Artikel : Tarikh - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

KISAH NABI IBRAHIM 'alaihissalam

Selasa, 22 Oktober 13

Allah telah menceritakan dalam kitab-Nya biografi Nabi Ibrahim 'alaihissalam dalam sejumlah ayat, karena di dalamnya terdapat teladan yang baik bagi kita, dimana keteladanan itu secara umum dapat kita temukan pada biografi para nabi dan secara secara khusus pada biografi Nabi Ibrahim 'alaihissalam.

Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada Nabi kita Shallallohu 'alaihi wasallam dan kepada kita supaya mengikuti ajaran agamanya dalam hal yang berkaitan dengan akidah, akhlak serta ibadah baik yang berhubungan langsung dengan Allah maupun yang berhubungan dengan manusia.

Allah Ta’ala memberi petunjuk kepada Nabi Ibrahim 'alaihissalam, mengajarinya ilmu sejak kanak-kanak serta memperlihatkan kepadanya kerajaan langit dan bumi. Karena itu, ia menjadi manusia yang paling agung dalam segi keyakinan, ilmu serta kekuatan dalam urusan agama Allah serta kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya.

Allah mengutusnya kepada kaum musyrikin yang menyembah matahari, bulan dan bintang yaitu kaum Ash-Shabiah, yaitu suatu kaum yang paling jelek dan paling berbahaya terhadap manusia, sehingga Nabi Ibrahim 'alaihissalam menyeru mereka ke jalan Allah dengan berbagai macam cara.

Pertama, Nabi Ibrahim 'alaihissalam menyeru mereka dengan cara-cara yang tidak memungkinkan orang yang berakal menghindar darinya. Ketika mereka menyembah tujuh buah planet termasuk di dalamnya matahari serta bulan, maka mereka pun membangun gedung-gedung yang disebut Al-Hayâkil (kuil-kuil).

Nabi Ibrahim 'alaihissalam berdialog dengan mereka: “Hai kaumku, setelah kami memperhatikan dengan seksama, bahwa ternyata tidak satu pun dari planet-planet itu yang memiliki sifat Uluhiyyah dan Rububiyyah (ketuhanan): “Ketika malam menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Rabbku.” (Al-An’am: 76).

Dialog memiliki perbedaaan dengan pembicaraan lainnya dalam membahas sejumlah masalah. Adapun perbedaan tersebut di antaranya: orang yang berdialog akan mengatakan sesuatu yang diyakininya supaya dikemukakan hujjah kepadanya dan ia pun akan mengemukakan hujjah kepada lawan bicaranya seperti Nabi Ibrahim 'alaihissalam mengemukakan hujjah dalam kasus perusakan berhala-berhala ketika mereka bertanya kepadanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap ilah-ilah kami, hai Ibrahim?” (Al-Anbiya’: 62). Ketika itu Nabi Ibrahim 'alaihissalam menunjuk berhala yang tidak dihancurkannya, seraya berkata, “Sebenarnya patung yang besar itu yang melakukannya.” (Al-Anbiya’: 63).

Tujuan Nabi Ibrahim 'alaihissalam melakukan tindakan itu adalah memaksa mereka supaya mengemukakan hujjah, dan ternyata hal itu berhasil.

Sehingga memudahkan kita untuk memahami perkataannya: “Inilah Rabbku.” (Al-An’am: 76). Yakni jika bintang-bintang itu berhak disebut ilah setelah memperhatikan keadaan dan sifatnya, maka bintang-bintang itu pantas menjadi Rabbku. Sedang Nabi Ibrahim 'alaihissalam telah mengetahui berdasarkan ilmu yakin, bahwa bintang-bintang tersebut tidak berhak disebut sebagai Rabb atau ilah, melainkan hanya susunan atom. Akan tetapi dengan perkataannya itu, Nabi Ibrahim 'alaihissalam bermaksud memaksa mereka supaya mengemukakan hujjah: “Tetapi tatkala bintang itu tenggelam.” (Al-An’am: 76). Yakni tidak tampak (menghilang), maka “dia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” (Al-An’am: 76).

Sesungguhnya mahluk yang keberadaannya antara ada dan tiada atau tampak dan menghilang, niscaya setiap orang yang berakal akan meyakini bahwa mahluk tersebut tidak sempurna, sehingga tidak berhak disebut ilah. Kemudian Nabi Ibrahim 'alaihissalam beralih kepada bulan, dan ketika ia melihatnya terbit, seraya berkata, “Inilah Rabbku.” Tetapi setelah bulan itu tenggelam dia berkata, “Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-An’am: 77). Kemudian Nabi Ibrahim 'alaihissalam memperlihatkan kepada mereka rahmat Allah dan keselamatan dari-Nya yang dikaruniakan kepadanya.

Nabi Ibrahim 'alaihissalam menggambarkan dirinya dalam gambaran yang sesuai dengan mereka, akan tetapi tidak dalam gambaran taqlid (peniruan) melainkan dalam gambaran yang dimaksudkan untuk mengemukakan hujjah mengenai ketuhanan bintang serta bulan yang kini menghilang. Menurut logika dan keterangan nash, maka sangatlah jelas kebathilan mentuhankan keduanya. Karena itulah, hingga sekarang aku belum memiliki keputusan tentang Rabb dan Ilah yang agung.

Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit”, maka Nabi Ibrahim 'alaihissalam berkata, “Ini yang lebih besar.” (Al-An’am: 78). Yakni lebih besar daripada bintang dan bulan, tetapi apabila berlaku padanya ketentuan sebagaimana yang berlaku pada keduanya, maka keberadaannya adalah seperti keduanya (tidak patut dijadikan sebagai Ilah atau Rabb).

Allah Ta’ala berfirman, “… tatkala matahari itu telah terbenam.” (Al-An’am: 78). Nabi Ibrahim 'alaihissalam telah menegaskan semua pengakuannya yang telah lalu, bahwa beribadah kepada sesuatu yang suka menghilang adalah perbuatan yang bathil.

Ketika itu Nabi Ibrahim 'alaihissalam mengharuskan mereka kepada kemestian tersebut serta memaksa mereka supaya mengemukakan hujjah, seraya ia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku ….” (Al-An’am: 78-79). Yakni lahir serta bathinku. Nabi Ibrahim 'alaihissalam berkata, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan-Nya.” (Al-An’am: 79).

Itulah hujjah yang logis dan jelas, bahwa Pencipta alam yang tinggi dan rendah adalah Dzat yang harus disembah dengan cara mentauhidkan-Nya serta ikhlas beribadah kepada-Nya, sedangkan tata surya, bintang-bintang dan planet yang lainnya adalah mahluk yang diciptakan, yang tidak memiliki sifat-sifat yang menjadikannya pantas disembah. Selanjutnya mereka menakut-nakuti Nabi Ibrahim 'alaihissalam dengan berbagai macam siksaan serta ancaman dari ilah mereka yang akan menimpakan keburukkan kepadanya. Hal itu menunjukkan bahwa orang-orang musyrik ialah orang-orang yang memiliki khayalan yang kacau serta pandangan yang rendah terhadap sesuatu yang mereka yakini, bahwa ilah-ilah mereka itu akan memberikan manfaat kepada orang yang menyembahnya dan mendatangkan kemadaratan kepada orang yang mengabaikannya atau mencelanya.

Kemudian Nabi Ibrahim 'alaihissalam berkata kepada mereka sebagai penjelasan bahwa ia tidak takut sama sekali dengan ancaman atau siksaan ilah mereka, malah ketakutan yang sebenarnya justru terdapat pada dirimu, seraya ia berkata, “Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah diantara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui.” (Al-An’am: 81).

Allah menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang umum yang mencakup kisah tersebut dan kisah lainnya di sepanjang zaman. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82).

Kemudian Allah Ta’ala mengangkat derajat Nabi Ibrahim 'alaihissalam kekasih-Nya dengan ilmu dan hujjah yang dikemukakannya, kemudian melemahkan mereka dalam membela kebathilan mereka, tetapi mereka bungkam seribu bahasa dan tidak mengemukakan hujjah kepadanya; sehingga nasehat, peringatan serta hujjah tidak bermanfaat bagi mereka.

Nabi Ibrahim 'alaihissalam terus-menerus menyeru mereka supaya beribadah kepada Allah dan melarang mereka dari ibadah yang biasa mereka lakukan dengan larangan yang khusus dan yang umum. Adapun seruannya yang lebih khusus ditujukan kepada Azar bapaknya, dimana ia mengajak bapaknya dengan berbagai cara yang bermanfaat, tetapi “Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabbmu, tidaklah akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan adzab yang pedih.” (Yunus: 96-97).

Adapun di antara sejumlah seruannya yang disampaikan kepada bapaknya adalah “ketika ia berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak medengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 42-43).

Perhatikanlah, betapa indahnya perkataan tersebut yang dapat memikat hati (kecuali hati yang keras), dimana Nabi Ibrahim 'alaihissalam tidak mengatakan kepada bapaknya: “Sesungguhnya ayahanda adalah seorang yang bodoh.” Hal itu dimaksudkan supaya bapaknya tidak berpaling dan lari karena mendengar perkataan yang kasar, melainkan ia berkata kepada bapaknya dengan perkataan sebagai berikut: “Wahai bapakku, janganlah kamu meyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab oleh Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 44-45).

Nabi Ibrahim 'alaihissalam mengganti cara menyerunya dengan cara lain dengan harapan mudah-mudahan bermanfaat bagi bapaknya, akan tetapi seiring dengan seruannya maka bapaknya bertanya kepadanya: “Bencikah kamu kepada ilah-ilahku, hai Ibrahim! Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (Maryam: 46).

Begitulah kenyataan yang terjadi, dan Nabi Ibrahim 'alaihissalam tidak benci dan tidak menanggapi perkataan bapaknya dengan sebagian bantahannya, tetapi menanggapi keburukkan (ancaman besar) tersebut dengan kebaikkan, seraya berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu.” (Maryam: 47). Yakni aku tidak akan berkata kepadamu, kecuali perkataan yang baik, yang tidak mengandung kebencian dan kekasaran di dalamnya. Meskipun demikian, aku tidak akan berputus asa memohonkan petunjuk bagimu: “… aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 47). Yakni sesungguhnya Allah sangat baik dan penuh kasih sayang kepadaku. Dia pun telah menjanjikan kasih sayang-Nya bagiku, membimbingku menuju arah yang baik dan mengabulkan permohonanku.

Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan kaumnya senantiasa terlibat dialog dan perdebatan, dan ia selalu mematahkan dalil, hujjah dan keraguan mereka. Nabi Ibrahim 'alaihissalam mampu mengalahkan hujjah mereka dengan hujjah yang agung dan menghadapi kekasaran, kelaliman, kekuasaan serta kekuatan mereka tanpa rasa takut dan khawatir.

Ketika pada suatu hari mereka bepergian keluar wilayah mereka untuk mengadakan suatu perayaan dan Nabi Ibrahim 'alaihissalam ikut pergi bersama mereka, lalu ia melihat ke arah bintang-bintang, seraya berkata, “Sesungguhnya aku sakit.” (Ash-Shafat: 89). Tindakan itu dilakukannya, karena ia merasa khawatir akan terlewatkan melakukan perbuatan yang berbeda dengan perayaan tersebut, sehingga tidak akan mendapatkan hasil yang diharapkannya, karena ia secara terang-terangan menunjukkan kebencian atas perayaan tersebut dan menentang keras keseriusan keluarganya dalam melaksanakannya. Setelah Nabi Ibrahim 'alaihissalam merasa yakin bahwa mereka seluruhnya telah pergi ke gurun pasir, maka ia segera pergi menuju bangunan tempat penyimpanan berhala-berhala dan menghancurkan semua berhala hingga berkeping-keping kecuali sebuah berhala yang paling besar yang dibiarkannya tetap utuh, supaya ia dapat memberikan hujjah kepada mereka. Ketika mereka pulang dari perayaan itu maka mereka langsung pergi mendatangi berhala-berhala mereka dengan penuh kecintaan dan ketika itu mereka menyaksikan sebuah pemandangan yang sangat mengerikan yang disaksikan para pemilik berhala-berhala itu, seraya mereka berkata, “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap ilah-ilah kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zhalim.” Mereka berkata, “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini.” (Al-Anbiya’: 59-60). Yakni yang mencacinya dan menyifatinya dengan sifat-sifat yang kurang pantas dan buruk, “yang bernama Ibrahim.” (Al-Anbiya’: 60). Setelah mereka meyakini bahwa Nabi Ibrahim 'alaihissalam yang telah menghancurkan berhala-berhala tersebut, seraya berkata, “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (Al-Anbiya’: 61). Yakni mempersaksikannya di depan orang banyak dan mencacinya dengan cacian yang kasar. Selanjutnya mereka menjatuhkan hukuman kepadanya.

Tindakan itulah yang justru dikehendaki Nabi Ibrahim 'alaihissalam supaya dapat memperlihatkan kebenaran di depan mata dan pendengaran mereka. Setelah orang-orang hadir dan berkumpul maka mereka menghadirkan Nabi Ibrahim 'alaihissalam, seraya bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap ilah-ilah kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang besar itu yang melakukannya.” (Al-Anbiya’: 62-63). Nabi Ibrahim 'alaihissalam menunjuk sebuah berhala yang paling selamat dari kehancuran. Dengan isyarat tersebut, maka mereka dihadapkan pada dua pilihan:

- Mengakui kebenaran, karena tidaklah masuk akal bagi siapa pun bahwa sebuah benda mati yang terbuat dari materi tidak mungkin melakukan perbuatan itu.

- Mereka akan mengatakan ya bahwa berhala yang besar itulah yang melakukannya dan kamu selamat dari kutukannya. Nabi Ibrahim 'alaihissalam yakin, bahwa mereka tidak akan mengatakan kemungkinan yang lain.

Nabi Ibrahim Alais Salam berkata, “… maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (Al-Anbiya’: 63). Perkataan itu merupakan kritikan terhadap sesuatu yang mustahil yang mereka ketahui.

Ketika itu kebenaran terlihat dengan jelas dan mereka yang hadir mengetahui kebenaran itu sehingga mereka berkata terhadap diri mereka sendiri: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”, kemudian kepala mereka jadi tertunduk ….” (Al-Anbiya’: 64). Yakni tidaklah pengakuan mereka akan bathilnya ketuhanan berhala-berhala itu, melainkan hanya dalam waktu sementara. Setelah itu, mereka langsung mengemukakan hujjah yang tidak mungkin mengingkari ketuhanan berhala-berhala itu, sehingga mereka pun segera kembali kepada keyakinan yang bathil yang telah berakar dalam hati mereka dan menetapkan sifat-sifat yang pantas bagi berhala-berhala itu; jika ditemukan sifat-sifat yang menafikan ketuhanan berhala-berhala itu, dimana sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang baru yang disifatkan, dan setelah itu; sifat itu hilang. “… kemudian kepala mereka jadi tertunduk, (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu(hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” (Al-Anbiya’: 64-65).

Mereka mendapat celaan dan cemoohan setelah diutarakan kepada mereka hujjah yang dengannya diketahui bantahan yang membuat kepala-kepala yang bersaksi tertunduk. Nabi Ibrahim 'alaihissalam berkata kepada mereka, “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfa'at sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu.” Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami.” (Al-Anbiya’: 66-67). Jika saja mereka memiliki akal yang sehat, niscaya mereka tidak akan beribadah kepada sesuatu yang tidak dapat mendatangkan manfaat atau madharat, dan tidak dapat membela dirinya dari orang yang melakukan kejahatan kepadanya.

Ketika kebingungan mereka dikalahkan dengan dalil yang nyata dan hujjah yang kuat, maka mereka beralih menggunakan kekuatan, kekasaran dan kekerasan mereka untuk menjatuhkan siksaan kepada Nabi Ibrahim 'alaihissalam, seraya berkata, “Bakarlah dia dan bantulah ilah-ilah kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” (Al-Anbiya’: 68). Mereka menyalakan api yang besar sekali dan melemparkan Nabi Ibrahim 'alaihissalam ke dalam kobaran api tersebut.

Dalam menghadapi keadaan tersebut, maka Nabi Ibrahim 'alaihissalam berkata, “Cukuplah Allah menjadi penolongku dan Allah adalah sebaik-baiknya Pelindung.”

Allah Ta’ala berfirman kepada api: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (Al-Anbiya’: 69), sehingga tidak membahayakannya sedikitpun.

Allah Ta’ala berfirman, “Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim.” (Al-Anbiya’: 70), yakni untuk menolong ilah-ilah mereka dan menanamkan ketundukan dan pengagungan kepadanya dalam hati mereka dan hati para pengikut mereka. Akibat dari perbuatan makar tersebut adalah kembali ke diri mereka sendiri dan Nabi Ibrahim 'alaihissalam mendapatkan kemenangan di hadapan orang-orang tertentu dan masyarakat umum dan di hadapan para pemimpin serta rakyat jelata.

Penentangan terhadap Nabi Ibrahim 'alaihissalam hingga dilakukan raja mereka (Namrud) berkenaan dengan Rabbnya dengan sikap sombong dan lalim “karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan).” (Al-Baqarah: 258). Nabi Ibrahim 'alaihissalam menjawab, “Rabbku ialah Yang menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” (Al-Baqarah: 258).

Nabi Ibrahim 'alaihissalam mematahkan dalil raja itu dengan cara yang jitu, seraya berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat”, lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 258).

PASAL

Selanjutnya Nabi Ibrahim 'alaihissalam pergi dari hadapan mereka berhijrah bersama istrinya (Sarah) dan putera saudara laki-lakinya Nabi Luth 'alaihissalam ke negeri Syam. Ketika berada di Syam; ia pergi bersama istrinya ke Mesir, dan istrinya termasuk seorang wanita yang sangat cantik.

Ketika raja Mesir yang dikenal lalim dan keras melihat kecantikannya, maka raja itu tidak dapat menguasai dirinya dan ingin memilikinya. Sarah pun berdo’a kepada Allah agar diselamatkan dari kejahatannya dan raja itu hampir menemui kematian, sehingga Allah menyelamatkan Sarah dari kejahatan raja tersebut. Kemudian raja tersebut mendatanginya untuk kedua kalinya, dan ketika raja itu hendak menjamahnya maka Sarah berdo’a kepada Allah supaya diselamatkan dari kejahatan raja tersebut, sehingga raja itupun terbanting ke lantai dan tampak kesakitan. Sarah pun terus berdo’a kepada Allah, sehingga ia diselamatkan dari kejahatan raja itu. Allah memeliharanya dari kejahatan raja Mesir tersebut, dan akhirnya raja tersebut memberinya seorang budak perempuan dari Qibthi yang bernama Hajar.

Sarah telah mandul sejak masih perawan, kemudian Sarah menyerahkan budak perempuan tersebut kepada Nabi Ibrahim 'alaihissalam untuk dijadikan istrinya dengan harapan mudah-mudahan Allah memberinya seorang anak darinya. Akhirnya Hajar melahirkan Nabi Isma’il 'alaihissalam di saat usia Nabi Ibrahim 'alaihissalam telah lanjut, dan Nabi Ibrahim 'alaihissalam sangat senang dengan kelahiran anaknya itu, tetapi Sarah cemburu kepada Hajar, sehingga Sarah pun bersumpah bahwa suaminya tidak boleh menempatkan Hajar satu rumah bersamanya. Hal itu adalah kejadian yang dikehendaki Allah dan menjadi salah satu sebab kepergian Nabi Ibrahim Alaihis Salam membawa Hajar ke suatu tempat, yaitu Baitul Haram. Jika tidak, niscaya Nabi Ismail 'alaihissalam akan tetap tinggal di tempat tinggal bapaknya (Nabi Ibrahim 'alaihissalam).

Nabi Ibrahim 'alaihissalam pergi membawa Hajar dan Nabi Isma’il 'alaihissalam putranya ke Mekah yang saat itu belum ada penduduk, perkampungan, air, ladang dan lain-lain (masih gersang), dan Nabi Ibrahim 'alaihissalam membekali keduanya dengan sebuah tempat air minum yang penuh berisi air minum dan sebuah keranjang yang berisi kurma. Nabi Ibrahim 'alaihissalam menempatkan keduanya di suatu tempat yang ada pohon besar dan tidak jauh dari sumur Zamzam. Selanjutnya ia pergi meninggalkan keduanya tanpa sepatah kata pun, dan setelah ia sampai di sebuah tikungan yang sekiranya dapat melihat keduanya dari atas, seraya ia berdo’a kepada Allah Ta’ala, beliau berkata, “Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim: 37) hingga akhir do’anya.

Hajar pasrah terhadap perintah Allah, dimana ia hanya makan buah kurma serta minum air yang ditinggalkan suaminya hingga keduanya habis. Ketika pada suatu hari ia merasakan rasa haus yang luar biasa dan puteranya pun merasakan hal yang sama, dimana puteranya menggeliat-geliat karena tidak tahan dengan rasa haus yang dirasakannya. Melihat kejadian tersebut, maka Hajar pun segera pergi dengan harapan dapat bertemu seseorang yang dapat dimintai pertolongan, kemudian ia naik ke sebuah bukit yang lebih rendah dari bukit-bukit yang ada di tempat tersebut yaitu bukit Shafa dan melihat ke sana ke mari barang kali ada orang, akan tetapi ia tidak melihat seorang pun, kemudian ia pergi ke bukit Marwah dan naik ke atas puncaknya, lalu melihat ke sana ke mari, tetapi ia tidak melihat seorang pun. Ia mondar-mandir di tempat itu dengan perasaan yang sedih dan bingung sambil memohon pertolongan kepada Allah untuk keselamatan dirinya dan putranya. Di satu sisi ia harus berjalan kaki pergi ke sana ke mari mencari air dan di sisi lain ia harus melihat keadaan putranya karena takut akan diterkam binatang buas. Ketika ia menuruni suatu lembah, niscaya ia akan naik dari arah lembah yang lainnya supaya putranya tidak terhalangi dari pandangan matanya disertai dengan keyakinan bahwa di balik kesusahan terdapat kesenangan dan di balik kesulitan terdapat kemudahan. Setelah ia berjalan kaki mondar-mandir ke sana ke mari sebanyak tujuh kali, maka Allah menunjukkan rahmat-Nya, sehingga di tempat yang sekarang dikenal dengan sumur Zamzam memancar sumber mata air.
Melihat kejadian itu, betapa senangnya perasaan ibunda Nabi Isma’il 'alaihissalam tersebut, kemudian ia meminum air itu dan ia menyusui lagi puteranya seraya memuji kepada Allah atas ni’mat yang besar tersebut, kemudian ia membendung air itu supaya tidak mengalir ke sana kemari.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Allah mengkaruniakan kasih sayang kepada ibunya Isma’il, dimana jika saja ia membiarkan air Zamzam tersebut –yakni tidak membendungnya- maka air Zamzam itu hanya akan menjadi mata air yang mengalir ke sana ke mari.”

Setelah itu datanglah ke tempat itu suatu kabilah dari Arab yaitu kabilah Jurhum dan membuat rumah di tempat Hajar sehingga sempurnalah ni’mat yang dikaruniakan Allah Ta’ala kepadanya.

Setelah Nabi Isma’il 'alaihissalam menjadi seorang pemuda yang tampan dan kabilah itu sangat kagum dengan perilaku dan cita-citanya yang tinggi serta kesempurnaannya. Setelah ia dewasa, maka ia menikah dengan seorang wanita dari kabilah mereka (kabilah Jurhum), dan pada perjalanan masa tersebut ibunya wafat.

Suatu hari Nabi Ibrahim 'alaihissalam datang di saat Nabi Isma’il 'alaihissalam tidak ada di rumahnya karena sedang berburu. Kemudian Nabi Ibrahim 'alaihissalam menemui istri putranya dan menanyakan keadaan suaminya dan kondisi kehidupan mereka, dan istri putranya (menantunya) menceritakan kepadanya; bahwa suaminya sedang berburu dan kehidupan mereka sangat sulit. Nabi Ibrahim 'alaihissalam berpesan kepada istri putranya: “Jika suamimu datang, maka sampaikan salam dariku kepadanya, dan katakanlah kepadanya, bahwa ia harus mengganti ambang pintu rumahnya.” Kemudian Nabi Ibrahim Alaihis Salam pun segera pamitan karena suatu hikmah yang dikehendaki oleh Allah.

Saat Nabi Isma’il 'alaihissalam datang maka ia merasa seakan-akan telah terjadi sesuatu dan ia menanyakannya kepada istrinya. Istrinya menceritakan kepadanya bahwa seseorang yang telah tua renta datang kepada mereka dengan sifat-sifat seperti ini dan ia menanyakan keadaanmu dan kondisi kehidupan kita, dan aku telah menceritakan kepadanya; bahwa kehidupan kita sangat sulit. Ia menyampaikan salam untukmu serta berpesan kepadamu: “Kamu harus mengganti ambang pintu rumahmu.” Nabi Isma’il 'alaihissalam berkata, “Orang tua itu adalah bapakku dan kamu adalah ambang pintu yang menopang kebahagiaan keluargamu.” Akhirnya Nabi Isma’il 'alaihissalam menceraikannya dan menikah dengan wanita yang lain.

Nabi Ibrahim 'alaihissalam datang untuk yang kedua kalinya pada saat Nabi Isma’il 'alaihissalam tidak ada di rumah karena sedang berburu. Nabi Ibrahim 'alaihissalam mendatangi istri putranya dan menanyakan kabar Isma’il 'alaihissalam kepadanya, dan menantunya menceritakannya. Nabi Ibrahim 'alaihissalam juga menanyakan kondisi kehidupan mereka, dan menantunya menceritakan; bahwa kehidupan mereka selalu ada dalam curahan ni’mat dan limpahan kebaikan. Menantunya adalah seorang perempuan yang shalihah dan pandai bersyukur kepada Allah serta berterima kepada suaminya.

Nabi Ibrahim 'alaihissalam berpesan kepadanya, seraya berkata, “Jika suamimu datang, maka sampaikanlah salam dariku serta katakan kepadanya, bahwa ia harus mengokohkan ambang pintu rumahnya. Kemudian Nabi Ibrahim 'alaihissalam pun pergi sebelum Nabi Isma’il 'alaihissalam datang karena hikmah yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Ketika Nabi Isma’il 'alaihissalam pulang dari perburuannya, maka ia pun bertanya kepada istrinya: “Apakah ada seseorang yang datang kepadamu?”

Istrinya menjawab, “Telah datang kepada kami orang tua dengan sifat-sifat seperti ini.”

Nabi Isma’il 'alaihissalam bertanya: “Apakah orang tua tersebut mengatakan sesuatu kepadamu?”

Istrinya menjawab, “Ia menanyakan kabarmu kepada kami, kemudian aku menceritakannya kepadanya. Ia juga menanyakan kondisi kehidupan kita, kemudian aku menceritakan kepadanya bahwa kehidupan kita berada dalam curahan ni’mat seraya aku mengucapkan pujian kepada Allah.”

Nabi Isma’il 'alaihissalam bertanya: “Apakah pesan dari orang tua tersebut?”

Istrinya menjawab, “Ia menyampaikan salam untukmu dan menyuruhmu supaya mengokohkan ambang pintu rumahmu.”

Nabi Isma’il 'alaihissalam berkata, “Orang tua itu adalah bapakku dan kamu adalah ambang pintu rumah yang diperintahkannya untuk dipertahankan.”

Nabi Ibrahim 'alaihissalam datang lagi untuk yang ketiga kalinya, dan pada kedatangannya kali ini bertemu dengan Nabi Isma’il 'alaihissalam yang sedang merancung (meraut) anak panah di dekat sumur Zamzam. Ketika Nabi Ibrahim 'alaihissalam melihat Nabi Isma’il 'alaihissalam maka ia berdiri terpaku, kemudian keduanya melakukan perbuatan sebagaimana yang dilakukan oleh seorang bapak serta seorang anak yang diliputi kerinduan.

Nabi Ibrahim 'alaihissalam berkata, “Hai Isma’il, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku supaya membangun Baitullah di sini sebagai tempat ibadah bagi manusia hingga hari kiamat tiba.”

Nabi Isma’il 'alaihissalam menjawab, “Aku akan membantu ayahanda untuk mewujudkan perintah tersebut.” Selanjutnya keduanya meninggikan pondasi Baitullah, dimana Nabi Ibrahim 'alaihissalam yang membangun dan Nabi Isma’il 'alaihissalam yang menyodorkan batu, seraya keduanya berdo’a: “Ya Rabb kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak-cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (al-Qur'an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 127-129).

Setelah pembangunan Baitullah sempurna, berarti telah sempurna bagi Nabi Ibrahim 'alaihissalam penunaian tugasnya yang agung tersebut sehingga Allah memerintahkannya supaya berdo’a dan menyeru manusia supaya mengunjungi Baitullah. Karena seruan Nabi Ibrahim 'alaihissalam kepada manusia itulah, sehingga mereka pun datang berbondong-bondong ke Baitullah (menunaikan ibadah haji) dari berbagai penjuru yang jauh supaya mereka dapat menyaksikan berbagai manfaat dalam urusan dunia dan akhirat mereka, mendapat kebahagiaan dan terbebas dari penderitaan.

Ketika hati Nabi Ibrahim 'alaihissalam diliputi kecintaan kepada Nabi Isma’il AS, maka Allah bermaksud menguji Nabi Ibrahim 'alaihissalam supaya lebih mendahulukan kecintaannya terhadap Rabb-nya atau Kekasihnya (Allah) yang tidak menerima persekutuan dan persaingan; dimana Allah memerintahkan kepadanya melalui mimpinya agar menyembelih Nabi Isma’il Alais Salam puteranya dan mimpi para nabi itu adalah wahyu dari Allah.

Nabi Ibrahim 'alaihissalam berkata kepada Nabi Isma’il 'alaihissalam, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Tatkala keduanya telah berserah diri ….” (Ash-Shaffat: 102-103). Yakni keduanya taat kepada perintah Allah, keduanya melaksanakan perintah-Nya dan jiwa keduanya merasa tenang dalam menunaikan perintah yang sangat sulit, sehingga tidak akan ada sepersepuluhnya dari umat manusia yang dapat menunaikannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).” (Ash-Shaffat: 103).

Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.” (Ash-Shaffat: 104-105). Nabi Ibrahim 'alaihissalam berhasil memperoleh ketenangan jiwa dalam menghadapi ujian yang sangat sulit dan mengerikan serta berhasil memperoleh sejumlah keutamaan serta ketetapan hati, sehingga balasan bagi keduanya adalah tercapainya kesempurnaan. Juga keduanya berhasil memperoleh kemuliaan serta kedekatan di sisi Allah. Tidaklah semuanya itu terjadi, melainkan sebagai kasih sayang dari Rabb Yang Maha Perkasa. Allah berfirman, “… sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (Ash-Shaffat: 105-107). Yakni seekor binatang sembelihan yang besar karena telah berhasil menunaikan ibadah tersebut yang tidak ada satu ibadah pun yang menyamainya, kemudian sepeninggalnya menjadi sunnah hingga hari kiamat tiba yang dilakukan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah serta pelakunya berhak memperoleh pahala dan keridhaan-Nya. “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” (Ash-Shaffat: 108-109).

PASAL

Allah telah menyempurnakan ni’mat yang dikaruniakan kepada Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan telah mencurahkan rahmat kepada Sarah istrinya yang sudah tua, yang mandul dan merasa putus asa dengan memberinya kebahagiaan dengan kelahiran seorang anak yang mulia yaitu Nabi Ishaq 'alaihissalam, dan setelah kelahiran Ishaq 'alaihissalam disusul dengan kelahiran puteranya yang lain yaitu Nabi Ya’qub 'alaihissalam.

Ketika Allah mengutus Nabi Luth 'alaihissalam kepada kaumnya dan mereka mengusirnya, maka saat itu Allah menetapkan balasan siksa atas mereka. Nabi Luth 'alaihissalam adalah murid Nabi Ibrahim 'alaihissalam, dan Nabi Ibrahim 'alaihissalam memiliki sejumlah hak terhadapnya, sehingga para malaikat yang diutus untuk membinasakan kaum Nabi Luth 'alaihissalam menemui Nabi Ibrahim 'alaihissalam dalam wujud manusia.

Ketika para malaikat menemuinya dan mengucapkan salam kepadanya maka Nabi Ibrahim 'alaihissalam menjawab ucapan salam mereka dan segera menyambut mereka dengan sambutan layaknya kepada tamu. Allah Ta’ala telah memberinya rezki yang berlimpah, kemuliaan yang agung serta rumahnya menjadi tempat singgah bagi para tamu.

Nabi Ibrahim 'alaihissalam segera mendatangi keluarganya secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui para tamunya dan membawa anak sapi yang gemuk, lalu membakar dagingnya di atas alat pemanggang daging dan menghidangkannya ke hadapan mereka, seraya berkata, “Silahkan kamu makan.” (Adz-Dzariyat: 27).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, “Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka.” (Hud: 70). Karena ia menyangka bahwa mereka itu adalah para pencuri.

Kemudian “Malaikat itu berkata, “Jangan kamu takut. sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth.” (Hud: 70).

Sarah memberikan pelayanan yang maksimal kepada mereka dan mereka memberikan kabar gembira kepada Nabi Ibrahim 'alaihissalam dengan kelahiran seorang putera yang alim (Ishak). Mendapat kabar tersebut, maka Sarah menjerit serta menepuk wajahnya dengan penuh keheranan, sehingga bercampur antara perasaan bahagia, bingung serta ragu-ragu, seraya berkata, “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua.” (Hud: 72). Sedang sebelumnya aku adalah seorang perempuan yang mandul “dan ini suamiku dalam keadaan yang sudah tua pula Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.” (Hud: 72). Allah memberikan kebahagiaan kepada keduanya dengan kelahiran Nabi Ishaq 'alaihissalam yang kemudian disusul dengan kelahiran Nabi Ya’qub 'alaihissalam.
Berkenaan dengan kebahagiaan itu, maka Nabi Ibrahim 'alaihissalam memuji Allah atas kesempurnaan ni’mat-Nya, seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq.Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do'a.” (Ibrahim: 39).

Sumber : Qishash Al-Anbiyâ’, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi-Maktabah Adhwâ’ As-Salaf.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihattarikh&id=280