| Konsultasi | Bulletin | Do'a | Fatwa | Hadits | Khutbah | Kisah | Mu'jizat | Qur'an | Sakinah | Tarikh | Tokoh | Aqidah | Fiqih | Sastra | Resensi |
| Dunia Islam | Berita Kegiatan | Kajian | Kaset | Kegiatan | Materi KIT | Firqah | Ekonomi Islam | Analisa | Senyum | Download |
 
Menu Utama
·Home
·Tentang Kami
·Buku Tamu
·Produk Kami
·Formulir
·Jadwal Shalat
·Kontak Kami
·Download Artikel
·Download Murattal

Aqidah
· Termasuk Kesyirikan atau Termasuk Sarana Kesyirikan (1)
· Menghina Sesuatu yang Mengandung Dzikrullah

Firqah (Aliran-aliran)
· JAMAAH ISLAMIYAH MESIR 5
· JAMAAH ISLAMIYAH MESIR 4

Analisa
· Kerancauan Ilmu Hisab Dalam Penentuan Awal & Akhir Ramadhan
· Studi Kritis Seputar Puasa Hari Sabtu

Ekonomi Islam
· KPR Bank Syariah Ternyata Penuh Dengan Riba
· Produk Al-Mudharabah (Bagi Hasil) Dalam Islam Sebagai Solusi Perekonomian Islam

Produk Kami

Informasi!
·Serial Buku Dakwah Al-Sofwa 2021
·Tebar Serial Buku Tauhid
·Tebar Buku Risalah Puasa Nabi dan Panduan Praktis Ramadhan

Liputan Kegiatan
·Konsultasi Islam
·Penyaluran Hewan Qurban
·Santunan Yatim

Konsultasi Online

Ust.Husnul Yaqin, Lc

Ust.Amar Abdullah

Ust.Saed As-Saedy, Lc

Fatwa Seputar Sholat

Berangkatnya Wanita Muslimah ke Masjid

Apa Hukum Shalat Wanita di Masjid

Haruskah Wanita Melaksanakan Shalat Lima Waktu di Dalam Masjid

Wanita di Rumah Berma'mum Kepada Imam di Masjid

Apakah Shalatnya Seorang Wanita di rumah Lebih Utama Ataukah di Masjidil Haram

Manakah yang Lebih Utama Bagi Wanita Pada Bulan Ramadhan, Melaksanakan Shalat di Masjidil Haram atau di Rumah

Shalatnya Kaum Wanita yang Sedang Umrah di Bulan Ramadhan

Apakah Shalat Seseorang di Masjidil Haram Bisa Batal Ketika Ia Ikut Berjama'ah Dengan Imam atau Shalat Sendirian Karena Ada Wanita yang Melintas di Hadapannya?

Bila Terdapat Pembatas (Tabir) Antara Kaum Pria dan Kaum Wanita, Maka Masih Berlakukah Hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam (sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan seburuk-buruknya adalah yang paling depan)

Apakah Kaum Wanita Harus Meluruskan Shafnya Dalam Shalat

Benarkah Shaf yang Paling Utama Bagi Wanita Dalam Shalat Adalah Shaf yang Paling Belakang

Benarkah Shalat Jum'at Sebagai Pengganti Shalat Zhuhur

Hukum Shalat Jum'at Bagi Wanita

Hanya Membaca Surat Al-Ikhlas

Hukum Meninggalkan Shalat

Hukum Menangis Dalam Shalat Jama'ah

Jika seorang musafir masuk masjid di saat orang sedang shalat jama'ah Isya' dan ia belum shalat maghrib.

Bolehkah bagi kaum wanita untuk berkunjung ke rumah orang yang sedang terkena musibah kematian, kemudian melakukan shalat jenazah berjama'ah dirumah tersebut ?

Apabila seseorang tidak melakukan shalat fardlu selama 3 tahun tanpa uzur, kemudian bertaubat , apakah dia harus mengqodha shalat tersebut ?

Apabila suatu jama'ah melakukan shalat tidak menghadap qiblah, bagaimanakah hukumnya ?

Membangunkan Tamu Untuk Shalat Shubuh

Doa-Doa Menjelang Azan Shubuh

Bacaan Sebelum Imam Naik Mimbar Pada Hari Jum'at

Shalat Tasbih

Hukum Wirid Secara Jama'ah/Bersama-sama Setelah Setiap Shalat Fardhu

Hukum Meninggalkan Shalat Karena Sakit

Jika Telah Suci Saat Shalat Ashar atau Isya, Apakah Wajib Melaksanakan Shalat Zhuhur dan Maghrib

Jika Wanita Mendapatkan Kesuciannya di waktu Ashar Apakah Ia Harus Melaksanakan Shalat Zhuhur

Mendapatkan Haidh Beberapa Saat Setelah Masuk Waktu Shalat, Wajibkah Mengqadha Shalat Tersebut Setelah Suci

Urutan Shalat yang Diqadha

Seorang Wanita Mendapatkan Kesuciannya Beberapa Saat Sebelum Terbenamnya Matahari, Wajibkah Ia Melaksanakan Shalat Zhuhur dan Ashar?

Keutamaan Shaf Wanita Dalam Shalat Berjama'ah

Berkumpulnya Wanita Untuk Shalat Tarawih

Bolehkah Seorang Wanita Shalat Sendiri dibelakang Shaf

Bolehkah kaum Wanita Menetapkan Seorang Wanita Untuk Mengimami Mereka Dalam Melakukan Shalat di Bulan Ramadhan

Wajibkah Kaum Wanita Melaksanakan Shalat Berjama'ah di Rumah

Apa hukum Shalat Berjama'ah Bagi Kaum Wanita

Apakah Ada Niat Khusus Bagi Imam Yg Mengimami Shalat Kaum Pria & Wanita

Shalatnya Piket Penjaga ( Satpam )

Gerakan Dalam Shalat

Hukum Gerakan Sia-Sia Di Dalam Shalat

Hukum Gerakan Sia-Sia Di Dalam Shalat

Keengganan Para Sopir Untuk Shalat Jama’ah

Hukum Menangguhkan Shalat Hingga Malam Hari

Hukum Meremehkan Shalat

Hukum Menangguhkan Shalat Subuh Dari Waktunya

Dampak Hukum Bagi yang Meninggalkan Shalat

Hukum Shalat Seorang Imam Tanpa Wudhu Karena Lupa

Hukum Orang yang Tayammum Menjadi Imam Para Makmum yang Berwudhu

Posisi Kedua Kaki Ketika Berdiri Dalam Shalat

Hukum Meninggalkan Salah Satu Rukun Shalat

Jika Ketika Shalat Ragu Apakah Ia Meninggalkan Salah Satu Rukun

Shalat Bersama Imam, Tapi Lupa Berapa Rakaat Yang Telah Dikerjakan

Hukum Shalat di Belakang Orang yang Menulis Tamimah Untuk Orang Lain

Hukum Shalat di Belakang Orang yang Berinteraksi Dengan Tamimah dan Sihir

Mengumumkan Barang Hilang Di Dalam Masjid, Bolehkah?

Seputar Posisi Makam Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam Di Masjid Nabawi

Shalatnya Penjaga Piket/Satpam

Hukum Membaca Al-Qur'an Dalam Shalat Secara Berurutan

Haruskah Imam Menunggu Makmum Masbuk Ketika Ruku

Shalat Dengan Mengenakan Pakaian Transparan

Hukum Pergi Ke Masjid Yang Jauh Agar Bisa Shalat Di Belakang Imam Yang Bagus Bacaannya

Sahkah Shalat Di Belakang Imam Yang Bacaanya Tidak Bagus?

HUKUM BACAAN AL-QUR'AN SEBELUM ADZAN JUM'AT

Meluruskan Barisan Hukumnya Sunat

Shalatnya Piket Penjaga / Satpam

Shalat Fardhu Berma’mum Kepada Orang Yang Shalat Sunnat

Keengganan Para Sopir Untuk Shalat Berjama'ah

Bacaan Al-Qur’an Dengan Pengeras Suara Sebelum Shalat Subuh

Hukum Menangguhkan Shalat Hingga Malam Hari

Imam Menunggu Para Ma’mum Ketika Ruku’

Mendengar Adzan Tetapi Tidak Datang Ke Masjid

Menempatkan Dupa Di Depan Orang-Orang Yang Sedang Shalat

Kapan Dibacakannya Do’a Istikharah

Shalat Dengan Mengenakan Pakaian Bergambar

TATA CARA SHALAT DI PESAWAT

Menjama’ Shalat Dalam Kondisi Dingin

Menghadap Kiblat Ketika Buang Air

Hukum Shalat Bergeser Dari Arah Kiblat

Mendapatkan Najis Di Pakaian Setelah Melaksanakan Shalat

Sahkah Shalat Di Masjid Yang Ada Kuburan Di Dalamnya?

Doa Atau Dzikir Sebelum Adzan

Hukum Membaca Shalawat Kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam Secara Berjama’ah Di Setiap Akhir Shalat

Mana Yang Harus Didahulukan Mendengarkan Ta'lim Atau Tahiyatul Masjid?

Hukum Menahan Buang Angin Ketika Melaksanakan Shalat

Sahkah Shalat Seseorang Yang Terbuka Sebagian Kecil Dari Auratnya?

Beberapa Masalah Mengenai Sujud Syukur

Hukum Mengakhirkan Shalat Shubuh Hingga Terbit Matahari

Beberapa Masalah Tentang Shalat Jum'at Bagi Musafir

Aurat Terbuka Ketika Shalat

Wajibkah Mengqadha Puasa yang Tertinggal?

Do'a Qunut

Sunnah Sebelum Melaksanakan Shalat 'Ied

Membaca al-Qur'an di Rumah Selepas Shalat Subuh Sampai Terbit Matahari

Shalat Dua Rekaat Antara Adzan dan Iqamah

Shalatnya Piket Penjaga/Satpam

Gerakan dalam Shalat

Hukum Gerakan Sia-Sia di Dalam Shalat

Kacaunya Pikiran Ketika Shalat

Hukum Menangguhkan Shalat Hingga Malam Hari

Hukum Menangguhkan Shalat Shubuh dari Waktunya

Hukum Meremehkan Shalat

Bersalaman (Berjabat tangan) setelah shalat

Shalat dengan Mengenakan Pakaian Transparan

Shalat Fardhu Bermakmum Kepada Orang yang Shalat Sunnah

Hukum Mengambil Mushaf dari Masjid, Memanjangkan Punggung Ketika Sujud dan Melakukan Gerakan Sia-Sia di Dalam Shalat

Masbuq Pada Saat Tahiyat Akhir

Tata Cara Melaksanakan Shalat di Dalam Pesawat

Shalat Di Dalam Pesawat

Imam Menunggu Para Makmum Ketika Rukuk

Hikmah Dimasukkannya Kuburan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam Ke Dalam Masjid

Hukum Shalat di Masjid yang Ada Kuburannya 1

Hukum Shalat Di Masjid Yang Ada Kuburannya 2

Mendengar Adzan Tapi Tidak Datang ke Masjid

Hukum Menyepelekan Shalat Berjamaah

Waktu Mustajab pada Hari Jum'at

Memakan Bawang Putih Atau Bawang Merah Sebelum Shalat

Hukum Memakan Kuras (Daun Bawang), Bawang Putih atau Bawang Merah dan Datang ke Masjid

Kapan Dibacakannya Doa Istikharah

Shalat di Waktu Terlarang

Merubah Nada Suara Saat Doa Qunut

Merubah Nada Suara Saat Doa Qunut

Hukum Pergi ke Masjid yang Jauh Agar Bisa Shalat di Belakang Imam yang Bagus Bacaannya

Shalat Tarawih

Pembacaan al-Qur`an pada Hari Jum'at dan Bacaan-Bacaan Lainnya Sebelum Shubuh dengan Pengeras Suara

Memberi Kode kepada Imam Agar Menunggu

Berpindah Tempat untuk Melakukan Shalat Sunnah

Menempatkan Dupa di Depan Orang-Orang yang Shalat

Shalat Seorang Wanita Berjama’ah dengan Suaminya

Standar Panjang dan Pendeknya Shalat adalah Sunnah, Bukan Selera

Batasan Medapatkan Keutamaan Berjama’ah

Meluruskan Barisan Hukumnya Sunnah

Bermakmum kepada Orang yang Mencukur Jenggot dan Musbil

Memanjangkan Doa

Memanjangkan Doa

Berganti-ganti dalam Bermakmum

Menirukan Bacaan Orang Lain dalam Shalat Tarawih

Shalat Jamaah dan Mengakhirkan Shalat

Shalat jamaah dan mengakhirkan shalat

Shalat dengan Mengenakan Pakaian Bergambar

Musafir Selama Dua Tahun, Apakah Boleh Mengqashar Shalat?

Tergesa-Gesa untuk Shalat

Duduk Istirahat Tidak Wajib

Bermakmum kepada Orang yang Sedang Shalat Sendirian

Tidak Sah Shalat Sendirian di Belakang Shaf

Shalat Jahr dan Adzan Bagi yang Shalat Sendirian

Shalat Jamaah dan Mengakhirkan Shalat

Pembatas Di Depan Orang Yang Shalat

Mengikuti Dan Mendahului Imam

Mengikuti Dan Mendahului Imam

Bel Pintu Rumah Berbunyi Ketika Sedang Shalat

Bagusnya Suara Imam Memotivasi Para Makmum

Imam Tidak Bagus Bacaannya

Makmum yang Masbuq Berarti Shalat Sendirian Setelah Imam Salam, maka Tidak Boleh Membiarkan Orang Lain Lewat Di Depannya

Mengurutkan Surat dalam Membaca al-Qur`an

Melakukan yang Makruh dan Hukum Pelakunya

Shalat Berjamaah di Dalam Bangunan yang Terpisah dari Imam

Meninggalkan Shalat dengan Alasan yang Dibuat-Buat


Info Khusus

Cinta Rasul

Ada Apa Dengan Valentine's Day ?

Manisnya Iman

Hukum Merayakan Hari Valentine

Adakah Amalan Khusus di Bulan Rajab?

Asyura' Dalam Perspektif Islam, Syi'ah & Kejawen..!!

Ada Apa Dengan Valentine’s Day?


Kajian Islam
· Ada Apa Dengan Valentine's Day..??
· Mutiara Fiqih Islam
· KITAB TAUHID 3
· Untuk Diketahui Setiap Muslim

SMS Dakwah Hari Ini

áóíúÓó ßóãöËúáöåö ÔóíúÁñ æóåõæó ÇáÓóøãöíÚõ ÇáúÈóÕöíÑõ Allah berfirman,yang artinya, Tidak ada yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(QS.Asy-Syura:11)

( Index SMS Dakwah )

   


Telah Hadir & Terbit Kembali… SERIAL BUKU DAKWAH AL-SOFWA :: Telah Hadir & Terbit Kembali… SERIAL BUKU TAUHID :: Tebar Buku Risalah Puasa & Panduan Praktis Bulan Ramadhan ::

Kajian Islam


Kedua, tentang cercaan terhadap perayaan musim-musim serta hari-hari besar tertentu yang diada-adakan. Sebenarnya banyak kerancuan dalam agama yang diakibatkannya. Namun ketahuilah bahwa tidak setiap orang, bahkan tidak banyak orang yang mengetahui tingkat kerancuan bid’ah ini, terutama jika perbuatan bid’ah berasal dari jenis ibadah lain yang disyariatkan. Termasuk kaum cerdik cendekia yang biasa mengetahui sebagian kerancuan. Maka hendaknya seseorang mengikuti Kitab dan Sunnah, walaupun tidak harus mengenal semua kemashlahatan dan kemudaratan yang ada padanya. Di sini kami coba mengingatkan sebagian kerancuan yang diakibatkan oleh bid’ah tersebut.

Di antaranya, barangsiapa melakukan perbuatan baru pada suatu hari, misalnya melakukan puasa hari Kamis pertama bulan Rajab dan shalat pada malam Jum’atnya yang oleh orang-orang bodoh dinamakan shalat ‘Raghaib’. Berikut segala perbuatan yang mengikuti perbuatan-perbuatan itu, menyediakan makanan, perhiasan, berlebih-lebihan dalam belanja, dan sebagainya. Tentu saja perbuatan ini akan diikuti oleh keyakinan di dalam hati.

Karena seseorang pasti mempunyai keyakinan bahwa hari itu lebih mulia daripada hari-hari biasanya, maka puasa pada hari itu menjadi sunnah yang melebihi puasa sunnah hari Kamis sebelum atau sesudahnya. Ada keyakinan bahwa malam ini lebih mulia daripada malam-malam Jum’at lainnya dan shalat pada malam itu lebih utama dari pada shalat pada malam-malam Jum’at lainnya secara khusus dan umumnya lebih utama daripada malam-malam lainnya. Sebab jika tidak ada keyakinan di dalam hatinya atau hati para pengikutnya, tentu tidak akan muncul di dalam hati tersebut semangat untuk mengkhususkan hari dan malam itu, karena pembenaran terhadap sesuatu tanpa ada unsur pembenarannya tidak mungkin terjadi.

Pengertian ini oleh syariah Islam telah disahkan sebagai hukum dan dikukuhkan dengan nash dalil atas pengaruh yang ditimbulkannya, masalah ini termasuk dalam kategori munasabah mu’atstsirah (momen yang punya pengaruh terhadap hukum syar’i). Sebab hanya dengan momen yang disertai dengan berbagai korelasi yang cukup menjadi penyebab suatu hukum, ini pendapat orang yang setuju dengan sahnya munasib gharib (momen yang aneh), sebagian mereka para fuqaha dari kalangan sahabat kami atau yang lainnya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa momen itu tidak bisa mempengaruhi status hukum, maka tidak cukup hanya dengan momen (untuk menentukan suatu hukum), hingga syariah itu sendiri yang membuktikan bahwa suatu sifat memang dapat mempengaruhi suatu hukum, ini pendapat sebagian fuqaha yang juga para sahabat kita dan lainnya. Jika mereka melihat pada suatu hukum yang ditetapkan oleh nash terdapat pengertian yang dapat mempengaruhi hukum lainnya pada kontek lain, mereka mencari sebab (illat) pada hukum yang ditetapkan dengan nash itu.

Ada pula pendapat ketiga yang dikemukakan oleh sebagian besar sahabat kita dan lainnya, bahwa hukum yang ditetapkan dengan nash tidak boleh dicari sebabnya (illat) kecuali terdapat sifat yang oleh syariah telah dijadikannya sebagai sebab bagi hukum tersebut. Dan tidak cukup hanya dengan beberapa sebab untuk menentukan hukum yang sama dengannya atau yang semacamnya.

Ringkasan perbedaan antar beberapa pendapat di atas adalah, jika kita melihat Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) telah menetapkan nash untuk suatu hukum dan menunjukkan juga sebabnya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

ÅöäóøåóÇ áóíúÓóÊú ÈöäóÌóÓò¡ ÅöäóøåóÇ ãöäó ÇáØóøæóøÇÝöíúäó Úóáóíúßõãú æóÇáØóøæóøÇÝóÇÊö.


“Kucing itu tidaklah najis, ia termasuk yang biasa mondar-mandir di rumah kalian.”

Sebab (illat) dinamakan manshushah (yang ditetapkan dengan nash) atau yang diisyaratkan oleh nash, baik momennya diketahui atau tidak. Maka atas kesepakatan ketiga kelompok di atas, hadits ini diamalkan karena sebab yang telah ditentukan. Walaupun mereka tetap berbeda pendapat, apakah hal ini dinamakan qiyas atau bukan?

Contoh lain yang biasa diucapkan orang, misalnya seorang majikan berkata, “Si Fulan itu jangan dimasukkan ke dalam rumahku, karena ia pelaku bid’ah,” atau karena ia hitam, atau karena yang lain. Dari ucapannya ini bisa dipahami bahwa pelaku bid’ah atau orang hitam siapa saja tidak boleh memasuki rumahnya. Pengertian ini sama dengan ungkapan, “Janganlah kamu masukkan pelaku bid’ah atau orang hitam ke dalam rumahku!” Dalam bab sumpah, kita mengamalkan nash semacam ini. Jika seseorang berkata, “Saya tidak akan mengenakan baju yang diberikan si Fulan itu!” orang itu tergolong melanggar sumpah jika mengenakan baju pemberian yang sama dengan baju pemberian tadi, yaitu harganya atau yang lain.

Jika kita melihat Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan hukum namun tidak menyebutkan sebabnya (illat) akan tetapi yang justru disebutkan itu sebab hukum yang sama dengannya atau semacam, misalnya dibolehkannya seorang ayah menikahkan anak gadis kecilnya tanpa izin darinya. Apakah dengan demikian kita berkeyakinan kiranya sebab wilayah untuk menikahkan itu karena kecilnya anak gadisnya sebagaimana wilayah harta? Atau kita katakan, dibolehkannya menikahkan gadis kecil mungkin ada sebab lain, yakni kegadisannya misalnya. Sebab tersebut menjadi pengaruh (untuk menentukan hukum). Atau mungkin Syari’ telah menentukan ‘pengaruhnya’ melalui hukum yang ditetapkan dengan nash dan tidak menyebutkannya pada hukum yang sama dengannya.

Kedua kelompok pendapat pertama berpendapat demikian, yang sejatinya hal itu berarti menetapkan illat untuk qiyas. Bahwa sifat ini mempunyai pengaruh terhadap penetapan hukum pada kondisi itu, maka ia juga berpengaruh pada kondisi ini. Sedang kelompok pendapat ketiga tidak sependapat dengan mereka kecuali terdapat dalil khusus untuk menentukan bolehnya satu macam hukum mempunyai sebab (illat) yang bermacam-macam.

Contoh pendapat ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, (Melarang seseorang menjual atas jualan saudaranya, atau menawar dagangan di atas dagangan saudaranya, atau melamar di atas lamaran saudaranya).

Penyebab larangan itu adalah rusaknya hubungan sebagaimana sebab yang ada pada sabda beliau,

áÇó ÊõäúßóÍõ ÇáúãóÑúÃóÉõ Úóáóì ÚóãóøÊöåóÇ æóáÇó Úóáóì ÎóÇáóÊöåóÇ¡ ÝóÅöäóøßõãú ÅöÐóÇ ÝóÚóáúÊõãú Ðóáößó ÞóØóÚúÊõãú ÃóÑúÍóÇãóßõãú.


“Seorang perempuan tidak boleh dimadu dengan bibi (dari ayahnya), juga tidak boleh dengan bibi (dari ibunya). Sebab jika kalian lakukan hal itu kalian telah memutuskan hubungan rahim kalian.”

Kendatipun pada contoh tersebut disebutkan sebabnya sedang pada contoh sebelumnya tidak disebutkan, karena pada contoh pertama tidak nampak sifat yang sesuai untuk pelarangan itu, berbeda dengan yang kedua.

Contoh untuk dalil khusus yang menetapkan sebab suatu hukum atau yang semacamnya sebagaimana kata orang, “Janganlah kamu memberi sesuatu kepada orang fakir itu, karena ia pelaku bid’ah.” Setelah itu seorang fakir lain yang juga pelaku bid’ah datang dan meminta kepadanya dan orang itu berkata (kepada pembantunya), “Jangan memberi kepadanya!” Padahal bisa orang fakir yang ini musuh orang fakir pertama. Apakah sebab yang ditentukan adalah bid’ahnya atau apa karena ia sering mondar-mandir ke sana? Boleh jadi sebabnya adalah adanya permusuhan.

Jika kita melihat Syari’ menentukan suatu hukum dan kita juga melihat adanya sifat yang sesuai, akan tetapi Syari’ tidak menyebutkan illatnya, pada hukum yang sama dengannya juga tidak disebutkan. Sifat yang demikian disebut dengan ‘munasib gharib’ (momen yang aneh). Karena sifatnya sama dengan sifat yang ditentukan dalam syariah namun nash Syari’ tidak menyebutkan atau mengisyaratkannya sebagai illat.

Kelompok pendapat pertama membolehkan kita mengikutinya sedang dua kelompok lainnya tidak. Yang ini (kelompok pendapat terakhir) mengetahui illat hukum yang ditentukan Syari’ melalui akal kita tanpa adanya dalil yang menunjukkannya. Sedang pendapat sebelumnya mengetahui illat melalui pengqiyasan terhadap ucapan Syari’. Adapun pendapat pertama, mengetahui illat itu melalui ucapan Syari’ langsung.

Illat suatu hukum juga dapat diketahui melalui penyelidikan atau melalui dalil-dalil lain.

Setelah perbedaan pendapat ini jelas bagi kita, permasalahan kita kini tinggal apakah illat yang ditentukan dapat mempengaruhi (penentuan hukum) pada konteks lainnya.

Sebab ketika nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang adanya pengkhususan waktu shalat atau puasa serta membolehkan hal itu jika tidak ada unsur pengkhususannya.

Dalam Shahihnya Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

áÇó ÊóÎõÕõøæÇ áóíúáóÉó ÇáúÌõãõÚóÉö ÈöÞöíóÇãò ãöäú Èóíúäö ÇááóøíóÇáöíú¡ æóáÇó ÊóÎõÕõøæÇ íóæúãó ÇáúÌõãõÚóÉö ÈöÕöíóÇòã ãöäú Èóíúäö ÇúáÃóíóøÇãö¡ ÅöáÇóø Ãóäú íóßõæúäó Ýöíú Õóæúãò íóÕõæúãõåõ ÃóÍóÏõßõãú.


“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk melakukan shalat di antara malam-malam lainnya dan janganlah mengkhususkan siang hari Jum’at dengan puasa di antara hari-hari lainnya, kecuali jika itu adalah puasa yang biasa dilakukan oleh seseorang di antara kalian.”

Dalam kedua kitab Shahih dari Abi Hurairah yang berkata, “Aku dengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

áÇó íóÕõæúãóäóø ÃóÍóÏõßõãú íóæúãó ÇáúÌõãõÚóÉö ÅöáÇóø íóæúãðÇ ÞóÈúáóåõ Ãóæú íóæúãðÇ ÈóÚúÏóåõ.


‘Janganlah salah seorang berpuasa hari Jum’at selain berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya.” Lafadz hadits ini milik Al-Bukhari.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Juwairah binti Al-Harits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki rumahnya pada hari Jum’at yang kala itu Juwariyah sedang puasa. Beliau bertanya, ‘Apakah kamu kemarin puasa?’ ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu berniat puasa esok hari?’ ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Berbukalah!”

Ibnu Abbas meriwayatkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

áÇó ÊóÕõæúãõæúÇ íóæúãó ÇáúÌõãõÚóÉö æóÍúÏóåõ.


“Janganlah kalian hanya berpuasa pada hari Jum’at saja!” (Diriwayatkan Ahmad)

Yang sama dengan contoh tersebut adalah hadits yang dikeluarkan dalam kedua kitab shahih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda,

áÇó íóÊóÞóÏóøãóäóø ÃóÍóÏõßõãú ÑóãóÖóÇäó ÈöÕóæúãö íóæúãò Ãóæú íóæúãóíúäö¡ ÅöáÇóø Ãóäú íóßõæúäó ÑóÌõáñ ßóÇäó íóÕõæúãõ ÕóæúãðÇ ÝóáúíóÕõãú Ðóáößó Çáúíóæúãö. áÝÙ ÇáÈÎÇÑí (íóÕõæúãõ ÚóÇÏóÊóåõ).


“Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali jika seseorang biasa berpuasa, maka hendaknya ia tetap berpuasa pada hari itu.” Sedangkan pada lafadz Al-Bukhari disebutkan, “Ia biasa melakukan puasa.”

Pengertiannya adalah, dalam konteks puasa Syari’ (Allah) membagi hari menjadi tiga macam:

Ada hari-hari khusus untuk berpuasa, baik wajib sebagaimana Ramadhan atau sunnah sebagaimana puasa Arafah dan Asyura (10 Muharram).

Dilarang berpuasa pada hari-hari tertentu secara mutlak sebagaimana kedua hari raya.

Dilarang mengkhususkan puasa pada hari-hari tertentu sebagaimana hari Jum’at dan bulan Sya’ban.

Pembagian terakhir ini jika dibarengi dengan puasa lainnya jadinya tidak dilarang, namun jika dikhususkan melakukan puasa, itulah yang dilarang, baik dengan sengaja atau tidak, baik diyakini kebenarannya atau tidak.

Sisi kerancuan pengkhususan puasa pada hari Jum’at tanpa dibarengi dengan puasa pada hari lainnya, jika ada, bisa-bisa ia termasuk dalam larangan mutlak sebagaimana hari raya, atau menjadi tidak dilarang seperti hari Arafah. Kerancuan seperti itu tidak terdapat pada hari-hari lainnya. Jika tidak demikian, tentu larangan mengkhususkannya tidak ada gunanya.

Maka jelaslah bahwa kerancuan amal itu muncul karena pengkhususan yang mestinya tidak perlu dikhususkan. Pada setiap sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu terdapat hikmah, baik yang berupa perintah atau larangan. Seperti sabda beliau,
ÎóÇáöÝõæÇ ÇáúãõÔúÑößöíúäó.

“Berbedalah dengan orang-orang musyrik!”

Teks larangan mengkhususkan waktu untuk puasa atau shalat mengisyaratkan bahwa kerancuan itu muncul dari pengkhususan. Memang Jum’at merupakan hari mulia, dimana pada hari itu disunnahkan shalat, do’a, dzikir, membaca Al-Qur’an, bersuci, menggunakan wewangian, dan berdandan yang tidak disunnahkan pada hari lainnya. Kemuliaan ini kemudian melahirkan dugaan bahwa berpuasa pada hari Jum’at lebih mulia daripada hari lainnya, juga diyakini bahwa qiyamul-lail pada malamnya sebagaimana puasa pada siangnya, yang mempunyai keutamaan dibanding dengan malam lainnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang pengkhususan untuk mencegah kerancuan yang memang muncul karena pengkhususan itu.

Demikian halnya dengan penyambutan datangnya bulan Ramadhan dengan melakukan puasa, padahal hal itu tidak ada keutamaannya dalam syariah, oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menyambut Ramadhan (dengan puasa).

Pengertian ini terdapat pada permasalahan kita, orang-orang mengkhususkan musim-musim tertentu berdasarkan keyakinan adanya keutamaan. Ketika ada pengkhususan untuk waktu tertentu dengan melakukan puasa atau shalat, hal ini sangat erat kaitannya dengan keyakinan adanya keutamaan pada sesuatu yang sejatinya tidak ada. Dilarangnya pengkhususan itu karena munculnya keyakinan adanya keutamaan melalui pengkhususan.

Jika ada yang mengatakan, “Sebenarnya shalat dan puasa pada hari itu sama dengan hari lainnya. Inilah keyakinan saya, meski demikian saya tetap mengkhususkannya.”

Motif pengkhususan ini pasti karena taqlid kepada orang lain, atau karena mengikuti kebiasaan, atau takut dihujat karena tidak melakukannya, atau lainnya. Jika tidak demikian, tentu orang tersebut berbohong. Motif melakukan perbuatan itu tidak keluar dari adanya keyakinan yang salah atau motif lain di luar masalah agama, dan keyakinan seperti itu sesat!

Sebab kita ketahui secara yakin bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabat beliau, juga para ulama tidak menyebutkan keutamaan hari tersebut, juga tidak menyebutkan keutamaan puasa dan shalat khusus pada hari itu barang satu huruf pun. Hadits yang tentang hal itu palsu, dan hal itu terjadi setelah empat abad sejak muncul Islam.

Memang pada waktu tersebut tidak perlu ada keutamaan, sebab jika keutamaan itu tidak diketahui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, juga para sahabat dan tabi’in atau para ulama. Kitapun mestinya lebih tidak tahu lagi tentang agama yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak mengetahuinya, demikian pula para sahabat, tabi’in, dan para ulama. Kendatipun misalnya mereka mengetahuinya, tetap hal itu dilarang karena motivasi mereka hanya untuk melakukan amal shalih, juga untuk memberikan pelajaran dan nasihat kepada manusia. Maka mereka tidak mengajarkan kepada seorangpun keutamaan tersebut dan tidak seorangpun yang boleh lancang melakukannya.

Jika dugaan keutamaan memang ada tanpa sepengetahuan Rasulullah dan sebaik-baik generasi tentang sebagian ajaran agama, atau karena mereka menyembunyikan sesuatu dimana syariat dan adat kebiasaan mereka tidak membolehkan mereka menyembunyikan sesuatu atau meninggalkannya. Sedangkan hal yang mengharuskan mereka menyembunyikan atau meninggalkan memang tidak ada; baik dari sisi syariah atau adat kebiasaan bersama syariah. Berarti hal itu tidak ada dan keutamaan itu hanya dugaan semata.

Kemudian perbuatan bid’ah itu tetap dilakukan, baik dengan keyakinan tentang ketersesatannya dalam agama, atau perbuatan itu untuk selain Allah. Maka beragama dengan keyakinan yang sesat atau beragama untuk selain Allah tidak diperkenankan.

Bid’ah ini atau semacamnya mengharuskan dilakukannya perbuatan lain yang tidak diperbolehkan, baik secara tegas atau tidak. Minimal perbuatan yang dilakukan itu, kalau tidak haram, tentu makruh. Kaidah ini ada pada semua perbuatan bid’ah.

Perbuatan bid’ah ini juga dibarengi dengan keyakinan di dalam hati yang berupa pengagungan dan penghormatan. Itu juga batil dan bukan dari ajaran agama Allah.

Jika ada orang yang berkata, “Saya tidak meyakini keutamaannya.” Pada saat itu tidak mungkin baginya menghilangkan rasa pengagungan dan hormat dari hatinya sementara ia tetap mengamalkannya. Sebab pengagungan dan penghormatan tidaklah muncul selain karena adanya perasaan serupa. Jika ia menduga bahwa perbuatan itu dilakukan karena keterpaksaan. Sebenarnya jika jiwa terbebas dari perasaan akan keutamaan sesuatu, tentu tidak ada pengagungan di dalamnya. Barangkali memang ada perasaan lain.

Kalau terdapat keyakinan bahwa perbuatan itu bid’ah, tidak mungkin ada pengagungan dalam diri. Dan karena ada perasaan tertentu terhadap apa yang dituturkan kepadanya tentang perbuatan itu, atau karena banyak orang yang mengamalkannya, atau karena Fulan dan Fulan melakukannya, atau nampaknya ada sisi manfaatnya, maka ia pun melakukannya dan mengagungkannya.

Jelaslah kiranya bahwa perbuatan bid’ah ini bertentangan dengan keyakinan, berseberangan dengan apa yang dibawa Rasul dari Allah. Perbuatan ini bisa menimbulkan kemunafikan di dalam hati, walau hanya sekedar kemunafikan ringan.

Keadaan semacam ini sama dengan orang-orang yang mengagungkan Abu Jahal atau Abdullah bin Ubay bin Salul karena kepemimpinannya, hartanya, nasabnya, kebaikannya kepada mereka, dan pengaruhnya terhadap mereka. Lalu jika Rasulullah mencelanya atau diperintahkan untuk menghinanya atau membunuhnya. Maka seseorang harus membersihkan keimanannya atau jika tidak, di dalam hatinya terdapat pertarungan antara taat kepada Rasulullah yang diiringi dengan keyakinan yang benar, atau ia harus mengikuti dorongan jiwanya layaknya orang yang mengikuti semua praduga bohong.

Siapa yang mengamati hal ini, ia akan tahu bahwa pada perbuatan bid’ah terdapat racun yang dapat melemahkan keimanan. Benar kiranya orang berkata, “Sesungguhnya bid’ah lahir dari kekafiran.”

Pengertian yang saya sebutkan tadi berlaku untuk semua jenis ibadah yang dilarang oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) dalam syariat Islam. Jika seseorang diperbolehkan menduga adanya keistemawaan pada sesuatu, misalnya shalat di kuburan, menyembelih binatang di sisi patung atau semacam itu. Walaupun misalnya seseorang tidak meyakini adanya keistimewaan, akan tetapi perbuatannya itu sendiri menunjukkan adanya dugaan keistimewaan. Sebagaimana menetapkan keutamaan dalam syariat Islam itu menjadi satu tujuan, maka menghilangkan keutamaan yang tidak disyariatkan juga menjadi tujuan.

Jika ada yang mengatakan, “Inilah sanggahannya, bahwa perayaan Maulid dan sebagainya dilakukan oleh para ulama, orang-orang mulia, dan orang-orang jujur, atau selain mereka. Pada perbuatan tersebut juga terdapat banyak manfaat yang dirasakan seorang Mukmin di dalam hatinya atau di luar hatinya; kesucian hati dan kelembutannya, hilangnya bekas-bekas dosa dari hatinya, dikabulkannya doanya, atau yang lain. Disamping adanya dalil-dalil umum yang menunjukkan keutamaan shalat dan puasa sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat.” (Al-‘Alaq: 9-10).

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

ÇóáÕóøáÇóÉõ äõæúÑñ æóÈõÑúåóÇäñ.


“Shalat adalah cahaya dan petunjuk.”
Atau dalil lain.

Kita katakan, pastilah yang melakukan itu seorang penta’wil, mujtahid, atau yang hanya ikut-ikutan. Masing-masing mendapat pahala sesuai dengan kebaikan niatnya dan amal yang ditetapkan oleh syariat Islam. Ia juga diampuni jika pada perbuatannya terdapat bid’ah, jika memang ia bisa dimaklumi atas ijtihad dan taklidnya. Demikian pula adanya beberapa manfaat sebagaimana yang kami sebutkan yang memang ada dan dikandung oleh amal yang disyariatkan semisal puasa, shalat, membaca Al-Qur’an, ruku’, sujud, niat yang bagus terhadap Allah, ketaatan, dan doa kepada Allah. Ada pula hal-hal makruh yang dikandung di dalamnya. Namun yang makruh itu kemudian ditiadakan berkat ampunan dari Allah, bukan karena ijtihad pelakunya atau taklidnya. Kaidah ini berlaku juga bagi manfaat yang ada pada setiap bid’ah.

Namun kadar manfaat yang ada tidak menghalangi adanya pelarangan terhadapnya serta sisi kemakruhannya, juga adanya alternatif lain dengan ibadah yang disyariatkan dan jauh dari bid’ah. Sebagaimana orang-orang yang menambahkan adzan pada dua hari raya merupakan dugaan semata. Sedangkan orang-orang Yahudi dan Nashrani juga mendapatkan manfaat pada ibadah mereka. Hal itu dikarenakan di antara ibadah yang mereka lakukan ada jenis-jenis yang disyariatkan, sebagaimana yang mereka katakan bahwa di antara ibadah mereka ada yang mengandung unsur kebenaran sebagai peninggalan dari para nabi. Meski demikian ibadah mereka tidak wajib diamalkan dan kata-kata mereka tidak perlu diriwayatkan karena semua bid’ah pasti mengandung keburukan yang mendominasi di samping kebaikan. Jika ternyata kebaikan yang mendominasi, tentu syariah Islam tidak akan mengabaikannya.

Oleh karena itu, kita menghukuminya sebagai perbuatan bid’ah karena dosanya lebih banyak daripada manfaatnya, itulah yang menjadi maksud dengan pelarangan ini. Saya katakan, “Mungkin dosanya bisa dihapus dari seseorang karena adanya unsur ijtihad atau lainnya sebagaimana hilangnya nama riba atau sari anggur yang masih menjadi perselisihan dari sebagian mujtahidin salaf. Meski demikian harus ada penjelasan tentang kesalahannya agar orang yang menghalalkannya tidak diikuti dan agar seseorang tidak malas untuk mencari ilmu yang benar tentang hakikat permasalahan itu.

Keterangan ini kiranya cukup untuk menjelaskan bahwa bid’ah semacam ini mengandung kerusakan akidah atau kondisi yang berseberangan dengan risalah yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di samping ada pula sisi manfaat yang terdominasi dan tidak layak menjadi pertimbangan (untuk menghalalkannya).

Lalu ada yang mengatakan secara rinci, “Jika dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemuliaan.” Sebenarnya hal itu telah ditinggalkan pula oleh orang-orang pada zaman mereka sendiri dengan keyakian akan keharamannya, juga diingkari oleh yang lain. Sedangkan mereka yang meninggalkannya dan mengingkarinya jika memang tidak lebih mulia dengan orang-orang yang melakukan itu tentu mereka tidak lebih hina. Atau jika mereka ternyata lebih hina pastilah ada pertentangan di kalangan ulama, lalu permasalahannya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, sementara Kitab dan Sunnah Rasul-Nya berpihak kepada orang yang mengingkarinya, bukan kepada orang yang merekomendasikannya.

Sedangkan sebagian besar para ulama terdahulu yang memang lebih mulia dari yang belakangan berpihak kepada orang-orang yang meninggalkan dan mengingkarinya. Adapun manfaat yang dikandungnya, sebenarnya telah dikalahkan oleh sisi kerusakan bid’ah yang lebih mendominasi sebagaimana yang telah dijelaskan, baik dari sisi akidah atau lainnya; misalnya adanya hati yang lebih mendapatkan kenikmatan dan merasa puas dengan perbuatan bid’ah itu daripada dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sampai-sampai Anda menemukan seorang awam berantusias untuk mengamalkannya padahal ia tidak melakukan hal yang sama untuk shalat Tarawih dan shalat lima waktu.

Di antara sisi kerusakan lainnya adalah, karena perbuatan bid’ah ini para ulama dan orang awam menjadi berkurang amal mereka terhadap kewajiban dan sunnah, semangat mereka juga menjadi kendor. Anda mendapatkan seseorang begitu bersemangat melakukan perbuatan ini, ia begitu ikhlas dan total, ia kerjakan demi perbuatan ini dengan kadar yang tidak dilakukannya pada kewajiban dan sunnah. Sampai-sampai ia melakukan bid’ah ini layaknya sebuah ibadah, sementara ia melakukan kewajiban dan sunnah sebagai kebiasaan dan rutinitas belaka. Ini jelas berlawanan dengan agama, karena perbuatan ini seseorang kehilangan ampunan dan rahmat yang ada di balik kewajiban dan sunnah, juga kehilangan kelembutan, kesucian, kekhusyu’an, dikabulkannya doa, dan lezatnya munajat serta kebaikan lainnya. Jika tidak kehilangan semua itu, tentu ia kehilangan kesempurnaannya. Di antaranya, berubahnya yang ma’ruf menjadi mungkar dan sebaliknya, yang mungkar menjadi ma’ruf. Pada gilirannya hal itu akan mengakibatkan bodohnya banyak orang terhadap agama para rasul dan tersebarnya tumbuhan kejahiliyahan.

Di antara kerusakan lainnya, adanya bermacam-macam perbuatan yang tidak terpuji menurut syariah Islam. Misalnya, mengakhirkan waktu berbuka, melakukan shalat Isya’ di akhir waktu dan tanpa kehadiran hati, bersegera melakukan perbuatan bid’ah itu, adanya sujud usai salam bukan karena lupa, adanya bermacam-macam dzikir dan wirid yang tidak jelas asal-usulnya, dan kerusakan lainnya yang tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang terang mata hatinya dan bersih jiwanya.

Di antara kerusakan lain, tabiat menjadi rusak dan tidak ada semangat mengikuti sunnah serta kehilangan jalan yang lurus. Karena ketika melakukan perbuatan bid’ah itu jiwa dijangkiti semacam kesombongan, lalu ia mencoba untuk keluar dari segala ibadah dan sunnah sebisa mungkin. Benarlah kiranya yang dikatakan Abu Utsman An-Naisaburi, “Seseorang tidak meninggalkan sebagian dari sunnah kecuali karena keseombongan dalam jiwanya.” Lalu hal ini berakibat juga kepada orang lain, jadinya hakikat mengikuti sunnah Rasulullah terlepas dari hati, muncul kesombongan dan giliran berikutnya kelemahan iman merusak agamanya, atau hampir merusak. Sementara mereka tetap mengira telah melakukan kebaikan.

Hal lain lagi, sebagaimana telah disinggung sebelumnya tentang kerusakan yang ada pada perayaan hari-hari besar ahli kitab. Dimana kedua sisi kerusakan ada padanya; adanya kemiripan pada kerusakan itu dan yang tidak ada kemiripannya.

Pembicaraan tentang bid’ah mestinya tidak dibahas pada kesempatan semacam ini, kami belum dapat memuaskan jiwa melalui pemaparan ini dan kami hanya menyebutkan sebagian hari-hari besar saja.

Telah kami singgung, hari raya adalah nama tempat, waktu, dan perkumpulan. Tiga hal ini dapat memunculkan berbagai perbuatan.

Dari sisi waktu terbagi menjadi tiga macam, yang di antaranya terdapat bid’ah hari besar dari sisi tempat dan perbuatan.

Pertama, Hari yang pada dasarnya syariah tidak mengagungkannya dan tidak pernah disebutkan pada zaman ulama salaf dan tidak ada pengagungan pada mereka. Sebagaimana hari Kamis pertama bulan Rajab dan malam Jum’atnya yang disebut dengan ‘Raghaib’. Sebab pengagungan hari dan malam tersebut terjadi setelah empat abad dalam Islam. Terdapat riwayat hadits maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan pada ulama yang isinya tentang keutamaan puasa pada hari itu. Sedang shalat pada hari itu dinamakan oleh orang-orang bodoh itu dengan shalat ‘Raghaib’. Para ulama kontemporer dari kalangan sahabat kami menyebutkan hal itu, demikian pula ulama lain.

Yang benar adalah pendapat para ulama ahli ilmu, yakni larangan mengkhususkan puasa pada hari itu serta larangan shalat yang diada-adakan pada malamnya. Juga larangan melakukan segala sesuatu yang bertujuan untuk mengagungkan hari itu, misalnya menyediakan makanan, pamer dandanan, dan lain-lain. Agar hari ini sama dengan hari-hari lainnya dan agar tidak ada keistimewaan pada hari tersebut.

Kedua, Hari yang terjadi di dalamnya suatu kejadian sebagaimana yang terjadi pada hari lainnya, tanpa ada pengharusan untuk menjadikan hari tersebut sebagai tradisi musiman, ulama salaf juga tidak mengagungkannya. Seperti halnya tanggal delapan belas Dzul Hijjah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah di dekat selokan pada sebuah kebun sepulangnya dari haji Wada’. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dan menasihati agar berpegang kepada Kitab Allah, juga berpesan agar berbuat baik kepada ahlu bait beliau. Sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya dari Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu.

Para pengikut hawa nafsu memberi tambahan atas peristiwa itu sampai-sampai menimbulkan dugaan bahwa beliau menjanjikan kekhalifahan kepada Ali dengan nash yang jelas, setelah digelarkan alas untuknya dan ditempatkan di tempat tidur yang tinggi. Mereka juga menyebutkan cerita sesat dan perbuatan yang dapat dipastikan bahwa beliau tidak mungkin melakukan hal itu. Mereka mengira bahwa para sahabat menyembunyikan nash ini dan merampas hak orang yang diwasiati (Ali), mereka menjadi fasik dan kafir, kecuali beberapa orang saja.

Sebagaimana kebiasaan yang Allah tetapkan berlaku bagi anak cucu Adam, juga tradisi menjaga amanah dan agama kaum itu, dan kewajiban untuk menjelaskan kebenaran dari syariat Islam. Semua itu melahirkan keyakinan yang pasti, bahwa apa yang mereka tuduhkan tidak ada wujudnya.

Tujuan pembahasan ini bukan masalah Imamah (dalam Syiah), namun tujuannya adalah, bahwa menjadikan hari semacam ini sebagai hari raya adalah perkara baru yang tidak ada dasarnya. Para ulama salaf, demikian pula ahli bait, atau selain mereka menjadikan hari ini (18 Dzul Hijjah) sebagai hari raya, hingga dilakukan berbagai macam perbuatan. Hari raya dalam Islam merupakan syariah agama yang harus diikuti dan bukannya untuk dibid’ahkan. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri seringkali menyampaikan khutbah, janji, mengalami berbagai peristiwa pada hari-hari yang berlainan. Sebagaimana peristiwa Badar, Hunain, Al-Khandaq, Fathu Makkah, peristiwa hijrah, masuknya beliau ke Madinah. Juga khutbah yang bermacam-macam saat beliau menjelaskan dasar-dasar agama. Lalu peristiwa-peristiwa itu tidak harus dijadikan sebagai hari raya sebagaimana hari-hari lainnya. Yang melakukan perbuatan semacam ini justru orang-orang Nashrani yang menjadikan peristiwa-peristiwa yang dialami nabi Isa sebagai hari raya, atau orang-orang Yahudi.

Hari raya adalah syariah agama, apa yang disyariatkan Allah harus diikuti, jika tidak disyariatkan, berarti hal itu kejadian baru yang bukan dari agama.

Demikian pula apa yang dilakukan sebagian orang, yang boleh jadi hal itu untuk menyaingi orang Nashrani dengan perayaan kelahiran Isa ‘alais salam (natal), atau sebagai wujud kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan pengagungan untuk beliau. Bisa jadi memang Allah memberikan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad semacam ini, bukan atas perbuatan bid’ahnya.{ket. Tambahan : Ini catatan Syaikh Muhammad Hamid Faqi rahimahullah, ia berkata, “Bagaimana mungkin ia mendapatkan pahala atas perbuatan bid’ahnya ini? Sedangkan mereka berseberangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta para sahabat beliau? Jika ada yang mengatakan, karena mereka berijtihad dan salah dalam ijtihad itu. Kami katakan, ijtihad macam apakah ini?, apakah nash-nash yang jelas memberikan peluang untuk ijtihad? Sementara perkara ini sudah sangat jelas dan gamblang, perbuatan ini hanyalah dominasi jahiliyah dan hawa nafsu yang membawa manusia untuk berpaling dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada agama Yahudi dan Nashrani maupun paganisme. Mereka itu berhak mendapatkan laknat dan murka Allah. Apakah kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diwujudkan dengan cara berpaling dari petunjuk beliau dan membenci kebenaran serta kebaikan bagi manusia yang beliau bawa dari Tuhannya? Juga dengan bersegera menyambut ajaran paganisme, Yahudi, dan Nashrani? Siapakah sejatinya orang-orang yang menghidupkan hari-hari besar kaum paganisme itu? Apakah mereka itu Imam Maliki, Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, kedua Sufyan, atau selain mereka, para ulama pembawa petunjuk radhiallahu ‘anhu ? Hingga bisa dimaklumi atas kesalahan mereka? Sekali-kali tidak, justru yang melakukan perayaan hari-hari raya yang penuh dengan kesyirikan ini orang-orang ubaidiyah dimana para ulama sepakat bahwa mereka orang-orang Zindiq, bahkan mereka lebih kafir daripada Yahudi dan Nashrani. Mereka menjadi bencana bagi kaum Muslimin. Melalui tangan dan celotehan mereka tersebarlah racun tasawwuf yang jelek itu hingga banyak di antara kaum Muslimin yang menyimpang dari jalan yang lurus. Sampai-sampai kaum Muslimin termasuk yang mendapatkan kemurkaan dan tersesat. Sedangkan ucapan Syaikhul Islam sendiri bertentangan dengan apa yang mereka duga. Sebab cinta dan pengagungan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Dan hal itu dilakukan dengan cara mengikuti apa yang beliau bawa dari Allah sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31). Juga firman Allah lainnya, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kalian (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul,’ niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu mushibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, ‘Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna.’ Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk dita`ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 60-65). Allah berfirman lagi, “Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami mentaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 47-51).} Yakni dengan menjadikan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hari besar padahal masih terjadi perbedaan pendapat mengenai hari kelahiran beliau. Hal itu tidak pernah dilakukan ulama salaf padahal kesempatan untuk itu ada dan tidak ada penghalang untuk melakukannya. Jika terdapat kebaikan dalam hal ini, atau jika perbuatan merupakan kebenaran, tentunya ulama salaf radhiallahu ‘anhum itu lebih berhak melakukannya daripada kita, sebab kecintaan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih besar daripada kecintaan kita. Mereka juga lebih berantusias terhadap kebaikan daripada kita. Namun sempurnanya kecintaan dan pengagungan mereka lakukan dengan mengikuti beliau, mentaati, menjalankan perintah beliau, meng-hidupkan sunnah beliau secara lahir dan batin, menyebarkan ajaran yang beliau bawa, dan berjihad menegakkan itu semua dengan hati, tangan, serta harta. Inilah jalan yang ditempuh generasi pertama, para Muhajirin dan Anshar, juga orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka.

Sedangkan orang-orang yang memiliki antusiasme terhadap bid’ah semacam ini, dengan niat baik dan ijtihad mereka karena mengharapkan pahala. Ternyata Anda mendapati mereka malas melakukan perintah dengan semangat. Kondisi mereka sama dengan orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan tidak membacanya, atau membacanya namun tidak dengan penghayatan, atau sama dengan orang yang menghias masjid namun tidak melakukan shalat di dalamnya, atau melakukan shalat namun hanya sekali waktu, atau sama dengan orang yang mengoleksi tasbih, sajadah yang berhias indah, atau hiasan-hiasan lahir lainnya yang tidak disyariatkan. Di samping semua itu diiringi dengan sikap riya’, sombong, dan menyibukkan diri dari yang disyariatkan, juga merusak kondisi pelakunya sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,

ãóÇ ÓóÇÁó Úóãóáõ ÃõãóøÉò ÞóØñø ÅöáÇóø ÒóÎúÑóÝõæúÇ ãóÓóÇÌöÏóåõãú.


“Sama sekali perbuatan umat tidak buruk selain jika mereka menghiasi masjid-masjid.”

Ketahuilah bahwa di antara perbuatan yang terdapat sisi kebaikannya, tapi juga mengandung keburukan adalah bid’ah. Perbuatan semacam itu buruk dan bertentangan dengan agama Allah secara keseluruhan, sebagaimana layaknya orang-orang munafik dan fasik.

Pada akhir zaman banyak orang yang dijangkiti masalah ini, oleh karena itu hendaknya Anda memperhatikan dua adab di bawah ini:

Pertama, agar Anda bersungguh-sungguh dalam berpegang teguh dengan sunnah secara lahir dan batin sepenuh hati Anda atau orang yang berada dalam kewenangan Anda, kenalkan yang ma’ruf dan tolak yang mungkar.

Kedua, agar Anda mengajak manusia kepada sunnah sebisa mungkin. Jika Anda melihat orang telah melakukan perbuatan bid’ah dan tidak meninggalkannya kecuali semakin menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari sebelumnya, maka jangan Anda mengajaknya meninggalkan kemungkaran yang menimbulkan kemungkaran yang lebih buruk lagi, atau jangan mengajaknya meninggalkan perbuatan makruh yang menyebabkannya meninggalkan kewajiban atau perbuatan sunnah dimana meninggalkannya lebih berbahaya daripada perbuatan makruh yang mereka lakukan.

Namun jika terdapat semacam kebaikan pada perbuatan bid’ah, ubahlah ia untuk melakukan kebaikan yang disyariatkan sebisa mungkin. Sebab jiwa manusia tidak akan meninggalkan sesuatu kecuali ada penggantinya, tidak selayaknya seseorang meninggalkan kebaikan kecuali ia mendapatkan kebaikan serupa dari lainnya, atau yang lebih baik darinya. Karena jika para pelaku perbuatan bid’ah dicaci karena perbuatannya, demikian pula orang-orang yang meninggalkan sunnah, mereka juga tercela. Karena di antara sunnah-sunnah itu ada yang wajib secara mutlak ada pula yang wajib dengan syarat. Seperti halnya shalat-shalat sunnah, barangsiapa ingin melakukannya, ia wajib melaksanakannya dengan rukun-rukunnya. Sebagaimana orang yang melakukan dosa-dosa, wajib baginya melakukan kafarat, qadha’, taubat, dan perbuatan baik yang menghapus perbuatan buruk. Demikian pula wajib bagi seorang pemimpin, hakim, mufti, atau wali untuk mengembalikan hak-hak orang lain. Demikian pula bagi para penuntut ilmu, atau orang yang meninggalkan ibadah-ibadah sunnah, wajib menunaikan kewajiban-kewajibannya.

Di antaranya ada pula yang tidak boleh terus-menerus ditinggalkan, ada pula yang tidak boleh ditinggalkan dan wajib dilakukan oleh para pemimpin saja, sementara orang-orang awam wajib diajari dan dinasihati serta diajak melakukan sunnah-sunnah itu.

Banyak di antara orang-orang yang mengingkari ibadah-ibadah bid’ah ternyata malas melakukan ibadah-ibadah sunnah atau memerintahkan orang lain untuk melakukannya.

Bisa jadi kondisi sebagian mereka lebih buruk daripada orang-orang yang biasa melakukan kebiasaan-kebiasaan makruh. Sedangkan agama adalah mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan hal itu tidak akan bisa tegak kecuali dengan ‘sejawatnya’, seseorang tidak dilarang melakukan kemungkaran kecuali ia juga diajak melakukan yang ma’ruf, sebagaimana ia diperintahkan menyembah Allah juga dilarang menyembah selain-Nya.

Sedangkan inti urusan adalah syahadat ‘La Ilaha Illlallah’. Sementara jiwa manusia diciptakan untuk berbuat, bukan untuk dibiarkan saja, ketika suatu perbuatan terlihat ditinggalkan, tentu untuk tujuan lainnya. Jika jiwa tidak melakukan amal shalih, pasti ia tidak meninggalkan perbuatan buruk atau yang kurang. Jika amal-amal buruk itu dapat merusak amal shalih, dilaranglah perbuatan semacam itu untuk menjaga amal shalih tersebut.

Bisa jadi seseorang mengagungkan Maulid dan menjadikannya sebagai perayaan rutin mendapatkan pahala yang besar karena kebagusan niatnya serta penghormatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana yang telah saya kemukakan, bahwa suatu perbuatan kadang dianggap baik oleh sebagian orang tetapi dianggap buruk oleh seorang mukmin yang benar. Ketika Imam Ahmad ditanya tentang penguasa yang menyumbangkan sekitar seribu Dinar untuk satu mushaf Al-Qur’an, ia menjawab, “Biarkan saja dia, sesungguhnya itu emas paling baik yang diinfakkannya.” Kendatipun pendapat madzhabnya tidak membolehkan memberi hiasan untuk mushaf Al-Qur’an. Bisa jadi ada di antara ulama yang mengartikan sumbangan itu untuk mengganti kertas atau tulisannya.

Sebenarnya bukan itu yang dimaksudkan Ahmad, pada perbuatan tersebut terdapat sisi kemaslahatannya, namun juga terdapat sisi kerusakannya. Oleh karena itu ia dihukumi makruh.

Jika tidak melakukan itu, tentu mereka melakukan kerusakan yang sama sekali tidak ada sisi kebaikannya. Misalnya penguasa tadi menyumbangkannya bagi pengadaan buku-buku bejat, buku tentang kencan malam, syair-syair, atau hikmah Persia dan Romawi.

Oleh karena itu gunakan kecerdasan Anda untuk mengetahui hakikat agama ini, lihatlah sisi kemaslahatan dan sisi kerusakan yang dikandung oleh setiap perbuatan, yang pada gilirannya Anda akan menemukan tingkatan-tingkatan ma’ruf dan tingkatan-tingkatan mungkar. Hingga Anda dapat memprioritaskan hal-hal penting dan tidak tercampuraduk. Inilah hakikat perbuatan yang diemban para rasul. Sebab mengetahui kelebihan di antara jenis yang ma’ruf atau jenis kemungkaran, kelebihan di antara dalil dan yang bukan dalil akan banyak memberikan kemudahan. Apabila terjadi pencampuradukan antara tingkatan-tingkatan ma’ruf, kemungkaran, atau dalil, kerjakan yang paling ma’ruf dan ajaklah orang lain, ingkarilah yang paling mungkar, dan pilihlah dalil terkuat. Inilah yang dilakukan para ulama pilihan terhadap agama ini.

Terdapat tiga tingkatan amal:

Pertama, Amal shalih yang sama sekali tidak ada sisi makruhnya.

Kedua, Amal shalih dari sebagian sisinya atau mayoritasnya, bisa jadi karena kebersihan niat dalam melakukannya atau ia mengandung banyak hal-hal yang disyariatkan.

Ketiga, Yang memang tidak ada sisi kebaikannya, bisa jadi karena meninggalkan amal shalih sama sekali atau karena perbuatan itu rusak belaka.

Yang pertama adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lahir dan batin, ucapan dan perbuatan dalam perkara-perkara amaliyah dan ilmiah. Inilah yang wajib dipelajari dan diajarkan serta mengajak orang lain untuk melaksanakannya. Melakukan perbuatan ini dalam syariah Islam bisa jadi sebagai kewajiban atau sunnah.

Yang biasa melakukan hal ini adalah kaum Muslimin generasi pertama, para Muhajirin dan Anshar berikut orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.

Adapun tingkatan kedua, ini banyak dilakukan para ulama kekinian yang memiliki ilmu dan mereka ahli ibadah, demikian pula orang-orang awamnya. Mereka itu lebih baik daripada orang yang tidak melakukan amal shalih sama sekali, baik yang disyariatkan atau tidak. Atau lebih baik daripada orang yang hanya melakukan perbuatan haram, seperti kekafiran, dusta, khianat, dan kebodohan. Perbuatan yang masuk dalam kategori ini sangat banyak, barangsiapa melakukan ibadah yang mengandung unsur kemakruhan, seperti puasa wishal (puasa terus menerus selain Ramadhan), menjauhi hubungan seks (dengan istrinya) atau semacamnya. Atau untuk tujuan menghidupkan malam yang sama sekali tidak ada kekhususannya seperti malam pertama bulan Rajab atau semacamnya. Bisa jadi orang tersebut lebih baik daripada para penganggur yang tidak punya semangat sama sekali untuk melakukan ibadah dan ketaatan. Bahkan banyak di antara mereka yang mengingkari ini semua, namun mereka juga tidak melakukan ibadah kepada Allah. Seperti mencari ilmu yang bermanfaat dan melakukan amal shalih. Mereka tidak menyukainya dan tidak punya keinginan untuk melakukannya sama sekali. Mereka juga tidak mungkin melakukan apa yang disyariatkan, maka segala upaya mereka kerahkan untuk hal-hal ini. Kondisi mereka sebenarnya mengingkari yang disyaritkan dan yang tidak disyariatkan, sementara ucapan mereka hanya mengingkari yang disyariatkan.

Dengan demikian, seorang Mukmin adalah yang mengerjakan yang ma’ruf dan menolak kemungkaran. Kesepakan dengan orang-orang munafik secara lahir tidak menghalanginya untuk melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Perbedaannya dengan sebagian ulama dalam berbagai masalah juga tidak menghalanginya untuk mengenal yang ma’ruf dan mengamalkannya.

Ketiga, Hari yang dimuliakan di dalam syariah Islam, seperti hari Asyura’, hari Arafah, kedua hari raya, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah, siang dan malam Ju’mat, sepuluh hari pertama bulan Muharram, dan waktu-waktu mulia lainnya.

Pada jenis ini terkadang diyakini sebagai kemuliaan, lalu lahirlah perbuatan-perbuatan mungkar yang dilarang dalam agama. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang pada hari Asyura’, mereka sengaja dahaga, bersedih, berkumpul, dan perbuatan baru lainnya yang tidak disyariatkan Allah maupun Rasul-Nya, juga tidak seorangpun dari ulama salaf yang melakukannya. Tidak juga dari kalangan ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau selain mereka.( Lihat, Iqtidha’us Shirathal Mustaqim, hal. 267-299.)

Dengan demikian nampaklah kebohongan dan penipuan yang dilakukan Maliki. Ia menukil satu pernyataan dan meninggalkan sebagian lainnya yang menjadi hujjah melawan dirinya. Ia pernah menukil parkataan Syaikhul Islam,

“Demikian pula apa yang dilakukan sebagian orang, yang boleh jadi hal itu untuk menyaingi orang Nashrani dengan perayaan kelahiran Isa ‘alaihis salam (natal), atau sebagai wujud kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan pengagungan untuk beliau. Bisa jadi memang Allah memberikan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad semacam ini, bukan atas perbuatan bid’ahnya.”

Lalu, Maliki pindah ke perkataan lainnya yang kelihatannya berupa dukungan bagi kebohongan dan penipuannya. Ia meninggalkan ucapan lainnya yang mestinya demikian,

“Bisa jadi memang Allah memberikan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad semacam ini, bukan atas perbuatan bid’ahnya. Yakni dengan menjadikan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hari besar padahal masih terjadi perbedaan pendapat mengenai hari kelahiran beliau. Hal itu tidak pernah dilakukan ulama salaf padahal kesempatan untuk itu ada dan tidak ada penghalang untuk melakukannya. Jika terdapat kebaikan dalam hal ini, atau jika perbuatan merupakan kebenaran, tentunya ulama salaf radhiallahu ‘anhum itu lebih berhak melakukannya daripada kita.” Sampai akhir ucapan beliau sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Lalu apa arti ucapan Syaikh dan apa pula arti ‘apa yang dilakukan sebagian orang?’ Beliau rahimahullah memaparkan beberapa perbuatan bid’ah yang di antaranya bid’ah perayaan Maulid Nabi, beliau berkata, “Misalnya, apa yang dilakukan sebagian orang .. dst”, yakni dengan menjadikan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hari besar. Beliau juga sebenarnya bersikap moderat terhadap orang-orang yang merayakan Maulid, jika maksud mereka adalah mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau tegaskan bahwa bisa jadi Allah memberikan pahala kepada mereka karena niat baik semacam ini, dan bukan karena melakukan perbuatan bid’ah. Sebab orang-orang yang merayakan Maulid tentu saja berdosa dan akan diadzab karena dosa bid’ah mereka, yakni adzab neraka sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

ÝóÅöäóø ßõáóø ãõÍúÏóËóÉò ÈöÏúÚóÉñ¡ æóßõáóø ÈöÏúÚóÉò ÖóáÇóáóÉñ¡ æóßõáóø ÖóáÇóáóÉò Ýöí ÇáäóøÇÑö.


“Setiap hal baru (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah tersesat, dan setiap yang tersesat di dalam neraka.”

Kondisi mereka mirip dengan orang yang melaksanakan shalat tapi meninggalkan puasa. Inilah arti ucapan beliau rahimahullah,

“Bisa jadi seseorang mengagungkan Maulid dan menjadikannya sebagai perayaan rutin mendapatkan pahala yang besar karena kebagusan niatnya serta pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anda juga melihatnya lebih baik daripada orang lain. Orang Mukmin yang melakukan hal positip tidak bisa disalahkan.”

Perkataan Syaikh ini sebenarnya ditujukan kepada orang yang melakukan perayaan Maulid Nabi, baik karena ta’wil atau taklid. Adapun orang yang mengetahui bahwa perbuatan itu bid’ah lalu ia melakukannya walaupun dengan tujuan yang mulia, atau karena kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang tersebut berdosa dan tidak akan mendapatkan pahala, ia tercela dan tidak terpuji karena ia telah sengaja melakukan apa yang diharamkan Allah berdasarkan ilmu, bahwa perbuatan itu bid’ah dan tidak ada restu dari Allah. Semua nash dari Kitab dan Sunnah menegaskan buruknya perbuatan ini dan siksaan yang mesti dialami, bukan pahala sebagaimana yang dipahami oleh orang yang menta-dabburi nash-nash itu dan mengetahui larangan melakukan bid’ah serta ancaman keras bagi pelakunya.

Mestinya ucapan Syaikh itu dipahami demikian, sebagaimana pada ucapan beliau pada konteks lainnya dan telah disinggung di atas. Kaidah syariah menegaskan bahwa yang global dicairkan dengan yang jelas dan buram dijelaskan dengan yang terang lagi pasti. Bukannya sebaliknya, dan hal itu tidak ada yang melakukannya selain orang-orang yang cenderung kepada kesesatan sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya.” (Ali Imran: 6).

Allah Maha Penolong.

Hit : 0 | IndexJudul | IndexSubjudul | kirim ke teman | versi cetak 

 
   
Statistik Situs
Kamis,25-4-2024 M 7:14:27 
Hijri: 16 Syawal 1445 H
Hits ...: 311589905
Online : 106 users

Pencarian

cari di  

 

Iklan

















Jajak Pendapat
Rubrik apa yang paling anda sukai di situs ini ?

Analisa
Buletin
Fatwa
Kajian
Khutbah
Kisah
Konsultasi
Nama Islami
Quran
Tarikh
Tokoh
Doa
Hadits
Mu'jizat
Sakinah
Akidah
Fiqih
Sastra
Resensi
Dunia Islam
Berita Kegiatan
Kaset
Kegiatan
Materi KIT
Firqah
Ekonomi Islam
Senyum
Download


Hasil Jajak Pendapat

Mutiara Hikmah

Mathraf bin Abdullah ibnusy Syakhir menulis surat balasan kepada sang Khalifah Umar bin Abdul Aziz, "Kepada hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, dari Mathraf bin Abdullah. Salamullah 'alaik, ya Amiral Mukminin, wa Rahmatullah wa Barakatuh. Sesungguhnya, aku mengajakmu memuji kepada Allah yang tidak ada tuhan yang hak selain Dia. Amma ba'du. "Jadikanlah rasa tenangmu bersama Allah ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì dan perhatian penuhmu kepada-Nya. Sesungguhnya, kaum yang merasa damai dengan Allah ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì dan sepenuhnya memberikan perhatiannya kepada-Nya, mereka merasa lebih damai bersama Allah ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì dalam kesendirian daripada beramai-ramai dengan jumlah yang banyak, mereka mematikan apa saja di dunia yang mereka khawatirkan akan mematikan hati mereka, mereka meninggalkan apa saja di dunia yang mereka ketahui bakal meninggalkannya, mereka menjadi musuh terhadap apa yang diterima manusia dari dunia. Semoga Allah menjadikan kita semua bagian dari mereka karena mereka sedikit jumlahnya di dunia. Wassalam." (Abdullah bin Abdul Hakam, al-Khalifah al-'Adil Umar bin Abdil Aziz, hal.182)

( Index Mutiara )


Fiqh Wanita

Benarkah Kaum Wanita Tidak Boleh Masuk Masjid Karena Mereka Adalah Najis

Jika Mendapat Kesucian Setelah Shubuh

Haid Datang Beberapa Saat Sebelum Matahari Terbenam

Merasa Ada Darah Tapi Belum Keluar Sebelum Matahari Terbenam

Hukum Wanita Yang Mandi Setelah Jima', Kemudian Keluar Cairan Dari Kemaluannya

Hukum Orang Yang Kentut Terus Menerus.

Shalat Dengan Pakaian Terkena Najis

Hukum Orang Haidh Berdiam di Masjid

Hukum air kencing anak yang mengenai pakaian wanita

Menggunakan air laut untuk berwudlu

Hukum Operasi Cesar

Menyentuh wanita dalam keadaan berwudhu'

Menyentuh wanita asing(selain isteri) dalam keadaan berwudhu'

Hukum membawa Mushaf ke dalam WC

Bersuci dari Air Kencing Bayi

Hukum Wudhunya Orang yang Menggunakan Kutek

Hukum Wudhunya Orang yang Menggunakan Inai (Pacar)

Hukum Wudhunya Wanita yang Tidak Menghilangkan Kutek

Membasuh Kepala Bagi Wanita

Hukum Mengusap Rambut yang Disanggul (dikepang)

Sifat Mandi Junub dan Perbedaan dengan Mandi Haidh

Melepaskan Ikatan Rambut Untuk Mandi Haidh

Haruskah Meresapkan Air ke Dalam Kulit Kepala Dalam Mandi Junub?

Samakah Wanita yang Memiliki Rambut Panjang yang Tidak Digulung dengan yang Digulung

Hukum Mengusap Kain Penutup Kepala Saat Mandi Junub

Haruskah Dua Kali Bersuci Karena Dua Hadats

Wajib Mandikah Wanita Yang Bermimpi (Mimpi Basah)

Jika Seorang Wanita Bermimpi dan Mengeluarkan Cairan yang Tidak Mengenai Pakaiannya, Apakah Ia Wajib Mandi

Wajib Mandikah Bila Keluarnya Mani Karena Syahwat Tanpa Bersetubuh

Berdosakah Seorang Wanita yang Mimpi Bersetubuh Dengan Seorang Pria

Wajib Mandikah Jika Seorang Wanita Memasukkan Tangannya ke Dalam Kemaluannya atau Jika Seorang Dokter Memasukkan Tangannya ke Dalam Kemaluannya

Jika Seorang Ragu Tentang Junubnya

Bolehkah Menunda Mandi Wajib Hingga Terbit Fajar

Bolehkah Orang yang Junub Tidur Sebelum Berwudhu

Mandi Junub Merangkap Mandi Jum'at, atau Merangkap Mandi Haidh dan Mandi Nifas

Apakah Penggunaan Inai Pada Masa Haidh Akan Mempengaruhi Sahnya Mandi Setelah Masa Haidh?

Apakah Tubuh Orang yang Sedang Junub Itu Najis Sebelum Ia Mandi Junub

Masa di Mana Para Wanita yang Sedang Nifas Tidak Boleh Melaksanakan Shalat

Pendapat yang Kuat Tentang Masa Nifas

Nifas, Suci Sebelum Empat Puluh Hari Lalu Berpuasa

Apakah Wanita Nifas yang Suci Sebelum Genap Empat Puluh Hari Tetap Wajib Melaksanakan Ibadah

Nifas, Jika Darah Terus Mengalir Setelah Empat Puluh Hari

Darah Nifas Berhenti Sebelum Empat Puluh Hari, Apakah Hal Ini Membolehkan Shalat Walaupun Darah Itu Kembali Lagi Pada Hari Keempat Puluh

Apakah Masa Nifas Itu Dapat Lebih dari Empat Puluh Hari?

Tidak Mengeluarkan Darah Setelah Melahirkan, Bolehkah Suaminya Mencampurinya?

Jika Wanita Hamil Keluar Darah Banyak Tapi Bayi yang Dikandungnya Tidak Keluar ( Keguguran )

Bila Seorang Wanita Hamil Mengalami Goncangan Namun Ia Tidak Tahu Apakah Kandungannya Keguguran atau Tidak, Dalam Keadaan Ia Mengalami Haidh

Hukum Darah yang Menyertai Keguguran Prematur Sebelum Sempurnanya Bentuk Janin dan Setelah Sempurnanya Janin

Hukum Darah yang Mengalir Terus Menerus Dalam Waktu yang Lama Setelah Keguguran

Keguguran Pada Umur Tiga Bulan Kehamilan, Apakah Tetap Wajib Shalat

Hukum Darah yang Keluar Setelah Keluarnya Janin ( Keguguran )

Keguguran Sebelum dan Setelah Terbentuknya Janin

Banyak Mengeluarkan Darah Saat Keguguran

Keguguran Pada Bulan Ketiga dari Masa Kehamilan, Kemudian Setelah Lima Hari Melaksanakan Puasa dan Shalat

Wajibkah Puasa dan Shalat Bagi Wanita yang Mengalami Keguguran

Kapankah Darah Keguguran Prematur Dianggap Darah Nifas

Mengeluarkan Darah Lebih dari Tiga Hari Sebelum Persalinan

Mengeluarkan Darah Lima Hari Sebelum Datangnya Masa Nifas

Mengeluarkan Darah Satu atau Dua Hari Sebelum Persalinan

Kewajiban Wanita Nifas Pada Akhir Masa Nifas

Darah Nifas Mengalir Kembali Setelah Empat Puluh Hari

Hukum Darah Nifas yang Keluar Lagi

Hal-hal yang Mewajibkan Mandi

Hukum Berhadats Kecil Dan Menyentuh Mushaf

Mencium Istri Tidak Membatalkan Wudhu’

Darah Nifas Berhenti Kemudian Kembali Lagi Setelah Empat Puluh Hari

Yang Dibolehkan Bagi Suami Terhadap Istrinya yang Sedang Nifas

Apakah Disyaratkan Empat Puluh Hari untuk Dibolehkannya Mencampuri Istri Setelah Melahirkan

Hukum Membaca Al-Qur’an Tanpa Wudhu’

Boleh Menyentuh Kaset Rekaman Al-Qur’an Bagi Yang Sedang Junub

Bersetubuh Setelah Tiga Puluh Hari Melahirkan

Darah yang Keluar dari Wanita yang Melahirkan Melalui Operasi

Apakah Tubuh Wanita Nifas Menjadi Najis

Apakah Tubuh Wanita Nifas Menjadi Najis

Cara Shalat Wanita yang Terus Mengeluarkan Darah

Seorang Wanita Meninggalkan Shalat Karena Mengeluarkan Darah, Lalu Beberapa Hari Kemudian Ia Mengeluarkan Da-rah Haidh yang Sebenarnya

Setelah Operasi dan Sebelum Masa Haidh Mengeluarkan Darah Hitam, Kemudian Setelah Itu Masa Haidh Datang

Seorang Wanita Telah Berhenti Masa Haidhnya Karena Usianya yang Sudah Lanjut Kemudian Dalam Suatu Perjalanan Ia Mengeluarkan Darah Terus Menerus

Wanita Mengeluarkan Darah yang Bukan Darah Haidh dan Bukan Pula Darah Nifas

Setelah Bersuci dari Haidh yang Biasanya Selama Sem-bilan atau Sepuluh Hari, Keluar Lagi Darah Pada Waktu-waktu yang Tidak Tentu

Di Bulan Ramadhan Mengeluarkan Darah Sedikit yang Terus Berlanjut Sepanjang Bulan

Setelah Nifas Mengeluarkan Darah Sedikit yang Bukan di Masa Haidh

Cara Bersucinya Wanita Mustahadhah

Perbedaan Antara Darah Haidh dan Darah Istihadhah

Penjelasan Tentang Cairan Berwarna Kuning dan Cairan Keruh Serta Hukumnya, Juga Tentang Cairan Putih (Keputihan)

Penggunaan Pil-pil Pencegah Kehamilan Mengakibatkan Timbulnya Cairan Keruh yang Merusak Haidh

Mengeluarkan Cairan Keruh Sehari atau Dua Hari Sebelum Datangnya Masa Haidh

Hukum Cairan Kuning yang Keluar Sehari atau Dua Hari Sebelum Masa Haidh

Meninggalkan Shalat Karena Mengeluarkan Cairan Keruh Sebelum Haidh

Hukum Cairan Kuning yang Keluar dari Wanita Setelah Suci

Mengeluarkan Tetasan Bening yang Berwarna Agak Kuning di Luar Waktu Haidh

Apakah Cairan yang Keluar dari Wanita Itu Najis dan Membatalkan Wudhu

Hukum Orang yang Yakin Bahwa Cairan-cairan Itu Tidak Membatalkan Wudhu

Jika Wanita yang Mengeluarkan Cairan Terus Menerus Itu Berwudhu, Bolehkah Ia Melakukan Shalat Sunat dan Membaca Al-Qur'an

Jika Wanita yang Mengeluarkan Cairan Terus Menerus Itu Berwudhu, Tapi Kemudian Setelah Berwudhu Itu dan Sebelum Shalat Cairan Itu Keluar Lagi

Bolehkah Wanita yang Terus Mengeluarkan Cairan Melakukan Shalat Dhuha Dengan Wudhu Shalat Shubuh

Bolehkah Melakukan Shalat Tahajud Dengan Wudhu Shalat Isya Bagi Wanita yang Terus Mengeluarkan Cairan?

Cukupkah Membasuh Anggota Wudhu Bagi Wanita Yang Terus Mengeluarkan Cairan?

Bagaimana Hukumnya Jika Cairan Itu Mengenai Bagian Tubuh

Tidak Berwudhu Saat Mengeluarkan Cairan Itu Karena Tidak Tahu

Mengapa Tidak Ada Riwayat dari Rasulullah SAW yang Menyatakan Bahwa Cairan yang Keluar dari Wanita Dapat Membatalkan Wudhu, Sementara Para Shahabiyah Sangat Menjaga Cairan yang Keluar ?

Apa Betul Syaikh Ibnu Utsaimin Berpendapat Bahwa Cairan Tidak Membatalkan Wudhu ?

Mengeluarkan Cairan Setelah Mandi Junub dan Setelah Bangun Tidur

Wanita Hamil Mengeluarkan Cairan Sejak Satu Bulan

Cairan Kuning yang Keluar dari Wanita Perawan dan Janda Tanpa Mimpi

Keluarnya Mani Beserta Air Kencing Kemudian Setelah Itu Keluar Mani Tanpa Syahwat

Saya Mengeluarkan Cairan Putih dan Terkadang Cairan Itu Keluar Ketika Saya Sedang Shalat

Hukum Cairan yang Keluar Setetes Demi Setetes

Hukum Membaca Kitab Tafsir Bagi Wanita Haidh

Bagaimana Shalat Orang Yang Mengidap Penyakit Kencing Netes?

Hukum Kencing Berdiri

Panas Matahari Tidak Menghilangkan Najis

Terkena Najis Setelah Berwudhu

Doa Membasuh Muka Pada Saat Berwudhu.

Doa Mandi Junub

Terkena Najis Setelah Berwudhu

Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu?

Hukum Mimpi (junub) Namun Tidak Keluar Mani

Menyisir Rambut dan Memotong Kuku Saat Haidh

Hukum Berhadats Kecil dan Menyentuh Mushaf


Senyum
Tes Kecerdasan !
Jawablah pertanyaan dibawah ini tanpa melihat kunci jawaban terlebih dahulu !

Pertanyaan pertama: jika anda sedang mengikuti lomba lari, kamudian anda bisa mendahului pelari yang kedua, maka pada urutan berapakah anda sekarang?????

Jawaban !
jika anda menjawab bahwa anda diurutan pertama
Maka jawaban anda salah
Sebab jika anda mendahului pelari kedua maka anda hanya menggantikan posisinya diurutan kedua tidak menggantikan posisi pelari urutan pertama.

Sekarang soal kedua: tapi jawablah dengan cepat gak pake lama, oke ?

Pertanyaan: jika anda mendahului pelari terakhir, maka anda diurutan …… ????

Jawaban:
Jika jawaban anda adalah terakhir atau sebelum akhir, maka jawaban anda salah

Karena bagaimana mungkin anda mendahului pelari terakhir padahal yang terakhir itu adalah anda !!!?


Fatwa Puasa

Kapan Remaja Putri Diwajibkan untuk Berpuasa?

Remaja Putri Berusia Dua Belas atau Tiga Belas Tahun Tidak Berpuasa di Bulan Ramadhan

Tidak Berpuasa Selama Masa Haidh, dan Setiap Kali Tidak Berpuasa Ia Memberi Makan, Apakah Wajib Qadha Baginya

Istri Saya Hamil dan Mengeluarkan Darah Pada Permulaan Ramadhan

Mendapat Kesucian dari Haidh atau dari Nifas Sebelum Fajar dan Tidak Mandi Kecuali Setelah Fajar

Seorang Wanita Mendapat Kesuciannya dari Nifas Dalam Satu Pekan, Kemudian Ia Berpuasa Bersama Kaum Muslimin, Setelah Itu Darah Tersebut Datang Lagi

Mendapat Kesucian Setelah Tujuh Hari Melahirkan Lalu Berpuasa di Bulan Ramadhan

Setelah Empat Puluh Hari Sejak Melahirkan, Darah yang Keluar Berubah, Apakah Saya Harus Shalat dan Puasa

Melahirkan di Bulan Ramadhan dan Tidak Mengqadha Setelah Bulan Ramadhan Karena Ada Kekhawatiran Pada Bayi, Kemudian Pada Bulan Ramadhan Selanjutnya Ia Melahirkan Lagi

Bagaimana Hukumnya Wanita Hamil Dan Menyusui Jika Tidak Berpuasa Pada Bulan Ramadhan

Bagaimana Hukumnya Jika Wanita Menyusui Tidak Berpuasa Pada Bulan Ramadhan

Bolehkah Wanita Hamil Tidak Berpuasa

Bagaimana Hukumnya Wanita Hamil yang Tidak Puasa Karena Khawatir Terhadap Janinnya

Meninggalkan Puasa Dengan Sengaja Selama Enam Hari di Bulan Ramadhan Karena Ujian Sekolah

Memaksa Isteri untuk Tidak Berpuasa Dengan Cara Mencampurinya

Memaksa Istri untuk Tidak Berpuasa

Seorang Pria Musafir Tiba di Rumahnya Pada Siang Hari Ramadhan Lalu Ingin Menggauli Istrinya

Apakah Keluar Darah dari yang Hamil Termasuk yang Membatalkan Shaum

Suami Mencium dan Mencumbui Istrinya di Siang Hari Ramadhan

Mencampuri Istri di Siang Hari Ramadhan -1

Mencampuri Istri di Siang Hari Ramadhan -2

Mencampuri Istri di Siang Hari Ramadhan - 3

Hukum Menggunakan Celak Mata dan Perlengkapan Kecantikan Lainnya di Siang Hari Ramadhan -1

Hukum Menggunakan Celak Mata dan Perlengkapan Kecantikan Lainnya di Siang Hari Ramadhan -2

Hukum Menggunakan Celak Mata dan Perlengkapan Kecantikan Lainnya di Siang Hari Ramadhan -3

Menggunakan Inai Pada Rambut Saat Berpuasa

Mengobati Pilek dengan Obat yang Dihirup Melalui Hidung

Apakah Keluarnya Air Ketuban Dapat Membatalkan Puasa

Mengqadha Puasa Bagi yang Tidak Puasa Karena Hamil

Tidak Mampu Mengqadha Puasa

Tidak Berpuasa Karena Sakit Lalu Meninggal Beberapa Hari Setelah Ramadhan

Orang Meninggal yang Mempunyai Tanggungan Puasa

Sekarang Berusia Lima Puluh Tahun, Dua Puluh Tujuh Tahun yang Lalu Tidak Menjalankan Puasa Ramadhan Selama Lima Belas Hari

Beberapa Tahun yang Lalu Tidak Berpuasa Ramadhan Karena Haidh dan Belum Mengqadhanya

Mempunyai Utang Puasa Selama Dua Ratus Hari Karena Ketidaktahuannya dan Sekarang Sedang Sakit

Minum Obat Beberapa Saat Setelah Fajar

Di Depan Keluarganya Ia Berpuasa, Namun Sebenarnya Dengan Cara Sembunyi-sembunyi Ia Tidak Berpuasa Selama Tiga Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan Kedua Telah Datang Tapi Ia Belum Mengqadha Puasa Ramadhan yang Lalu

Tidak Pernah Mengqadha Puasa yang Ditinggalkannya Karena Haidh Sejak Diwajibkan Baginya Berpuasa

Tidak Berpuasa Karena Menyusui Anaknya Dan Belum Mengqadhanya, Kini Anak Itu Telah Berusia Dua Puluh Empat Tahun

Belum Mengqadha Puasa yang Ditinggalkan Pada Dua Tahun Pertama Sejak Menjalankan Puasa Wajib

Menunda Qadha Puasa Hingga

Hikmah dari Diwajibkannya Mengqadha Puasa Tanpa Mengqadha Shalat Bagi Wanita Haidh

Tidak Berpuasa Selama Dua Ramadhan Karena Sakit, Kemudian Pada Ramadhan Ketiga Ia Berpuasa, Apa yang Harus Dilakukan untuk Dua Ramadhan yang Telah Lewat

Meninggalkan Puasa Ramadhan Selama Empat Tahun Karena Gangguan Kejiwaan

Ibu Saya Telah Lanjut Usia, Ia Berpuasa Selama Lima Belas Hari Kemudian Tidak Berpuasa Karena Tak Sanggup Puasa

Mencegah Haidh Agar Bisa Berpuasa

Saya Pernah Bertanya Kepada Seorang Dokter, Ia Mengatakan, Bahwa Pil Pencegah Haidh Itu Tidak Berbahaya

Mengkonsumsi Pil Pencegah Haidh Agar Bisa Berpuasa Bersama Orang-Orang Lainnya

Hukum Mencicipi Makanan Ketika Berpuasa

Mengeluarkan Darah Selama Tiga Tahun, Apa yang Harus Dilakukan di Bulan Ramadhan

Bernadzar untuk Berpuasa Selama Satu Tahun

Hukum Mengisi Bulan Ramadhan Dengan Begadang, Berjalan-jalan di Pasar dan Tidur

Faktor-faktor yang Mendukung Wanita di Bulan Ramadhan

Apa Hukum Berbicara Dengan Seorang Wanita atau Menyentuh Tangannya di Siang Hari Ramadhan

Mengakhirkan Qadha Puasa Ramadhan Hingga Datang Ramadhan Berikutnya.

Berlebihan Dalam Hidangan Buka Puasa

Nilai Sosial Puasa

Apa Yang Lazim Dan Yang Wajib Dilakukan Orang Yang Berpuasa?

Tetesan Obat Mata Tidak Merusak Puasa

Menelan Pil Pencegah Haid

Mencampuri Isteri Pada Hari yang Diragukan

Memberi Makan Kaum Miskin Sebagai Pengganti Puasa Orang Lanjut Usia

Orang yang Tidak Mampu Berpuasa

Terapi di Bulan Ramadhan

Berbukanya Musafir

Berbukanya Wanita Hamil dan Wanita yang Menyusui

Onani/Masturbasi dan Bersetubuh di Siang Bulan Ramadhan

Hukum Darah yang Keluar dari Orang yang Sedang Berpuasa

Masih makan dan minum saat fajar karena ia tidak tahu.

Menonton Televisi Bagi yang Berpuasa

Seorang Musafir Tidak Berpuasa Lalu Ia Memaksa Isterinya yang Sedang Berpuasa untuk Berhubungan Badan

Wajib Puasa Bagi Wanita yang Telah Haidh

Bila Seorang Wanita Melanjutkan Puasanya Kendatipun Keluar Darah Haidh

Mengqadha’ Puasa Beberapa Tahun

Menyepelekan Puasa Sejak Pertama Kali Mengalami Haidh

Berbuka Karena Kesibukannya Dalam Bangunan dan Persiapan Nikah

Orang yang Meninggal di Bulan Ramadhan Tidak Wajib Mengqadha Sisa Harinya

Puasa dan Terapi

Sekitar Nadzar Puasa

Bertekad Puasa Tiga Hari (Tgl 13, 14, 15)

Puasa Pada Hari Sabtu

Hukum Puasanya Orang Yang Tidak Shalat Tarawih

Hukum Mencium Bagi yang Berpuasa

Darah yang Merusak Puasa

Hukum Berbekam Bagi yang Berpuasa dan Hukum Keluarnya Darah

Meninggal Pada Bulan Ramadhan

Terlihatnya Hilal (Bulan) Ramadhan Atau Syawwal di Suatu Negara Tidak Mengharuskan Negara-Negara Lain Mengikutinya

Tidur Sepanjang Hari Ketika Puasa

Berkumur Sampai Airnya Masuk ke Tenggorokan

Hukum Menggunakan Minyak Wangi di Siang Bulan Ramadhan

Makan Karena Lupa Ketika Puasa

Banyak Mandi Ketika Puasa

Tidak Mengqadha Puasa Karena Menghawatirkan Bayinya

Laksanakan Puasa Qadha Lebih Dulu

Panjangnya Malam dan Siang Saat Ramadhan

Negara yang Terlambat Terbenamnya Matahari

Anak Kecil Tidak Wajib Puasa Tapi Disuruh Melaksanakannya

Berbuka Berdasarkan Pemberitahuan Penyiar

Puasa Wishal

Hukum “Hidangan Orang Tua”

I’tikaf dan Syaratnya

Hukum Makan Sahur Ketika Adzan Subuh Atau Beberapa Saat Setelahnya

Tanda Subuh Adalah Terbitnya Fajar

Berpedoman Pada Ru’yat (Penglihatan) Biasa

Puasa Berdasarkan Satu Ru’yat (Penglihatan)

Minum Karena Tidak Tahu Sudah Subuh

Menggunakan Pasta Gigi Saat Berpuasa

Penderita Mag Dan Puasa

Jika Seorang Wanita Suci Setelah Subuh, Maka Ia Harus Berpuasa Dan Mengqadha’

Puasa Dan Junub

Puasanya Orang Yang Meninggalkan Shalat. Berpuasa Tapi Tidak Shalat

Bersetubuh Di Siang Hari Ramadhan Ketika Safar

Sahur Setelah Subuh

Minum Setelah Adzan Subuh

Minum Ketika Adzan Subuh

Suntikan Di Siang Hari Ramadhan

Hukum Mengeluarkan Darah Dari Orang Yang Sedang Berpuasa

Hukum Cuci Darah Bagi Yang Berpuasa

Hukum Menggunakan Krim Kulit

Hukum Menggunakan Inhaler Bagi Yang Berpuasa

Apakah Debu Membatalkan Puasa?

Hukum Orang Yang Puasa Dan Shalat Hanya Pada Bulan Ramadhan

Hukum Orang Yang Puasa Tapi Tidak Shalat

Menggunakan Siwak Di Bulan Ramadhan

Hukum Bersiwak Bagi Yang Berpuasa Setelah Tergelincirnya Matahari

Apakah Tanggalnya Gigi Geraham Orang Yang Sedang Berpuasa Membatalkan Puasanya?

Hukum Berenang Bagi Orang Yang Sedang Berpuasa

Mencicipi Makanan Oleh Orang Yang Sedang Berpuasa

Menunda Qadha’ Puasa Hingga Tiba Ramadhan Berikutnya

Menghadiahkan Pahala Puasa Untuk Orang Yang Sudah Meninggal

Orang Yang Meninggal Dengan Menanggung Qadha’ Puasa

Apakah orang yang meninggal dengan menanggung utang qadha’ puasa boleh dipuasakan untuknya (diqadha’kan)?

Hukum Mengqadha Enam Hari Puasa Syawwal

Mengqadha Enam Hari Puasa Ramadhan di Bulan Syawwal, Apakah Mendapat Pahala Puasa Syawwal Enam Hari

Apakah Suami Berhak untuk Melarang Istrinya Berpuasa Sunat

Hukum Puasa Sunnah Bagi Wanita Bersuami

Hukum Zakat Yang Diserahkan Ke Lembaga Zakat Atau Instansi Pemerintah

Wajibnya Zakat Pada Perhiasan Wanita Yang Digunakan Sebagai Pehiasan Atau Dipinjamkan, Baik Berupa Emas Maupun Perak

Wajibnya Zakat Pada Perhiasan Wanita Jika Mencapai Nishab Dan Tidak Diproyeksikan Untuk Perdagangan

Apakah Seorang Wanita Harus Menggabungkan Perhiasan Putri-Putrinya Ketika Hendak Mengeluarkan Zakat Perhiasannya?

Apa Hukum Zakat Perhiasan Yang Dikenakan

Hukum Buka Warung Di Siang Hari Bulan Ramadhan

Lupa Meniatkan Puasa Bulan Syawwal Dari Sejak Malam Hari, Sah Tidak?

BAGAIMANA MENENTUKAN AWAL PUASA

HIKMAH DIWAJIBKAN MENGQADHA PUASA TETAPI TIDAK MENGQADHA SHALAT

BAGAIMANA PUASA YANG BENAR?

NIAT BERBUKA,TAPI BELUM MAKAN DAN MINUM APAKAH MEMBATALKAN PUASA?

beberapa tanda Lailatul Qadr

Puasa Muharram dan 'Asyura

Nilai Sosial Puasa

Apa Yang Lazim Dan Yang Wajib Dilakukan Orang Yang Berpuasa

Tetesan Air Mata Tidak Merusak Puasa

Menelan Pil Pencegah Haid

Berlebihan Dalam Hidangan Buka Puasa

Hukum Makan Sahur Ketika Adzan Subuh Atau Beberapa Saat Setelahnya

Menggunakan Pasta Gigi Saat Berpuasa

Penderita Mag Dan Puasa

Bersetubuh Di Siang Hari Ramadhan Ketika Safar

Suntikan Di Siang Hari Ramadhan

Hukum Mengeluarkan Darah Dari Orang Yang Sedang Berpuasa

Hukum Berenang Bagi Orang Yang Sedang Berpuasa

Mencicipi Makanan Oleh Orang Yang Sedang Berpuasa

HUKUM ORANG YANG PUASA TETAPI TIDAK SHOLAT

Meninggal Pada Bulan Ramadhan

Hukum Orang Yang Mengakhirkan Qadha Puasa Hingga Datang Ramadhan Berikutnya

Perbedaan Ru-yah

Shaum (Berpuasa) Berdasarkan Hisab.

Hukum Puasa Bagi Orang Yang Melanjutkan Makan Sahurnya Setelah Adzan?

Hukum Shiam (Puasa) Yang Dilakukan Pada Masa Nifas.

Mengqadha Shiyam (Puasa) Yang Telah Terlupakan Selama Sepuluh Tahun

Bolehkah Membatalkan Shiyam (Puasa) Yang Diqhadha?

Kafarat Bagi Orang Yang Mengumpuli Istrinya Di Siang Hari Bulan Ramadhan

Mengqadha Shiyam Yang Terlupakan Jumlahnya

Beberapa Permasalahan Wanita Dalam Melakukan Shiyam.

Penentuan Hari dan Shiyam (Puasa) Arafah Pada Tiap Negara

Bid’ahkah Puasa 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah ?

Hisab Dijadikan Acuan Dalam Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan

Masalah-Masalah Yang Berkaitan Dengan Niat Dalam Melaksanakan Shiyam (Puasa)

Makan Sahur Ketika Fajar Terbit Tanpa Disadari

Air Yang Masuk Ke Tenggorokan Tanpa Sengaja Ketika Berwudhu

KADAR FIDYAH BAGI ORANG YANG TIDAK MAMPU BERPUASA KARENA TUA ATAU SAKIT

Memakai Obat Mata Dan Telinga Ketika Berpuasa

Permasalahan-Permasalahan Yang Berkaitan Dengan I'tikaf

Apakah Ada Perselisihan Pendapat Tentang Dianjurkannya Puasa Di Sembilan Hari Awal Bulan Dzulhijah

Menyikapi Dua Hadits Yang Bertentanggan Dalam Masalah Puasa 1-9 Dzulhijjah

Hukum Tidak Berpuasa Karena Alasan Pekerjaan

Hukum tetap berpuasa selama masa haidh karena tidak tahu

Menelan Pil Pencegah Haid

Apakah malam lailatul qadar jatuh pada malam ke-27 dari bulan Ramadhan

Hukum mengakhirkan qadha puasa Ramadhan sebelumnya sampai memasuki bulan Ramadhan yang baru?

Orang Yang Meninggal Dengan Menanggung Qadha' Puasa

Antara Berbuka atau Berpuasa Saat Safar (Bepergian)

Jika Terjadi Perbedaan Hari Arafah

Jika Puasa Arafah Jatuh Pada Hari Sabtu..?

Berpuasa Tapi Meninggalkan Shalat

Antusias Ibadah Saat Ramadhan Saja

Kesalahan Sebagian Muda-Mudi Saat Puasa

Apa yang Lazim dan yang Wajib Dilakukan Orang yang Berpuasa?

Tetesan Obat Mata Tidak Merusak Puasa

Menelan Pil Pencegah Haid

Hukum Makan Sahur Ketika Adzan Subuh atau Beberapa Saat Setelahnya

Tanda Subuh adalah Terbitnya Fajar

Berpedoman pada Ru'yah [Penglihatan] Semata

Puasa Berdasarkan Satu Ru'yah [Penglihatan]

Minum Karena Tidak Tahu Sudah Subuh

Menggunakan Pasta Gigi Saat Berpuasa

Penderita Maag dan Puasa

Jika Seorang Wanita Suci Setelah Shubuh, maka Ia Harus Berpuasa dan Mengqadha'

Puasa dan Junub

Puasanya Orang yang Meninggalkan Shalat. Berpuasa Tapi Tidak Shalat

Bersetubuh di Siang Hari Ramadhan ketika Safar

Sahur Setelah Subuh

Minum Setelah Adzan Subuh

Minum ketika Adzan Subuh

Suntikan di Siang Hari Ramadhan

Hukum Mengeluarkan Darah dari Orang yang Sedang Berpuasa

Hukum Cuci Darah bagi yang Berpuasa

Hukum Menggunakan Krim Kulit

Hukum Menggunakan Inhaler bagi yang Berpuasa

Apakah Debu Membatalkan Puasa?

Hukum Orang yang Puasa dan Shalat Hanya pada Bulan Ramadhan

Hukum Orang yang Puasa Tapi Tidak Shalat

Menggunakan Siwak di Bulan Ramadhan

Hukum Bersiwak bagi yang Berpuasa Setelah Tergelincirnya Matahari

Apakah Tanggalnya Gigi Geraham Orang yang Sedang Berpuasa Membatalkan Puasanya?

Hukum Berenang bagi Orang yang Sedang Berpuasa

Mencicipi Makanan oleh Orang yang Sedang Berpuasa

Menunda Qadha Puasa Hingga Tiba Ramadhan Berikutnya

Menghadiahkan Pahala Puasa untuk Orang yang Sudah Meninggal

Orang yang Meninggal dengan Menanggung Qadha Puasa

Apa Petunjuk Rasul dan Para Sahabat di Bulan Ramadhan ?

Keadaan Para Sahabat di Musim-musim Kebaikan

Makna Berpuasa Karena Iman dan Mengharap Pahala

Hal-hal yang Hendaknya Dilakukan Orang yang Berpuasa

Sebelum Rakaat Terakhir Shalat Witir Berniat Puasa

Banyak Berbicara Saat Berpuasa


Puasa Asyura Terlewatkan Karena Lupa


Kajian Ramadhan

Menyambut Bulan Ramadhan

Keutamaan Bulan Ramadhan

Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan

Kiat-Kiat Menghidupkan Bulan Ramadhan...!

Panduan Ringkas Puasa Ramadhan

Hikmah dan Manfa'at Puasa

Qiyam Ramadhan

Adab Shalat Tarawih Bagi Wanita

Nuzulul Qur'an Sebagai Peringatan atau Pelajaran

I'tikaf Hukum dan Keutamaanya

Menggapai Lailatul Qadar

Ramadhan Bersama al-Qur'an

Kesalahan-Kesalahan Dalam Bulan Ramadhan (1)

Kesalahan-Kesalahan Dalam Bulan Ramadhan (2)

Zakat Fitrah

Kebahagiaan Bersama Iedul Fithri

Ramadhan Telah Berlalu

Keutamaan Puasa Enam Hari Syawal

Waspada Terhadap Hadits-Hadits Dha'if (Lemah) Seputar Ramadhan


Fatwa Haji & Qurban

Apa hikmah thawaf(disekitar Ka'bah)? Apakah hikmah mencium Hajar Aswad adalah tabarruk (memohon barakah) kepadanya?

Disyari'atkannya menyembelih hewan qurban

Hukum menyembelih hewan qurban dan cara membagikan dagingnya

Mana yang lebih utama, berqurban dengan menyembelih sapi atau domba?

Menyembelih seekor sapi untuk tujuh orang

Seekor unta untuk satu orang

Umur hewan qurban

Hewan Yang Tidak Sah Dijadikan Hewan Qurban

Berqurban dengan harga hewan qurban

Penerima daging hewan qurban

Membagikan hewan qurban kepada orang kafir

Menyembelih sebelum Imam menyembelih

Barang siapa ingin berqurban, maka janganlah mengambil(memotong) rambut dan kukunya

Hukum wanita yang melakukan haji tanpa mahram

Hukum orang yang ingin melakukan haji namun masih memiliki hutang

Mahram Tidak Sanggup Mendampingi Dalam Ibadah Haji

Wanita Yang Mengaku Islam Ingin Menunaikan Haji

Apakah Suami Seorang Perempuan Bisa Menjadi Mahram Bagi Bibi Perempuan Tersebut

Wanita Ingin Haji Didampingi Anak Laki-Lakinya Yang Belum Baligh

Pergi Haji Hanya Ditemani Wanita Yang Dipercaya

Mahram Wanita Meninggal Pada Saat Ibadah Haji

Izin Suami Untuk Pergi Haji

Hukum Haji Bagi Wanita Tidak Mendapat Izin Dari Suaminya

Biaya Haji Ditanggung Wanita

Mengganti Haji Wanita Tua Lagi Buta

Wanita Haji Bersama Lelaki Yang Bukan Mahram

Wanita Pergi Haji Bersama Lelaki Shalih Yang Disertai Keluarganya

Seorang Wanita Mendatangkan Ibunya Untuk Diajak Pergi Haji

Anak Laki-Laki Yang Sudah Mumayyiz Menjadi Mahram

Wanita Pergi Haji Dengan Harta Suaminya

Wanita Haid Melewati Miqat Dengan Tidak Ihram

Puasa di Jeddah Lalu Berihram Haji Tanggal Delapan

Wanita Niat Haji Tamattu', Kemudian Tidak Memungkinkan Thawaf Dan Sa'i Kemudian Dia Menuju Ke Mina Dan Arafah

Mencium Hajar Aswad Pada Waktu Mulai Thawaf

Wanita Shalat di Belakang Maqam Ibrahim

Wanita Mendaki Shafa dan Marwah

Apakah lari-lari kecil pada tiga putaran pertama dari thawaf qudum khusus bagi laki-laki saja

Apakah Wanita Mempercepat Sa'i Tatkala Berada

Wanita Menyesal Karena Berumrah, Tapi Tidak Men-ziarahi Makam Rasul

Wanita Mencium Hajar Aswad

Wanita Keluar Dari Muzdalifah

Wanita Mencukur Rambut Pada Saat Haji Dan Umrah

Bentuk Pakaian Ihram Bagi Wanita

Wanita Telah Menyelesaikan Semua Manasik Haji Kecuali Melempar Jumrah Karena Punya Anak Kecil

Wakil Dalam Melempar Jumrah

Wanita Telah Selesai Dari Seluruh Manasik Kecuali Menggunting Rambut

Thawaf Ifadhah Diganti Dengan Thawaf Wada'

Hikmah Dilarang Mengenakan Pakaian Berjahit Saat Ihram

Melaksanakan Ibadah Haji Tanpa Ihram

Menggauli Istri Disaat Ibadah Haji

Menggauli Istri Setelah Tahallul Awal

Wanita Haid Tinggal di Jeddah Sebelum Thawaf Ifadhah dan Thawaf Wada' Setelah Suci Digauli Suaminya

Wanita Meletakkan Kayu atau Pengikat Untuk Mengangkat Jilbab Dari Wajahnya

Rambut Kepala Rontok Dengan Sendirinya

Wanita Pulang ke Negerinya Sebelum Thawaf Ifadhah

Pakaian Ihram Wanita Dan Hukum Mengenakan Cadar dan Sarung Tangan

Hukum Sarung Tangan Dan Kaos Kaki Saat Ihram

Hukum Mengenakan Purdah Dan Masker Saat Ihram

Hukum Membuka Wajah Dan Telapak Tangan

Menggauli Istri Setelah Selesai Ihram

Hukum Ihram Disaat Haid

Wanita Berihram Dari Miqat Sebelum Suci

Wanita Ihram Bersama Suaminya Dalam Keadaan Haid dan Tatkala Ia Telah Suci, Ia Umrah Sendirian

Wanita Dalam Kondisi Haid Dan Nifas Saat Akan Ihram

Ihram Dari Sail Dalam Keadaan Haid Lalu Pergi ke Jeddah dan Setelah Suci Menyempurnakan Ibadah Haji

Pemalsuan Pasport Tidak Mempengaruhi Keshahan Ibadah Haji

Fadhilah Ibadah Haji Itu Sangat Besar

Tidak Wajib Melakukan Ibadah Haji Kecuali Orang Yang Mampu

Suatu Masalah Penting Bagi Orang Yang Thawaf

Setiap Orang Dari Anda Wajib Bayar Fidyah

Anda Mempunyai Dua Pilihan

Tidak Apa-Apa Istirahat Sejenak Di Waktu Thawaf

Shalat Sunnat Dua Rakaat Thawaf Boleh Di Lakukan Di Setiap Masjid

Hajinya Orang Yang Meninggalkan Shalat

Berihram Dengan Dua Haji Atau Dua Umrah Tidak Boleh?

Perempuan Haid Sebelum Melaksanakan Thawaf Ifadhah Dan Tidak Bisa Menunggu Hingga Suci

Hukum Melontar Dengan Kerikil Bekas Pakai

Apa Yang Sebaiknya Dilakukan Oleh Orang Yang Berkesempatan Menunaikan Ibadah Haji?

Ketaatan-Ketaatan Itu Mempunyai Ciri Yang Tampak Pada Pelakunya

Kewajiban Orang Yang Telah Kembali Ke Kampung Halamannya Terhadap Keluarganya Seusai Melaksanakan Ibadah Haji

Perempuan Telah Berniat Padahal Ia Sedang Haid Atau Nifas

Menghajikan Orang Tua (Ayah) Dengan Harta Yang Telah Diwasiatkan

Melaksanakan Haji Dibiayai Suatu Yayasan

Menunaikan Ibadah Haji Dengan Hutang Atau Kredit

Pakain Berjahit Yang Dilarang Adalah Jahitannya Yang Meliputi Seluruh Tubuh

Mendahulukan Sa’i Daripada Thawaf

Cukur Rambut Itu Gugur Bagi Orang Yang Berkepala Botak (Tidak Berambut)

Harus Melakukan Thawaf Wada’ (Perpisahan) Jika Kepulangannya Tertunda Di Mekkah

Hukum Melontar Jumroh Aqabah Di Malam Hari

Sanggahan Terhadap Orang Yang Berpendapat Bahwa Jeddah Adalah Miqat

Ini Termasuk Sunnah Yang Dilupakan

Tutuplah Kepala Anda... Anda Wajib Bayar Fidyah

Sa’i Itu Adalah Salah Satu Rukun Haji

Nabi Tidak Pernah Menentukan Do’a Khusus Untuk Thawaf

Tidak Ada Kewajiban Bagi Anda

Yang Wajib Adalah Tinggal Di Perkemahan Paling Akhir

Inilah Hari-Hari Tasyriq

Ini Adalah Maksiat Besar

Bagi Orang Yang Akan Menunaikan Ibadah Haji Atau Umrah Wajib Mempelajari Hukum-Hukumnya

Keteladanan Itu Ada Pada Rasulullah

Saat Thawaf atau Sa'i Afdhalnya Adalah Menyibukkan Diri Dengan Dzikir

Hukumnya Berbeda, Tergantung Kepada Perbedaan jenis Iddah

Anda Wajib Bertobat Kepada Allah Dan Mengulangi Thawaf

Anda Wajib Menundukkan Pandangan

Thawaf Wada’ Itu Adalah Nusuk Wajib

Tersentuh Tubuh Wanita Tidak Membatalkan Thawaf

Tidak Boleh Bagi Jama’ah Haji Keluar Ke Jeddah Pada Hari ‘Idul Adha

Bagi Orang Yang Sehat Tidak Boleh Mewakilkan Di Dalam Melontar Jumroh

Jama’ah Haji Pergi Ke Jeddah

Seputar Sa’i Dan Thawaf

Hukum Melontar Jumroh Pada Hari-Hari Tasyriq Sekaligus

Tidak Mabit Di Muzdalifah Apakah Mewajibkan Hadyu?

Waktu Melontar Jumroh ‘Aqabah

Menghadiahkan Pahala Amal Seperti Thawaf

Hak Allah Lebih Penting Daripada Hak Suami

Larangan-Larangan Ihram

Menggunakan Pil Pencegah Haid Untuk Ibadah Haji

Hikmah Di Balik Mencium Hajar Aswad

Hukum Meletakkan Surat Pada Kelambu Ka’bah Dan Menujukannya Kepada Rasulullah a Atau Selain Beliau

Kepergian Wanita Untuk Haji Atau Umrah Tanpa Didampingi Mahramnya

An-Nusuk dan Macam-macamnya

Kepergian Wanita Untuk Haji Atau Umrah Tanpa Didampingi Mahramnya

Hukum Ibadah Haji

Hukum Ibadah Umrah

Kewajiban Melaksanakan Ibadah Haji Itu Segera, Ataukah Dapat Ditunda

Syarat Wajib Haji dan Umrah

Syarat Ijza’ (Tertunaikannya Kewajiban) di Dalam Melaksanakan Ibadah Haji

Etika Bepergian untuk Menunaikan Haji

Apa yang Harus Dipersiapkan Oleh Seorang Muslim untuk Menunaikan Haji dan Umrah?

Mempersiapkan Diri Dengan Taqwa

Waktu Musim Haji

Hukum Melakukan Ihram Haji Sebelum Ketentuan Waktunya Tiba

Penjelasan Tentang Miqat Haji (Tempat-tempat Berihram)

Hukum Berihram Sebelum Sampai di Tempat Ihram (Miqat)

Hukum Orang yang Melalui Miqat Dengan Tidak Berihram

Perbedaan Antara Ihram Sebagai Kewajiban dan Ihram Sebagai Rukun Haji

Hukum Melafalkan Niat di Saat Berihram

Tata Cara Berihramnya Orang yang Datang ke Mekkah Melalui Udara

Tata Cara Melakukan Ibadah Haji

Rukun Umrah

Rukun Haji

Hukum Meninggalkan Salah Satu Rukun Haji atau Umrah

Kewajiban-kewajiban Haji

Hukum Mengabaikan Salah Satu dari Kewajiban Haji atau Umrah

Cara Menunaikan Haji Qiran

Hukum Melakukan Umrah Sesudah Beribadah Haji

Hukum Berpindah Niat dari Satu Bentuk Ibadah Haji ke Bentuk Ibdah Haji yang Lain

Hukum dan Ketentuan-ketentuan Mewakilkan Kepada Orang Lain di Dalam Menunaikan Haji

Syarat Seorang Pengganti Dalam Menunaikan Ibadah Haji

Mencari Uang Dengan Cara Menghajikan Orang Lain yang Niatnya Hanya Mencari Uang Semata

Apakah Orang yang Mengerjakan Haji untuk Orang Lain Mendapat Pahala Sebagian Amalan Haji?

Arti Mewakili Sebagian Amalan Haji

Mengkiaskan Perwakilan Dalam Melontar Kepada Amalan/ Manasik Haji Lainnya

Tidak Mampu Menyempurnakan Salah Satu Manasik, Apa yang Harus Dilakukan?

Hukum Orang yang Wafat di Saat Sedang Ihram Menunaikan Manasik

Cara Bersyarat Jika Tak mampu Menyempurnakan Amalan Haji

Kalimat Bersyarat

Pantangan Ihram

Hukum Meletakkan Sesuatu yang Menempel di Kepala Orang yang Sedang Ihram

Perbedaan Antara Niqab dengan Burqa’

Bagaimana Cara Wanita yang Sedang Berihram Menutup Wajahnya di Hadapan Laki-Laki

Haji Yang Bagaimana Yang Dapat Menghapus Dosa Itu?

Berkurban Untuk Mayit, Bolehkah?

Mengucapkan NIAT Ketika BERQURBAN

Menyembelih Kurban Bagi Seorang Yang Melaksanakan Haji Untuk Orang Lain

Tuntunan Melaksanakan Ibadah Haji

Manusia Berhaji Sebelum Kedatangan Islam

Hukum Berkurban dan Berserikat dalam Berkurban

Mengulangi Haji dan Umrah


Kurban Satu Ekor Kambing untuk Dua Orang Saudara Sekandung dalam Satu Rumah

Apabila Hari Arafah Berbeda

 
YAYASAN AL-SOFWA
Jl.Raya Lenteng Agung Barat No.35 PostCode:12810 Jakarta Selatan - Indonesia
Phone: 62-21-78836327. Fax: 62-21-78836326. e-mail: info@alsofwah.or.id | website: www.alsofwah.or.id | Member Info Al-Sofwa
Artikel yang dimuat di situs ini boleh dicopy & diperbanyak dengan syarat mencantumkan sumber: http://alsofwah.or.id serta tidak untuk komersil.