."
Di sini tampaklah gambaran yang menyakitkan, yang terjadi pada sebagian majikan yang mengurangi hak-hak pembantu atau pegawai-pegawai mereka, lalu mereka mengakhirkan (pembayaran) gaji-gaji mereka, dan boleh jadi mereka melarang mereka dari liburan yang menjadi hak mereka, dalam mata rantai yang menyakitkan berupa jenis-jenis kezhaliman dan pengurangan hak! Apakah mereka tidak takut kepada Allah?


ÃóáóÇ íóÙõäøõ ÃõæáóÆößó Ãóäøóåõãú ãóÈúÚõæËõæäó (4) áöíóæúãò ÚóÙöíãò (5) íóæúãó íóÞõæãõ ÇáäøóÇÓõ áöÑóÈøö ÇáúÚóÇáóãöíäó (6)


"Tidakkah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?" (Al-Muthaffifin: 4-6).

Apakah mereka tidak takut kalau mereka dikuasai oleh musuh mereka, disebabkan kezhaliman mereka terhadap orang-orang yang berada dalam tanggung jawabnya, dan pengurangan mereka terhadap hak-hak pembantu-pembantu dan pegawai-pegawainya, yang akan menzhalimi dan mengurangi hak-hak mereka? Tidakkah mereka takut terhadap hukuman-hukuman duniawi, sebelum ukhrawi, yang akan menimpa mereka disebabkan apa yang telah mereka lakukan itu?
Pengurangan terhadap hak terkadang juga terjadi pada penilaian terhadap buku-buku atau makalah-makalah seperti yang telah kami isyaratkan barusan. Dan mungkin di antara sebab-sebab dominannya sikap pengurangan terhadap hak pada diri sebagian para pengkritik dalam situasi seperti ini, adalah: bahwa pengkritik membaca (buku-buku atau makalah-makalah tersebut) dengan niat mencari-cari kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan, bukan dengan tujuan penilaian sistematis, dan menampakkan kebenaran dari kesalahan; dan pada situasi seperti ini, maka menjadi besarlah kesalahan (pada pandangan si pengkritik), dan hilanglah kebenaran, dan hanya Allahlah tempat kita memohon pertolongan.
Kita memohon kepada Allah ta’ala agar Dia menganugerahkan kepada kita sikap obyektif terhadap diri-diri kita, dan sikap obyektif terhadap orang lain, serta agar Dia menjadikan kita termasuk orang-orang yang beradab dengan adab al-Qur`an dan mengamalkannya.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatquran&id=378